Minggu, 09 Maret 2014

Beberapa fakta C 130 Hercules TNI AU

  ... terjadi penerbangan ferry terjauh untuk semua jenis pesawat terbang, C-130B AURI terbang sejauh 13.000 mil laut melintasi tiga samudera dari pabrikan ke negara operatornya... "
Satu C-130KC dari Skuadron Udara 32 sedang "menyusui" dua pesawat tempur TNI AU saat gladi HUT ke-66 TNI AU, di Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu (7/4). Indonesia operator terbanyak C-130 di belahan selatan Bumi. (FOTO ANTARA/Widodo S Jusuf)

Indonesia tercatat sebagai negara pertama di luar Amerika Serikat yang mengoperasikan C-130 Hercules.

Latar belakangnya adalah Allan Pope, pilot swasta Amerika Serikat yang bisa ditembak jatuh dan ditangkap seturut PRRI/Permesta pada 1958.

Skuadron Udara 31 Hercules Sang Penjelajah terbitan TNI AU, menuturkan, bermula dari kunjungan Presiden Soekarno kepada koleganya, Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy, akhir 1959.

Kennedy berterima kasih atas kesediaan Indonesia melepas Pope, pilot CIA berstatus sipil itu yang memperkuat AUREV-Permesta, yang ditembak jatuh Kapten Udara Penerbang Dewanto, dalam pertempuran udara.

Ini juga satu-satunya dog fight bersenjata dan menang oleh penerbang tempur TNI AU hingga kini.
Kennedy menawarkan "pengganti" Pope kepada Soekarno, dan berdasarkan "keperluan" dari Panglima AU, Laksamana Madya Udara Suryadarma, AURI memerlukan pengganti pesawat transportasi de Havilland Canada DHC-4 Caribou.

Pilihan kemudian C-130B Hercules, dalam kunjungan Soekarno ke pabriknya, Lockheed (belum bergabung dengan Martin).

Akhirnya 10 C-130B bisa diterbangkan secara ferry ke Tanah Air; yang membanggakan, penerbangan-penerbangan itu dilakukan langsung oleh pilot dan awak AURI.

Saat itu, delapan C-130B kargo dan 2 C-130B tanker bisa dibawa ke Pelabuhan Udara Kemayoran, Jakarta.

"Itu menunjukkan bangsa Indonesia disegani dan memiliki posisi tawar yang kuat di mata Amerika Serikat," kata Mersekal Pertama TNI Teguh David, dalam buku itu.

Fakta menyatakan, pendaratan pertama C-130B Hercules ke Tanah Air dilakukan Mayor Udara Penerbang S Tjokroadiredjo, Letnan Muda Udara II A Cargua, Sersan Mayor Udara S Wijono, dan Kapten Udara Navigator The Hing Ho.

Juga Sersan Mayor Udara M Smith, Kapten Udara Penerbang Pribadi, Letnan Muda Udara II Alex Telelepta, Sersan Mayor Udara Ali Nursjamsu, Letnan Muda Udara I Basjir, Letnan Muda Udara I Sukarno, Letnan Muda Udara I Arifin Sarodja, dan Kapten Muda Udara Sasmito Notokusumo.

Fakta selanjutnya, itulah pertama kalinya terjadi penerbangan ferry terjauh untuk semua jenis pesawat terbang, C-130B AURI terbang sejauh 13.000 mil laut melintasi tiga samudera dari pabrikan ke negara operatornya.

Itu juga penerbangan internasional pertama yang 100 persen diawaki personel aktif AURI, dan belum pernah terjadi pada militer lain di dunia saat itu.

Fakta pada penerbangan 18 Maret 1960 itu menjadikan Indonesia operator terbanyak C-130 Hercules di belahan selatan dunia di kemudian hari.

Saat itu, 10 C-130B dimasukkan ke dalam Skuadron Udara Angkut Berat AURI mendampingi Skuadron Udara 2 berintikan C-47 Dakota/Skytrain.

C-130B saat itu menjadi pesawat multiengine perdana di Tanah Air berteknologi turboprop, suatu lompatan teknologi penting dan besar yang ternyata bisa cepat dikuasai putera-putera bangsa.

Hal ini dipuji secara khusus oleh Menteri Keamanan Nasional, Jenderal AH Nasution, dan beberapa petinggi Lockheed.
Dikarenakan jumlahnya cukup banyak, maka pada 19 Februari 1962, didirikanlah Skuadron Udara 31 angkut berat, disusul Skuadron Udara 32 pada 29 Desember 1965. Yang unik, C-130B saat itu kemudian berdampingan dengan Antonov An-12 buatan Uni Soviet di Skuadron Udara 31.

Fakta saat itu, kedua skuadron udara itu (31 dan 32) berpangkalan di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.

Kemudian Skuadon Udara 32 dipindahkan ke Pangkalan Udara Utama 32 Abdulrahman Saleh, Malang, Jawa Timur, pada 1976.

Skuadron Udara 32 sempat dinonaktifkan sejalan penonaktifan Antonov An-12 pada 11 Mei 1965; kemudian diaktifkan lagi pada 11 Juli 1981, yang keseluruhannya berisikan C-130B.

Saat itu, pembagian kekuatan udara di antara kedua skuadron udara adalah enam C-130HS (nomor registrasi A-1317, A-1318, A-1319, A-1320, dan A-1324 plus C-130H/A-1323) untuk Skuadron Udara 31.

Skuadron Udara 32 mendapat dua C-130B (A-1301-A-1313), dua C-130H (A-1315 dan A-1316), dan dua C-130KC (tanker udara, A-1309 dan A-1310).

Sebetulnya, masih ada beberapa varian C-130 Hercules yang dioperasikan TNI AU (kemudian), yaitu satu versi sipil C-130 Hercules, L-100-30, yang lalu dikonversi ke militer (A-1314) dan C-130HS (A-1341) yang didedikasikan pada Skuadron Udara 17 VIP.

A-1314 dan A-1341 dinomori di luar kelaziman, karena jika dijumlah, baik angka 1314 dan 1341 akan menghasilkan angka 9; ini sesuai pemberian langsung dari Menhankam/Panglima ABRI (saat itu), Jenderal TNI M Yusuf.

Fakta menunjukkan, Skuadron Udara 17 VIP merupakan satu-satunya skuadron udara militer di dunia yang mengoperasikan C-130 dan variannya sebagai pesawat terbang VIP kenegaraan resmi.

Skuadron Udara 5 pernah mendapat satu C-130MPH bernomor registrasi A-1322 sebagai pesawat intai maritim yang dijejali sensor elektronika penjejak.

Fakta berikutnya adalah tambahan 12 unit C-130H series yang dibeli pada dasawarsa '80-an, yaitu tiga C-130H (A-1315, A-1316, dan A-1323), satu unit C-130MPH (A-1322), tujuh unit C-130HS (A-1317, A-1318, A-1319, A-1320, A-1321, A-1324, dan A-1341), satu unit L-100-30 (A-1314).

Fakta lain, penambahan pesawat terbang transport berat ini terjadi pada 1995, yaitu dua L-100-30 hibah dari PT Merpati Nusantara Airlines (A-1325 dan A-1326) dan tiga unit L-100-30 dari PT Pelita Air Service  (A-1327, A-1328, dan A-1329).

Sampai saat ini, TNI AU mengoperasikan hingga 28 unit C-130 Hercules dari berbagai varian, terbanyak di belahan selatan dunia.

Jika hibah sembilan unit C-130H Hercules dari Australia telah tiba semuanya, maka akan semakin banyak lagi "koleksi" C-130 Hercules kita, terdaftar hingga 37 unit. 

Sabtu, 08 Maret 2014

Sukarno Ditodong Senjata?

Pengakuan Soekardjo Wilardjito bahwa Sukarno menandatangani Supersemar di bawah todongan senjata dianggap omong kosong.
 
OLEH: HENDRI F. ISNAENI

SOEKARDJO Wilardjito (86), saksi penandatanganan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), meninggal dunia pada 5 Maret 2013.
Pada 22 Agustus 1998, Soekardjo, di kantor LBH Yogyakarta menceritakan bahwa empat jenderal, M. Panggabean, M. Jusuf, Basuki Rachmat, dan Amir Mahmud pada 11 Maret 1966 sekira pukul 01.00 datang menghadap Presiden Sukarno di Istana Bogor untuk meminta menandatangani surat dalam map warna merah jambu.
Pada saat M. Jusuf menyodorkan surat dalam map itu, M. Panggabean dan Basuki Rachmat mengeluarkan pistol. Melihat situasi demikian, Soekardjo selaku anggota pengawal presiden Tjakrabirawa yang sedang menggantikan ajudan presiden Komisaris Besar Polisi Sumirat juga mengeluarkan pistol, tetapi dicegah oleh Sukarno.
Pengakuan Soekardjo dan perjalanan hidupnya sudah dibukukan dalam Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang Pengawal Presiden, terbit 2008.
Karena versi itu dianggap dapat menimbulkan keonaran, Kejaksaan Tinggi Yogyakarta menuntut Soekardjo. Namun, pengadilan memutuskan dia tak bersalah. Kasasi jaksa ditolak Mahkamah Agung dalam keputusannya yang diterima Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada 11 Juni 2008.
Mantan wakil komandan Tjakrabirawa, Maulwi Saelan, mengatakan, “Dia (Soekardjo) itu omong kosong. Tidak ada nama dia dalam Tjakrabirawa,” kata Maulwi kepada Historia.
Menurut Maulwi, ring satu Tjakrabirawa adalah Detasemen Kawal Pribadi dari Kepolisian yang dipimpin Komisaris Polisi Mangil Martowidjojo, ring dua Corps Polisi Militer (CP), serta ring tiga dari infantri Angkatan Darat, marinir (Korps Komando) Angkatan Laut, dan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara. Selain itu, Soekardjo adalah anggota infantri berpangkat letnan dua.
“Yang datang menghadap Sukarno hanya tiga orang, M. Jusuf, Basuki Rachmat, dan Amir Mahmud,” ujar Maulwi. “KASAD M. Panggabean berada di Jakarta.”
Lima hari setelah pengakuan Wilardjito, M. Panggabean membantah dan menyatakan bahwa dirinya tidak ikut menghadap Sukarno. Pada 4 September 1998, M. Jusuf menguatkan bahwa yang menghadap Sukarno hanya dirinya, Basuki Rachmat, Amir Mahmud; dan mereka di sana sampai pukul 20.30.
“Kalau betul mereka baru pulang pukul 20.30, itu memperlihatkan bahwa pembicaraan dengan Sukarno berjalan alot,” tulis sejarawan Asvi Warman Adam dalam Membongkar Manipulasi Sejarah.
Sejarawan Anhar Gonggong juga meragukan kisah Soekardjo. Menurutnya, tidak mungkin seorang prajurit Tjakrabirawa bisa mendekat ke ruangan tidur presiden. Sejarawan Baskara T. Wardaya sependapat dengan Anhar, tetapi dengan alasan lain.
Dalam Mencari Supriyadi Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno, Baskara menulis, sebelum 11 Maret 1966 sudah dikirim dua orang pengusaha yang dekat dengan Sukarno, yaitu Dasaat dan Hasyim Ning untuk membujuk Sukarno menyerahkan pemerintahan kepada Soeharto. Karena upaya itu tidak berhasil, dikirimkan tiga orang jenderal ke Bogor.
“Surat itu dikeluarkan memang dengan tekanan tetapi tidak perlu memakai pistol,” tulis Baskara. “Lagi pula waktu itu Bung Karno masih menjadi presiden, wibawanya belum hilang sama sekali, rasanya tidak ada jenderal yang berani menodongkan pistol kepada beliau.”

Memata-matai Istana dan PKI

Ada mata-mata di lingkaran kelompok komunis maupun Istana.
 
Jusuf Wanandi bersama Presiden Soeharto dan Liem Sioe Liong pada acara pertemuan dengan tokoh-tokoh pengusaha nasional di Tapos, Bogor, 1986. Foto: Sekretariat Negara.
 
OLEH: WENRI WANHAR

JUSUF Wanandi membuka rahasia. Menjelang keruntuhan Sukarno, dia mengumpulkan informasi dari dalam Istana untuk mencari tahu siapa orang yang punya pengaruh kuat terhadap Sukarno. Dia dan kawan-kawan aktivis Katolik juga punya mata-mata di dalam lingkaran kelompok komunis.
Pengakuan Jusuf Wanandi tersebut tertuang dalam memoarnya, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998, yang diluncurkan di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, 20 Februari lalu. Edisi bahasa Inggrisnya, Shades of Grey, sudah terbit pada 2012 di Singapura.
“Banyak kisah dalam buku ini yang orang lain belum tentu mau mengisahkannya,” ujar sejarawan Anhar Gonggong, pembedah buku itu.
Sementara Salim Said, mantan wartawan suratkabar Angkatan Bersenjata, mengatakan, “Buku ini menjadi menarik karena penulisnya, Jusuf Wanandi, terlibat langsung dalam bagian-bagian penting perpolitikan masa itu. Jarang ada buku serupa ini.”
Jusuf Wanandi kala itu aktivis Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Bersama Partai Katolik, PMKRI mengambil sikap antikomunis dan menganggap muslim sebagai sekutu alamiah melawan komunis.
Jusuf masuk Istana sejak 1964 sebagai sekretaris Soejono, wakil ketua II Dewan Pertimbangan Agung (DPA). DPA dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno. Dengan pekerjaan itu, dia mengetahui siapa yang punya pengaruh kuat terhadap Sukarno. Menurutnya, orang tersebut adalah Njoto, orang nomor tiga di jajaran pimpinan PKI.
“Menyaksikan pertemuan-pertemuan sarapan pagi, Njoto memang mempunyai hubungan yang khusus dengan Presiden. Njoto adalah sosok paling intelektual di antara pemimpin PKI. Itulah alasan mengapa dia menjadi salah satu penulis pidato Bung Karno yang paling berpengaruh,” ungkap Jusuf.
Jika Jusuf mengumpulkan informasi di Istana, informan penting lainnya berada di lingkaran pejabat teras PKI. Dia lulusan Universitas Gadjah Mada, menjadi Katolik setelah menikah dengan seorang gadis Katolik. Sebelumnya, dia anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), perkumpulan mahasiswa komunis. Karena pandai, pada 1960 dia dipromosikan menjadi asisten Soedisman, sekretaris jenderal PKI.
“Orang muda yang berani ini –namanya tidak bisa disebut karena sensitif– memberikan informasi kepada kami mengenai apa yang sedang terjadi di dalam tubuh PKI,” kata Jusuf. “Dari informasi-informasi dia, kami tahu bahwa kesimpulan kami tidak terlalu meleset: PKI akan mengambil-alih kekuasaan, bukan dalam waktu lima tahun lagi, melainkan segera. Segera.”
Menurut informan itu, kata Jusuf, sebuah pertemuan sedang direncanakan untuk mengadili kapitalisme birokrat dan spion badan intelijen Amerika Serikat (CIA) di tubuh Angkatan Darat. Untuk itu, Pemuda Rakyat dan Gerwani dilatih kemiliteran di Lanud Halim Perdanakusuma. Mereka ingin mengesankan ada pergolakan di tubuh Angkatan Darat dan peristiwa itu bebas dari jejak PKI.
PMKRI pun melatih dua kelompok kader dari pemimpin mahasiswa dan akademisi di Gunung Sahari untuk melakukan konsolidasi. HMI melakukan hal yang sama di Megamendung, Bogor, di kediaman Wakil Ketua NU Subchan Zaenuri Erfan. “Hanya kami-lah –di antara kelompok nonkomunis– yang melakukan pelatihan seperti ini,” kata Jusuf.
Harry Tjan Silalahi dan IJ Kasimo dari Partai Katolik menghadap dan mengatakan kepada Jenderal AH Nasution bahwa kalangan Katolik sudah mengetahui rencana PKI dan meminta pendapatnya apa yang harus mereka lakukan. Jawaban Nasution mengecewakan.
Peristiwa 30 September 1965 pecah. Di luar dugaan Jusuf dan kelompoknya, tak ada pengadilan rakyat terhadap kapitalisme birokrat dan agen-agen CIA. Yang terjadi adalah pembunuhan terhadap para jenderal.
Dalam memoar ini, Jusuf menyajikan beberapa tafsiran di balik Peristiwa 30 September 1965. Tentu saja dia menempatkan PKI berada di balik peristiwa itu dan membela Soeharto.
Jusuf mengatakan kontak pertama dengan Soeharto terjadi pada 4 Oktober 1965. Harry Tjan dan Subchan bertemu dengan Soeharto di Mabes Kostrad. “Dari sanalah kami menjalin hubungan erat, yang bertahan hingga dua dekade,” kata Jusuf.
Setelah Soeharto berkuasa, Jusuf Wanandi menjadi salah satu pendiri CSIS, lembaga pemikir (think tank) Orde Baru.

Polisi Zaman Kumpeni


Cuma ada tiga polisi jujur di negeri ini: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng.
 
OLEH: BONNIE TRIYANA

DALAM canda yang dilontarkan Gus Dur itu tersimpan kritik pedas bahwa kejujuran di tubuh organisasi kepolisian telah hilang dan menjadi barang langka. Benarkah demikian?
Belakangan ini polisi sedang menghadapi cobaan terberat sepanjang keberadaannya di Republik ini. Perkara Susno Duadji, rekening gendut, hingga yang paling beken Gayus Halomoan Tambunan membuat lembaga kepolisian mendapat sorotan dari masyarakat. Kasak-kusuk tentang kinerja polisi pun sudah beredar luas dari mulut ke mulut dan kuping ke kuping, menyisakan sejumput ragu atas kinerja lembaga kepolisian.
Beberapa ungkapan kekecewaan dan plesetan sindiran terhadap kinerja polisi kerap mewarnai perbincangan di warung kopi: “kehilangan rumah” saat mengurus motor yang dicuri atau KUHP, Kasih Uang Habis Perkara. Begitulah citra polisi di mata masyarakat. Penuh rekayasa dan manipulasi. Bagaimana sebenarnya peran polisi di dalam sejarah? Apakah benar polisi selalu identik dengan rekayasa dan segala tuduhan miring?
Marieke Bloembergen, sejarawan yang bekerja sebagai peneliti di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) di Leiden, Belanda, menulis sebuah buku tebal tentang rekam jejak polisi di Hindia Belanda. Dalam buku terjemahan dari bahasa Belanda setebal 500 halaman lebih itu Marieke membeberkan sejarah polisi di Hindia Belanda sejak awal pembentukannya pada 1897 sampai keruntuhan negara kolonial pada 1942.
Menurut Marieke, polisi di Hindia Belanda merupakan produk langsung dari ketakutan dan kepedulian. Sejak 1870 masyarakat Eropa mulai membanjiri dan menetap di Hindia Belanda. Mereka merasa was-was karena bagaimana pun mereka tinggal di sebuah negeri asing di mana masyarakat di sekeliling mereka punya budaya dan pemahaman lain atas komunitas kulit putih.
Perlawanan kaum pribumi terhadap otoritas kolonial sebagaimana terjadi pada 1888 di Banten dan sebelumnya pada 1854 menjadi catatan tersendiri buat pemerintah kolonial untuk mendirikan sebuah organisasi kepolisian modern untuk menjaga kepentingan dan keberadaan mereka di Hindia Belanda. Kemunculan politik etis dan terciptanya golongan elit pribumi yang menginisiasi gerakan nasionalisme di Hindia Belanda mendorong pemerintah kolonial lebih aktif memodernisasi kepolisiannya. Selain sebagai penjaga keamanan juga untuk “mewujudkan gagasan bahwa urusan keamanan adalah bagian penting dari kewajiban (penyelenggaraan) negara sekalipun dengan segala cara tetap ingin mempertahankan status quo kolonial,” tulis Marieke dalam bukunya.
Pemerintah kolonial pun memikirkan fungsi sosial lain dari kepolisian. Ia harusnya mampu menjaga ketertiban masyarakat; memastikan masyarakat tetap patuh pada peraturan pemerintah; dan memuaskan kebutuhan masyarakat akan rasa aman.
Kepolisian di Hindia Belanda dibentuk sebagai tanggapan dari negeri induk terhadap persoalan bagaimana memelihara dan menjaga keamanan di negara koloni. Ironisnya, ketika lembaga kepolisian ini dibentuk, tak ada seorang pribumi pun yang dimintai masukan tentang bagaimana seharusnya kepolisian bekerja. Menurut Marieke, ketika 1930 anggota kepolisian mencapai jumlah terbesarnya, yakni 54 ribu personel, 96 persen di antaranya justru berasal dari golongan pribumi. Sebagian besar dari mereka, kecuali anak bupati yang diberi previlese sebagai petinggi polisi, menempati posisi sebagai anggota terendah dalam struktur kepolisian yang hierarkis.
Film Si Pitung (1970), disutradarai Nawi Ismail, menggambarkan situasi yang mendekati kebenaran, di mana kepala polisi yang diperankan Hamid Arif adalah seorang Belanda sementara anak buahnya terdiri dari pribumi berkulit sawomatang. Meneer Belanda kepala polisi itu menggunakan perpanjangan tangan kolonial lain, yakni Demang Meester, untuk menangkap Pitung yang dianggap selalu meresahkan masyarakat kulit putih di Betawi yang dipersonifikasi sebagai komunitas penjajah yang menebarkan ketidakadilan pada rakyat jelata.
Semenjak tahun 1830-an upaya negara kolonial untuk mengintegrasikan dirinya ke dalam sistem ekonomi imperialis mulai berkembang. Satu dekade setelah Perang Jawa, investasi asing mulai masuk dan berwujud dalam berbagai macam industri perkebunan dan pertambangan. Pemerintah kolonial harus memastikan kalau pihak swasta penanam modal itu menadapatkan perlindungan dan jaminan keamanan dari segala gangguan yang bisa sewaktu-waktu datang dari kelompok pribumi.
Memang pada 1860, pejabat tinggi kolonial di Hindia Belanda melontarkan kritik pedas pada kinerja kepolisian yang tak sanggup memelihara keamanan dan ketertiban di kalangan masyarakat. Menanggapi kritik demikian pemerintah kolonial pun mendirikan sebuah komisi kepolisian yang memiliki tugas menelaah dan mencari jalan keluar agar ada perbaikan pada mutu kerja kepolisian.
Apa yang terjadi pada zaman itu mengingatkan kita pada pembentukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang didirikan pada 1 Juni 2006. Tugas Kompolnas pun mirip-mirip dengan komisi kepolisian yang dibentuk pada zaman kolonial, yakni berupaya meningkatkan kinerja kepolisian Indonesia melalui masukan dan saran kepada Presiden RI.
Pada zaman kolonial, sebagaimana temuan Marieke, ternyata polisi pun ambil urusan menangani soal-soal akhlak. Pada 1937, atas permintaan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, polisi mengadakan penyelidikan perkara homoseksualitas yang marak terjadi di kalangan pejabat tinggi pemerintah. Perintah gubernur kepada polisi itu didahului oleh sebuah surat dari Christelijke Staaprtij (CSP) yang melihat telah banyak dosa yang dibuat para pejabat tinggi karena menjalankan aktivitas homoseksual. Kepolisian kolonial pun menebar agen reserse untuk menangkap homoseksual dan memenjarakan mereka. Menurut Marieke, cara kepolisian kolonial memberantas homoseksualitas tak jauh berbeda dari cara mereka memberantas komunisme yang melakukan pemberontakan pada 1926.
Negara Hindia Belanda digambarkan sejarawan Henk Schulte Nordholdt sebagai negara yang penuh dengan kekerasan. Karena itu, guna memajukan kepentingan ekonomi dan kekuasaan politiknya, negara kolonial ini praktis membutuhkan polisi sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang bisa secara aktif menjalankan kebijakan dan menegakkan “rust en orde” atau keamanan dan ketertiban. Polisi di era kolonial pada kenyataannya telah merambah ke fungsi lain, dari sekadar memberikan rasa aman kepada komunitas Eropa dan masyarakat hingga mencakup persoalan politik dan polisi moral.  Peran yang luas dan menggurita itu membuat sejarawan Harry Poeze menyebut Hindia Belanda sebagai negara polisi (politiestaat).
Penelitian sejarawan alumnus Universiteit van Amsterdam itu berhasil memberikan gambaran yang jelas tentang asal-usul lembaga kepolisian modern di Hindia Belanda sekaligus memberikan dasar pengetahuan holistik untuk memahami bentuk dan kinerja kepolisian Indonesia di masa sekarang. Penelitiannya, yang telah diterbitkan menjadi buku Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan (Penerbit Buku Kompas, 2011), merupakan jalan masuk yang lempang bagi sarjana dan peneliti yang hendak menelusuri sekaligus menelaah lembaga kepolisian dari beragam perspektif keilmuan.

Barak-barak Soeharto



BILA dalam teks-teks biografi Soeharto selama ini terdapat sejumlah kejanggalan dan pengakuan yang tak masuk akal, terutama mengenai karier militernya selama pendudukan Jepang, David Jenkins mengurainya dalam buku ini.
Jenkins seorang wartawan-cum-peneliti asal Australia yang memiliki daya jelajah luas sehingga berhasil mewawancarai sejumlah perwira militer Jepang yang sempat bersinggungan dekat dengan Soeharto. Dia kali pertama mempublikasikan risetnya ini dalam jurnal terbitan Cornell University, Indonesia, dengan judul “Soeharto and The Japanese Occupation” pada Oktober 2009.
Sebagai wartawan The Sidney Morning Herald, Jenkins bukanlah sosok asing lagi dalam tautannya dengan Soeharto. Dia salah satu dari segelintir wartawan yang pernah mewawancarai Soeharto. Artikelnya pada 10 April 1986 yang berjudul “After Marcos, Now for the Suharto Billion” sempat membuatnya dicekal masuk Indonesia sampai 1994. 
Seperti penelitian Jenkins sebelumnya, Soeharto and His Generals: Indonesian Military Politics, dalam buku ini tak ada petikan wawancara dengan Soeharto. Tak mudah mendapatkan kesempatan wawancara empat mata dengan tokoh kontroversial itu, terlebih wawancara soal politik (Orde Baru). Untung, ada sejumlah buku dan artikel tentang Soeharto yang membantu Jenkins melacak karier militer Soeharto pada masa pendudukan Jepang (Maret 1942-Agustus 1945).
Tahun 1942 menjadi momen akhir sekaligus awal bagi karier kemiliteran Soeharto: masa akhir sebagai serdadu KNIL (Koninklijke Nederlandsch-Indisch Leger) dan awal karier sebagai perwira Peta (Pembela Tanah Air). Sebelum mendaftar Peta, Soeharto sempat masuk dalam korps kepolisian Jepang. Dia menjalani pelatihan selama tiga bulan, lalu ditempatkan di Yogyakarta. Setahun lamanya Soeharto menghabiskan waktu dalam institusi yang sangat ditakuti rakyat masa itu. Di sinilah Soeharto ditempa dalam disiplin tinggi, otoriter, dan paternalis. 
Selama berdinas di Yogya, Soeharto ingat pangkatnya adalah keibuho (inspektur polisi). Inilah yang dicatat Jenkins dari keterangan Soeharto sendiri dalam buku OG Roeder ) The Smiling General: President Soeharto of Indonesia dan otobiografi Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Keibuho merupakan jenjang kepangkatan keempat dalam tangga promosi setelah anggota polisi (junsa), polisi senior (junsacho), lalu sersan polisi (junsabucho). Menurut penelusuran Jenkins, di Jepang saja, pangkat keempat hanya bisa disandang perwira polisi yang berpengalaman atau pemuda lulusan universitas –dan selalu Universitas Kekaisaran Tokyo (kini Universitas Tokyo). 
Jenkins menduga, Soeharto salah menyebutkan istilah Jepang untuk menunjuk kesatuan polisi (keimubu) dengan keibuho. Jenkins pun sangsi atas keterangan Soeharto yang sukses menyembunyikan fakta sebagai bekas KNIL ketika mendaftar sebagai polisi Jepang. Kecuali, Jepang benar-benar terpesona dengan kepintaran Soeharto –di tengah keterbatasan jumlah pribumi terdidik yang diharapkan mendaftar dalam kesatuan polisi. Dan, itu pun tak cukup menghalangi tangga kehidupan Soeharto berikutnya sebagai prajurit Peta. 
Pada Oktober 1943, Soeharto mendaftar sebagai tentara sukarela Peta. Sekelompok pemuda Indonesia memperoleh kursus militer dalam waktu singkat sebagai kekuatan perang cadangan bila Sekutu menyerang Jepang, yang diperkirakan dari pesisir selatan Jawa. Hingga Peta dilucuti senjatanya oleh Jepang pada Agustus 1945, praktis keseharian Soeharto hanya beranjak dari satu barak pelatihan ke barak lainnya. Dia bukan sosok yang taktis untuk mengambil kesempatan dari pembentukan Peta sebagai kekuatan “pemberontak” layaknya Supriyadi. 
Enam minggu pertama setelah dinyatakan lolos, Soeharto menjalani pemusatan pelatihan komandan peleton (shodancho) di Bogor, bersama 230 calon shodancho dari Jawa Tengah di Kompi Empat. Setiap perwira Peta mengenang periode pelatihan keras itu, yang pada akhir 1944 melahirkan 37.000 tentara dari golongan pribumi. Tak salah bila Peta kemudian menjadi anatomi angkatan bersenjata Indonesia pascaproklamasi. Para perwiranya pun mengisi jabatan tinggi dalam militer Indonesia selama 30 tahun pertama. 
Walau bukan lulusan terbaik Peta, Soeharto termasuk sedikit shodancho yang dipercayai militer Jepang. Dari 10 Mei sampai 10 Agustus 1944, Soeharto “ditarik kembali” ke Bogor untuk menjalani pelatihan sebagai komandan kompi (chudancho), yang akan membawahkan tiga peleton. Soeharto pun tercatat sebagai komandan yang selama lima bulan (dari Maret sampai Agustus 1945) melatih sisa-sisa prajurit batalyon Peta Blitar, yang sudah tak dipersenjatai dan ditepikan di kaki Gunung Wilis menyusul aksi “pemberontakan” pada Februari 1945. 
Maka, kalau dalam berita Watashi no rirekisho (Sejarah Pribadi Saya) yang dimuat koran Nihon Keizai Shimbun pada 6 Januari 1998, Soeharto memoles citranya sebagai orang yang diamat-amati Kenpeitai (polisi militer Jepang) lantaran bersikap kritis terhadap Jepang, tak sedikit mantan perwira militer Jepang yang menyangkalnya. Marimoto Takeshi, penulis buku Jawa boei giyugun-shi (Sejarah Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa) yang juga bekas tentara Jepang, mengatakan, “Semua orang, termasuk saya sendiri, diawasi oleh Kenpei. Jadi dia bukan satu-satunya.” Soeharto memang tak ingin kita mengenalnya bukan dari siapa dia melainkan dari bagaimana dia ingin kita mengenalnya.
Dalam konteks keikinian, terutama di tengah pasang-surut wacana penyematan gelar pahlawan kepada Soeharto, buku ini amat berguna sebagai bahan pertimbangan objektif. Selama beberapa tahun terakhir, wacana tersebut selalu mengemuka dan pandangan pro-kontra tak pernah berhenti bergulir. Kelak, tak ada jaminan perdebatan serupa bakal tutup buku atau minimal dipandang tak perlu diulang-ulang.
Yang jelas, Jenkins menutup buku ini dengan kesimpulan sinis. Dia melihat sosok Soeharto sebagai orang yang “mengabdi pada dua kubu militer” (Belanda dan Jepang) justru saat para tokoh nasionalis Indonesia tengah jatuh-bangun meniti kemerdekaan republik. Soeharto “mendapat cukup makanan, pakaian yang baik, dan gaji yang bagus” justru ketika rakyat Indonesia tersungkur dalam kemelaratan oleh praktik kerja paksa Jepang (romusha). 
Kontras seperti itu tentu tak bisa ditelan mentah-mentah dan dipahami sebagai realitas sejarah an sich. Jenkins, biarpun tekun meneliti sosok Soeharto, bukanlah seorang dokumentator dan sejarawan murni. Acapkali dia terjebak untuk memungkasi tulisan dengan kalimat-kalimat spekulatif dan berani. 
Semisal ketika menulis, Soeharto “pasti akan dipandang dengan penuh skeptisisme oleh para pemimpin nasionalis, sebagian karena dia pernah berdinas di KNIL dan sebagian karena dukungannya tanpa kritik terhadap apa yang mereka anggap sebagai fasisme Jepang”. Padahal buku ini jelas tak sedang mendalami hubungan Soeharto dengan kelompok nasionalis pada masa-masa sensitif dan tak keruan di awal pembentukan republik. 
Di luar itu, riset Jenkins ini tak memberi ruang secara menyeluruh, kalau memang dipersoalkan, terhadap orang-orang di lingkaran keluarga Soeharto. Jenkins tak memasukkan mereka dalam daftar narasumber yang diwawancarai. Baik dari anggota keluarga setelah Soeharto menikah dan membangun dinasti politik Orde Baru maupun anggota keluarganya semasa muda. Tentu hal itu tak lepas dari sosok Soeharto sebagai pribadi yang cenderung tertutup dan tak ingin diketahui masa lalunya.

Historia.

Sukarno dan Yakuza

Sukarno pernah dikawal yakuza. Petinggi yakuza sekaligus agen CIA kemudian menyalurkan dana untuk menggulingkan Sukarno.


PRESIDEN Sukarno berencana mengunjungi Jepang awal 1958. Konsul Jenderal Indonesia di Tokyo, Iskandar Ishak, kelabakan mencarikan pengamanan yang memadai. Padahal beredar rumor bahwa kelompok anti-Sukarno diam-diam masuk Jepang dan mencoba membunuhnya.
“Kelompok itu diduga dari PRRI/Permesta,” kata sejarawan Aiko Kurasawa kepada Historia beberapa waktu lalu. Namun, lanjut Aiko, Kepolisian Tokyo menolak menyediakan pengamanan dengan dalih Sukarno melakukan kunjungan tidak resmi.
Menurut Masashi Nishihara dalam Japanese and Sukarno’s Indonesia: Tokyo-Jakarta Relations, 1951-1966, orang kepercayaan Sukarno, Kolonel Sambas Atmadinata, menteri muda urusan veteran, menghubungi kawannya semasa perang, Oguchi Masami. Dari Masami, dia mendapat saran menggunakan pengawal pribadi. Mengikuti saran ini, Ishak meminta Yoshio Kodama, tokoh sayap kanan dan organisasi bawah tanah yakuza.
Kodama menyerahkan tugas itu kepada salah satu pengikutnya yang menonjol, Kobayashi Kusuo. Kobayashi adalah direktur utama Dai Nihon Kyogyo, perusahaan konstruksi Jepang –diduga kedok dari organisasi bawah tanah “Polisi Ginza” yang berkuasa di distrik Ginza, Tokyo. Kobayashi juga penasihat kelompok patriotik kekaisaran, Kusunoki Kodotai.
“Kobayashi setuju untuk merekrut duapuluh anggota kelompok ini untuk menjaga Sukarno,” tulis Nishihara. “Kubo Masao kemudian diminta bertindak sebagai penghubung antara para gangster, polisi, dan presiden. Dia dipilih mungkin karena dia bisa berbicara bahasa Inggris dan bos Kobayashi, Kodama, adalah dewan direksi perusahaan milik Kubo, Tonichi Trading Company.”
Keamanan Presiden Sukarno dan rombongannya pun terjamin selama delapan hari di Jepang. Selain itu, Sukarno mendapatkan hiburan dari perempuan-perempuan cantik. Dengan pengamanan dan hiburan yang diberikannya, Tonichi Trading Company mendapat banyak proyek pembangunan di Indonesia yang didanai dari pampasan perang.
Di balik semua itu, Kodama bukan hanya menggandeng sayap kanan dan yakuza tapi juga dinas intelijen Amerika Serikat (CIA). Kodama adalah bekas penjahat perang yang kemudian menjadi agen CIA. Dia juga salah seorang pendiri Liga Antikomunis Rakyat Asia.
Menurut Robert Whiting dalam Tokyo Underworld, Kodama menyalurkan dana CIA secara rahasia kepada orang-orang Partai Liberal Demokrat (LDP) dan kelompok-kelompok antikomunis. Dana tersebut berasal dari perusahaan pembuat pesawat terbang Amerika Serikat, Lockheed Aircraft Corporation.
Selama puluhan tahun Lockheed mengalirkan uang lebih dari US$12,6 juta dolar ke Jepang; sebagian besar digunakan untuk menyuap tokoh-tokoh politik terkuat di Jepang. Tujuannya untuk memuluskan penjualan pesawat Lockheed senilai US$1 milyar ke perusahaan All Nippon Airlines dan Badan Pertahanan Jepang.
Ketika Sukarno berkunjung ke Jepang, Kodama mendapat tugas menyediakan hiburan dan memberikan penilaian tentang potensi Sukarno sebagai pemimpin nasionalis populer beralih menjadi komunis. “Kodama juga merupakan salah satu pemrakarsa pernikahan Presiden Sukarno dengan Naoko Nemoto atau dikenal dengan nama Dewi Sukarno,” tulis Whiting.
Menurut Peter Dale Scott dalam American War Machine, penggulingan Presiden Sukarno pada 1965 dicapai sebagian oleh bantuan rahasia melalui dana Lockheed Corporation dan sebagian lagi oleh intervensi Ryoichi Sasakawa, seorang agen CIA berpengaruh, bersama temannya Yoshio Kodama, serta yakuza di Jepang.
Pada Mei 1965, lima bulan sebelum kudeta anti-Sukarno pada September 1965, dana Lockheed dialirkan melalui dua perantara yang mendukung Jenderal Suharto. “Setelah CIA mendukung kudeta dan pembantaian tahun 1965 serta melihat penggantian Sukarno oleh Suharto, salah satu dari dua perantara tersebut, Mohamad ‘Bob’ Hasan menjadi salah satu dari dua sekutu keuangan terkemuka keluarga Suharto,” pungkas Scott.

Mengintip Kapal Selam kelas Kilo buatan Jerman.

 
(U-212A Project)
Yaa judul diatas agak janggal  kita ambil dari press realese Dispenarmatim dalam berita berkaitan Komando Armada RI Kawasan Timur yang akan menggelar kekuatan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) TNI AL dalam waktu dekay di dermaga Koarmatim Ujung Surabaya. Berikut petikan beritanya
” Kemudian kapal perang jenis korvet,frigate,destroyer vanspeilk kapal patroli cepat (Fast Patrol Boat) buatan PT PAL Indonesia, Kapal Cepat Rudal dan Kapal Cepat Torpedo (KCT),kapal Penyapu Ranjau,dan Buru Ranjau (BR),kapal bantu,Kapal Selam Kelas Kilo buatan Jerman dan berbagai macam kapal perang lainnya  “
Semua formiler tahu Kapal selam jenis Kilo adalah buatan Rusia dan menimbulkan pertanyaan kapal selam yang mana yang dimaksut oleh dispenarmatim yang jelas jelas Tahu akan seluk beluk alutsista yang dipakai dalam lingkungannya karena mereka usernya
 
Kapal Selam Kilo Indonesia
Dalam release resmi terakhir pengadaan kapal selam jenis killo masih dalam tahap peninjauan team TNI AL ke pangkalan  Northen Fleet Rusia pada february lalu dan belum diputuskan akan mengambil berapa buah kapal selam killo dari yang dihibahkan.Sehingga bila menganut statemen resmi dari pemerintah maka KS Kilo belum berenang diwilayah kedaulatan kita danbelum menjadi alutsista TNI AL
Sedangkan bila  menurut analisa dan  rumor yang berkembang di forum militer bahwa KS kilo sudah beroperasi dan sudah lama menjadi Arsenal TNI AL ,,ada yang menyimpulkan TNI AL sudah mempunyai 2 unit KS Killo bekas dan 2 unit KS Improve Killo 936 yang terakhir datang pada tahun 2013 tetapi Informasinya dirahasiakan. Bila memang Informasinya dikeep keberadaan nya dirahasiakan kenapa KS Killo akan ditampilkan di gelar alutsista TNI AL?
 
Kapal selam kelas Kilo buatan Jerman (disingkat menjadi KSK2BJ)
Yang menarik adalah mengulas kapal selam jenis ini. Bila Informasi ini merupakan jenis informasi Background dari pemerintah maka kita hanya bisa menganalisanya,Analisanya adalah yang dimaksut oleh Dispenarmatim itu KS setara Killo buatan Jerman, Jenis Ks buatan Jerman yang setara dengan Ks Kilo adalah KS type U 212/U 214
Kapal selam U212 adalah pengembangan dari kapal selam U209 yang ber AIP. Kapal selam baru buatan Jerman U-212 A ini hampir tidak bersuara. Juga hampir tidak memancarkan radiasi panas dan sepenuhnya terbuat dari logam non magnetik. U-212 A merupakan kapal selam tercanggih di dunia karena menggunakan sel bahan bakar hidrogen yang dikembangkan oleh galangan kapal angkatan laut Jerman Howaldtswerke Deutsche Werft, yang mengklaim itu menjadi “puncak teknologi kapal selam Jerman.”
Kapal super-stealth ini adalah yang pertama dari jenisnya yang akan diaktifkan oleh sel bahan bakar hidrogen revolusioner yang memungkinkan itu pelayaran tanpa kebisingan atau knalpot panas. Desain struktur sirip kemudi belakang yang berbentuk silang atau huruf “X”, mampu menyelam di perairan dangkal, bahkan hingga kedalaman hanya 15 m! Cocok sekali buat peran “sea denial” ALKI dengan kedalaman laut dangkal . Lambung atau hull menggunakan non magnetic steel, dilengkapi dengan anechoic tiles atau pelapis penyerap gelombang akustik.
Menurut Bernd Arjes, seorang kapten di Angkatan Laut Jerman. ”Kami beroperasi di perairan pesisir sekitar Eropa dan kapal selam ini dirancang khusus untuk menemukan kapal selam.Jika Anda ingin menemukan kapal selam lain tentu saja anda harus tak bersuara,” katanya. Dengan teknologi terbaru, ia menambahkan, “Kapal selam ini hampir tidak terdeteksi.”U-212 A tidak seperti kapal selam konvensional, yang perlu udara untuk membakar solar, fuel cell tidak memerlukan oksigen untuk beroperasi. Ini berarti dapat tetap terendam selama berminggu-minggu – menahan napas berkali-kali lebih lama dari sepupu kapal selam yang menenggak solar.Sebagai kapal selam pemukul kapal selam dipersenjatai 12 torpedo kelas berat yang dipandu, masing-masing mampu menghancurkan sebuah kapal perang atau menonaktifkan sebuah kapal induk.
Setelah Angkatan Laut Italia memesan 2 unit KS U 212 A versi ekspor selanjutnya diberi nama type U 214 yang dieksport ke beberapa negara diantaranya Yunani,Korea selatan,Turki dan Portugal .
 
KS U214 Yunani
Kontrak pertama ketika HDW memenangkan tender pembuatan tiga kapal selam diesel kelas U214 dan satu option dibawah program Archimedes pada Februari 2000. Kontrak ini merupakan kontrak pertama untuk kelas U214. Kapal selam dilengkapi dengan sistem AIP (Air-Independent Propulsion) membuat sebuah kapal selam diesel mampu beroperasi dibawah permukaan air lebih lama.ThyssenKrupp Marine Systems (TKMS) sebagai induk perusahaan HDW membeli HSY pada Januari 2005, menanamkan investasi yang besar untuk memodernisasi galangan kapal tersebut agar mampu membangun kapal selam modern. Saat ini, HSY menjadi galangan kapal selam konvensional terbesar dan termaju di kawasan Mediterania.Kapal selam pertama dibangun di HDW sedangkan sisanya dibangun di HSY. Konstruksi kapal selam pertama dimulai Februari 2001 dan diluncurkan di Kiel April 2004. Kapal selam pertama diberi nama HS Papanikolis S120, sedangkan kapal ketiga dan selanjutnya diberi nama HS Pipinos S121, HS Matrozos S122, dan HS Katsonis S123.
Pemerintah Yunani menolak menerima kapal selam pertama HS Papanikolis S120 dari HDW pada 2006, dengan alasan ditemukan masalah teknis dan rancangan yang cacat. AL Yunani menemukan kinerja sistem AIP yang buruk, sistem pertempuran ISUS bermasalah, isu sistem hidraulik serta buruknya kemampuan muncul dipermukaan pada high sea. AL Yunani meminta HDW untuk memperbaiki kelemahan tersebut.HDW telah melakukan perbaikan pada HS Papanikos, tetapi kapal selam masih berada di dok di Kiel sejak 2006, menunggu pemerintah Yunani menerimanya. Akan tetapi Yunani tetap tidak menerima meskipun kapal selam telah memenuhi persyaratan bahkan dalam beberapa kasus ada yang melebihi. Sebagai tambahan HS Papanikos telah mendapatkan sertifikasi dari Bundesamt für Wehrtechnik und Beschaffung (BWB).HDW meminta pembayaran HS Papanikos Juli 2007 tetapi Yunani menolak membayarnya. HDW dan HSY mengadakan beberapa kali pertemuan dengan pemerintah Yunani lebih dari dua tahun tetapi tidak diperoleh penyelesaian. Kedua perusahaan bermaksud mencatatkan masalah ini ke arbitrase internasional.Sementara itu, tiga kapal lainnya dilaporkan telah berada pada tahap akhir penyelesaian. HS Pipinos diluncurkan April 2007, HS Matrozos 2008 dan terakhir HS Katsonis 2008. HS Okeanos S118 merupakan kapal selam pertama yang yang diluncurkan di HSY setelah dimodernisasi di bawah program Neptune II pada 26 Februari 2009.
Sebuah situs pertahanan Yunani memberitakan pada  28 Mei 2009,KASAL Yunani Laksamana George Karamalikis mengatakan AL Yunani akan menerima tiga kapal selam yang dibuat di HSY sedangkan Papanikos tidak akan diterima, sebagai gantinya akan dipesan satu kapal selam baru untuk memenuhi kebutuhan empat unit. HDW diijinkan untuk MENJUAL Papanikos kepada negara lain. Karena alasan sesungguhnya Yunani lagi dilanda resesi ekonomi berat sehingga tidak sanggup membayar pembelian Kapal selam tersebut,
HS Papanikos di HDW, Kiel, Jerman (Foto: evworld.com)
 
Andai KS kelas Kilo buatan Jerman itu HS Papanikolis S120
Indonesia sebagai negara pengguna KS U209 dan mempunyai hubungan baik dengan pemerintahan Jerman pastinya ditawari Kapalselam U214 yang tidak terbayar milik Yunani tersebut.
Kedatangan Presiden SBY ke Jerman pada tahun 2013 menghasilkan beberapa kesepakatan pembelian alutsista.yang diungkap ke publik diantaranya pembelian 103 MBT Tank Leopard dan 50 unit Marder,18 unit Pesawat Latih Grob,pembelian material khusus untuk pasukan khusus dan pemeliharaan batery kapal selam.dan menghasilkan sebuah Memorandum of Understanding (MoU) kegiatan dalam bidang pertahanan.sedangkan pembelian alutsista strategis lainnya bisa saja tidak diungkap ke publik karena Inodnesia dan Jerman mempunyai MOU perlindungan Informasi
“Telah ditandatangani MoU tentang perlindungan informasi guna keperluan pengembangan industri pertahanan agar keperluan informasi industri pertahanan dapat dikelola dan dijaga oleh kedua pihak,” ujar Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin dalam keterangannya di Berlin, Jerman, pada hari Selasa tgl 5/3/2013
Bila kontrak pembelian KS U214 eks Yunani tersebut di buat pada tahun 2013 maka pada tahun ini 2014 adalah saat kedatangan Ks setara Kilo buatan Jerman dan ikut gelar alutsista TNI AL Sebelum dikirim pastinya Pihak TNI AL menginginkan perubahan perubahan speck sesuai yang diinginkan,misal penginstalan missile IDAS. IDAS (Interactive Defense and Attack System for Submarines) adalah misil anti pesawat pertama di dunia yang bisa ditembakkan dari bawah permukaan laut. IDAS menjadi salah satu ancaman P8 Poseidon karena jangkauannya cukup jauh, 20 km.
Gelar kekuatan Alutsista TNI AL pada minggu depan adalah ajang pergelaran Alutsista yang sudah dimiliki TNI AL pada periode 2004-2014. Gelar tersebut sebagai bentuk Inspeksi kesiapan Alutsista TNI AL dalam menjaga keutuhan NKRI dan Kita akan menunggu manuver KS kelas Kilo buatan Jerman atau dengan cal sign KSK2BJ
Sebagai rakyat yang cinta akan TNI yang kuat menuju Indonesia jaya tidak akan menolak bila Pemerintah mengambil kebijakan membeli KS U214 eks Yunani mengekor sukses  pembelian Usman Harun Class. – (By Satrio)