Negara kepulauan RI adalah kepulauan/archipelago
terbesar di dunia bercokol di khatulistiwa (lihat Gambar 1), dengan
17000 pulau besar kecil. Wilayah Indonesia terbentang dari Barat ke
Timur sepanjang 6400 km di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik,
dan dari Utara ke Selatan sepanjang 2600 km di antara Laut China Selatan
dan Samudra Hindia.
Kedaulatan Negara
Deklarasi Juanda
Pemerintah Indonesia telah mendeklarasikan Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 yang isinya “…berdasarkan
pertimbangan, maka pemerintah Indonesia menyatakan segala perairan di
sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau termasuk negara
Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian bagian
yang wajar daripada wilayah daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia
..‘’.
Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Pada tanggal 21 Maret 1980 Indonesia mengumumkan ZEE. Batas Zona Ekonomi
Eksklusif adalah wilayah laut Indonesia selebar 200 mil yang diukur
dari garis pangkal laut wilayah Indonesia
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
Pemerintah Indonesia pada tahun 1982 ikut aktif dalam konvensi Hukum
Laut Internasional, UNCLOS (United Nations Covention on the Law of the
Sea) dan dipertegas lagi dengan meratifikasinya melalui UU No 17, tahun
1985. Dengan telah di berlakukannya UNCLOS, Indonesia diakui sebagai
negara kepulauan yang dipandang sebagai sesuatu kesatuan wilayah negara
yang utuh. Sebagai konsekuensinya, maka Indonesia diwajibkan memberikan
akses hak lintas damai menyediakan jalur ALKI (Alur Laut Kepulauan
Indonesia). Implementasinya ditetapkanlah Peraturan pemerintah no 37
tahun 2002, yang isinya memberikan kepastian hukum penetapan ALKI
menjadi 3 jalur (lihat gambar 2), yaitu ;
ALKI I : Selat Sunda, Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan.
ALKI II : Selat Lombok, Selat Makassar, dan Laut Sulawesi.
ALKI III-A & B : Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda (Barat Pulau Buru)-Laut Seram (Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku, Samudera Pasifik.
ALKI III-C : Laut Arafuru, Laut Banda terus ke utara ke utara ke ALKI III-A.
Gambar 2 adalah Peta ALKI berikut wilayah kedaulatan Indonesia
mencakup Deklarasi Juanda, Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen
termasuk laut, udara dan daratan di dalamnya.
Sistem Pertahanan Nasional
Sistem pertahanan nasional Indonesia adalah Sistem Pertahanan Rakyat
Semesta (Total Defense), dengan memperhatikan kondisi geografis
Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki Alur Laut Kepulauan
Indonesia (Andi Widjajanto, GELAR PERTAHANAN INDONESIA). Strategi
pertahanan Indonesia adalah Strategi Pertahanan Berlapis (Layered
Defense) :
1. Zona Pertahanan I : zona Penyangga. Berada di luar batas Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia hingga wilayah musuh.
2. Zona Pertahanan II: zona Pertahanan Utama. Zona ini meliputi wilayah
antara garis pantai kepulauan Indonesia dan batas ZEE, termasuk ALKI.
3. Zona Pertahanan III: zona Perlawanan mencakup seluruh wilayah darat
Indonesia namun diprioritaskan kepada pulau-pulau besar di Indonesia.
Zona Pertahanan I meliputi operasi militer bersifat seluruhnya
ofensif preventive dan preemptive. Zona Pertahanan II meliputi operasi
militer ofensif defensif, sedangkan Zona Pertahanan III adalah langkah
terakhir pertahanan daratan.
Perbatasan Kritis/Critical Border
Bila ditinjau dari perjalanan sejarah dunia, maka ternyata penyebab
perang terbanyak adalah perang yang dimulai dari sengketa perbatasan
(border dispute).
Hakikat dari sistem pertahanan negara terkadang dapat diartikan
sebagai membangun pagar disepanjang perbatasan. Realita menjelaskan
bahwa tidaklah mungkin satu negara mampu memagari seluruh kawasan
perbatasannya dengan pagar, disamping memang tidak akan efisien. Itu
sebabnya, maka dipilih hanya daerah perbatasan yang kritits saja
diusahakan untuk dipagari.
Demikianlah, maka dikenal beberapa pagar dikawasan perbatasan kritis
seperti “the great wall” tembok China, dan pada zaman sekarang first
island dan second island chain serta ADIZ, yaitu berupa “pagar imajiner”
di daerah perbatasan kritis yang membentengi negara. Semua itu adalah
contoh dari bagaimana konsep pagar disepanjang daerah perbatasan yang
kritis telah menjadi prioritas atau bagian utama dari satu sistem
pertahanan.
Bagaimana dengan Indonesia ? Secara garis besar, dapat dilihat dengan
jelas bahwa Indonesia memiliki tiga kawasan perbatasan kritis yaitu di
Selat Malaka, Laut China Selatan dan di daerah perbatasan selatan timur
yang menghadap ke Benua Australia. Selat Malaka merupakan kawasan
perairan yang berbatasan dengan banyak negara tetangga disamping
merupakan jalur lintas laut yang paling sibuk di dunia. Sedangkan Laut
China Selatan adalah merupakan kepanjangan dari lalu lintas laut Selat
Malaka, disamping diprediksi mempunyai kandungan migas yang besar,
sehingga sekarang menjadi zona sengketa perbatasan China dengan
negara-negara Asean yang berbatasan dengan Laut China Selatan. Batas
Zona Ekonomi Eksklusif juga dapat dianggap sebagai “pagar imajiner”
perbatasan kritis. Indonesia juga mempunyai perbatasan darat dengan
Malaysia, Timor Leste dan Papua Nugini, namun sepertinya sekarang ini
tidak lagi dipandang sebagai perbatasan kritis. Dengan demikian jelas
bahwa disamping Indonesia sendiri adalah merupakan negara yang berbentuk
kepulauan terbesar di permukaan bumi ini, ternyata dan sangat jelas
memiliki perbatasan kritis yang didominasi kawasan yang berujud perairan
dan udara di atasnya.
Ruang dan Waktu
Salah satu ucapan para pakar strategi perang yang sering disitir adalah
bertindaklah dengan kekuatan dan kecepatan penuh. Kekuatan dan kecepatan
disini berhubungan dengan ruang dan waktu. Ruang adalah jarak. Waktu
adalah waktu tempuh, atau waktu berada pada posisi yang tepat (pra
posisi). Alutsista utama harus memenuhi kenyataan ruang dan waktu ini,
dengan bentangan luas NKRI yang sangat besar sehingga membutuhkan tiga
zona waktu. Sedapat mungkin kenyataan ruang dan waktu harus dipenuhi
untuk memperkecil waktu reaksi pergelaran pertahanan baik ofensif maupun
defensif.
Peran AL
Gambar 3 menunjukan AL dapat menjembatani ruang dan waktu dengan cara
mem-praposisikan rudal anti kapal semacam Yakhont versi darat di choke
points ALKI di Selat Sunda, Selat Karimata, Selat Lombok dan Selat
Makasar. Patut diapresiasi inisiatif AL membangun pangkalan kapal selam
di Palu, membolehkan pra posisi kapal selam semacam kelas Kilo di
wilayah Timur Indonesia dengan perairan dalamnya. Gabungan sistem
alutsista Yakhont versi darat di wilayah perairan Barat dan kapal selam
Kilo di wilayah Timur akan berada di jalur yang benar. Formasi PKR,
fregat, KCR dan lainnya adalah formasi pendukung. Selain itu,
pembentukan armada Coast Guard AL yang terpisah untuk Zona Ekonomi
Eksklusif perlu segera dipercepat sehingga tidak membebani kesiapan
armada tempur AL.
Peran AU
Gambar 4 menunjukan bagaimana dengan Flanker, AU dapat memproteksi
seluruh wilayah udara dan laut Indonesia. Heavy fighter ini memenuhi
kenyataan ruang dan waktu dengan bagus sekali, mempunyai aksi radius
besar tanpa atau dengan AAR (air to air refuelling), kecepatan jelajah
tinggi, dan dua mesin untuk faktor keselamatan. Apresiasi bagi AU yang
dengan pandangan jauh ke depan sejak tahun 1997 telah memutuskan untuk
mempunyainya yang diwujudkan pada Agustus 2003 dan diteruskan sampai
sekarang.
Gambar 5 menunjukan contoh pergelaran SAM sekelas S300/400 di p.
Jawa. Apabila Flanker dipasangkan dengan SAM ini, maka dengan
mem-praposisikan SAM di lokasi-lokasi yang strategis, gabungan Flanker,
SAM sekelas S300/400, dan Satuan Radar Kohanudnas yang telah ada, pasti
akan memperkuat sistem pertahanan kita.
Peran AD
Gambar 6 menunjukan bahwa AD masih belum menghayati kenyataan ruang dan
waktu ini. Apache dan MBT Leo + Marder baru mempunyai dampak strategis
besar apabila dipraposisikan di luar p. Jawa di lokasi strategis atau di
perbatasan kritis daratan. Tetapi ini memerlukan infrastruktur yang
memadai seperti di p. Jawa untuk lokasi-lokasi tersebut. Infrastruktur
(jalan, jembatan, pelabuhan, dan fasilitas pos dan pemeliharaan) yang
sekarang ada belum memadai. Perlu pula diingat bahwa pergelaran pra
posisi ini memerlukan pengangkutan dan perlindungan oleh AL dan AU
sampai tujuan.
Selain itu, TOE kesatuan mekanis sebaiknya pada tingkat batalyon
mekanis independen bukan pada tingkat brigade/resimen apalagi divisi,
untuk memudahkan pra posisi. Demikian juga bagi batalyon armed, arhanud
dan zipur yang independen.
Namun patut diapresiasi kebijakan AD yang sudah dimulai yaitu
meningkatkan batalyon-batalyon infanteri di daerah komando militer luar
P. Jawa menjadi setingkat raider.
Potensi Ancaman
Kemungkinan konflik perbatasan darat dengan tetangga sebelah rasanya
makin kecil. Justru kemungkinan makin besar bahwa wilayah Indonesia,
secara ruang dan waktu, mau tidak mau, suka tidak suka, akan terlibat
dalam konflik antara Amerika plus sekutunya (Australia), dan China,
seperti ditunjukan dalam Gambar 7, 8 dan 9. Sebagai buffer zone ,
Indonesia akan menjadi perlintasan armada laut dan udara mereka yang
bertikai. Kemungkinan salah satu pihak yang bertikai akan mengklaim
wilayah udara, laut ataupun pulau kita (contohnya Natuna dan Morotai)
dalam usaha memenangkan perang. Kedengaran absurd tetapi setiap
kemungkinan tidak bisa diabaikan. Kenetralan Indonesia mengharuskan kita
mempunyai AU dan AL yang kuat untuk menghalau mereka yang bertikai
keluar wilayah kita.
Situasi, kondisi politik pemilu 2014 dan ekonomi, bahkan pembelian
alutsista MEF jilid II menjadi barometer arah kenetralan dan politik
luar negeri kita yang bebas aktif.
Penutup
Dengan demikian, bila berbicara tentang sistem pertahanan yang berkait
dengan membangun satu postur Angkatan Perang, maka yang sangat masuk
akal adalah membangun Angkatan Perang yang berorientasi kepada kekuatan
laut atau kekuatan maritim yang handal, yang dapat memberikan jaminan
keamanan dan kekuatan menjaga kedaulatan negara pada tingkat siap tempur
(combat ready) pada ruang dan waktu yang memadai. Tetapi kekuatan laut,
tidak akan banyak manfaatnya, bila tidak didukung oleh satu kekuatan
yang mampu memberikan perlindungan dari udara, “air-superiority” dan
atau “air supremacy”.
Uraian di atas telah mengantar kita pada pemikiran yang logis dan
masuk akal bahwa dalam konteks penyelenggaraan pertahanan keamanan NKRI,
dan dalam konteks ruang dan waktu, seyogyanya kita harus memiliki satu
Angkatan Perang dengan kekuatan AU, AL dan AD yang prima, satu Angkatan
Perang dari satu Negara yang berujud perairan, Angkatan Perang Negara
Kepulauan. Angkatan Perang yang berinduk, tidak hanya kepada bentuk dan
letak strategis negara tetapi juga kepada pertimbangan kemajuan
teknologi dan berorientasi senantiasa kepada “total defense” atau
semesta. ( written by Antonov).
Referensi
1. Teguh Fayakun Alif,ST dan Dr.-Ing. Khafid, Perlukah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) IV ? BAKOSURTANAL
2. Andi Widjajanto, Gelar Pertahanan Indonesia
3. Mars. (Pur) Chappy Hakim, Sekali Lagi Tentang Angkatan Perang Negara Kepulauan
4. Ristian Atriandi Supriyanto, Why Does Indonesia Need Apache Gunships?
5. Kredit Gambar 7,8 dan 9, Air Power Australia