Kamis, 27 Maret 2014

Korea Selatan Kagumi Kemampuan Pilot Tempur TNI AU


Letkol (Pnb.) Wastum adalah salah satu penerbang tempur TNI AU yang beruntung karena menjadi salah satu pilot yang dikirim ke Korea Selatan (Korsel) untuk secara langsung belajar menerbangkan pesawat latih tempur T50 Golden Eagle buatan Negeri Ginseng itu. Mantan penerbang F-16 Fighting Falcon yang saat ini menjabat Komandan Skadron 15 tersebut pun mengaku bangga bisa ikut menunjukkan kemampuan pilot tempur TNI AU saat bertugas di lingkungan angkatan udara di luar negeri.
“Memang tadinya dari pihak Republic of Korea Air Force [ROKAF/AU Korea Selatan] sedikit sangsi dengan kemampuan pilot-pilot kita karena yang akan diterbangkan adalah pesawat yang sama sekali baru. Tapi syukur alhamdulillah saya dan teman-teman bisa menunjukkan kemampuan kami,” tuturnya saat dijumpai di Pangkalan TNI AU (Lanud) Adi Soemarmo, Boyolali, Senin (24/3/2014). Skadron yang dipimpinnya, yang diperkuat dengan pesawat latih tempur T50i Golden Eagle saat ini memang sedang pindah sementara dari pangkalannya di Lanud Iswahjudi, Madiun, ke Lanud Adi Soemarmo.
Ditambahkan alumnus Akademi Angkatan Udara (AAU) 1996 ini, para instruktur AU Korsel bahkan mengagumi kecepatan adaptasi para pilot TNI AU dengan pesawat T50 yang dipelajari. “Kami dinilai bisa dengan cepat belajar mengoperasikan dan melakukan berbagai manuver tempur yang dipersyaratkan. Bahkan kami bisa menuntaskan latihan lebih cepat dari yang dijadwalkan,” ujarnya. “Ini membuktikan bahwa kualitas pilot-pilot TNI AU tidak kalah dan bahkan bisa bersaing dengan pilot AU negara lain,” imbuhnya.
Salah satu kesan yang didapatnya dari penugasannya di Korsel adalah disiplin dan kesiapan yang tinggi dari personel militer negeri itu. “Memang Korsel adalah negara yang statusnya dalam kondisi perang [melawan Korea Utara], sehingga seluruh unsur militernya selalu dalam kesiapan yang tinggi. Disiplin dan kualitas kinerja mereka layak diterapkan di sini,” katanya. 

Kemenhan Pesan 23 Tank Canggih Hasil Modifikasi Pindad


PT Pindad menunjukkan kemampuannya memodifikasi (retrofit) tank kelas ringan buatan Prancis yaitu AMX-13 pada Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsuddin. Sjafrie pun menyatakan, sebanyak 23 dari 400 populasi AMX-13 milik TNI pun akan dimodifikasi PT Pindad.

"Kita berencana akan membuat 23 unit sebagai pesanan pertama," ujar Sjafrie usai melakukan kunjungan ke PT Pindad di Jalan Gatot Subroto Bandung, Rabu (26/3/2014)

Ia mengatakan, proyek retrofit AMX-13 itu akan terus dilaksanakan kedepannya. "Kita punya kurang lebih hampir 400 populasi AMX-13 yang harus kita retrofit," katanya.

Sjafrie mengatakan program retrofit ini sudah masuk dalam grand strategy atau rencana kerja untuk pembangunan industri pertahanan.

"Mudah-mudahan retrofit ini bisa berlangsung di tahun anggaran 2015 sampai 2019. Tapi tergantung dengan kebijakan pemerintah yang baru nanti dan kemampuan anggaran," tuturnya.

Dikatakan Sjafrie dalam kunjungannya, PT Pindad mampu menampilkan 1 prototipe tank ringan revolfit AMX-13 yang teknologinya dimodifikasi lebih tinggi dari yang ada sebelumnya

"Kelebihannya, buatan Pindad ini disesuaikan dengan postur prajurit dan kebutuhan operasional. Kalau itu sudah terpenuhi maka itu sudah sangat meyakinkan, sebab kan prajurit harus cocok," jelas Sjafrie.

AMX-13 adalah tank buatan Perancis yang pertama kali digunakan pasukan Perancis. Tank ini diproduksi sejak 1953-1985. Tank ini sudah diekspor ke lebih dari 25 negara.

Panglima Evaluasi Penempatan Tank di Perbatasan


Persoalan keamanan akan berkorelasi dengan kesejahteraan. Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengatakan penguatan keamanan tak akan berarti jika kesejahteraan di perbatasan tak ditingkatkan.

"Kita semua bersepakat bagi masyarakat perbatasan yang perlu dititikberatkann adalah persoalan kesejahteraan, infrastruktur untuk membuka keterisolasian, dan meningkatkan akses pendidikan serta kesehatan," kata Moeldoko seperti dalam rilis yang diterima Republika, Kamis (20/3).

Panglima menambahkan persoalan keamanan tak akan muncul jika masyarakat di perbatasan sejahtera. "Saya kira sektor ekonomi harus menjadi concern kita di perbatasan, bukan masalah keamanan," katanya.

Meski begitu, TNI saat ini terus mengevaluasi pengenai penguatan pertahanan di perbatasan, khususnya perbatasan Indonesia dengan negara lain. Untuk alat utama sistem senjata (alutsista) misalnya, TNI berencana mengevaluasi penempatan alutsista di perbatasan. "Contohnya, penempatan tank di sana mungkin perlu kita lihat kembali apakah perlu ada penyesuaian atau tidak. Saat ini kita sedang evaluasi," kata Panglima.

TNI juga berencana menambah pos-pos di perbatasan. Keberadaan pos perbatasan sangat penting untuk memantau aktivitas di sana. Apalagi perbatasan Indonesia cukup panjang.

Di daratan kita berbatasan dengan negara Malaysia, Brunei, dan Papua New Guinea. Bentang perbatasan Indonesia dan Malaysia di Pulau Kalimantan lebih kurang 1.800 kilometer. Bentang perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea di Pulau Papua lebih kurang 2000 kilometer.

Balikpapan Gelontorkan Rp 85 Miliar untuk TNI AL


Pemerintah Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, menyiapkan dana Rp 85 miliar untuk pembangunan Pangkalan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Saat ini pemerintah daerah menunggu kepastian lokasi dermaga yang dikabarkan meminjam kawasan milik PT Pertamina di Balikpapan.

"Anggaran sudah disiapkan, namun juga menunggu kepastian lokasi Pangkalan TNI AL di Balikpapan," kata Ketua Komisi III DPRD Balikpapan, Abdullah, Selasa, 25 Maret 2014.

TNI AL menyatakan sudah ada kesepakatan pinjam pakai lahan Pertamina antara KSAL dan pimpinan perusahaan pelat merah ini.

Abdullah mengatakan Balikpapan sudah menyiapkan perencanaan detail engineering design (DED) yang masih belum baku. Perencanaan DED nantinya disusul perumusan kajian studi kelayakan pembangunan pada akhir 2014.

Lokasi pangkalan TNI AL berdampingan langsung dengan kawasan kilang pengolahan minyak Balikpapan. Fisik pangkalan berbentuk huruf T menjadi tempat bersandar kapal perang TNI AL di kawasan Indonesia timur. "Dermaganya simpel saja, dengan ditunjang gardu listrik, pos jaga, dan lainya," ujarnya.

Pembangunan Pangkalan TNI AL nantinya menggunakan anggaran Kota Balikpapan dan bantuan Provinsi Kalimantan Timur. Realisasi pembangunan diupayakan sudah berjalan mulai 2015. Nantinya fisik bangunan pangkalan akan dihibahkan pada TNI AL.

Komandan Pangkalan TNI AL Balikpapan Kolonel Arantyo C. mengatakan pihaknya selama ini meminjam pelabuhan swasta dalam penempatan kapal milik AL yang berlabuh di perairan Balikpapan.

Pangkalan TNI AL Balikpapan berperan dalam pemenuhan logistik kapal yang berpatroli di Indonesia timur. "Kami masih pinjam dermaga pihak lain untuk tempat bersandar KRI. Mau gimana lagi, karena kami tidak punya pangkalan sendiri," paparnya.

Arantyo memprediksi terjadinya peningkatan traffic kuantitas pelayaran perairan Balikpapan yang berada di jalur alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) II. Kawasan ALKI II menjadi alternatif menyusul padatnya jalur pelayaran ALKI I yang melewati rute Selat Malaka dan Singapura. "Jalur pelayaran makin ramai, sehingga butuh pengamanan armada yang kuat," ujarnya. 

18 AL akan turut Latihan Internasional Komodo 2014

 
Sebanyak 18 angkatan laut dari negara-negara kawasan Pasifik, 4.885 personel, dan puluhan kapal perang serta pesawat udara akan turut dalam Latihan Internasional Komodo 2014 (Komodo International Exercisa 2014), di Batam, Kepulauan Anambas, dan Kepulauan Natuna, pada 29 Maret--3 April nanti. 

Inilah pertama kalinya bagi Indonesia dan TNI AL menjadi tuan rumah bagi latihan militer internasional yang berintikan penanganan bencana dan pemulihannya sebagai bagian dari operasi militer selain perang.

Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Marsetio mengemukakan hal itu saat menerima Direktur Latihan internasional itu, Laksamana Pertama TNI Amarulla Octavian, di Markas Besar TNI AL, Cilangkap, Jakarta, Selasa.

Pada latihan ini jugalah para pihak yang bermasalah di Laut China Selatan juga bertemu, yaitu Brunei Darussalam, Viet Nahm, Filipina, Malaysia, dan China. Kekuatan-kekuatan utama kawasan juga hadir, di antaranya Indonesia, Amerika Serikat, India, Cina, Jepang, dan Korea Selatan. 

Informasi dari Dinas Penerangan TNI AL, Selasa, menyatakan, Latihan Internasional Komodo 2014 itu akan diikuti seluruh negara ASEAN, India, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Amerika Serikat, China, Rusia, dan Australia. Selain itu, turut serta pula sebanyak 25 personel dari PBB, Uni Eropa, Belanda, Spanyol dan ASEAN sebagai pengamat. 

Menurut Dinas Penerangan TNI AL itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto, akan membuka latihan itu, di Batam, Provinsi Kepulauan Riau, pada Jumat nanti (29/3).
 
Dalam latihan bersama ini, TNI AL mengerahkan 19 kapal perang, dua pesawat sayap tetap, dan empat helikopter, ditambah dua kapal Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Departemen Perhubungan, dan satu kapal SKK Migas. Sedangkan dari negara-negara asing mengerahkan 14 kapal perang, empat helikopter. 

Lokasi latihan di Kepulauan Natuna dan Kepulauan Anambas, dengan inti kegiatan misi kemanusiaan secara serentak di tujuh lokasi di wilayah kerja Pangkalan TNI AL Ranai (Kepulauan Natuna) dan Pangkalan TNI AL Tarempa (Kepulauan Tarempa).

Selain itu juga mengorganisir dan kerja sama antarnegara terhadap berbagai ancaman keamanan maritim, pada materi Humanitarian Assistance (HA) dan Humanitarian Civic Action (HCA), Disaster Relief (DR), menghadapi Transnational Organized Crimes (TOC), dan Peace Keeping Operation (PKO).(*)
 

Dukung penuh industri dirgantara nasional

Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro (kedua kiri) menerima replika pesawat CN-235-220 dari Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (DI), Budi Santoso (kiri) ketika serah terima pesawat disela-sela Gelar Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) TNI AL periode 2004-2014 di Dermaga Madura, Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim), Surabaya, Jatim, Rabu (12/3/14). (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
  
Angin segar terus berhembus di tengah kegalauan terhadap masa depan industri dirgantara nasional yang sempat "mati suri" karena krisis ekonomi tahun 1997/1998.

Apalagi PT Dirgantara Indonesia (PT DI) -- yang merupakan produsen pertama pesawat terbang dan sampai saat ini masih satu satunya di tanah air -- sempat divonis pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada September 2007, namun akhirnya dibatalkan pada Oktober tahun yang sama.

Kondisi itu membuat industri dirgantara Indonesia harus mengalami ujian yang cukup berat, tidak hanya masalah keuangan, tapi juga citranya di dalam dan luar negeri.

Padahal industri tersebut sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada pesawat terbang impor guna menghubungkan berbagai daerah, khususnya daerah terpencil di nusantara.

Oleh karena itulah pada 2012 pemerintah menyuntikkan modal hingga Rp1,4 triliun agar industri dirgantara bangkit kembali. Apalagi, tidak banyak negara menguasai teknologi pembuatan pesawat terbang dan Indonesia menjadi negara satu-satunya di Asia Tenggara yang mampu memproduksi alat transportasi udara itu.

PT DI sendiri ternyata juga masih dipercaya oleh sejumlah negara, khususnya di ASEAN, untuk membuat pesawat terbang khususnya CN235. Thailand, Malaysia, Brunei, dan Philipina merupakan negara tetangga yang memesan produk buatan Indonesia itu.

Akhir tahun lalu, BUMN tersebut mendapat pesanan dua unit pesawat NC212i. "Kami menang dua unit NC212i di proyek Light Lift Aircraft dengan nilai budget 18 juta dolar AS," kata Direktur Niaga dan Restrukturisasi PT DI Budiman Saleh, kala itu.

Hal itu tentu saja menambah kesibukan BUMN tersebut yang tengah mengerjakan banyak proyek pembuatan pesawat CN235 dan helikopter untuk keperluan dalam negeri.

"Kami perkirakan penjualan tahun ini bisa mencapai Rp4 triliun," kata VP Marketing PTDI Arie Wibowo, beberapa waktu lalu di sela-sela kunjungan kerja Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat ke pusat produksi perusahaan itu di Bandung, Jawa Barat.

Diakuinya tidak mudah bagi perusahaan industri pesawat terbang itu untuk bangkit dan mendapat kepercayaan kembali dari dalam dan luar negeri.

"Kami tidak minta subsidi, tapi pengadaan dari pemerintah," ujar Arie. Hal itu akan membantu PT DI tidak hanya membuktikan BUMN tersebut bisa memproduksi pesawat terbang, tapi juga membantu kinerja perusahaan serta menghapus citra negatif perusahan.

PT DI yang pada awal berdirinya tahun 1976 dikenal sebagai Industri Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Tebang Nusantara (IPTN) pada 1985 itu sempat mendapat citra negatif masyarakat, menghabiskan uang negara. Citra itu masih melekat ketika krisis dan kemudian ada vonis pailit.

"Kami ingin menghapus dan mengembalikan citra positif itu dan membuktikan kami bisa membuat dan menjual pesawat terbang," kata Arie.

Komitmen

Bagi pemerintah khususnya Kementerian Perindustrian (Kemenperin), industri dirgantara merupakan industri strategis dan andalan masa depan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional.

Industri dirgantara bersama industri alat angkut lainnya yaitu otomotif dan perkapalan serta industri telematika dan agro menjadi andalan Indonesia menuju negara industri yang tangguh pada 2025.

Oleh karena itu, Menperin MS Hidayat secara tegas mendukung PT DI agar tetap eksis dan berkembang. "Kami sangat mendukung industri dirgantara karena pengembangan industri tersebut akan menumbuhkan ratusan bahkan ribuan industri lainnya," ujarnya.

Kemenperin memperkirakan industri dirgantara membutuhkan ribuan industri pendukung, terutama komponen di dalam negeri, agar bisa memiliki daya saing yang tinggi.

Menurut Dirjen Industri Unggulan dan Teknologi Tinggi (IUBTT) Kemenperin Budi Darmadi, dalam satu pesawat bisa dibutuhkan 30 ribu sampai 40 ribu komponen.

"Karena desain 100 persen dikontrol PT DI, maka dapat dirancang komponen-komponen pesawat disesuaikan dengan fasilitas produksi yang ada di Indonesia," katanya.

Kendati demikian, lanjut dia, tetap harus disiapkan dan dibangun secara berkesinambungan kemampuan industri komponen yang "airworthy" karena terkait keselamatan penerbangan, disamping kehandalannya.

"Industri dirgantara ini akan membutuhkan industri komponen tiga sampai empat kali lebih banyak dari industri otomotif," kata Budi.

Untuk mendukung industri tersebut, kata dia, pemerintah antara lain menyiapkan "tax allowance" serta membantu pendanaan untuk riset dan pengembangan (R&D) model-model baru.

Contohnya, pada model baru N219, pemerintah melalui Bappenas mengucurkan dana hingga Rp400 miliar untuk R&D mulai dari desain, membuat prototipe, sampai uji terbang pesawat berpenumpang 19 orang itu, yang rencananya sudah diproduksi akhir tahun 2015.

"Tahun ini kami membantu R&D melalui LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional) sebesar Rp310 miliar, kemudian tahun depan Rp90 miliar," kata Menteri PPN/Bappenas Armida Alisjahbana yang ikut berkunjung bersama Menperin MS Hidayat ke PT DI awal Maret lalu.

Perlindungan
Kendati mendukung penuh pengembangan industri dirgantara, Menperin MS Hidayat mengingatkan agar PT DI sebagai satu-satunya industri pesawat terbang yang dimiliki Indonesia juga melakukan komersialisasi produksinya.

"Produksi PT DI harus dikomersialisasi guna menjaga kesinambungan bisnisnya," ujar mantan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu.

Artinya setiap model pesawat yang diproduksi harus memenuhi skala ekonomi tertentu agar bisa bersaing dan menguntungkan.

Berdasarkan data Kemenperin ttg industri dirgantara, nilai komponen mencapai 75 persen dari nilai pesawat. Oleh karena itu, untuk bisa bersaing industri dirgantara harus semaksimal mungkin menggunakan komponen dari dalam negeri.

"Kami mendorong agar PT DI menggunakan komponen lokal minimal 40 persen. Bila demikian, kami bisa melindungi dari persaingan produk sejenis buatan asing," kata Hidayat.

Sesuai Inpres Nomor 2 Tahun 2009 tentang Penggunaan Produksi Dalam Negeri, jika suatu produk nasional berteknologi tinggi mempunyai tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) 40 persen, maka produk asing sejenis tidak boleh masuk ke Indonesia, terutama untuk pembelanjaan yang menggunakan uang negara (APBN).

Selain itu Peraturan Menperin Nomor 11 Tahun 2006 juga mempertegas bahwa penggunaan produksi dalam negeri menjadi wajib bila di dalam negeri sudah ada perusahaan yang memiliki barang/jasa dengan jumlah TKDN dan nilai BMP (bobot manfaat perusahaan) minimal 40 persen.

Budi Darmadi optimistis PT DI mampu memenuhi persyaratan tersebut, bahkan bisa mencapai 60 persen. "Hanya mesin dan sejumlah komponen berteknologi canggih yang belum bisa diproduksi di Indonesia," katanya.

Saat ini, menurut dia, industri komponen pesawat yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri antara lain produk interior seperti karpet tahan api, tekstil, plastik, karet, dan sejumlah komponen kecil lainnya.

"Kami memang belum menargetkan sampai pembuatan industri mesin pesawat. PT DI diproyeksikan menjadi lead integrator dalam pembuatan pesawat," katanya.

Budi yakin dalam 10-20 tahun ke depan Indonesia akan memiliki industri dirgantara yang kuat dan menjadi produsen pesawat terbang yang tidak hanya mampu memenuhi pasar domestik untuk pesawat-pesawat kecil berpenumpang dibawah 50 orang, tapi juga eksportir pesawat baik ke ASEAN, maupun kawasan lain termasuk Timur Tengah dan Afrika.

Antaranews.

Senin, 24 Maret 2014

F-5 Tiger TNI AU masih berfungsi baik


Empat F-5E Tiger II dari Skuadron Udara 14 terbang dalam formasi intan, pada satu latihan. F-5 Tiger series pernah menjadi andalan penyergapan di udara Angkatan Udara Amerika Serikat.


Komandan Skadron Udara 14 di Pangkalan Udara Utama TNI AU Iswahjudi, Letnan Kolonel Penerbang M Nurdin, mengatakan, pesawat tempur F-5E/F Tiger II di skuadron udara itu masih berfungsi sangat baik. 

Kesiapsiagaan jajaran pesawat tempur buatan Northrop, Amerika Serikat, itu masih sangat baik. "Sejak diperintahkan scramble, F-5 itu bisa langsung diudarakan," kata dia, di Solo, Jawa Tengah, Senin. Dia memimpin jajarannya dalam latihan tempur udara di Pangkalan Udara Utama TNI AU Adi Sumarmo, Solo. 

Biasanya, latihan bersama Skuadron Udara 15 (T-50 Golden Eagle) seperti itu dilaksanakan di Madiun; namun dipindah ke Solo karena ada pemasangan alat pengait (arrester) di landas pacu di pangkalan mereka. Alat ini mirip seperti pengait yang dipasang bersama jaring penahan di kapal-kapal induk. 

Menurut dia, F-5E/F Tiger II yang dibeli Indonesia pada 1980 itu sejak awal memang dirancang sebagai pesawat interceptor alias penyergap di udara. Konsep pertempuran yang pas untuk F-5 adalah menyergap, bukan dengan memata-matai terlebih dulu. 

Sejak dibeli 34 tahun lalu, F-5E/F Tiger II itu telah mengantar banyak penerbang tempur TNI AU mengantongi ribuan jam terbang dan meraih pangkat, jabatan, dan posisi-posisi puncak. TNI AU dan Angkatan Udara Kerajaan Thailand menjadi pemakai utama F-5E/F Tiger II di ASEAN. 

Thailand bahkan mengakuisisi dalam jumlah jauh lebih banyak ketimbang Indonesia. 

Thailand, Chile, dan Brazil bahkan membangun program perpanjangan dan pemutakhiran F-5E/F Tiger II ini sesuai keperluan mereka. Sedangkan Indonesia tidak, memilih mengganti.