Hampir empat puluh tahun yang lalu pernah ada usaha untuk
membuat pesawat latih sendiri agar dapat memenuhi kebutuhan pilot sipil
dan militer di Indonesia.
Pada awal 1970-an, Lipnur (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio) hampir menyelesaikan produksi 44 unit Gelatik, pesawat yang merupakan tahapan alih teknologi berdasarkan lisensi dari PZL-104 Wilga dari Polandia. Direktur Lipnur saat itu Marsma Ir Sugito berpikir program apa selanjutnya setelah Gelatik untuk mengisi kegiatan unit produksi pesawat milik TNI AU ini.
Sayangnya kondisi politis dan ekonomi pada waktu itu tidak memungkinkan membuat program seperti Gelatik,
mengingat untuk memroduksi pesawat lisensi, membutuhkan biaya sampai
puluhan juta dolar ditambah lagi ada batasan produksi. Mendesain pesawat
sendiri tentunya membutuhkan waktu lama dengan ada kemungkinan gagal.
Karena itulah, PT Chandra Dirgantara pimpinan Marsma G.F. Mambu
menawarkan alternatif lain kepada Lipnur untuk memroduksi pesawat
Ladislao Pazmany PL-1 asal San Diego, California, AS. Karena mengunakan
teknologi sederhana dan swayasa, PL-1 bisa diproduksi secara mudah,
murah, dan tidak ada batasan produksi. Ternyata usulan ini diterima.
“Saya mendapatkan informasi pesawat itu dari majalah Flying. Beli gambar dengan harga 200 dolar AS dan bayar royalti berupa main spar
produksi pabrik dengan harga 500 dolar. Ditambah lagi pesawat ini sudah
dipakai oleh AU Taiwan, diproduksi 60 unit oleh unit produksi AU
Taiwan. Jadi sudah proven,” kata Ir Suharto yang saat itu menjadi Staf Teknik PT Chandra Dirgantara saat diwawancarai penulis.
“PT Chandra Dirgantara ada keterkaitan dengan Kopelapip (Komando
Pelaksana Proyek Industri Penerbangan) untuk memroduksi Fokker F27 yang
didirikan oleh wartawan bernama Kurwet Kartaadiredja.
Rencananya Kopelapip dipimpin oleh Nurtanio juga yang saat itu memimpin
Lapip (Lembaga Persiapan Industri Penerbangan). Setelah tahun 1966,
nasib Kopelapip tidak jelas dan diambil alih oleh TNI AU dan menjadi PT
Chandra Dirgantara,” jelas alumni Technisch Hochschule Braunschweig,
Jerman Barat ini.
Direncanakan dibuat empat unit protipe, dengan produksi awal sebanyak
enam unit, yang akan dijual kepada TNI AU (termasuk FASI/Federasi
Aerosport Seluruh Indonesia) dan LPPU (Lembaga Pendidikan Perhubungan
Udara) Curug. Pesawat yang diputuskan untuk dibuat adalah PL-2,
pengembangan dari PL-1, yang pada saat itu sedang dievaluasi sebagai
pesawat latih mula AU Vietnam Selatan, AU Korea Selatan, dan AU Jepang.
PL-2 produksi Lipnur diberinama Lipnur Trainer (LT)-200 Skytrainer.
Angka 2 diambil dari angka 2 pada PL-2, sedangkan dua angka nol
disediakan untuk angka pengembangan pesawat selanjutnya. Pembagian
kerjasama disetujui bahwa PT Chandra Dirgantara sebagai penyedia dana,
penjualan, dan production support, sedangkan Lipnur menjadi pelaksana produksinya.
Dari mana PT Chandra Dirgantara mendapatkan uang? Ternyata perusahaan
ini memiliki jatah bisnis kayu di Sumatra, bahkan uang yang dihasilkan
dari bisnis ini direncanakan akan dibuat sampai 16 unit pesawat. Uang
ini selain untuk membayar royalti, sebagian besar dipakai untuk membeli
mesin dan instrumen yang belum bisa diproduksi sendiri.
Terbang perdana
LT-200 adalah pesawat latih berkapasitas dua orang dengan tempat duduk berdampingan (side by side),
bermesin Lycoming O-320-E2A 150 hp, dengan kecepatan jelajah rata-rata
220 km/jam, dan berkemampuan akrobatik. Rentang sayap 8,53 m, tinggi 2,5
m, dan panjang 5,9 m. Jarak jelajah mencapai 610 km serta lama terbang
hampir tiga jam. Pesawat dengan bubble canopy dan fixed landing gear ini sekilas tampak mirip dengan AS-202 Bravo. Tapi perbedaannya adalah LT-200 memiliki tangki bahan bakar yang berada di ujung sayap