Buntoro
adalah seorang prajurit berpangkat Prajurit Dua (Prada) yang berasal
dari Divisi Diponegoro, Batalyon (Yon) 450 Purwokerto Jawa Tengah. Dia
mengikuti test masuk calon anggota Tjakrabirawa (pasukan khusus pengawal
kepresidenan) yang dibentuk pada tahun 1962. Setelah dinyatakan lulus,
ia berangkat ke Jakarta dan menempati markas barunya di Tanah Abang II.
Di Tjakrabirawa, dia tergabung dalam Yon I yang terdiri dari TNI AD
dengan komandan Letkol Untung Samsuri.
Menjelang 1 Oktober 1965, seluruh kalangan Tjakrabirawa merasa curiga
dengan tindakan Panglima Kostrad, Jenderal Soeharto, yang memerintahkan
batalyon-batalyon elit dari Jateng dan Jatim untuk "stand by" di
Jakarta dalam rangka persiapan peringatan HUT ABRI 5 Oktober 1965.
Buntoro pun merasa heran, mengapa untuk upacara saja didatangkan pasukan
elit dengan perlengkapan tempur lengkap serta peluru tajam pula?
Buntoro sangat tahu pasti, pasukan yang datang dari Jateng dan Jatim
tersebut, Yon 454 Diponegoro dan Yon 530 Brawijaya, semuanya adalah
penembak mahir. Perlukah untuk suatu upacara, memngusung penembak mahir
dalam keadaan siap tempur dengan persenjataan lengkap?
Para anggota pasukan Tjakrabirawa yang bertugas menjaga keselamatan
Presiden Soekarno semakin curiga. Apalagi isu mengenai Dewan Jenderal
yang dikabarkan akan melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965 sudah beredar
luas di kalangan Tjakrabirawa. Untuk itukah maka pasukan penembak mahir
dengan perlengkapan tempur lengkap didatangkan?
Nah, pada pukul 01.00 WIB tanggal 1 Oktober 1965, sepasukan
Tjakrabirawa dimana Buntoro bergabung berkumpul. Pada pukul 02.00 WIB
mereka bergerak sesuai instruksi "untuk mengambil para anggota Dewan
Jenderal guna dimintai keterangan serta tanggung jawab dengan
menghadapkan mereka kepada Bung Karno. Yang salah diadili, sedangkan
yang tidak salah dilepas kembali.
Buntoro memahami instruksi tersebut, yang artinya para Jenderal harus
"diambil" dalam keadaan hidup. Ia bergabung dengan pasukan yang terdiri
dari satu peleton Yon I Tjakra dibawah pimpinan Sersan Mayor Satar
untuk mengambil Mayjen TNI/AD S. Parman dalam keadaan hidup. Mereka
berhasil melaksanakan tugas tersebut dengan mudah. Pukul 04.00 WIB
mereka sudah membawa Mayjen S. Parman ke Lubang Buaya dan sesuai
perintah menyerahkannya kepada Letkol Untung lewat Satar. Merasa
tugasnya sudah selesai, Buntoro bersama teman-temannya beristirahat.
Ketika itu dia melihat, di Lubang Buaya hanya ada tentara, ya
Tjakrabirawa itu. "Dan ada pasukan lain, saya tidak tahu siapa mereka.
Mungkin dari Kodam Jaya," katanya. "Yang jelas, disitu tidak ada orang
sipil satu pun, karena memang orang sipil dilarang masuk dan memang
tidak ada. Itu kawasan militer," sambungnya.
Adegan penyiksaan sadis terhadap Mayjen S. Parman dalam Film Pengkhianatan G30S/PKI karya sutradara Arifin C. Noer
Jelas sudah, tidak ada Gerwani dan Pemuda Rakyat, apalagi "Pesta
Harum Bunga" (pesta seks gila-gilaan) di tempat tersebut. Karena lelah,
Buntoro dan teman-temannya tertidur. Namun kemudian mereka terkejut
karena mendengar suara rentetan tembakan. Siapa yang menembak dan siapa
yang ditembak? Buntoro dan kawan-kawannya bingung. Prajurit
Tjakrabirawa? Bukankah mereka tertidur bersamanya? Dan bukankah para
Jenderal harus ditangkap dalam keadaan hidup? Mereka kemudian mendengar
bahwa yang ditembaki adalah para Jenderal. Semua mati dan dimasukkan ke
dalam sebuah sumur tua yang sempit.
"Kami merasa dikhianati. Kami harus menangkap para Jenderal dalam
keadaan hidup untuk dihadapkan kepada Bung Karno. Perintah itu sudah
kami laksanakan. Tetapi di Lubang Buaya mereka dibunuh." ucapnya dengan
nada getir.
Buntoro bersama teman-temannya berusaha mencari komandannya, Serma
Satar, dan bersama Satar mereka mencari Untung. Sayangnya, yang mereka
cari tidak ada. Hingga akhirnya mereka ditangkap oleh pasukan RPKAD
(Resimen Para Komando Angkatan Darat) dan Kostrad.
(Tempo dan berbagai sumber lain)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar