Mengapa Gerakan 30
September 1965 gagal, bahkan hanya dalam hitungan hari? Padahal PKI,
pihak yang dalam versi resmi dituding sebagai dalang, bukan partai
gurem. Anggotanya jutaan. Sejumlah perwira militer juga terlbat.
Sejumlah akademisi telah coba menguliknya. Salah
satunya adalah John Roosa, sejarawan dari Universitas Columbia, Kanada.
Dalam buku Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'Etat in Indonesia (2006),
ia mengarisbawahi kehadiran catatan yang dibuat Brigjen Supardjo, salah
seorang yang terlibat dalam gerakan tersebut--bahkan tentara dengan
pangkat tertinggi.
Catatan itu berjudul 'Beberapa Pendapat jang
Mempengaruhi Gagalnja “G-30-S” Dipandang dari Sudut Militer (1966).'
Selama puluhan tahun, para analis mengabaikannya meski tersedia di
Museum TNI Satria Mandala, Jakarta. Roosa kemudian menyebutnya sebagai
'Dokumen Supardjo.'
Menurut Roosa, Dokumen Supardjo penting
karena ditulis sebelum ia tertangkap. "...informasi yang terkandung di
dalamnya mempunyai bobot keterandalan dan kejujuran yang khas. Supardjo
menulis demi kepentingan kawan-kawannya, bukan bagi para interogator dan
penuntut umum yang memusuhinya," tulisnya.
Kesimpulan Supardjo: G
30 S gagal karena gerakan ini dipimpin seorang sipil, Sjam, yang tahu
sedikit sekali tentang prosedur-prosedur kemiliteran. "Dengan
menempatkan diri sebagai orang yang berwenang atas sebuah aksi militer,
Sjam menimbulkan kekacauan tentang garis komando di dalam kelompok
inti," tulis Roosa.
Saat tiba di Halim Perdanakusumah, sehari
sebelum kejadian, Supardjo mengaku bingung tentang siapa sebenarnya yang
memimpin G 30 S. Gerakan ini mengabaikan prinsip-prinsip baku
organisasi kemiliteran, tidak memiliki komandan tunggal.
"Kerja
sama antara kelompok PKI (Sjam dan Pono) dengan kelompok militer
(Untung, Latief, dan Soejono) tersusun sangat longgar, sehingga dua
kelompok tersebut terus-menerus berdebat tentang apa yang harus
dilakukan, bahkan pada saat-saat kritis ketika keputusan harus segera
diambil," tulis Roosa.
Persiapan Tidak Matang
Roosa
menyatakan, Supardjo menulis catatan itu sebagai seorang perwira yang
dibingungkan oleh semua penyimpangan gerakan dari praktik baku
kemiliteran. Supardjo menjadi brigadir jenderal pada umur 44 karena
kepiawaiannya sebagai ahli strategi dalam sejumlah pertempuran.
Dalam bagian lain, Supardjo menulis, perencanaan gerakan ini kurang matang. "Rentjana
operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal. Titik berat hanja
pada pengambilan 7 Djenderal sadja. Bagaimana kemudian bila berhasil,
tidak djelas, atau bagaimana kalau gagal djuga tidak djelas," tulis Supardjo.
Supardjo
memang lebih berfungsi sebagai penasihat ketimbang sebagai panglima.
Lihat, ia baru datang pada 29 September ke Jakarta. Pada hari-hari
sebelumnya, ia ada di Kalimantan sebagai komandan militer dalam
konfrontasi dengan Malaysia.
Melihat kemampuan dan kebesaran PKI, Supardjo yakin, gerakan itu sebenarnya bisa berhasil jika dipersiapkan dengan matang.
"Saja
ibaratkan seorang pemasak jang mempunjai bumbu, sayur2 jang serba
tjukup, tetapi kalau tidak pandai menilai temperatur dari panasnja
minjak, besarnja api, bilamana bumbu2 itu ditjemplungkan dan mana jang
didahulukan dimasak maka masakan itu pun tidak akan enak," tulisnya.
Supardjo belakangan ditangkap. Ia dieksekusi mati pada 13 Maret 1967.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar