OLEH: BONNIE TRIYANA
DALAM canda yang
dilontarkan Gus Dur itu tersimpan kritik pedas bahwa kejujuran di tubuh
organisasi kepolisian telah hilang dan menjadi barang langka. Benarkah
demikian?
Belakangan ini polisi sedang menghadapi
cobaan terberat sepanjang keberadaannya di Republik ini. Perkara Susno
Duadji, rekening gendut, hingga yang paling beken Gayus Halomoan
Tambunan membuat lembaga kepolisian mendapat sorotan dari masyarakat.
Kasak-kusuk tentang kinerja polisi pun sudah beredar luas dari mulut ke
mulut dan kuping ke kuping, menyisakan sejumput ragu atas kinerja
lembaga kepolisian.
Beberapa ungkapan kekecewaan dan
plesetan sindiran terhadap kinerja polisi kerap mewarnai perbincangan di
warung kopi: “kehilangan rumah” saat mengurus motor yang dicuri atau
KUHP, Kasih Uang Habis Perkara. Begitulah citra polisi di mata
masyarakat. Penuh rekayasa dan manipulasi. Bagaimana sebenarnya peran
polisi di dalam sejarah? Apakah benar polisi selalu identik dengan
rekayasa dan segala tuduhan miring?
Marieke Bloembergen, sejarawan yang
bekerja sebagai peneliti di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia
(KITLV) di Leiden, Belanda, menulis sebuah buku tebal tentang rekam
jejak polisi di Hindia Belanda. Dalam buku terjemahan dari bahasa
Belanda setebal 500 halaman lebih itu Marieke membeberkan sejarah polisi
di Hindia Belanda sejak awal pembentukannya pada 1897 sampai keruntuhan
negara kolonial pada 1942.
Menurut Marieke, polisi di Hindia
Belanda merupakan produk langsung dari ketakutan dan kepedulian. Sejak
1870 masyarakat Eropa mulai membanjiri dan menetap di Hindia Belanda.
Mereka merasa was-was karena bagaimana pun mereka tinggal di sebuah
negeri asing di mana masyarakat di sekeliling mereka punya budaya dan
pemahaman lain atas komunitas kulit putih.
Perlawanan kaum pribumi terhadap
otoritas kolonial sebagaimana terjadi pada 1888 di Banten dan sebelumnya
pada 1854 menjadi catatan tersendiri buat pemerintah kolonial untuk
mendirikan sebuah organisasi kepolisian modern untuk menjaga kepentingan
dan keberadaan mereka di Hindia Belanda. Kemunculan politik etis dan
terciptanya golongan elit pribumi yang menginisiasi gerakan nasionalisme
di Hindia Belanda mendorong pemerintah kolonial lebih aktif
memodernisasi kepolisiannya. Selain sebagai penjaga keamanan juga untuk
“mewujudkan gagasan bahwa urusan keamanan adalah bagian penting dari
kewajiban (penyelenggaraan) negara sekalipun dengan segala cara tetap
ingin mempertahankan status quo kolonial,” tulis Marieke dalam bukunya.
Pemerintah kolonial pun memikirkan
fungsi sosial lain dari kepolisian. Ia harusnya mampu menjaga ketertiban
masyarakat; memastikan masyarakat tetap patuh pada peraturan
pemerintah; dan memuaskan kebutuhan masyarakat akan rasa aman.
Kepolisian di Hindia Belanda dibentuk
sebagai tanggapan dari negeri induk terhadap persoalan bagaimana
memelihara dan menjaga keamanan di negara koloni. Ironisnya, ketika
lembaga kepolisian ini dibentuk, tak ada seorang pribumi pun yang
dimintai masukan tentang bagaimana seharusnya kepolisian bekerja.
Menurut Marieke, ketika 1930 anggota kepolisian mencapai jumlah
terbesarnya, yakni 54 ribu personel, 96 persen di antaranya justru
berasal dari golongan pribumi. Sebagian besar dari mereka, kecuali anak
bupati yang diberi previlese sebagai petinggi polisi, menempati posisi
sebagai anggota terendah dalam struktur kepolisian yang hierarkis.
Film Si Pitung (1970),
disutradarai Nawi Ismail, menggambarkan situasi yang mendekati
kebenaran, di mana kepala polisi yang diperankan Hamid Arif adalah
seorang Belanda sementara anak buahnya terdiri dari pribumi berkulit
sawomatang. Meneer Belanda kepala polisi itu menggunakan perpanjangan
tangan kolonial lain, yakni Demang Meester, untuk menangkap Pitung yang
dianggap selalu meresahkan masyarakat kulit putih di Betawi yang
dipersonifikasi sebagai komunitas penjajah yang menebarkan ketidakadilan
pada rakyat jelata.
Semenjak tahun 1830-an upaya negara
kolonial untuk mengintegrasikan dirinya ke dalam sistem ekonomi
imperialis mulai berkembang. Satu dekade setelah Perang Jawa, investasi
asing mulai masuk dan berwujud dalam berbagai macam industri perkebunan
dan pertambangan. Pemerintah kolonial harus memastikan kalau pihak
swasta penanam modal itu menadapatkan perlindungan dan jaminan keamanan
dari segala gangguan yang bisa sewaktu-waktu datang dari kelompok
pribumi.
Memang pada 1860, pejabat tinggi
kolonial di Hindia Belanda melontarkan kritik pedas pada kinerja
kepolisian yang tak sanggup memelihara keamanan dan ketertiban di
kalangan masyarakat. Menanggapi kritik demikian pemerintah kolonial pun
mendirikan sebuah komisi kepolisian yang memiliki tugas menelaah dan
mencari jalan keluar agar ada perbaikan pada mutu kerja kepolisian.
Apa yang terjadi pada zaman itu
mengingatkan kita pada pembentukan Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) yang didirikan pada 1 Juni 2006. Tugas Kompolnas pun
mirip-mirip dengan komisi kepolisian yang dibentuk pada zaman kolonial,
yakni berupaya meningkatkan kinerja kepolisian Indonesia melalui masukan
dan saran kepada Presiden RI.
Pada zaman kolonial, sebagaimana temuan
Marieke, ternyata polisi pun ambil urusan menangani soal-soal akhlak.
Pada 1937, atas permintaan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.L.
Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, polisi mengadakan penyelidikan
perkara homoseksualitas yang marak terjadi di kalangan pejabat tinggi
pemerintah. Perintah gubernur kepada polisi itu didahului oleh sebuah
surat dari Christelijke Staaprtij (CSP) yang melihat telah banyak dosa
yang dibuat para pejabat tinggi karena menjalankan aktivitas
homoseksual. Kepolisian kolonial pun menebar agen reserse untuk
menangkap homoseksual dan memenjarakan mereka. Menurut Marieke, cara
kepolisian kolonial memberantas homoseksualitas tak jauh berbeda dari
cara mereka memberantas komunisme yang melakukan pemberontakan pada
1926.
Negara Hindia Belanda digambarkan
sejarawan Henk Schulte Nordholdt sebagai negara yang penuh dengan
kekerasan. Karena itu, guna memajukan kepentingan ekonomi dan kekuasaan
politiknya, negara kolonial ini praktis membutuhkan polisi sebagai
perpanjangan tangan pemerintah yang bisa secara aktif menjalankan
kebijakan dan menegakkan “rust en orde” atau keamanan dan ketertiban.
Polisi di era kolonial pada kenyataannya telah merambah ke fungsi lain,
dari sekadar memberikan rasa aman kepada komunitas Eropa dan masyarakat
hingga mencakup persoalan politik dan polisi moral. Peran yang luas dan
menggurita itu membuat sejarawan Harry Poeze menyebut Hindia Belanda
sebagai negara polisi (politiestaat).
Penelitian sejarawan alumnus
Universiteit van Amsterdam itu berhasil memberikan gambaran yang jelas
tentang asal-usul lembaga kepolisian modern di Hindia Belanda sekaligus
memberikan dasar pengetahuan holistik untuk memahami bentuk dan kinerja
kepolisian Indonesia di masa sekarang. Penelitiannya, yang telah
diterbitkan menjadi buku Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan
(Penerbit Buku Kompas, 2011), merupakan jalan masuk yang lempang bagi
sarjana dan peneliti yang hendak menelusuri sekaligus menelaah lembaga
kepolisian dari beragam perspektif keilmuan.