Banyak analisis militer memperkirakan bahwa pertempuran antar jet
fighter di masa kini dan mendatang akan didominasi oleh pola kemampuan beyond visual range air to air missile,
alasannya selain rudal jarak menengah dan jauh kian mumpuni, juga
ditunjang kemampuan radar di pesawat tempur yang kian tajam, target dari
jarak ratusan kilometer pun sudah dengan mudah diendus dan
diidentifikasi. Belum lagi ada dukungan pesawat radar intai seperti
AWACS, menjadikan seorang pilot dengan mudah melibas target dari balik
cakrawala.
Dasar para analis boleh jadi penuh kebenaran, sebagai indikasi jet-jet tempur utama di Asia Tenggara dan Australia, seperti F-16 C/D (Singapura), F-15SG Strike Eagle (Singapura), Sukhoi Su-27SK/Su-30MK (Indonesia), Su-30 MKM (Malaysia), dan F/A-18 Super Hornet (Australia), telah dibekali rudal udara ke udara jara menengah. Nama-nama rudal AIM-120 AMRAAM dan AIM-7 Sparrow besutan Raytheon dan rivalnya R-77 Vympel dari Rusia mewarnai kompetisi beyond visual range air to air missile
di Asia Tenggara. Kepekaan dan kemamapuan sistem deteksi radar tak
pelak menjadi penentu utama jalannya pertempuran, berbanding terbalik
dengan konsep duel udara jarak dekat (dog fight) yang benar-benar menuntut kemampuan manuver aerobatik dari pilot.
Namun dalam skenario pertempuran segala sesuatu harus diperhitungkan
secara mendalam, meski radar di moncong pesawat dapat memindai target
hingga ratusan kilometer, tetap yang namanya perangkat elektronik ada
kemungkinan untuk malfungsi, bisa jadi karena kerusakan sistem
elektronik, atau juga bisa pula radar error akibat mengalami jamming. Pun dalam kondisi tertentu, pilot bisa saja terpaksa harus mematikan radar (radar silent), dimana pancaran gelombang radar justru bisa menjadi penuntun rudal lawan untuk menemukan posisi pesawat.
Nah, rupanya keadaan diatas telah diperhitungkan secara matang oleh
para perancang jet Sukhoi. Dirunut dari kemampuan radarnya, seperti
Sukhoi Su-27 TNI AU telah dibekali radar tipe Fazotron N011 Zhuck-27
(kode NATO: Beetle). Radar pada hidung Sukhoi ini punya kemampuan track while scan alias identifikasi selagi mendeteksi. Kemampuan ini juga diikuti dengan kehebatan lain, seperti look down/ shoot down.
Artinya radar bisa mengenali beragam target yang bertebaran di udara
maupun permukaan. Untuk jarak jangkau radar ini, Beetle dapat mengenali
sasaran sebesar tiga meter pada jarak lebih dari 100 kilometer. Pada
jarak tersebut radar sudah bisa menganalisa sekaligus 10 sasaran yang
dianggap mengancam.
Tapi bila radar diatas error atau pilot harus melakukan radar silent,
maka Sukhoi Su-27/Su-20 Flanker TNI AU masih punya penjejak target yang
canggih dan dapat beroperasi tanpa peran radar. Yang dimaksud disini
adalah OEPS-27. OEPS-27 adalah perangkat berupa sensor elektro optik.
Teknologi OEPS-27 dirancang untuk mencari dan melacak target berikut
emisi infra merah, atau berdasarkan panas yang dihasilkan target.
Hebatnya lagi OEPS-27 dalam membidik target dilengkapi dengan sistem
pengukur jarak dengan basis built in laser.
Bagi yang belum tahu, OEPS-27 mudah dikenali pada jet tempur Sukhoi
Su-27/Su-30. Letak perangkat ini berada di bagian hidung, namun agak
mendekat kokpit, dan bentuknya cukup unik dengan desain bola kaca.
Perangkat ini terdiri dari dua bagian. Pertama disebut sebagai pengukur
jarak bersistem laser (laser range finder) dengan kemampuan pengenalan target hingga delapan kilometer. Kemudian masih dalam bola kaca juga ada IRST (infra red search and track system), dimana sistem ini dapat menjangkau jarak hingga 50 kilometer. Soal cakupan (coverage), untuk sudut azimuth mulai dari -60 sampai +60 derajat, sementara sudut ketinggian mulai dari -60 sampai 15 derajat.
Dengan kombinasi sensor infra merah dan laser, menjadikan Sukhoi
mumpuni dalam membidik, alias presisi tembakan menjadi sangat tinggi.
Sebagai wujud nyatanya, OEPS-27 dapat dimanfaatkan sebagai pengarah
tembakan kanon GSh-30-1 kaliber 30 mm. Tentang kanon Gsh-30-1 memang
agak unik, beda dengan kanon internal pada jet tempur Barat yang banyak
simpanan peluru. Maka kapasitas kanon pada Sukhoi Su-27/Su-30 hanya bisa
menampung 150 butir peluru saja. Ini lantaran pihak pabrikan menjamin
tingkat akurasi tembakan dengan bantuan OEPS-27. Sebagai perbandingan,
kanon internal pada F-16 Fighting Falcon, F-18 Hornet, dan F-15 Eagle
mengsung jenis Vulcan Gatling Gun M61 kaliber 20 mm dengan 500 butir peluru.
Kembali untuk kemampuan OEPS-27, selain diandalkan untuk
pengoperasian kanon, OEPS-27 juga mengambil peran penting dalam
penggunaan rudal udara ke udara jarak dekat, seperti R-73 yang juga telah dimiliki TNI AU.
Dengan basis infra merah, maka OEPS-27 dapat dioperasikan penuh dalam
kondisi siang dan malam hari. Secara keseluruhan, OEPS-27 terdiri dari
empat komponen utama, yakni sensor thermal infra red, helmet-mounted target designator, laser rangefinder dan computer. Bobot komponen total 174 kg.
Sejatinya, OEPS tak hanya untuk keluarga Sukhoi Su-27/Su-30 dan Su-33
saja, jet Rusia lainnya seperti MiG-29 Fulcrum juga mengadopsi OEPS-29,
tapi untuk soal kemampuan, kabarnya OEPS-27 pada Sukhoi jauh lebih
canggih. Mengingat OEPS-27 adalah perangkat sensor yang vital pada
permukaan bodi pesawat, maka sudah lumrah bila setiap kali pesawat
diparkir, perangkat ini diberi pelindung warna merah yang diberi label “Remove Before Flight.” (Haryo Adjie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar