Kemandirian adalah tingkat kemajuan yang harus dicapai suatu bangsa sehingga bangsa itu dapat membangun dan memelihara kelangsungan hidupnya berlandaskan kekuatan sendiri. Pada dasarnya tidak ada negara yang mandiri seratus persen sehingga harus diupayakan meningkatkan tingkat kemandiriannya. Negara Indonesia juga belum sempurna kekuatan Alutsistanya baik dipandang dari kuantitas maupun kualitasnya.
Pengembangan kuantitas Alutsista dapat dilakukan dengan memproduksi atau membeli dari luar negeri. Pengembangan kualitas Alutsista lebih rumit dibanding dengan pengembangan kuantitas. Pengambangan kualitas inilah yang harus didukung oleh Litbang yang handal dalam arti Litbang yang mampu memberikan Alutsista yang mempunyai kualitas sebagai mana diinginkan oleh user
Menurut Titik Kristiyani (dalam Syafaruddin 2012 : 147) kemandirian dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk memikirkan, merasakan, serta melakukan sesuatu sendiri. Pengembangan Alutsista di Indonesia harus dipikirkan sesuai dengan kebutuhan standard penanggulangan ancaman. Standard penanggulangan ancaman yang dicantumkan dalam buku putih pertahanan keamanan negara telah dirumuskan mencakup Alutsista yang dibutuhkan, personil, organisasi dan dana.
Standart penanggulangan ancaman ini dapat digunakan sebagai dasar pengembangan Alutsista. Menurut Barnadib (dalam Syafaruddin 2012 : 147) kemandirian adalah keadaan seseorang yang dapat menentukan diri sendiri dimana dapat dinyatakan dalam tindakan atau perilaku seseorang dan dapat dinilai, meliputi perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.
Negara yang mempunyai kemampuan yang tinggi diartikan sebagai negara yang telah memenuhi standard penanggulangan ancaman, akan mempunyai kemampuan untuk menanggulani seluruh ancaman baik yang potensial maupun yang aktual.
Akhir Perang Dingin pada awal tahun 1990an membawa dampak pada berlangsungnya proses konsolidasi industri pertahanan di negara-negara maju. Beberapa perusahaan bergabung atau bekerjasama untuk menyiasati permintaan senjata dunia yang menurun, karena tidak ada lagi perseteruan terselubung antara ke dua Blok Pertahanan (Uni Soviet dan AS). Perusahaan-perusahaan pertahanan yang kemudian menjadi semakin besar adalah Lockheed Martin, Northrop Grumman, Boeing, BAE Systems, Thales, EADS, dll.
Namun masih banyaknya industri pertahanan di negara-negara maju dan
tidak adanya batasan untuk menjual senjata ke negara manapun,
menyebabkan terbentuknya “pasar pembeli” untuk komoditas senjata,
artinya pembeli lebih menentukan harga daripada penjual. Pasar senjata
menjadi lebih kompetitif daripada saat era Perang Dingin.
Pameran-pameran senjata yang digelar di banyak negara secara rutin
membuktikan persaingan antar perusahaan alutsista semakin keras.
Negara-negara konsumen dapat dengan bebas membeli senjata dari negara manapun, sesuai dengan jenis dan jumlah yang dibutuhkan, dan ketersediaan anggaran. Walau begitu, beberapa negara menganggap bahwa membuat sendiri alutsista yang diperlukan untuk pertahanan dan keamanan negaranya adalah suatu keharusan, salah satunya adalah Singapura. Dan mari kita ambil contoh dari negara kecil yang berada di Asia Tenggara ini.
Negara-negara konsumen dapat dengan bebas membeli senjata dari negara manapun, sesuai dengan jenis dan jumlah yang dibutuhkan, dan ketersediaan anggaran. Walau begitu, beberapa negara menganggap bahwa membuat sendiri alutsista yang diperlukan untuk pertahanan dan keamanan negaranya adalah suatu keharusan, salah satunya adalah Singapura. Dan mari kita ambil contoh dari negara kecil yang berada di Asia Tenggara ini.
Strategi Pengembangan Industri Singapura
Singapura adalah negara berpenduduk sedikit yang berhasil membangun
industri senjatanya dengan cukup berhasil. Khawatir adanya gangguan dari
negara lain, Singapura sejak awal kemerdekaannya (tahun 1965)
berketetapan membangun sendiri industri alutsistanya. Mempunyai
industri pertahanan sendiri adalah kebutuhan strategis dalam menghadapi
lingkungan geopolitik regional yang tidak stabil saat itu. Adanya
industri pertahanan akan membuat angkatan bersenjata untuk mandiri
dalam persenjataan, tidak tergantung pada kemurahan atau suasana hati
negara lain.
Adanya industri pertahanan nasional juga akan membuat gentar pihak
lain yang berniat mengganggu kedaulatan negara. Walaupun Singapura
mempunyai hubungan baik dan kesepakatan pertahanan dengan beberapa
negara maju, namun hal itu bukan jaminan diberikannya bantuan militer
ketika muncul ancaman eksternal.
Strategi Singapura dalam membangun industri alutsista adalah
mengembangkan keunggulan kompetitif pada ceruk industri senjata jenis
tertentu sehingga dapat bersaing dalam pasar global, kemudian
menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk membuat produk-produk
non-militer. Keuntungan komersial dari penjualan produk non-militer ini
kemudian dipakai untuk membiayai riset dan produksi alutsista yang
semakin beragam dan canggih sesuai perkembangan permasalahan militer
dunia (dikenal dengan Revolution in Military Affairs – RMA), untuk
kemudian dijual di pasar global.
Singapura tidak bermaksud mencapai swasembada untuk berbagai jenis
alutsista, melainkan mandiri dalam produksi beberapa jenis senjata
tertentu sesuai dengan kemampuan awal yang ada. Pemeliharaan, perbaikan
dan bongkar-pasang panser, kapal patroli, pesawat tempur atau helikopter
tidak memerlukan investasi besar-besaran, oleh karena itu perlu
dikuasai, setelah kemampuan membuat amunisi dan senjata ringan dimiliki
dan produknya berhasil dipasarkan.
Kemampuan memodifikasi alutsista impor dan mengintegrasikan berbagai
sistem ke dalam platform alutsista ke tiga matra kemudian ditingkatkan,
termasuk kemampuan memelihara alutsista sepanjang siklus hidupnya.
Kemampuan untuk meng-upgrade alutsista model lama merupakan solusi untuk
dapat memiliki alutsista lebih canggih secara hemat biaya. Kemandirian
industri pertahanan selalu dikembalikan pada aspek efektivitas biaya.
Untuk menguasai teknologi persenjataan baru, Singapura
mempersyaratkan transfer teknologi untuk semua pembelian alutsista yang
dilakukan, setidaknya untuk dapat melakukan perbaikan dan pemeliharaan,
serta untuk memungkinkan penyesuaiannya dengan keperluan di lapangan.
Perusahaan senjata asing juga diperbolehkan membuka perusahaan cabang di
Singapura tanpa persyaratan kepemilikan saham domestik. Selain itu,
untuk mendorong investasi perusahaan senjata asing juga memperoleh
keringanan pajak.
Dengan strategi ini, industri senjata Singapura dapat memenuhi
kebutuhan senjata angkatan perangnya (yaitu Singapore Armed Force – SAF)
sejak generasi pertama (1965 – akhir 1970an), ke generasi kedua (awal
1980an – akhir 1990an), hingga ke generasi ketiga (awal 2000an –
sekarang).
Dukungan Pemerintah Singapura
Pemerintah Singapura memang mengalokasikan anggaran pertahanan yang
besar sejak kemerdekaan tahun 1965. Anggaran militer Singapura mencapai
US$10 miliar pada tahun 2014. Anggaran ini digunakan untuk membeli
amunisi, senjata ringan, rudal, dan peralatan pertahanan lain (seperti
pesawat tempur, helikopter, kapal perang, dan kapal selam) dari
perusahaan dalam dan luar negeri (khususnya AS), di samping untuk
latihan dan operasi, serta membayar gaji tentara. Sebagian anggaran ini
dikhususkan untuk membiayai riset persenjataan pertahanan.
Pemerintah Singapura memilih untuk tidak memberikan subsidi langsung dalam mendukung industri pertahanan nasional. Industri
pertahanan harus menjadi entitas bissnis yang menguntungkan dan tidak
membutuhkan subsidi negara yang besar agar bisa bertahan hidup. Industri
pertahanan disiapkan untuk dapat melakukan komersialisasi dan
diversifikasi usaha agar tetap menunjukkan kemampuan yang tinggi
sekaligus berkembang baik secara bisniss.
Diversifikasi usaha memaksa industri pertahanan menghadapi risiko
bisnisdan liku-liku pasar global, namun juga memberikan peluang ekonomi
yang besar. Kebijakan pemerintah yang tegas bahwa industri pertahanan
diarahkan untuk melayani sektor militer dan komersial sejak awal telah
mendorong perusahaan-perusahaan alutsista untuk beroperasi secara
efisien agar bisa bertahan dalam persaingan bebas produk industri
pertahanan yang sangat keras.
Industri senjata Singapura dibangun dari tiga unsur pokok: riset, produksi, dan strategi/koordinasi.
Desain besar pembangunan industri pertahanan dikembangkan oleh
Kementerian Pertahanan. Secara singkat, tonggak-tonggak perkembangan
ketiga unsur tersebut adalah sebagai berikut.
Riset Pertahanan
- 1972: Menteri Pertahanan Dr Goh Keng Swee mendirikan Electronics Test Centre (ETC) sebagai lembaga riset strategis khusus untuk pertahanan negara, antara lain bidang elektronika, sistem kendali dan kriptografi.
- 1977: Electronics Test Centre menjadi lembaga riset semi otonom Defence Science Organisation agar lebih fleksibel dalam menjalankan kegiatannya.
- 1997: Defence Science Organisation (DSO) menjadi DSO National Laboratories, lembaga usaha riset non-profit yang otonom dari Kementerian Pertahanan dalam manajemen, keuaangan dan personalia namun mempunyai hubungan fungsional yang erat. Produk-produk DSO National Laboratories dimanfaatkan khususnya oleh SAF. Dengan 1500 orang lebih insinyur/peneliti, DSO National Laboratories merupakan lembaga riset terkemuka di Singapura.
Industri Pertahanan
- Awal 1967: Kementerian Pertahanan mendirikan Sheng-Li Holdings Company untuk mengembangkan industri senjata lokal.
- 1970an: Pemerintah membuat senjata kecil (M-16) melalui Chartered Industries of Singapore dan meriam, mortar, dan amunisi artileri melalui Chartered Ammunition Industries. Sebagian produk sudah mulai diekspor.
- 1989/1990: Temasek Holdings (BUMN Singapura) merestruktur Sheng-Li Holdings menjadi Singapore Technologies (ST) Engineering.
- 1997: ST Engineering menjadi perusahaan terbuka dengan Temasek Holdings sebagai pemegang saham mayoritas (51 persen).
- 2000: ST Engineering mengakuisisi Chartered Industries of Singapore dan Chartered Ammunition Industries melalui ST Automotive (anak perusahaan ST Engineering), dengan nama baru ST Kinetics. ST Kinetics membuat amunisi, senjata ringan, mortir, artileri, senapan serbu M16 berlisensi, dan kemudian, senapan serbu SAR-berbagai ukuran. ST Engineering meneruskan merger dan akuisisi untuk mendirikan perusahaan-perusahaan senjata/alat pertahanan baru, yaitu ST Aerospace (matra udara), ST Marine (matra laut), ST Electronics, dll. Produk ST Engineering digunakan oleh SAF dan sebagian kecil diekspor ke 100 lebih negara, termasuk Indonesia, Filipina, Brazil, dan negara-negara Timur Tengah dan Afrika, bahkan ke negara-negara maju. 60 persen dari omset penjualan ST Engineering pada tahun 2010 berasal dari produk non-militer. ST Engineering mempunyai perusahaan cabang di 24 negara dengan jumlah karyawan saat ini mencapai 23.000 orang.
Strategi dan Koordinasi
- 1986: Kementerian Pertahanan membentuk Defence Technology Group sebagai lembaga pengadaan senjata/alat pertahanan, dan membangun infrastruktur pertahanan bagi ke tiga angkatan.
- 2000: Defence Technology Group dipisahkan dari Kementerian Pertahanan menjadi badan tersendiri bernama Defence Science and Technology Agency (DSTA) dengan menggabungkan Systems and Computer Organisation (SCO) dan Defence Medical Research Institute (DMRI). DSTA berfungsi: menyediakan alutsista untuk SAF; memberi saran kepada Kementerian Pertahanan Singapura mengenai masalah iptek pertahanan merancang, membangun dan merawat prasarana dan sistem pertahanan menyediakan jasa rekayasa pertahanan; dan memfasilitasi pengembangan iptek pertahanan.
- 2003: Kementerian Pertahanan mendirikan Future Systems and Technology Directorate untuk mengelola Center for Military Experimentation (CME) yang berfungsi mengeksplorasi konsep-konsep operasional untuk RMA Singapura. Sasaran akhir adalah mengembangkan alutsista berbasis teknologi maju seperti senjata berpresisi tinggi, sistem tak berawak, dan berbagai peralatan untuk melakukan operasi militer selain perang (OMSP).
-
2006: Kementerian Pertahanan membentuk Defence Research Technology Office (DRTO) untuk merumuskan dan menggerakkan riset dan teknologi pertahanan.
-
2009: beberapa lembaga yang ada yaitu Directorate of Research and Development (DRD), International Relations Office (IRO), dan Defence Technology Offices (DTOs) dibawah DSTA digabung dengan DRTech untuk melaksanakan fungsi riset dan teknologi pertahanan dalam spektrum yang lebih luas, antara lain penyusunan master plan, manajemen dan transisi menuju kapabilitas strategis.
Ekspor Senjata
Menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI),
Singapore Technologies Engineering menempati peringkat 49 di antara
perusahaan-perusahaan senjata terbesar di dunia pada tahun 2010, dengan
nilai penjualan mencapai sekitar Rp 20 triliun. Dari 100 produsen
senjata terbesar dunia (tidak termasuk Cina yang tidak ada datanya), 47
perusahaan diantaranya adalah perusahaan AS, 27 perusahaan Eropa, dan 9
perusahaan Rusia.Dalam daftar 50 perusahaan senjata terbesar dunia itu, hanya ada tiga perusahaan senjata dari negara-negara berpenduduk sedikit yang mengungguli ST Engg, yaitu Israel Aerospace Industries (peringkat 37), Elbit Systems Israel (35) dan Saab Swedia (28). Beberapa produk alutsista Singapura ekspor adalah: meriam Pegasus, senjata artileri otomatis Primus, kendaraan tempur Bionix, helikopter serbu Apache, dan pesawat tanpa awak Hermes. Tidak diragukan, industri senjata Singapura telah mampu membangun, mengembangkan, mempertahankan, dan menempatkanya pada posisi industri alutsista besar dunia.
Menurut SIPRI, ekspor senjata dari Singapura selama 1990-2011 mencapai US $ 493 juta (harga konstan 1990). Namun Singapura juga mengimpor senjata dari negara lain senilai US $ 11.260 juta selama periode yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa Singapura terus membeli alutsista modern untuk penguatan angkatan perangnya. Kelemahan dalam hal jumlah penduduk yang sedikit diatasi Singapura dengan kepemilikan senjata yang canggih sebagai pengganda terhadap kekuatan personel tentara yang ada.
Kesimpulan
Industri pertahanan Singapura telah berkembang dari tahap sangat awal
sejak tahun 1960an hingga menjadi perusahaan besar skala global
sekarang ini. Perkembangan itu merupakan jawaban terhadap tuntutan untuk
membuat alutsista sendiri. Pengembangan industri pertahanan dilakukan
berdasarkan konsep Defence Ecosystem dalam konteks perkembangan
permasalahan militer terkini. Lembaga riset pemerintah dan swasta
mendapat peran besar dalam pengembangan teknologi persenjataan, dengan
Kementerian Pertahanan sebagai penyusun strategi dan penjuru dalam
pelaksanaannya.
Ekosistem Pertahanan dikembangkan untuk memperkuat saling
keterhubungan antara pengguna (yaitu SAF), lembaga riset, dan industri
pertahanan, serta stakeholders lain. Dalam sistem ini, SAF menetapkan
persyaratan teknis menggunakan informasi dari DRTC, DSO National
Laboratories, dll. DSTA mengevaluasi persyaratan yang diajukan SAF dan
menentukan apakah akan membeli dari vendor dalam/luar negeri atau
memproduksi sendiri, yang dilakukan oleh ST Engineering dan anak-anak
perusahaannya.
Selain diarahkan untuk mampu membuat produksi amunisi dan senjata,
kapal patroli, pesawat tempur, dll., untuk keperluan SAF, industri
pertahanan Singapura juga didorong untuk mengkomersialkan jasa perbaikan
pesawat militer, dan pemeliharaan serta perbaikan alutsista serta
melakukan komersialisasi dan diversifikasi produk non-militer, untuk
mensubsidi proyek pembuatan produk militer. Ditengah pasar senjata dunia
yang kompleks dan sangat kompetitif, produk industri pertahanan
Singapura terbukti telah menunjukkan keberhasilannya.
Industri pertahanan Singapura telah memenuhi misi inti utamanya,
yaitu melayani kebutuhan pokok SAF, utamanya untuk pertahanan negara
namun juga untuk operasi militer selain perang (OMSP). Kepemilikan
alustsita canggih dan kemajuan industri pertahanan dalam negeri
menyebabkan SAF memiliki kesiapan tinggi dalam menghadapi ancaman
potensial dan aktual.
Perkembangan industri pertahanan Singapura didukung oleh
faktor-faktor lain, seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
ketersediaan anggaran yang besar untuk pembelian alutsista dan
penelitian, adanya visi dan determinasi pimpinan dan pejabat
negara khususnya yang berada di Kementerian Pertahanan, dan juga peran
Partai Aksi Rakyat yang menjaga konsistensi pembangunan industri
pertahanan sejak awal kemerdekaan hingga kini. (JKGR)
(Kemhan dan berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar