Demi melindungi kepentingan nasionalnya, cara apa pun ditempuh oleh
Badan Intelijen Keamanan Australia (ASIO). Selasa sore lalu, dua agen
ASIO mengobrak-abrik kantor biro hukum tempat Bernard Collaery bekerja
di Canberra, Australia. Sejumlah file kertas dan elektronik diambil
paksa. Tidak cuma itu, seorang bekas intel ASIO yang menjadi whistle
blower, menurut Collaery, kemungkinan besar juga telah diciduk dalam
penggerebekan secara terpisah di ibu kota "negeri kanguru" itu. ASIO
menabrak aturan hukum hanya untuk menghilangkan semua barang bukti yang
bakal dibawa Collaery dalam sidang arbitrase di Den Haag, Belanda.
Pertikaian antara Timor Leste dan Australia dipicu oleh penyadapan
saat negosiasi yang membahas Perjanjian Pengaturan Maritim Tertentu di
Laut Timor (CMATS) berlangsung tahun 2004 lalu. Perjanjian senilai US$
40 milyar tersebut menyepakati pembagian 50:50 dari keuntungan
eksplorasi minyak dan gas di kawasan Laut Timor.
Awal tahun 2013, Pemerintah Timor Leste menuduh agen-agen Dinas
Intelijen Rahasia Australia (ASIS) telah menyusup ke ruang perundingan
dan kantor perdana menteri di Dili untuk menanam alat penyadapan.
Collaery yang kini ada di Den Haag mengungkapkan dokumen yang diambil
ASIO mencakup keterangan mengenai Australia yang memasang perangkat
penyadap di dinding ruang Kabinet Pemerintah Timor Leste, sebelum
negosiasi. Beruntung sekali, barang bukti yang diincar ASIO sudah ada
bersamanya. ''Bukti itu ada di sini. Aku tidak bisa menilai apa yang
pemerintah harapkan dari tindakan agresif itu,'' ujarnya.
Sementara itu, pada Jumat pekan lalu presiden Dewan Menteri Timor
Leste, Agio Pereira, yang juga menjadi penasihat Perdana Menteri Xanana
Gusmao, mengatakan bahwa pihak Australia mengambil keuntungan dari
penyadapan tersebut.
''Tindakan itu bukan soal perkara tidak adil, namun hal itu
menimbulkan kerugian besar bagi pihak lain. Dan sesuai dengan hukum
internasional, Konvensi Wina dan hukum perjanjian, kita diharuskan
bernegosiasi dengan niat baik,'' katanya seperti dikutip Australian
ABC.
Pereira, yang kecewa atas tindakan Australia itu, menegaskan bahwa
Pemerintah Timor Leste akan serius membawa kasus tersebut ke panel
arbitrase di Den Haag. ''Ini bukan soal uang, ini menyangkut kedaulatan,
ini terkait dengan keyakinan, dan ini mengenai masa depan dari generasi
muda. Ini sangat penting untuk Timor Leste,'' ia menandaskan.
Agresivitas Australia merecoki Timor Leste, menurut bekas Atase
Pertahanan (Athan) Kedubes Indonesia di Canberra tahun 1998-2001,
Mayjend Purnawirawan Judimagio Jusuf, harus dibaca dalam konteks menjaga
kepentingan nasionalnya, baik dari dalam maupun dari luar.
''Dari kacamata saya, intelijen itu aksi akal-akalan. Kalau ketahuan,
ya, bodoh. Semua negara pasti melakukan kegiatan intelijen. Yang bagus,
ya, tidak ketahuan,'' kata alumnus Akabri tahun 1973 ini.
Menantu mendiang Jenderal Achmad Yani dan anak Mayjend Achmad Jusuf
itu mengatakan bahwa spionase dan intervensi Barat sudah muncul sejak
Indonesia baru merdeka. Belanda yang berambisi menjajah lagi membuat
permufakatan dengan Inggris dan mendompleng tentara sekutu (AFNEI).
Operasi intelijen agen-agen dinas rahasia Amerika Serikat (CIA) juga
dilakukan secara terbuka dalam pemberontakan PRRI/Permesta yang ingin
mendongkel Presiden Soekarno.
Program Civic Mission dari CIA yang berlanjut pada Military Training
Advisory Group (MILTAC) pada 1962, dan munculnya dokumen Gilchrist
menjelang G-30-S/PKI, adalah secuil dari gempuran penetrasi kepentingan
Barat.
''Campur tangan intel-intel dinas rahasia asing juga tampak dalam
sejumlah peristiwa politik, sengketa diplomatik dan konflik bersenjata
dengan beberapa negeri jiran,'' Judimagio mengungkapkan.
Gugurnya Komodor Yos Sudarso bersama tenggelamnya KRI Matjan Tutul
karena operasi Trikora berhasil disadap radar dari Darwin dan
dibocorkannya ke pihak Belanda, sehingga pesawat Neptune dengan leluasa
melakukan pencegatan.
Waktu itu, sikap Australia mendukung Papua di bawah Belanda.
Cawe-cawe Australia dan CIA muncul lagi saat Indonesia masuk ke Timor
Timor. Demikian pula saat Australia mengusulkan plebisit atau penentuan
nasib sendiri warga Timor Timur pada 1999.
Perubahan sikap politik luar negeri Australia, menurut Judimagio,
semata karena didasarkan atas kepentingan nasionalnya serta siapa partai
yang berkuasa.
Di bawah traktat ANSUZ, sejak 1951 Australia menjadi sekutu resmi
Amerika Serikat. Lalu Australia bersama Selandia Baru, Britania Raya,
Malaysia, dan Singapura sepakat dalam Five Power Defence Arrangements.
Untuk urusan militer, pertahanan dan aksi spionase sudah ada kesepakatan
untuk saling membantu dan berbagi informasi.
Namun, menurut Judimagio, kebijakan politik luar negeri sering
bergeser ketika Partai Buruh berkuasa. Dukungan pada kemerdekaan
Indonesia tahun 1945, misalnya, muncul dari Partai Buruh yang berkuasa.
Demikian juga, penghapusan kebijakan Australia Putih tahun 1973 dan
fokus pada penguatan hubungan dengan negara-negara lingkar Pasifik
muncul saat pemerintahan Whitlam dari Partai Buruh memimpin.
Sikap Partai Buruh Australia yang ingin membina hubungan langgeng
dengan Pemerintah Indonesia memang sudah menjadi pakem. Menurut mantan
Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI, Mayor Jenderal
Purnawirawan Zacky Anwar Makarim, Perdana Menteri Gough Withlam pernah
bertemu Pak Harto di Wonosobo, Jawa Tengah, pada September 1974 untuk
urusan Timor Timur.
Kudeta di Lisbon pada 1974 mengkhawatirkan Australia yang takut
peristiwa itu merembet pada terjadinya perang sipil di Timor Timur.
''Withlam menawarkan diri sebagai penengah antara Portugal, Indonesia,
dan kelompok-kelompok nasionalis di Timor Timur. Australia takut komunis
berkuasa di Timor Timur dan mengganggu kestabilan kedua negara,''
ungkap Zacky.
Dalam pertemuan itu. Withlam menawarkan konsep natural extention of
the Republic of Indonesia. ''Intinya, Australia sangat setuju kalau
Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia dengan cara elegan,'' ujar
Zacky.
Entah kenapa, tawaran itu tidak disambut dengan segera, terutama,
oleh pihak-pihak yang bertikai. Pemerintahan Withlam berakhir pada 11
November 1977 dan digantikan Malcolm Fraser dari Partai Liberal. Sejak
saat itu gaung tawaran Withlam pun menghilang.
Penting dan tulusnya hubungan Australia-Indonesia, menurut Zacky,
juga muncul saat Australia mendesak masalah Indonesia dibawa kepada
Dewan Keamanan PBB pada 30 Juli 1947. Australia saat itu menyebut
Belanda telah melakukan pelanggaran perdamaian.
''Pemerintahan Partai Buruh di bawah Perdana Menteri J.B. Chifley
mendesak Belanda mau berunding dan menyerahkan kedaulatan ke Indonesia.
Melalui Konferensi Meja Bundar, barulah Belanda menyerahkan kedaultannya
ke Indonesia,'' katanya.
Rekam jejak perubahan sikap Australia terhadap Indonesia memang
panas-dingin dan naik-turun. Pada 1995, hubungan Indonesia-Australia
mencapai puncaknya dalam ikatan kerja sama yang didasarkan pada
confidence building measures (CBM).
''Saling percaya sampai muncul kerja sama Timor Gap,'' ungkap
Judimagio. Namun, saat Australia menuduh TNI melakukan kekerasan di
Timor Timur pada 1999, John Howard langsung me-review dan menunda kerja
sama dengan TNI-AD. Sedangkan kerja sama Australia dengan TNI-AU dan
TNI-AL dilanjutkan.
Jenderal Wiranto menyikapinya dengan membekukan semua kerja sama
antara TNI dan Australia. Toh, pada 2003, atase militer dari Kedubes
Australia di Jakarta mencoba membuka kembali kerja sama itu.
''Ketika saya menjadi Aspam KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu, pihak
Atase Militer Kedubes Australia datang ke saya dan meminta bantuan untuk
mengembalikan kerja sama itu,'' ungkap Judimagio.
[G.A. Guritno, Sandika Prihatnala, Asrori S. Karni dan Bernadetta Febriana]
[LAPORAN UTAMA, Majalah GATRA Edisi no 05 tahun ke 20, Beredar 5 Desember 2013]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar