Bala Tentara Belanda bersiap jelang Agresi Militer I (Foto: Wikipedia)
Provokasi demi provokasi
biasa dijadikan Belanda untuk memancing kekuatan militer Indonesia untuk
bertempur di front terbuka. Belanda merasa punya keuntungan dengan
jumlah personel sekira 100 ribu pasukan, jika bentrok dengan TNI yang
dianggap tak punya perlatan tempur memadai di medan terbuka.
Dan, salah satu provokasi “resmi” jelang melancarkan Agresi Militer I
dengan sandi ofensif “Operatie Produkt” pada 21 Juli 1947, Belanda
melayangkan nota bernada ancaman nan provokatif dua bulan sebelumnya.
Ya, pada 27 Mei 1947 (68 tahun silam), Belanda mengeluarkan ultimatum
yang berisi sejumlah tuntutan. Tuntutan yang dirasa takkan bisa
dipenuhi pemerintah RI dan wajib dibalas dalam tempo dua pekan.
Nota yang disampaikan pada pemerintah RI melalui perwakilan Belanda,
Dr. P.J.A Idenburg itu berisikan sebagai berikut, seperti dikutip dari
‘Kronik Revolusi Indonesia’:
1. Pembentukan pemerintahan peralihan bersama.
2. Mengadakan garis demiliterisasi dan pengacauan di daerah-daerah
Konferensi Malino (Negara Indonesia Timur, Kalimantan, Bali) harus
dihentikan.
3. Mengadakan pembicaraan pertahanan negara, di mana sebagian
Angkatan Darat, Laut dan Udara Kerajaan Belanda harus tinggal di
Indonesia.
4. Pembentukan Kepolisian demi melindungi kepentingan dalam dan luar negeri.
5. Hasil-hasil perkebunan dan devisa diawasi bersama.
Merespons ultimatum itu, Perdana Menteri Sutan Sjahrir pun hanya bisa
menafsirkannya antara kapitulasi (menyerah) pada Belanda, atau perang
total. Belanda sendiri sedianya sudah mulai bersiap dengan menyiagakan
sejumlah pasukan sejak Maret 1947.
Sjahrir tentu menolak dan itu jadi “trigger” atau pemicu tersendiri
buat Kepala Staf pasukan Belanda Jenderal Simon Hendrik Spoor, untuk
me-launching serangan total yang tentunya sesuai instruksi dari Den
Haag.
Namun rencana Spoor sempat tersendat, lantaran pada akhirnya Sjahrir
bertekuk lutut pada tuntutan tersebut. Akibatnya, Kabinet Sjahrir pun
tumbang lantaran tak lagi dipercaya rakyat. Adapun Belanda, kembali
melayangkan ultimatum pada 15 Juli 1947 dengan tuntutan pasukan TNI
mundur 10 kilometer dari garis demarkasi.
Lantaran PM Amir Sjarifoeddin yang menggantikan Sjahrir tak memberi
jawaban, maka meletuslah ofensif Belanda yang pertama ke berbagai
wilayah RI di Sumatera dan Jawa pada 21 Juli 1947.
Terlepas dari sejumlah kejadian yang terjadi dalam agresi itu,
pemerintah juga belum berhenti ikut bertarung di arena diplomasi.
Sjahrir dan H. Agus Salim diutus ke Sidang Dewan Keamanan PBB, di mana
akhirnya diputuskan Belanda harus menghentikan serangan pada 1 Agustus
dan gencatan senjata sudah harus terjadi tiga hari setelahnya.
Spoor pribadi sedianya ‘kebelet’ meneruskan gerak ofensif pasukannya
hingga Yogyakarta yang kala itu jadi Ibu Kota RI, yang kemudian
ditentang pemerintah sipil Belanda.
Seperti termaktub dalam buku ‘Kontroversi Serangan Umum 1 Maret
1949’, Spoor bercita-cita menguasai Yogyakarta yang kelak baru bisa
dilakukannya pada Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.
Satu fakta menarik bahwa jelang Agresi Militer I itu, markas Tentara
Belanda bahkan melancarkan psywar kepada tentaranya sendiri. Mereka
menyebarkan selebaran yang tercatat dikeluarkan di Batavia (kini
Jakarta) tertanggal 27 Mei 1947, bersamaan dengan keluarnya nota
pemerintah Belanda kepada RI.
Selebaran itu dikatakan dikeluarkan pihak RI untuk memecah-belah
Belanda antar kesatuan campuran KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch
Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia-Belanda dengan Divisi I “7 December”
yang merupakan kesatuan asli Angkatan Darat Belanda (Koninklijke
Landmacht).
Tujuannya, agar para personel Divisi “7 December” kian terdongkrak
spirit-nya jelang Agresi Militer I. Berikut kira-kira isi selebaran itu
jika diterjemahkan dari bahasa Belanda:
“Para Perwira, Prajurit Divisi 7 Desember.
Dengan meningkatnya gejolak pemerintah menyelamatkan pasukan
dalam setiap harinya ketika terlibat dan bertemu langsung dengan unit
campuran dari KNIL, di mana mayoritas mereka menunjukkan simpati untuk
Indonesia, 100 persen tidak dibenarkan, khususnya oleh kita yang empat
tahun hidup di bawah cengkeraman Jerman.
Kita telah digolongkan jadi alat untuk dengan kehendak Pemerintah
terkait perjuangan kemerdekaan Indonesia, untuk menahan kontak
bersenjata. Kami berharap dalam hati terdalam, bahwa orang-orang dari
Divisi ’7 Desember’ yang terkenal itu akan menyingkir demi mencegah
pertumpahan darah yang tak perlu dan tidak dibenarkan dengan masyarakat
Indonesia.
Semoga waktu yang singkat, kelompok kapitalis dan penjajah
bertaubat, dan membiarkan kita menjadi yang pertama berhadapan dengan
resistensi yang umumnya pasif dari mereka (TNI), demi Tanah Air kita
tercinta dan kesejahteraan negara,”. (Okezone)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar