Minggu, 10 November 2013

Ini Cara Elegan RI Desak AS Akui Penyadapan

Situs Kedubes AS di jejaring sosial.
Aksi penyadapan yang dilakukan Amerika Serikat memicu reaksi keras dari berbagai kalangan di Indonesia. Salah satunya adalah untuk meninjau ulang hubungan diplomatik antara Indonesia dan AS.

Menurut Ganetawati Wulandari, Pengamat Hubungan Internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), perlu smart diplomacy untuk menyelesaikan masalah penyadapan itu.

"Maksud dari smart diplomacy adalah menggunakan cara-cara persuasif. Jadi, Indonesia tidak perlu menggunakan kekuatan yang berlebihan. Sudah tidak zaman lagi kita melakukan protes dengan menggunakan hard power," kata Ganetawati.

Dia menambahkan, dalam konteks penyadapan ini, dirinya yakin tidak ada yang mau berperang dengan negara yang melakukan penyadapan.

"AS adalah negara besar yang memiliki kemampuan keuangan dan dukungan militer yang global. Apakah kita mampu menghadapinya? Itu adalah yang perlu diukur sebelum memutuskan hubungan diplomatik," ujar Ganetawati.

Ganetawati juga menyampaikan pemutusan aksi diplomatis itu akan menyebabkan nilai kerugian yang jauh lebih besar bagi Indonesia. Dan tidak ada manfaat positif dari pemutusan hubungan diplomatik dengan AS.

Menurutnya, salah satu contoh untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan menawarkan isu-isu terkait dengan kepentingan suatu negara. Misalnya, data dalam masalah terorisme, AS sangat membutuhkan data-data tersebut.

"Untuk membuat AS mengaku telah melakukan penyadapan apa saja, Indonesia harus mengunci data mengenai terorisme yang dibutuhkannya. Ada proses tawar menawar untuk mendesak AS mengakui penyadapannya," kata Ganetawati.

Selain itu, tambah Ganetawati, Indonesia juga harus meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam bidang teknologi. Sebab, peran teknologi dalam menangkal penyadapan sangat penting.

"Sekarang model penyadapan semakin canggih dan rumit. AS mungkin saja melakukan penyadapan dengan menggunakan satelit di ruang angkasa," kata Ganetawati.
 

Cegah Penyadapan Asing, RI Harus Perkuat Sistem Sandi

"Yang paling penting, kita disadap tapi tidak bisa dimengerti mereka."

Mantan Panglima TNI (Purn) TNI Agus Suhartono bersama Menhan Purnomo Yusgiantoro dan mantan KSAD Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo 
Mantan Panglima TNI (Purn) TNI Agus Suhartono mengungkapkan pentingnya sistem sandi untuk mencegah penyadapan pihak asing. Menurut Agus, saat dirinya masih menjabat sebagai Panglima TNI, ide tersebut sudah ada dengan misi dan fungsi yang sama.
"Sudah ada (sistem sandi), tapi butuh waktu merealisasikannya. Sumber daya manusianya harus dilatih, agar bisa mengawal organisasi," kata Agus kepada VIVAnews.

Agus menjelaskan, ada peralatan otomatis yang disebut enkripsi, yang dapat dikembangkan oleh Pemerintah. Namun, sayangnya belum semua alutsista yang dimiliki RI menggunakan alat tersebut.

"Untuk alusista kita, dilengkapi dengan peralatan pengamanan yang pertama sandi yang sifatnya manual, yang jika dibaca dia harus melihat buku. Seperti pesawat dan alat tempur kita. Sekarang masalahnya, belum semua dilengkapi enkripsi. Akibatnya adalah manakala salah satu menggunakan enkripsi atau tidak, itu tidak akan berguna. Oleh karena itu, alusista kita harus dilengkapi dengan enkripsi," katanya.

Agus menilai, aksi sadap yang dilakukan Amerika Serikat dan Australia dilancarkan untuk memperkuat strategi negara mereka. Maka, langkah yang harus dilakukan untuk mencegah penyadapan asing, menurut dia, adalah memperkuat sistem persandian.

"Yang paling penting, kita disadap tapi tidak bisa dimengerti oleh mereka. Oleh karena itu sistem persandian itu penting," ujarnya.

Sementara, karena belum adanya pernyataan yang jelas dan memuaskan hingga kini, Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin 11 November 2013 akan mengundang Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty dan Wakil Dubes Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia, Madam Bauer ke Gedung Parlemen. 

Menurut Wakil DPR, Priyo Budi Santoso DPR ingin berdialog soal isu penyadapan yang dilakukan kedua negara itu kepada pejabat tinggi Indonesia. (eh)
 Vivanews.

Spionase Kanguru di Tanah Garuda

Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa pun mengancam akan mengevaluasi kerjasama di bidang informasi dan intelijen dengan Australia. (ANTARA/Nyoman Budhiana)

“Buka rahasia mereka, lindungi rahasia kita (reveal their secrets, protect our own)”. Itulah semboyan Badan Intelijen Australia (Defence Signals Directorate) yang tahun 2013 ini berganti nama menjadi Australian Signals Directorate. Dengan moto itu, agen-agen DSD menjejakkan kaki di Bali ketika Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2007.

Mereka membawa tugas khusus, mengumpulkan nomor-nomor telepon para pejabat pertahanan dan keamanan di Indonesia. Dalam misinya itu, DSD bekerja bahu-membahu dengan badan keamanan nasional Amerika Serikat (National Security Agency) untuk memperoleh informasi yang menjadi target mereka. Semua itu diungkapkan Edward Snowden --mantan kontraktor NSA yang kerap membocorkan rahasia intelijen AS-- dalam dokumen yang ia bocorkan dan dilansir harian Inggris The Guardian, 2 November 2013.

DSD bahkan disebut memasukkan ahli Bahasa Indonesia ke dalam timnya untuk memonitor dan menyeleksi informasi dari komunikasi yang berhasil mereka dapatkan. “Tujuan dari upaya (spionase) ini adalah untuk mengumpulkan pemahaman yang kuat tentang struktur jaringan yang diperlukan dalam keadaan darurat,” kata dokumen Snowden itu.

Sayangnya misi Australia itu pada akhirnya dianggap gagal karena satu-satunya nomor telepon pejabat yang berhasil mereka ketahui adalah milik Kepala Kepolisian Daerah Bali.

Namun, gagal di Bali, bukan berarti Australia tak mendapat apa-apa. Upaya penyadapan atau pengumpulan informasi bukan hanya dilakukan sekali itu.

Harian Australia The Sydney Morning Herald melaporkan Negeri Kanguru secara intensif dan sistematis melakukan aksi mata-mata dan membangun jejaring spionase mereka di Tanah Garuda ini melalui kantor kedutaan besar mereka di Jakarta. Media Australia lainnya, Fairfax, menyatakan pos-pos diplomatik Australia yang tersebar di Asia mempunyai fasilitas untuk mencegat lalu-lintas data dan panggilan telepon dari pejabat-pejabat penting di negara-negara di kawasan ini.

Aktivitas pengintaian itu dilakukan tanpa sepengetahuan mayoritas diplomat Australia yang berkantor di Kedutaan Australia. Data-data intelijen dikumpulkan DSD melalui kedutaan-kedutaan Australia di Jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok, Hanoi, Beijing, Dili, dan Port Moresby. Dengan demikian negara-negara yang menjadi sasaran aksi spionase Australia adalah Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, China, Timor Leste, dan Papua Nugini.

Laporan mengenai aksi mata-mata Australia itu merupakan bagian dari dokumen yang dibocorkan Snowden dan dipublikasikan oleh harian Jerman, Der Spiegel. Dokumen itu menyoroti kemitraan spionase “Lima Mata” yang antara lain mencakup Inggris, Kanada, dan Australia. Disebutkan bahwa fasilitas penyadapan mereka seperti antena, kerap tersembunyi dalam fitur arsitektur palsu atau atap gudang pemeliharaan di berbagai kantor kedutaan.

Seorang mantan perwira di DSD menyatakan Kedutaan Besar Australia di Jakarta menjadi pemain kunci dalam mengumpulkan informasi. Australia menyasar data politik, ekonomi, dan intelijen melalui kedutaannya yang berlokasi di kawasan sibuk Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Selain di Jakarta, Konsulat Jenderal Australia di Denpasar, Bali, juga disebut digunakan untuk mengumpulkan data-data intelijen.

Jakarta menjadi pusat aksi spionase Australia di Asia karena dua faktor. Pertama, pertumbuhan jaringan telepon seluler yang pesat di Indonesia dan Jakarta khususnya. Kedua, elite politik di Jakarta disebut amat cerewet. “Jaringan seluler merupakan anugerah besar, dan elite Jakarta adalah kelompok yang amat suka bicara. Mereka bahkan tetap mengoceh meski merasa agen intelijen Indonesia sendiri mendengarkan (menyadap, red) mereka,” kata mantan perwira DSD itu seperti dikutip International Business Times Australia (baca juga bagian 3: Memburu Finenko di Jakarta).

Sejumlah data intelijen yang dicari Australia di Indonesia antara lain terkait terorisme dan penyelundupan manusia. Aksi terorisme kerap terjadi di Indonesia, sedangkan penyelundupan manusia menyangkut ribuan imigran gelap yang selalu menempuh jalur laut melalui Indonesia untuk mencari suaka di Australia. Parahnya, cara masuk ilegal via Indonesia ini amat berbahaya sehingga ratusan imigran seringkali tewas tenggelam saat menyeberang dengan perahu ke perairan Australia.

Kemarahan Jakarta

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono melalui juru bicaranya Julian Aldrin Pasha, Jumat 8 November 2013, menyatakan tak dapat menerima adanya aksi penyadapan Australia terhadap Indonesia. “Selama ini hubungan bilateral kami selalu kondusif, baik, dan saling percaya. Kalau benar ada tindakan (penyadapan) seperti itu, kami sangat tak bisa menerimanya. Pemerintah mengecam hal ini. Sikap kami tegas,” kata Julian kepada VIVAnews.

Indonesia telah memanggil Duta Besar Australia di Jakarta, Greg Moriarty, untuk memberikan penjelasan. Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa pun mengancam akan mengevaluasi kerjasama di bidang informasi dan intelijen dengan Australia. “Kami harus mengkaji ulang bagaimana ke depannya kerjasama dengan negara-negara yang tidak bisa memberikan konfirmasi apakah aksi penyadapan seperti ini benar dilakukan (atau tidak),” kata Marty.

Padahal Indonesia dan Australia selama ini menjalin kerjasama erat di bidang penangkalan aksi teror dan penyelundupan manusia. “Kalau mereka (Australia) mengumpulkan informasi di luar forum resmi, lalu apa manfaat kerangka yang resmi itu? Hal ini perlu dipikirkan masak-masak. Indonesia tidak terima diperlakukan seperti ini,” ujar Marty.

Pernyataan Marty itu mencerminkan kekesalan Indonesia yang tidak mendapat klarifikasi memuaskan. Isu penyadapan ini telah ditanyakan Indonesia ke perwakilan negara terkait dalam berbagai kesempatan. “Tapi jawaban mereka tetap sama, bahwa mereka tidak bisa mengkonfirmasi atau menyangkal pemberitaan tersebut,” kata Marty.

Indonesia menuntut komitmen Australia dan AS untuk tak lagi melakukan aksi spionase. “Kami perlu tegaskan, tidak boleh ada tindakan yang mengingkari atau tidak selaras dengan semangat persahabatan antar negara. Enough is enough. Setiap negara tidak sepatutnya melakukan aksi itu,” ujar Marty. Apalagi ongkosnya akan jauh lebih mahal jika aktivitas spionase tersebut terbongkar, yakni potensi kerusakan hubungan bilateral kedua negara karena hilangnya rasa saling percaya (lihat Infografik: Kala Aksi Intelejen Asing Terbongkar).

Marty pun menyindir Australia dan AS sekaligus. “Jika Australia sendiri yang menjadi subyek aktivitas (mata-mata) itu, menurut mereka itu tindakan bersahabat atau tidak? Kami tidak bisa menerima aksi spionase Australia atas perintah Amerika Serikat,” ujar mantan Duta Besar RI untuk PBB itu.

Hal yang saat ini penting dilakukan Indonesia, kata Marty, adalah meningkatkan kewaspadaan dan kapasitas untuk meminimalkan penyadapan. Dalam rangka itu pula Indonesia bergabung dengan Jerman dan Brasil dalam mensponsori resolusi anti spionase yang diajukan ke Sidang Umum PBB. Rancangan resolusi itu meminta dihentikannya aksi spionase Internet dan pelanggaran privasi. Indonesia berharap, melalui resolusi itu Australia dan AS tak lagi memata-matai Indonesia dan puluhan negara lain.

Canberra bungkam

Pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbott sama sekali tak dapat menjernihkan isu penyadapan ini. Ia hanya mengatakan badan dan agen intelijen negaranya selalu bertindak dalam koridor hukum. “Setiap badan pemerintah Australia bertugas sesuai aturan yang berlaku,” kata dia.

Dubes Australia untuk RI, Greg Moriarty, juga tak mau berkomentar soal pemanggilannya oleh Kemlu RI terkait aksi spionase Australia. Juru Bicara Moriarty, Ray Marcello, dalam surat elektroniknya kepada VIVAnews menyatakan pihaknya terus mengikuti perkembangan pemberitaan di Indonesia.

Australia pun mahfum dengan ancaman Marty Natalegawa untuk memutuskan kerjasama dengan Australia di bidang penangkalan aksi teror dan penyelundupan manusia. Marcello mengatakan, Australia sangat menghargai hubungan kemitraan yang dekat dengan Indonesia. Kerjasama bilateral yang telah dibangun sejak lama itu dianggap Australia sangat menguntungkan kedua negara.

“Kami terus menantikan kerjasama dengan Indonesia di beragam bidang seperti penanggulangan aksi terorisme dan penyelundupan manusia,” kata Marcello.

Menanggapi kemarahan Indonesia, Australia pun mengutus menteri pertahanannya, David Johnston, untuk terbang ke Jakarta, Kamis 7 November 2013. Namun setelah menggelar pertemuan dengan Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro, Jumat 8 November 2013, Johnston tak bersedia memberikan keterangan kepada media. Ia langsung kembali ke Australia.

Hasil pertemuan itu jauh dari memuaskan. Menurut Purnomo, dia dan Johnston menyerahkan isu penyadapan tersebut kepada kementerian luar negeri kedua negara karena isu penyadapan terkait hubungan diplomatik. “Itu adalah isu makro yang sedang dibicarakan pada level politik luar negeri antara Menlu Australia Julie Bishop dengan Menlu RI Marty Natalegawa,” kata Purnomo.

Bishop yang berada di Indonesia terkait agenda Bali Democracy Forum VI pada 7-8 November 2013, membantah hubungan bilateral Australia dengan Indonesia rusak karena isu penyadapan. “Saya tidak terima apabila ada pernyataan yang menyebut hubungan kedua negara retak,” kata dia. Bishop justru mengatakan telah melakukan diskusi yang bermanfaat dengan beberapa menteri Indonesia terkait masalah penanggulangan aksi teror dan penyelundupan manusia.

Sementara itu pakar keamanan Australia dari Australian National University, Profesor Michael Wesley, mengatakan Indonesia akan rugi bila memutus hubungan diplomatik dengan Australia. Wesley tak yakin Menlu RI Marty Natalegawa bersungguh-sungguh dengan ancamannya untuk menghentikan kerjasama dengan Australia.

Wesley berpendapat Marty hanya menggertak pemerintahan baru Australia yang masih berjalan dua bulan. Dikutip Sydney Morning Herald, dia mengatakan, “Marty Natalegawa adalah diplomat yang amat berpengalaman. Dia tahu pemerintahan di Canberra masih baru. Di sana ada perdana menteri dan menteri luar negeri yang tak berpengalaman.”  
Vivanews.

Sabtu, 09 November 2013

Ini alasan KPK gandeng Kopassus untuk perangi korupsi

Ini alasan KPK gandeng Kopassus untuk perangi korupsi
Gladi resik HUT TNI ke-68. ©2013 Merdeka.com/imam buhori

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggandeng Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD untuk memerangi korupsi. Sejumlah pegawai baru KPK dikirim ke Pusat Pendidikan Kopassus (Pusdikpassus) Kopassus Batujajar Bandung untuk dilatih.

Kenapa KPK menggandeng Kopassus?

"Itu namanya induksi pegawai. Setiap ada Indonesia memanggil dilakukan induksi, kayak training atau pendidikan dasar. Nah ini dilakukan di Batujajar, tahun sebelumnya di Cilandak, sebelumnya lagi di Sukabumi 3 bulan. Kalau sekarang 1,5 bulan tapi di Batujajar," kata juru bicara KPK, Johan Budi SP saat berbincang dengan merdeka.com, Kamis (8/11).

Johan membantah kalau KPK 'dimiliterisasi'. Menurutnya sebagian materi tetap diberikan oleh Pimpinan KPK, jaksa, bahkan polisi. Hanya bagian-bagian tertentu saja melibatkan instruktur dari Kopassus.

"Instruktur nembak, bela diri dan pelatihan samapta-nya saja," jelas Johan.

Kenapa pilih Kopassus? Bukan satuan yang lain, atau Polri?

"Ya tidak apa-apa, dulu juga kejaksaan pernah (dilatih Kopassus) tidak apa-apa," kata dia.

Sebelumnya, Ketua KPK Abraham Samad bertindak selaku Inspektur Upacara pada Pembukaan pendidikan dan latihan Induksi Pegawai baru KPK angkatan Indonesia memanggil VII/2013.

Pendidikan ini diikuti 163 peserta berlangsung dari Rabu 6 November sampai 21 Desember mendatang. Selama pendidikan peserta akan mengikuti serangkaian kegiatan antara lain psikologi lapangan, kepemimpinan, lapangan, team work opstacle (halang rintang), dan problem solving. Mereka juga diajari beberapa materi kemiliteran seperti tarzan cross, PBB, PUDD dan survival.

"Tujuan diadakannya pendidikan dan latihan ini adalah untuk membentuk karakter pegawai baru atau insan KPK yang handal dan tangguh serta sesuai dengan dasar dan norma KPK," kata Abraham Samad .

"Semoga misi KPK untuk mengikis korupsi yang dilakukan para koruptor yang semakin pintar bisa dilaksanakan," lanjut Abraham.

Tampak hadir pada acara tersebut sejumlah pejabat teras Kopassus di antaranya Pamen ahli Golongan 4 Kopassus, Danpusdikpassus dan para Asisten Danjen Kopassus. Sedangkan dari pihak KPK tampak wakil ketua Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas .

SBY disadap Australia, BIN didesak turun tangan

SBY disadap Australia, BIN didesak turun tangan
Kunjungan peserta Lemhanas ke Istana. ©Rumgapres/Abror Rizki

Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengatakan, tidak ada gunanya Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa memanggil duta besar Australia untuk Indonesia terkait penyadapan. Menurut Mahfudz, jawaban duta besar Australia normatif dan tidak akan mengakui.

"Kerja intelijen tertutup. Ketika Menlu panggil Australia mereka akan menjawab dengan normatif. Kalau mau tahu, di sinilah BIN harus bergerak," kata Mahfudz di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (8/11).

Mahfudz menilai, masalah penyadapan lintas negara sudah krusial. Kalau mau membalas, menurut Mahfudz, harus ada kontra intelijen.

Ia melihat, masalah teknologi intelejen yang digunakan Indonesia banyak menggunakan produksi Eropa. Menurut Mahfud, Jerman salah satu negara dengan kemampuan teknologi yang bagus juga disadap oleh Amerika Serikat selama 10 tahun.

"Setahu saya Lembaga Sandi Negara, banyak menggunakan produk dari Eropa. Memang untuk aplikasinya didesain sendiri," ujar Mahfudz.

Hal yang mungkin dilakukan saat ini adalah dengan membangun sistem informasi aman. Menurutnya, saat ini arah intelijen Amerika Serikat tak menyadap pimpinan kepala negara lain, masyarakat sipil juga dicuri kegiatan komunikasinya.

"Kalau sipil sudah disadap, berarti semua informasi pembicaraan orang satu negara diawasi. Terus siapa yang jamin data itu tidak bocor. Sebaiknya ke depan kita bangun sistem informasi yang aman, karena sekarang ini masih rentan," kata Mahfudz.

Dugaan adanya penyadapan oleh pemerintah Australia terhadap Indonesia diketahui berdasarkan kesaksian pembocor intelijen Dinas Rahasia Keamanan AS Edward Snowden yang dipublikasikan oleh media Australia. Media itu menyebut bahwa Kedutaan Australia dan AS di Jakarta memiliki fasilitas penyadapan.

Helikopter TNI AD jatuh di Kalimantan karena kehilangan power



Helikopter TNI AD jatuh di Kalimantan karena kehilangan power
Mi-17 TNI AD. ©indomiliter.com

Helikopter angkut Mi-17 milik TNI AD jatuh di Malinau, Kalimantan. Pesawat ini sedang mengangkut bahan bangunan untuk pendirian pos di kawasan tersebut.

Dari penyelidikan sementara, helikopter buatan Rusia ini diduga jatuh karena kehilangan power saat menuju ke lokasi.

"Sedang terbang mau menuju ke sana, mendadak ada loss instal power, power hilang," kata Kapuspen TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul saat dihubungi merdeka.com, Sabtu (9/11) WIB.

Karena kehilangan power, pesawat turun dengan cepat dan langsung terbakar.

Menurut Iskandar, pesawat Mi-17 ini tergolong pesawat baru. Usianya baru 2-3 tahun.

"Ini baru, tanggal pastinya mulai dioperasikan saya tidak tahu," jelasnya.

Helikopter TNI AD jatuh di Kalimantan, 9 orang luka bakar

Helikopter TNI AD jatuh di Kalimantan, 9 orang luka bakar
Mi-17 TNI AD. ©wikipedia.com

Sebuah helikopter milik TNI AD kembali jatuh. Kecelakaan tersebut terjadi saat heli tersebut tengah melakukan penerbangan di kawasan Punjungan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.

Saat kecelakaan terjadi, pesawat tersebut tengah mengangkut 8 personel TNI dan 13 warga sipil. Akibatnya, sembilan orang penumpang mengalami luka bakar. Sampai saat dievakuasi ke rumah sakit, belum ada korban tewas.

"Dua orang kru dan tujuh sipil luka bakar. Mereka sudah di evakuasi ke rumah sakit terdekat," kata Kapuspen Mabes TNI, Laksamana Muda Iskandar Sitompul kepada merdeka.com, Sabtu (9/11).

Tak hanya mengangkut penumpang, heli ini juga tengah membawa bahan bangunan seberat 500 kg. Bahan-bahan tersebut akan digunakan untuk membangun pos pengamanan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia.

"Helikopter sedang membawa bahan bangunan seberat 500 kg, karena sedang membangun pos di perbatasan. Lokasinya di Malinau, Pos Bulan," pungkasnya.

Sebelumnya, helikopter angkut Mi-17 milik TNI AD jatuh di Malinau, Kalimantan. Dari penyelidikan sementara, helikopter buatan Rusia ini diduga jatuh karena kehilangan power saat menuju ke lokasi.

"Sedang terbang mau menuju ke sana, mendadak ada loss instal power, power hilang," kata Kapuspen TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul saat dihubungi merdeka.com, Sabtu (9/11) WIB.