Catatan dari @Palapa:
PKR SIGMA 10514 yang saat ini dibuat oleh PT PAL bekerja sama dengan DAMEN Belanda rencananya adalah untuk menggantikan Korvet Parchim lawas TNI AL yang jumlahnya cukup banyak (sekitar 19 unit). Kenapa dipilih PKR SIGMA 10514 yang termasuk kelas light fregat dan bukan dari kelas korvet juga? Korvet yg dimiliki TNI AL saat ini memiliki banyak keterbatasan, baik dari daya jelajah , sistem pertahanan udara, radar dan juga jenis helikopter yang bisa diangkut, sehingga sulit untuk melindungi perairan Indonesia yg luas. Bandingkan dengan PKR SIGMA 10514, dengan daya jelajah yang lebih jauh, senjata yang mumpuni, sistem pertahanan udara yang tangguh, dan radar yang mendukung, betul-betul pilihan yang ideal untuk menggantikan korvet ini.
PKR SIGMA 10514 yang saat ini dibuat oleh PT PAL bekerja sama dengan DAMEN Belanda rencananya adalah untuk menggantikan Korvet Parchim lawas TNI AL yang jumlahnya cukup banyak (sekitar 19 unit). Kenapa dipilih PKR SIGMA 10514 yang termasuk kelas light fregat dan bukan dari kelas korvet juga? Korvet yg dimiliki TNI AL saat ini memiliki banyak keterbatasan, baik dari daya jelajah , sistem pertahanan udara, radar dan juga jenis helikopter yang bisa diangkut, sehingga sulit untuk melindungi perairan Indonesia yg luas. Bandingkan dengan PKR SIGMA 10514, dengan daya jelajah yang lebih jauh, senjata yang mumpuni, sistem pertahanan udara yang tangguh, dan radar yang mendukung, betul-betul pilihan yang ideal untuk menggantikan korvet ini.
Ke depan, TNI AL tidak akan menggunakan kapal jenis korvet lagi tapi
langsung ke kelas yang lebih tinggi yaitu Light Fregat/PKR SIGMA 10514.
Yang jadi pertanyaan adalah, apakah PKR SIGMA 10514 ini juga untuk
menggantikan Fregat lawas TNI yang jumlahnya sekitar 10 unit termasuk
Fregat kelas Van Speijk ?.
TNI AL memang ingin mengganti Fregat lawasnya, tapi bukan dengan PKR
SIGMA 10514. Inilah maksud kunjungan KSAL ke Rusia. Beliau memang ingin
mencari pengganti Fregat kelas Van Speijk dengan kapal buatan Rusia,
tapi bukan Korvet 20380 Steregushchy, karena Steregushchy satu kelas
dengan PKR SIGMA 10514. Tidak mungkin TNI AL membuat kapal yang satu
kelas dengan investasi yang besar.
Lantas apa yang dicari Pak KSAL? yang dicari beliau tentu yang
kelasnya lebih tinggi dari PKR SIGMA, yaitu Fregat Talwar Class yang
saat ini juga dipunyai India. Fregat Talwar Class yang bisa mengusung
Rudal “maut” seperti yang dimiliki KRI OWA ini, akan ditawarkan untuk
diproduksi di PT PAL (tentu dengan Spec yang diinginkan Indonesia).
Dengan alasan jumlah produksi yang banyak, ditambah padatnya galangan
kapal Rusia melayani order kapal perang dan kapal selam (plus kedekatan
Rusia Indonesia), kemungkinan proyek ini disetujui sangat besar.
Sepertinya Pasangan PKR SIGMA10514 dan Fregat Talwar Class akan menjadi
duet maut, perpaduan blok barat dan timur, seperti yang diinginkan TNI
AL.
Sumber Dana
Keinginan pemerintah untuk kembali menjadi Macan Asia, tampaknya bukan ucapan di mulut saja. TNI AD memodernisasi alutsista ke tingkat yang lebih tinggi seperti: MBT Leopard, Meriam Caesar 155mm, Howitzer tarik 155mm KH 179, Heli Serang Apache AH 64 Guardian, Roket Lapan dan sebagainya. Begitu pula dengan TNI AU dengan pesawat tempur heavy fighter SU 27/30 dilengkapi rudal-rudalnya.
Keinginan pemerintah untuk kembali menjadi Macan Asia, tampaknya bukan ucapan di mulut saja. TNI AD memodernisasi alutsista ke tingkat yang lebih tinggi seperti: MBT Leopard, Meriam Caesar 155mm, Howitzer tarik 155mm KH 179, Heli Serang Apache AH 64 Guardian, Roket Lapan dan sebagainya. Begitu pula dengan TNI AU dengan pesawat tempur heavy fighter SU 27/30 dilengkapi rudal-rudalnya.
TNI AL tidak ketinggalan dengan membeli Rudal Yakhot serta kapal
selam Kilo dan Amur dilengkapi rudal berdaya jangkau 300km. Semua
angkatan berupaya meningkatkan daya gempur dan daya jelajah mereka,
layaknya suara auman macan yang menggentarkan.
Platform utama TNI AL adalah kapal permukaan. Seperti yang
disampaikan Bung Palapa, TNI AL tertarik dengan frigate Talwar Class
Rusia, untuk meningkatkan kemampuan operasional. Sementara Panglima TNI
Jenderal Moeldoko menyatakan TNI tertarik membeli pesawat tempur SU-35,
namun sedang dipikirkan pembiayaan/ sumber dananya.
Berbicara modernisasi dan peningkatan kualitas alutsista tidak
terlepas dari dana yang tersedia. ”Joke” dalam bahasa Jawa adalah: Wani
Piro ?.
Dari mana dana untuk mempercepat modernisasi alutsista TNI ?. Perhatikan tabel di bawah ini !.
Perolehan
pajak Indonesia hingga akhir Desember 2013, diperkirakan Rp 900 sampai
Rp 950 triliun. Agak meleset dari target Rp 1000 triliun. Hal ini tidak
terlepas dari lesunya ekonomi di tahun 2013 dengan tingkat pertumbuhan
5,8 %/ tahun. Sementara tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Indonesia
mencapai 6,2 %.
Meski prosentase pendapatan pajak tahun 2013 berkurang namun secara
jumlah meningkat. Dari Rp 835 triliun (tahun 2012) menjadi Rp 950
triliun tahun 2013.
Pendapatan pajak pada tahun 2014 ditargetkan sekitar Rp 1100 triliun. Kemungkinan tercapai dengan kondisi:
Apakah angka pendapatan pajak itu masih bisa ditingkatkan ?. Sangat
bisa. Sediakan 10.000 ribu lulusan S-1 berlatar belakang ekonomi, maka
tambahan dana Rp 200 hingga Rp 300 triliun/tahun, tidak susah untuk
didapat.
Lihat baik-baik jumlah wajib pajak dibandingkan dengan petugas pemeriksa pajak Indonesia, seperti diagram di bawah ini:
Dari tahun 2009 hingga tahun 2012, jumlah wajib pajak Indonesia terus
meningkat dari 15,9 juta wajib pajak, menjadi sekitar 24,8 juta wajib
pajak (tahun 2012). Sementara jumlah pemeriksa pajak yang sejak dulu
kurang, hanya naik tipis. Akibatnya pada tahun 2012, satu petugas
pemeriksa pajak, harus memeriksa 5758 wajib pajak. Pertanyaannya
adalah, mungkinkah seorang pemeriksa pajak menangani sekitar 6000 wajib
pajak ?. Tidak mungkin. Dengan demikian sangat banyak penduduk Indonesia
yang belum membayar pajak.
Analoginya, jika ada 6000 mobil parkir liar, mungkinkah satu kolektor
memungut uang dari 6000 pengendara mobil itu ?. Tidak mungkin. Bisa
mengumpulkan uang dari 100 pemilik mobil saja, sudah hebat.
Seorang pemeriksa pajak tidak mungkin mem-blast satu pesan SMS ke
6000 wajib pajak dengan pesan: “Pajaknya dibayar ya !”. Tidak akan
didengar. Wajib pajak harus didatangi. Kalau perlu ditakut-takuti akan
masuk penjara jika tidak bayar pajak. Di Eropa orang akan sangat patuh
membayar pajak, karena mereka sadar, akan masuk penjara jika tidak
membayarnya. Di Indonesia orang sadar petugas pemeriksa pajak sangat
sedikit, sehingga jika tidak membayarnya. Tidak ada petugasnya.
Dengan sedikitnya jumlah pemeriksa pajak, lalu wajib pajak yang
seperti apa yang mereka sasar ?. Sudah pasti yang besar-besar yang
diutamakan: Asing dan Local Big Name. Bagaimana dengan wajib pajak di
tingkat menengah dan kecil ?. Ya lolos. Siapa yang mau memeriksa ?.
Petugasnya tidak ada. Dalam bahasa sederhana, kalau saja negara memiliki
petugas pemeriksa pajak dam jumlah mencukupi, maka mereka bisa
mendatangi satu persatu toko di Tanah Abang, Jakarta. Ratusan miliar
rupiah akan tertampung oleh negara dalam setiap bulan. Itu baru Tanah
Abang.
Potensi uang yang berputar di kelas kecil- menengah justru besar
sekali, namun tidak bisa ditangani karena terbatasnya petugas
pajak. Strategi menggarap market kelas kecil menenga, sukses dilakukan
oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI). Kini laba yang diraih oleh BRI telah
melewati pendapatan BNI. Padahal dulu BRI dianggap oleh BNI sebagai
small bank. Satu yang menjadi penyesalan BNI adalah melepas nasabah
kelas kecil -menengah/UKM dan fokus di nasabah kelas atas. Kisah sukses
BRI menunjukkan betapa besarnya potensi pajak yang sebenarnya bisa
digarap oleh Dirjen Pajak
Perbandingan Pegawai Pajak antar Negara.
Tabel di atas menunjukkan rasio perbandingan pegawai pajak dengan
jumlah penduduk. Jerman yang demikian modern dan memiliki 80 juta
penduduk, memiliki perbandingan 1 : 727 penduduk. Sementara Indonesia 1 :
7700 penduduk.
Orang cenderung tidak akan membayar pajak jika tidak diperintah atau
diancam. Untuk itu, petugas pajak adalah kolektor yang harus mendatangi
para wajib pajak. Hal ini khusus untuk wajib pajak kecil menengah. Wajib
pajak kelas berat, rata rata telah memiliki laporan keuangan yang
transparan karena telah listing di bursa, sehingga susah untuk menutupi
laporan keuangan mereka.
Kondisi diperparah lagi dengan jumlah kantor yangmasih minim. Yang
ada, masyarakat sulit untuk menemukan kantor pajak, apalagi untuk
membayar pajak. Ironi bukan. Negara ini hidupnya sebagian besar dari
pajak, namun jumlah pegawainya sangat minim. Jumlah pemeriksanya 4300
orang untuk memeriksa 240 juta wajib pajak. Bagaimana mau mendapatkan
duit.
Jika jumlah pegawai pajak ditambah sebanyak 10.000 orang,
mengumpulkan uang tambahan 300- 400 triliun / tahun bukanlah perkara
sulit. Selain dana untuk alutsista, tambahan pendapatan pajak Rp 300
triliun/ tahun bisa digunakan untuk menggarap berbagai mega proyek,
sehingga tidak perlu meminjam ke luar negeri.
BankK BRI bisa berkembang dan menggarap nasabah UKM dengan cara
menambah pegawai hingga puluhan ribu dan menyebar kantor-kantornya.
Pihak BRI bisa sesuka hati menambah pegawainya. Sementara Dirjen Pajak,
penentuan jumlah pegawai ditentukan oleh Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara, bukan di bawah Menteri Keuangan. Yang paling susah
adalah jikan Menpan, tidak paham kebutuhan orang pajak.
Ironi lainnya adalah, orang pajak/Dirjen pajak tidak bisa mengetahui
rekening wajib pajak (WP). Padahal bila orang pajak bisa memeriksa
rekening wajib pajak, maka sangat besar uang pajak yang bisa diperoleh.
Dari rekening itu, akan terbaca pola keuganan WP, apakah pura-pura tekor
untuk menghindari pajak atau sebenarnya untung berlimpah.
Di Malaysia, petugas pajak bisa datang sesuka hati ke Bank dan
membuka/memerika rekening wajib pajak, dengan cara tinggal menunjukkan
bedge petugas pajak mereka. Jangan tanya di Jepang dan Jerman. Indonesia
sangat tertinggal untuk urusan yang satu ini. Kuncinya ada di DPR.
Apakah DPR mengijinkan petugas pajak memeriksa rekening para wajib
pajak ?. Butuh komitmen politik yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar