Para pilot Wing Garuda yang terlibat dalam misi tempur untuk
membebaskan Irian Barat dalam Operasi Trikora memiliki risiko sama
seperti para pilot pesawat militer lainnya. Dalam kondisi genting mereka
bahkan harus siap baku tembak saat berada di darat.
Ketika pemerintah RI mencanangkan Operasi Tri Komando Rakyat
(Trikora) untuk membebaskan Irian Barat dari kolonialisme Belanda
(1962), para awak dari maskapai penerbangan Garuda juga dilibatkan.
Komando Tertinggi (KOTI) Trikora membentuk Wing Garuda (WG) dan Wing
Garuda 011 (WG 011) yang merupakan kekuatan bala cadangan udara untuk
mendukung kekuatan AURI. Tugas utama yang dibebankan kepada WG dan WG
011 adalah melaksanakan penerbangan penyusupan, penerjunan sukarelawan
dan pasukan tempur, angkutan logistik, komando Kendali udara, pelacak
cuaca, angkut personel, serta SAR.
Untuk melaksanakan sejumlah misi yang cukup riskan itu, WG dan WG 011 menggunakan pesawat-pesawat transpor seperti DC-3 Dakota, C-47 Skytrain,
dan ConvairB-36. Dalam setiap penerbangannya para pilot WG dan WG 011
akan menghadapi risiko dihadang oleh pesawat-pesawat tempur Belanda yang
saai itu tergolong canggih, yakni MK-06 Hawker Hunter, AS-4 Firefly, P2V-7 Neptune, dan B-26 Invader.
Selain sergapan pesawat tempur penerbangan rahasia WG dan WG 011 juga
kerap menghadapi cuaca buruk serta radar musuh sehingga harus terbang
pada ketinggian rendah (tree top) di atas kawasan hutan lebat
atau perairan yang ganas siang maupun malam hari. Setelah Irian Barat
diserahkan ke pangkuan RI melalui United Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA) pada 1 Oktober 1962, tugas yang harus dilaksanakan WG
dan WG 011 untuk membereskan Irian Barat tetap berlangsung.
Salah satu misi yang berpotensi menimbulkan konflik bersenjata
adalah ketika personel WG dan WG 001 ditugaskan Panglima Tertinggi
(Presiden) untuk mengambil alih perusahaan penerbangan Belanda, De
Kroonduif NV yang berada di Irian Barat. Tim dari WG kemudian membentuk
satu kontingen yang kurang lebih terdiri dari 40 orang yang memiliki
kemampuan mengelola perusahaan penerbangan, penerbang, dan teknisi.
Sebagai pimpinan kontingen ditunjuk pilot senior Captain M Syafei, yang
diberi wewenang penuh untuk mengelola perusahaan penerbangan yang
diambil alih beserta fasilitas pendukungnya seperti hanggar, gudang suku
cadang, fasilitas pemeliharaan, hotel, dan lainnya. Captain Syafei
sendiri saat ini masih hidup sehat dan berumur 83 tahun serta masih
aktif mengikuti dunia penerbangan Tanah Air dan sebagai pengajar di
Jurusan Teknik Penerbangan, Universitas Trisakti, Jakarta.
Kontingen yang juga dibekali kemampuan bertempur itu dilantik oleh
Presiden Sukarno pada 13 Desember 1962 melalui upacara sederhana dan
singkat. Perasaan bahwa misi ke Irian Barat itu merupakan misi tempur
sekali jalan (one way ticket) sangat terasa ketika Bung Karno
memberi perintah yang intinya berbunyi, ‘’Kibarkanlah bendera-bendera
ini (Merah Putih, bendera pasukan PBB, dan bendera Garuda) pada saat
ayam berkokok tanggal 1 Januari 1963’’. Para pilot kontingen yang
berjumlah 14 orang tidak hanya berdebar-berdebar karena adanya perintah
bertempur itu, tapi juga was-was karena harus terbang di atas wilayah
Irian Barat yang belum dikenal dan di bawahnya terhampar hutan belantara
yang belum banyak disentuh manusia.
Untuk menghadapi kemungkinan terburuk setiap personel kontingen
dibekali pistol. Agar tidak mencolok pistol ditaruh dalam koper dan
ditempatkan secara tersembunyi. Untuk penggunaan persenjataan dan
kemampuan tempur para personel Wing Garuda telah mendapat latihan
militer dari TNI AU dan diselengarakan selama dua minggu di kawasan
Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Kontingen WG diberangkatkan ke Biak dari Lapangan Terbang Kemayoran,
Jakarta pada 18 Desember 1962 pukul 03.00 dini hari menggunakan pesawat
Lockheed L-188 Electra. Penerbangan berjalan lancar dan
kontingen pun tiba di Lapangan Terbang Mokmer, Biak dengan selamat.
Kontingen kemudian menuju ke gedung perkantoran De Kroonduif NV dan di
luar dugaan disambut hangat oleh staf pimpinan perusahaan, Albert
Janssen. Sebagai pimpinan rombongan Captain Syafei sangat salut terhadap
para staf dan pekerja Belanda yang sangat kooperatif dan mematuhi
keputusan undang-undang (tentang penyerahan Irian Barat yang disahkan
oleh PBB) yang sedang berlaku. ‘’Mereka sama sekali tidak menunjukkan
permusuhan. Secara politik Indonesia-Belanda memang bermusuhan tapi
dalam hal profesi mereka benar-benar bertanggung-jawab dan kooperatif,’’
papar Syafei.
Tugas non penerbangan
Suasana di hari pertama yang menyejukkan itu tiba-tiba berubah
drastis karena salah satu anggota kontingen, Gunadi, yang sedang
mengendarai mobil secara tak sengaja telah menabark seorang penduduk
Irian Barat sehingga mengalami luka cukup serius. Rupanya jalan di Irian
Barat yang belum dikenal dan sikap penduduk Irian Barat yang masih
sembrono menjadi penyebab kecelakaan fatal itu.
Insiden kecelakaan itu jelas menjadi potensi dari penduduk lokal
untuk melancarkan aksi kekerasan. Tapi Janssen yang notabene berada di
pihak ‘’musuh’’ ternyata bersikap kooperatif. Dengan pendekatan secara
kekeluargaan insiden kecelakaan itu dapat diselesaikan tanpa menimbulkan
konflik kekerasan. Pihak De Kroonduif rupanya sangat patuh hukum dan
bersedia menyerahkan sejumlah pesawat dan fasiltasnya. Pesawat dan
fasilitas yang diserahkan ke kontingen antara lain dua Dakota, tiga Twin Pioneer, tiga Beaver
berikut terminal laut yang berada di tepi pantai Mokmer, fasilitas
pemeliharaan, gudang suku cadang, dan lainnya. Berdasar pengalaman
kontingen, manajemen dan organisasi segera disusun dengan nama
perusahaan Garuda Irian Barat. Para personel Kontingen harus bekerja
super cepat, hanya ada waktu satu minggu karena para personel Belanda
dari Kroonduif akan segera pulang ke negaranya untuk merayakan Tahun
Baru dan Natal.
Tugas yang paling membingungkan bagi Kontingen adalah ketika mengurus
Hotel Rift karena sama sekali tidak memiliki pengalaman. Dengan prinsip
pantang mundur Kontingen akhirnya bekerja dengan cara meniru pekerjaan
rutin seperti yang dilakukan oleh karyawan Belanda sebelumnya. Pekerjaan
yang sangat mendebarkan adalah ketika harus melakukan pengecatan
pesawat Twin Pioneer sampai jauh malam menjelang akhir tahun.
Untuk melaksanakan pengecatan pesawat yang dibutuhkan kemampuan khusus
dilakukan Captain Syafei dibantu satu orang yang diutus oleh Departemen
Perhubungan, Agil.
Cat warna Merah Putih Biru di lambung pesawat yang melambangkan
bendera Belanda harus dihapus diganti warna Merah Putih dan regristasi
PK. Menjelang malam Tahun Baru pun semua pekerjaan telah selesai. Untuk
mengantisipasi segala kemungkinan pada acara pengibaran bendera yang
dialkukan keesokan harinya, semua personel Kontingen menyiagakan diri
dengan senapan serbu dan pistolnya. Keadaan menjelang malam memang makin
menegang karena di sejumlah kawasan di Kota Biak terjadi
tembak-menembak. Tapi aksi tembak-menembak sporadis itu ternyata tidak
meluas ke Mokmer.