Bila Korps Marinir (d/h KKO) dan Kopassus (d/h RPKAD) kondang
menggunakan senapan serbu AK-47 dalam operasi Trikora. Maka, unsur
pasukan komando TNI AU (d/h AURI) yakni Paskhas (d/h PGT – Pasukan Gerak
Tjepat) saat itu juga punya atribut senjata yang khas, yakni battle
rifle G3 kaliber 7,62 mm NATO.
Ada kesan tersendiri tentang G3, Indonesia merupakan salah satu
pengguna pertama senjata ini. Jika dirunut, pada tahun 1962 Indonesia
sudah menggunakan G3 dalam operasi Trikora, sementara Jerman sebagai
anggota NATO tentu setia pada Belanda sebagai rekan satu pakta
pertahanan. Sehingga pada saat itu Jerman tidak mungkin menjual senjata
ini ke Indonesia.
Dan setelah ditelusuri, ternyata G3 yang masuk ke Indonesia pada
tahun 60-an berasal dari Myanmar (d/h Birma). Ceritanya pada tahun 1953,
perusahaan spesialis pembuat mesin industri persenjataan Fritz Werner
dari Jerman mendirikan tiga pabrik amunisi, senjata, dan artileri di
Rangoon, dengan alasan mencegah Myanmar jatuh ke tangan rezim komunis.
Melalui Fritz Werner, Myanmar memperoleh hak eksklusif mengimpor 10.000
pucuk. Juga memproduksi G3 dari pabrikan Rheinmetall, serta mendatangkan
empat juta butir peluru kaliber 7,62 mm NATO pada tahun 1961. Pada
periode tersebut, antara Indonesia dan Myanmar terjalin kerjasama yang
erat, termasuk secara idelogi yang cenderung ke kiri.
Dari sini, jelaslah bahwa G3 yang digunakan Paskhas TNI AU pada tahun
60-an , semuanya menganut G3 lansiran Rheinmetall, bukan H&K.
Dengan handguard baja, popor tarik, flash hider model
drum berlubang-lubang kecil, serta pisir flip up sederhana. Tahun-tahun
sesudahnya, kita jadi sangat akrab dengan G3. Setahun setelah diperoleh,
G3 sudah langsung terjun dalam kampanye Trikora sebagai senjata
infiltran PGT (Pasukan Gerak Tjepat) yang terjun kesana.
Dua dekade kemudian, giliran prajurit TNI dari ketiga angkatan yang
justru harus berhadapan dengan keganasan G3 dalam operasi Seroja. Di
tangan Fretilin dan Tropaz, G3 menjadi kombinasi yang maut, apalagi
Tropaz mengoperasikannya dengan sangat baik, yang kerap menghasilkan
tembakan jitu. Begitu mendengar letusan G3 yang berat dan keras, semua
pasukan TNI yang berhadapan akan mengambil posisi tiarap.
Harus diakui, postur tubuh orang Indonesia sebenernya tidak
diciptakan untuk battle rifle. Bobot senjata yang berat, sentakan recoil
yang keras, alhasil dapat cepat melelahkan prajurit TNI yang membawa.
Belum lagi tentang keterbatasan jumlah peluru yang dibawa dibawa. Satu
magasin standar G3 hanya menampung 20 butir peluru.
Meski saat ini sudah tidak digunakan dalam operasional, namun TNI,
khususnya di lingkup TNI AU masih menggunakan secara terabatas G3 di
pangkalan-pangkalan kecil, di Akademi Angkatan Udara, dan selebihnya
tetap disimpan di gudang senjata. Sejak tahun 2008, seluruh G3 akhirnya
digudangkan, dan TNI AU sepenuhnya melakukan konversi ke SS-1 buatan
Pindad.
Sejarah G3
Di masa era Perang Dingin, sekitar tahun 1950-an pemerintah Jerman Barat merencanakan untuk mempunyai sendiri senapan standard dengan kaliber 7,62mm NATO. Saat itu ada 3 prototipe sebagai kandidat yang diajukan untuk diadopsi & diproduksi di Jerman Barat yaitu G1 (FN Fal), G2 (CETME) & G3 (Heckler&Koch).
Di masa era Perang Dingin, sekitar tahun 1950-an pemerintah Jerman Barat merencanakan untuk mempunyai sendiri senapan standard dengan kaliber 7,62mm NATO. Saat itu ada 3 prototipe sebagai kandidat yang diajukan untuk diadopsi & diproduksi di Jerman Barat yaitu G1 (FN Fal), G2 (CETME) & G3 (Heckler&Koch).
Pada mulanya G1(FN Fal) adalah kandidat yang memang direncanakan oleh
pemerintah Jerman Barat untuk diadopsi jadi senapan standar kaliber
7,62 mm NATO Bundeswehr atau angkatan bersenjata Jerman Barat. Tetapi G1
tidak bisa tercapai menjadi kandidat terpilih karena masalah negosiasi
kontrak lisensinya dengan Fabrique Nationale (FN) Belgia berjalan alot
dan tidak tercapai kesepakatan. Negosiasi dengan pabrik CETME atau
CENTRO de ESTUDIOS TECNICOS de MATERIALES ESPECIALES (PINDAD-nya
Spanyol) dirasakan terlalu mahal nilai kontrak yang ditawarkan, kemudian
pemerintah Jerman memutuskan untuk membeli G3 dari pabrik baru yang
masih dalam skala kecil di dalam negeri. Pabrik tersebut adalah Heckler
and Koch (H&K). Pihak H&K membuat senapan G3 yang sebenarnya
merupakan penyempurnaan dari senapan CETME-nya Spanyol.
H&K didirikan oleh insinyur-insinyur bekas Mauser yang pada akhir
WWII lari ke Spanyol dan membantu pabrik senjata CETME menciptakan
senapan serbu CETME kaliber 7,62mm NATO. Senapan ini dibuat berdasarkan
rancangan Strumgewehr 45 (St.Gw.45 atau StG44/45) yang belum sempat
diproduksi massal oleh Jerman pada era perang dunia kedua. Itu sebabnya
St.Gw.45, CETME & G3 memakai sistim operasi delayed-blow back yang menggunakan roller block.
Di babak selanjutnya, Deutsche Bundeswehr (AB Jerman) kemudian
meminta H&K membuat senapan penembak runduk (sniper) dengan kaliber
7,62mm NATO. Maka dibuatlah varian G3/SG1 (SG adalah singkatan dari
Scharfschützengewehr atau “sharp shooting rifle” atau “senapan penembak
runduk”) yang menggunakan magasin G3 serta bentuk fisik tidak jauh
berbeda dengan G3. Perbedaan yang paling terlihat dari luar adalah
“cheek-piece” di popor G3/SG1 untuk menahan pipi jika sedang membidik
melalui riflescope (teropong senapan) dan bipod. Dengan “trigger-group”
yang serupa pula dengan H&K G3, G3/SG1 ini selain berfungsi sebagai
senapan tembak jitu (sniper rifle) juga bisa berfungsi sebagai senapan
serbu infantri karena mempunyai triger group “full-automatic” selain
“semi-automatic”. Sebagaimana G3, G3/SG1 juga menganut sistem operasi delayed blow-back.
Di awal tahun 60-an, G3 resmi diproduksi oleh Rheinmetall. Baru
berlangsung sebentar, di tahun 1969, Rheinmetall berhenti memproduksi G3
untuk memenuhi permintaan Heckler & Koch yang tidak bisa
memproduksi MG3 ( Maschinengewehr 03 ). Barulah pada tahun 1977, Heckler
& Koch resmi menjadi pabrik resmi pembuat G3 untuk menggantikan
Rheinmetall. Varian G3 yang paling umum digunakan adalah G3 dengan
varian berikut:
G3A3: merupakan varian G3 yang telah di-improvisasi dari
versi sebelumnya (G3). G3A3 memiliki beberapa fitur seperti drum iron
sight, buttstock/popor tetap yang terbuat dari plastik, dan handguard
yang terbuat dari plastik, biasanya berwarna hijau. Varian G3A3
menampilkan pisir model drum dan pejera ghost ring, yang kelak menjadi
trademark H&K. Varian ini juga dapatt dipasangi bipod.
G3A4: Sama seperti G3A3, namun menggunakan telescoping stock. Model ini dapat dipasangkan telescope.
Tak kurang 40 negara telah mengoperasikan G3 dalam beberapa dekade
terakhir. Situs Wikipedia menyebut G3 dalam berbagai varian telah
diproduksi sebanyak 7 juta unit dalam rentang 1958 – 1997. G3 juga
diproduksi di negara lain dibawah lisensi Heckler & Koch, seperti
Saudi Arabia, Norwegia, Swedia, dan Turki. (Dirangkum dari beberap sumber)
Spesifikasi H&K G3
– Kaliber : 7,62 x 51 mm NATO
– Berat: 4,1 kg ( Netto )
– Panjang : 1025 mm
– Panjang laras : 450 mm
– Mekanisme : Roller-delayed blowback
– Kecepatan luncur proyektil : 800 meter per detik
– Jarak tembak efektif : 500 – 700 meter
– Kecepatan tembak : 500 – 600 butir peluru per menit
– Magasin : 20 butir peluru
– Alat bidik : Iron sight
– Kaliber : 7,62 x 51 mm NATO
– Berat: 4,1 kg ( Netto )
– Panjang : 1025 mm
– Panjang laras : 450 mm
– Mekanisme : Roller-delayed blowback
– Kecepatan luncur proyektil : 800 meter per detik
– Jarak tembak efektif : 500 – 700 meter
– Kecepatan tembak : 500 – 600 butir peluru per menit
– Magasin : 20 butir peluru
– Alat bidik : Iron sight
Tidak ada komentar:
Posting Komentar