Bagi para pemerhati bidang kemiliteran, laga operasi Seroja di Timor
Timur yang dimulai tahun 1975 masih membekas hingga saat ini. Pasalnya
inilah operasi tempur gabungan TNI terbesar yang pernah diselenggarakan.
Untuk unsur udara misalnya, beragam pesawat dan helikopter dilibatkan
di wilayah yang kini telah menjelma sebagai negara Timor Leste.
Bicara tentang pesawat, operasi militer ini melibatkan elemen pemukul
seperti jet tempur T-33 Bird dan A-4 Skyhawk, serta pesawat tempur
propeler anti gerilya, OV-10F Bronco.
Ketiga pesawat yang disebutkan tadi, berperan guna melaksanakan misi
penghancuran perkubuan musuh dan BTU (bantuan tembakan udara) kepada
unit infanteri di darat. Tapi lain dari itu, sebenarnya masih ada sosok
pesawat pemukul lain yang punya andil besar dalam operasi Seroja.
Pesawat ini basisnya justru bukan pesawat tempur, melainkan pesawat
penumpang/cargo yang amat legendaris, dan masuk kategori veteran Perang
Dunia Kedua, C-47 Skytrain dalam versi militer.
Sementara dalam versi sipil, pesawat ini lebih kondang disebut dengan
identitas DC-3 Dakota, buatan Douglas Aircraft Company. Bila menyebut
Dakota, rasanya sebagian besar penduduk di Republik ini, betapa besar
peran pesawat angkut ringan ini dalam masa perjuangan kemerdekaan RI.
Meski kondang digunakan dalam laga Perang Dunia Kedua, tidak menyurutkan
aktivitas pesawat ini. Selain dominan untuk misi penerbangan sipil,
versi militer Dakota juga tak surut dalam penugasan. Bahkan pesawat gaek yang battle proven ini mendapat ‘peran’ baru sebagai gunship.
Penggunaan DC-3 Dakota sebagai pesawat gunship pertama kali dilakukan
di Na Trang, dalam kancah Perang Vietnam pada tahun 1964. Pada waktu
itu pesawat C-47 Skytrain (versi militer dari DC-3 Dakota) dipersenjatai
dengan senapan mesin GE (General Electric) gatling kaliber 7,62mm
disisi kiri pesawat dekat dengan cargo door. Dalam perkembangan
selanjutnya senapan mesin GE 7,62mm diganti dengan tiga senapan mesin
berat (SMB) Browning AN-M3 kaliber 12,7mm.
Pada awalnya pesawat Dakota bersenjata itu disebut FC (Fighter
Cargo)-47 Gunship. Tetapi kemudian nama itu berubah menjadi AC (Attack
Cargo)-47 Gunship. Dalam Perang Vietnam pesawat tersebut dijuluki Puff
the magic Dragon. Dalam buku “Operasi Udara di Timor Timur,” karya
Hendro Subroto, disebutkan TNI AU lewat Skadron Udara 2/Angkut Ringan
mengoperasikan dua unit AC-47 dalam operasi Seroja di Timor Timur. AC-47
Gunship T-485 dan T-486 merupakan bekas pakai dari Perang Vietnam.
Kedua pesawat dipersenjatai dengan tiga SMB kaliber 12,7mm dekat cargo door dengan dukungan alat bidik prisma di kokpit.
Proses penembakkan menyamping dilakukan oleh penerbang dengan cara
miring ke kiri. Di Indonesia, uji coba penembakkan AC-47 Gunship
dilakukan di Pameumpeuk, Jawa Barat, sedangkan demonstrasi penembakkan
dilakukan di Selat Sunda dengan disaksikan oleh KSAU Marsekal TNI Ashadi
Tjahyadi. Sasaran di tengah laut baru dapat terkena tembakan pada run
(putaran) ketiga. Tetapi sebenarnya temabakan AC-47 Gunship bukan untuk
menembak sasaran secara pint point, melainkan tembakan secara acak untuk
misi anti gerilya.
SMB 12,7mm mengusung tipe T25E3 atau AN-M3 pada pesawat Gunship punya
kemampuan melontarkan proyektil 850-900 per menit, berarti hampir dua
kali lipat dibanding SMB M2HB (Heavy Barrel) yang
digunakan pasukan infanteri dan kavaleri. AN-M3 punya perbedaan 26
komponen dibanding dengan senapan mesin standar M2. Jika AN-M3 dalam
keadaan baru, maka gangguan senjata berupa kemacetan biasanya terjadi
setelah menembakkan sebanyak 4.000 peluru. Rangkaian peluru 99 x 12,7mm
senapa mesin AN-M3 disusun empat peluru tajam dan satu peluru tracer
atau empat peluru tajam dengan satu peluru asap. Tracer maupun peluru
asap yang dapat dilihat dengan mata telanjang digunakan untuk menentukan
ketepatan perkenaan tembakan dan untuk melakukan koreksi tembakan.
Untuk mempertahankan ketepatan tembakkan, maka laras harus diganti
setelah mencapai suhu tertentu. Laras pada Gunship dapat diganti oleh
awak senjata, termasuk pada jacket pendingin di udara. Pengisian amunisi
dan penggantian laras senapan mesin di udara hanya memakan waktu
sekitar empat hingga lima menit. Dalam pengembangan kelompok pesawat
Attack Cargo selanjutnya, penempatan posisi senjata di kiri bod pesawat
juga diterapkan pada AC-130 Spectre, Gunship andalam AS yang memakai
basis pesawat angkut berat C-130 Hercules.
Perangkat Komunikasi
Perangkat komuinkasi pada AC-47 Gunship TNI AU Skadron Udara 2 terdiri dari VHF-AM type AM/APC3 untuk antar pesawat dengan delapan frequency channel, tetapi hanya terdapat tiga Kristal untuk operating frequency, yaitu 118,1 Mhz, 119,1 Mhz, dan 118,3 Mhz, sedangkan frekuensi yang digunakan ialah 119,7 Mhz dan 122,5 Mhz untuk frekuensi darurat. Sayangnya Gunsip TNI AU ini tidak memiliki radio frekuensi VHF-FM yang merupakan frekuensi standar pasukan TNI AD dan Korps Marinir TNI AL. AC-47 juga tidak memiliki cross gate yang mampu merubah frekuensi VHF-FM menjadi VHF-AM dan sebaliknya. Menjadikan AC-47 tidak dapat melakukan komunikasi langsung dengan ground FAC (Forward Air Control). Untuk koordinasi dengan pasukan di darat dilakukan melalui relay station. Faktor perbedaan antara pesawat Gunship dengan ground FAC merupakan kendala yang dihadapi dalam menyelenggarakan kelancaran operasi udara di Timor Timur. Padahal komunikasi merupakan kunci utama dalam keberhasilan operasi tempur. Di kemudian hari, kekurangan pada frekuensi VHF-FM dapat diatasi oleh OV-10F Bronco.
Perangkat komuinkasi pada AC-47 Gunship TNI AU Skadron Udara 2 terdiri dari VHF-AM type AM/APC3 untuk antar pesawat dengan delapan frequency channel, tetapi hanya terdapat tiga Kristal untuk operating frequency, yaitu 118,1 Mhz, 119,1 Mhz, dan 118,3 Mhz, sedangkan frekuensi yang digunakan ialah 119,7 Mhz dan 122,5 Mhz untuk frekuensi darurat. Sayangnya Gunsip TNI AU ini tidak memiliki radio frekuensi VHF-FM yang merupakan frekuensi standar pasukan TNI AD dan Korps Marinir TNI AL. AC-47 juga tidak memiliki cross gate yang mampu merubah frekuensi VHF-FM menjadi VHF-AM dan sebaliknya. Menjadikan AC-47 tidak dapat melakukan komunikasi langsung dengan ground FAC (Forward Air Control). Untuk koordinasi dengan pasukan di darat dilakukan melalui relay station. Faktor perbedaan antara pesawat Gunship dengan ground FAC merupakan kendala yang dihadapi dalam menyelenggarakan kelancaran operasi udara di Timor Timur. Padahal komunikasi merupakan kunci utama dalam keberhasilan operasi tempur. Di kemudian hari, kekurangan pada frekuensi VHF-FM dapat diatasi oleh OV-10F Bronco.
Antara Kelebihan dan Kekurangan
Dengan spesifiksi yang ada, AC-47 Gunship yang punya kecepatan rendah dapat mempetinggi ketepatan tembakan. Disisi lain, pesawat Gunship jadi rawan terhadap tembakan dari darat, terutama jika dilakukan di daerah pegunungan, seperti Aileu dan Matabean. Dalam melakukan bantuan tembakan udara terhadap pengunduran Fretilin ke Aileu di perkebunan kopi Costa Alves di Balibar pada 7 Desember 1975, pesawat Gunship T-486 masuk dari arah timur kemudian miring ke kiri untuk melepaskan tembakan.
Dengan spesifiksi yang ada, AC-47 Gunship yang punya kecepatan rendah dapat mempetinggi ketepatan tembakan. Disisi lain, pesawat Gunship jadi rawan terhadap tembakan dari darat, terutama jika dilakukan di daerah pegunungan, seperti Aileu dan Matabean. Dalam melakukan bantuan tembakan udara terhadap pengunduran Fretilin ke Aileu di perkebunan kopi Costa Alves di Balibar pada 7 Desember 1975, pesawat Gunship T-486 masuk dari arah timur kemudian miring ke kiri untuk melepaskan tembakan.
Faktanya, bantuan tembakkan di lereng bukit semacam itu rawan
terhadap tembakan lawan dari bawah, dari samping kiri maupun dari atas
bukit. Untuk memperkecil kemungkinan terkena tembakan, maka Gunship
melancarkan tembakan dari jarak jauh. Dengan demikian tembakan yang
dilakukan kurang efektif dan lebih bersifat menurunkan moril lawan
ketimbang penghancuran terhadap lawan. Saat member BTU di Aileu, Gunship
T-486 terkena tembakan pada tanki bahan bakar bagian depan kiri dan
bagian sayap, yang mengakibatkan kerusakan sedang. Untungnya peluru yang
mengenai tanki bahan bakar avigas bukan dari jenis tracer atau peluru
api, sehingga tidak menimbulkan kebakaran atau ledakan pada tanki.
Saat berlangsung serbuan pasukan lintas udara di kota Dili pada 7
Desember 1975, dua Gunship TNI AU tidak digerakkan untuk memberikan BTU.
Pada waktu itu, AC-47 tidak mengudara dikarenakan kecepatan pesawat
yang rendah terlalu rawan untuk memberikan BTU di atas kota Dili.
Elevasi kota Dili yang semakin ke selatan semakin tinggi, akan memaksa
Gunship terbang terlalu tinggi, sehingga serangan yang dilakukan menjadi
kurang efektif.
Dalam operasi udara di Timor Timur, dua Gunship T-485 dan T-486 juga
digunakan untuk melakukan perkuatan pasukan dengan cara air landed dan
kadang-kadang melakukan evakuasi medic udara taktis. Pada awal operasi
udara, sebagian besar BTU dilakukan di sector barat, seperti Aileu,
Maliana, Bobonaro, Airnaro Maubisse sampai Suai. Tetapi daerah
operasinya kemudian berkembang ke sektor tengah, walaupun tidak banyak.
Di sektor timur, Gunship mendukung gerakan tempur pasukan Yonif
328/Raider dariu Baucau untuk merebut Mantuto. Kedudukan Fretilin di
lereng-lereng bukit untuk melakukan penghadangan di tepi jalan pantai,
sangat sulit dilawan dari darat.
Setelah satu flight tiga pesawat anti gerilya OV-10F Bronco Skandron Udara 3 dioperasikan di Timor Timur dari lanud Penfui, Kupang (sekarang lanud El Tari) pada Oktober 1976, maka kegiatan operasi Gunship berangsur-angsur semakin menurun dan akhirnya tidak dioperasikan lagi. Kemudian, akhirnya dua AC-47 Gunship dikembalikan fungsinya menjadi pesawat angkut. Penggunaan keluarga Dakota di Timor Timur bukan hanya sebagai pesawat angkut maupun sebagai pesawat Gunship , tetapi juga digunakan sebagai pesawat airbone command dan control post, evakuasi medic udara taktis, foto udara, dukungan logistik, hingga penyebaran pamflet dari udara.
Dari segi performance, pesawat yang ditenagai dua mesin Pratt & Whitney R-1830 radial, dapat menghasilkan tenaga 1.200 hp untuk setiap mesinnya. Dari kemampuan mesin tersebut, dapat dicapat kecepatan maksimum 375 km/jam, sementara kecepatan jelajahnya 280 km/jam. Dalam kondisi normal, pesawat ini dapat terbang hingga jarak 3.500 km. Untuk ketinggian terbang maksimum hingga 7.450 meter. Secara umum, berat kosong pesawat mencapai 8.200 kg, dan untuk beban maksimum berikut isi mencapai 14.900 kg.
Dalam operasi tempur, AC-47 membawa delapan kru, terdiri dari pilot, kopilot, navigator, loadmaster, dan juru tembak. Melihat rentang pengabdian keluarga Dakota yang begitu panjang dan bersejarah di Republik ini, sangat layak bagi kita untuk mengacungkan jempol untuk pengabdian pesawat angkut ringan ini. Eksistensi nama-nama besar di Tanah Air, seperti Adisucipto dan Soekarno – Hatta, tentunya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Dakota.
Dengan biaya operasi yang murah, AC-47 juga laris digunakan oleh negara-negara berkocek cekak yang menghadapi pergolakan senjata di dalam negeri, beberapa diantaranya seperti Kolombia, El Salvador, Kamboja, Laos, Filipina, Rhodesia, Vietnam, dan Thailand. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Indomiliter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar