Masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan tenaga profesional di sektor penerbangan Indonesia. Dari segi
jumlah, dibutuhkan ribuan pilot, teknisi pesawat udara, dan ATC (Air Traffic Controller).
Belum lagi pemenuhan kompetensi dan kapabilitas para tenaga profesional
tersebut, yang sampai saat ini kualitasnya masih harus terus
ditingkatkan. Begitu pula kompetensi para tenaga pendukunnya, seperti
awak kabin, serta petugas pasasi, ground support equipment, dan keamanan atau aviation security
(avsec), profesionalitasnya perlu terus dikembangkan. Padahal ada
target agar mereka bisa menjadi tenaga-tenaga profesional kelas dunia,
bukan sekadar memenuhi kebutuhan nasional. Untuk mengetahui berapa
jumlah tenaga profesional penerbangan yang dibutuhkan serta melihat dan
memahami bagaimana kondisi pendidikan dan pelatihannya, Reni Rohmawati,
Remigius Septian Hermawan, dan Gatot Raharjo menyajikannya dalam Fokus
kali ini.
Sampai saat ini masih sering kita
dengar bahwa Indonesia kekurangan tenaga penerbang, teknisi pesawat
udara, dan ATC. Apakah betul kita memerlukan banyak tenaga profesional
penerbangan itu? Apa yang sudah dan akan dilakukan Pemerintah, dalam hal
ini Kementerian Perhubungan, untuk mengatasi persoalan tersebut?
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM)
Kementerian Perhubungan, Santoso Edi Wibowo, menguraikan tentang isu
strategis kebutuhan tenaga kerja di sektor penerbangan. Dari data CMO
2013-Boeing yang dirilisnya, dunia membutuhkan 980.799 pilot, 1.164.969
Teknisi Pesawat Udara (TPU), dan 139.793 ATC (Air Traffic Controller),
sampai tahun 2030. Sementara itu, di negara-negara Asia Tenggara
dibutuhkan 47.700 TPU dan 42.200 pilot sampai tahun 2029. Kebutuhan
Indonesia diperkirakan 10 persennya dari angka kebutuhan di ASEAN atau
4.770 TPU dan 4.220 pilot, juga 1.000 ATC.
Secara terinci, ia menyebutkan bahwa kebutuhan mereka per tahun untuk
periode 2015-2019 adalah 700 pilot, 800-900 TPU, dan 200-300 ATC. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, saat ini BPSDM Perhubungan hanya dapat
memenuhi 70-90 pilot, 60-90 TPU, dan 120-130 ATC per tahun. Namun selama
lima tahun ke depan (2015-2019) pihaknya menargetkan dapat memasok
3.000 pilot, 4.000 TPU, dan 945 ATC.
BPSDM Perhubungan memang memiliki prasarana dan sarana untuk mencetak
para profesional penerbangan, termasuk meningkatkan kompetensinya.
Sampai tahun ini, sekolah atau tempat diklatnya adalah STPI (Sekolah
Tinggi Penerbangan Indonesia) Curug, ATKP (Akademi Teknis dan
Keselamatan Penerbangan) Medan, ATKP Surabaya, ATKP Makassar, ATKP
Surabaya, dan Loka Diklat Penerbang Banyuwangi. Ada lagi BPP (Balai
Pendidikan dan Pelatihan) Penerbangan Palembang dan BPP Jayapura untuk
diklat kompetensi insan penerbangan.
Ke depan, kata Santoso, akan dibentuk BP3 (Balai Pendidikan dan
Pelatihan Penerbangan), organisasi baru sebagai penyelenggara pelatihan
atau kursus untuk penambahan kompetensi. Secara bertahap, seluruh
pelatihan yang ada STPI pun akan dialihkan ke BP3 agar STPI fokus
sebagai sekolah pendidikan tinggi, bahkan akan ditingkatkan untuk
menghasilkan master of aviation.
Dijamin kerja
Siswa-siswa yang dididik di lembaga pendidikan milik
BPSDM Perhubungan dijamin masuk kerja. “Untuk tenaga ATC, kami punya MoU
dengan AirNav Indonesia, sehingga dijamin masuk kerja, tapi dengan
catatan IP-nya minimal 2,75,” ujar Yudhi Sari Sitompul, Kepala Pusat
Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan Udara BPSDM. Para siswa ATC
yang sekolah di STPI Curug dan ATKP sampai jenjang D3 atau D4 ini pun
harus belajar dengan giat untuk mencapai angka tersebut. “Belakangan
kami sudah salurkan 100 ATC,” ungkapnya.
Begitu juga untuk siswa Teknik Navigasi Udara, yang
masih dibutuhkan oleh AirNav Indonesia, serta PT Angkasa Pura I dan PT
Angkasa Pura II. Namun untuk jurusan Teknik Listrik serta Teknik
Bangunan dan Landasan, secara bertahap jumlahnya akan dikurangi karena
kebutuhannya tidak banyak. Apalagi perguruan tinggi lain juga dapat
mencetak tenaga-tenaga ini. “Kita reduce supaya uang negara tak terbuang sia-sia,” kata Yudhi.
Dibandingkan dengan tenaga-tenaga tadi, kebutuhan
teknisi dan pilot memang lebih banyak. Para siswa yang dididik di Curug
ataupun di ATKP-ATKP langsung direkrut operator penerbangan dan
fasilitas perawatan pesawat (MRO, Maintenance Repair Overhaul).
Karena itulah, untuk memenuhi kebutuhan pilot, BPSDM Perhubungan tahun
lalu membuka Loka Diklat Penerbang di Banyuwangi. “Mudah-mudahan Agustus
nanti angkatan pertama yang lulus. Ada 12 orang,” ujar Yudhi.
Sekolah penerbang di Banyuwangi lebih cepat karena
jenjangnya non-diploma, sedangkan di Curug D2 atau dua tahun pendidikan.
Menurut Yudhi, rencana ke depan, diklat penerbang di Curug akan
“dikeluarkan” dari STPI dan menjadi non-diploma. Tempatnya tetap di
Curug, tapi difokuskan menjadi diklat atau sekolah pilot yang
menghasilkan penerbang dengan kompetensi memuaskan.
Kenapa sekarang ini pilot dari STPI sampai jenjang D2? Karena
diklatnya menjadi bagian dari STPI dan sekolah tinggi diharuskan minimal
mencetak anak didik dari jenjang D2 ke atas. Padahal di negara mana pun
untuk menjadi pilot cukup non-diploma, yang umumnya ditempuh dalam
waktu rata-rata satu tahun. “Kenapa kita pun tidak fokus saja untuk
mendidik profesional pilot?” ucap Yudhi.
Pilot Curug dipertanyakan
Target BPSDM Perhubungan untuk
mencetak pilot sebanyak mungkin dan berkualitas tinggi menjadi harapan
banyak pihak. Namun beberapa kalangan mempertanyakan kondisinya sekarang
ini, terutama menyangkut uang negara yang menjadi bea siswa bagi para
siswanya.
Dalam setahun, seperti digambarkan di atas, STPI hanya meluluskan 70
pilot. Padahal setiap tahun merekrut siswa sampai 200 orang dan uang
negara yang dikucurkan juga tidak sedikit. Kalau setiap siswa mendapat
dana Rp400 juta, berapa yang dikeluarkan dalam setahun? Pertanyaan ini
diungkap oleh para praktisi penerbangan, terutama yang terjun di sekolah
penerbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar