Indonesia pernah menjadi Negara yang memiliki kekuatan angkatan laut
terbesar kedua di Asia. Kekuatannya berintikan Kapal Penjelajah kelas
Sverdlov, KRI Irian, yang berbobot 16.640 ton dan berawak 1.270 orang
termasuk 60 perwira memiliki 12 meriam raksasa kaliber 6 inci.
Indonesia juga pernah memiliki 12 Kapal Selam (KS) kelas Whiskey,
Kapal Tempur kelas Fregat. Sedangkan di udara hadir pembom torpedo
Il-28T, heli Mi-4 Anti KS, serta AS 4 Gannet. Namun sayangnya, kondisi
Alut Sista saat ini jauh dari kebutuhan untuk menjaga dan mempertahankan
Negara.
Kekuatan TNI AL khususnya, kapal perang sebagai inti kekuatan laut
saat ini memang menunjukkan jumlah yang cukup besar. Namun, menjadi
pertanyaan apakah sudah memenuhi postur pertahanan Negara yang
dibutuhkan?
Kapal Republik Indonesia (KRI) berjumlah 132 kapal, KRI, dengan
kekuatan utama berupa kekuatan pemukul (Striking Force) terdiri dari 40
KRI yang memiliki persenjataan strategis. Utamanya dua KS jenis Cakra,
sejumlah Fregat dan Korvet.
Kapal pemukul TNI AL secara jumlah masih kurang memadai. Apalagi,
pada umumnya merupakan kapal hasil refit dan rearm atau diganti mesin
penggerak dan persenjataannya, kecuali 4 Korvet kelas SIGMA (Ship
Integrated Geometrical Modularity Approach) yang dibeli dalam keadaan
baru. Ada juga beberapa Kapal Cepat Roket maupun Kapal Cepat Torpedo
produksi dalam negeri yang kecil, dengan kelaikan laut terbatas.
Membangun Kembali Kekuatan TNI-AL
Pembangunan kekuatan pertahanan Negara perlu terus dilakukan untuk menghadapi hakikat ancaman dengan memperhatikan perkembangan lingkungan strategis, kondisi geografis serta tugas pokok. Pada akhirnya mengarah pada penggelaran dan pengerahan kekuatan untuk efek penangkalan serta pada saat diperlukan untuk memenangkan pertempuran dalam mempertahankan keutuhan serta menjaga keamanan Negara RI.
Pembangunan kekuatan pertahanan Negara perlu terus dilakukan untuk menghadapi hakikat ancaman dengan memperhatikan perkembangan lingkungan strategis, kondisi geografis serta tugas pokok. Pada akhirnya mengarah pada penggelaran dan pengerahan kekuatan untuk efek penangkalan serta pada saat diperlukan untuk memenangkan pertempuran dalam mempertahankan keutuhan serta menjaga keamanan Negara RI.
Salah satu isu yang mengemuka saat ini adalah tentang pembelian KS
untuk memperkuat kemampuan tempur laut TNI. Pilihan terhadap penambahan
KS cukup masuk akal. Ini mengingat kemampuannya sebagai senjata
strategis yang memiliki daya tangkal yang memang sangat dibutuhkan di
tengah sikap arogan Negara-negara sekitar kita saat ini.
KS merupakan alutsista yang memiliki kerahasiaan tinggi, khususnya
terhadap misi yang dijalankan, komposisi, disposisi, serta dalam
aspektaktis, kesulitan lawan dalam menentukan posisi tepat KS untuk
melakukan tindakan peperangan anti KS.
Ada beberapa tugas yang dapat dikerjakan oleh KS. Antara lain:
pengendalian laut, anti KS dan kapalatas air, pengintaian, pendaratan
pasukan khusus di pantai lawan, Search and Rescue, intelligence,
surveillance, and reconnaissance, dukungan terhadap gugus tempur laut,
peperangan ranjau, angkutan barang dan orang yang sangat berharga serta
serangan terhadap sasaran di pantai lawan dengan menggunakan peluru
kendali.
Beberapa pilihan silih berganti muncul kepermukaan. Beberapa
diantaranya adalah jenis Scorpen buatan Prancis, Kilo buatan Rusia,
U-209/ 1400 buatan Jerman dan Changbogodari Korea Selatan. Bahkan, tiga
KS jenis Changbogodari Korea Selatan akan tiba mulai tahun 2014 atau
2015.
Menjadi pertanyaan, apa jenis dan berapa jumlah KS yang masih kita butuhkan untuk menambah kekuatan yang telah ada saat ini?
Dilihat dari kondisi hidrografi, Indonesia bagian barat berupa
perairan dangkal, sedangkan wilayah timur merupakan perairan dalam.
Dengan demikian, KS yang dibutuhkan adalah jenis sedang, yang mampu
beroperasi di perairan pantai. Di saat sama, juga mampu beroperasi di
laut dalam pada wilayah yang cukup jauh dari pangkalan, sekitar 200 mil
sampai Zona Ekonomi Eksklusif.
Terdapat 51 negara di dunia yang memiliki KS. Di Asia Tenggara
sendiri ada Singapura (Challenger dan Archer), Malaysia (Scorpen), dan
untuk kawasan Asia lainnya ada RRC, Jepang, India (Foxtrot, U-209, Kilo,
Scorpen, Akula, dan sedang mengembangkan Arihant yang merupakan KS
berpeluru kendali dengan tenaga pendorong nuklir).
Kini, ada juga tawaran hibah dari Rusia, yakni dua buah KS jenis
Kilo, yang merupakan KS disel listrik. Rencananya, angkatan laut
Federasi Rusia akan menggantikan KS kelas Kilo dengan KS Kelas Lada,
namun proyek ini ditunda karena ditemukan banyak kelemahan. Menurut buku
“Jane’s Fighting Ships 2011-2012”, sebanyak 18 KS Kelas Kilo masuk
dalam jajaran kekuatan angkatan laut Federasi Rusia, mulai tahun 1981
sampai 1994.
Artinya, KS kelas Kilo yang paling baru pun sudah dipakai selama
sekitar 20 tahun. Dan, kita tidak pernah tahu bagaimana kondisinya saat
ini mengingat KS sangat dirahasiakan keadaan dan keberadaannya.
Masih menurut publikasi tersebut, desain badan kapal kelas Kilo
walaupun sudah lebih baik dibandingkan kelas Tango yang sudah tidak
dipakai lagi oleh Rusia sejak tahun 2010, namun masih ketinggalan
(fairly basic) dibandingkan dengan KS desain Barat. Selain itu,
diingatkan juga dalam publikasi di atas mengenai baterai kelas Kilo yang
telah menjadi sumber masalah dalam operasi di perairan hangat seperti
di Negara-negara Asia. Ekspor terbanyak KS kelas Kilo adalah ke India
yaitu, sebanyak 10 buah.
Senjata yang Diawaki
Sistem senjata angkatan laut memiliki keunikan, yaitu bukan manusia yang dipersenjatai, melainkan senjata yang diawaki. Dengan demikian, pendidikan awak kapal baik untuk operator maupun mekanik selalu panjang, bertahap, berjenjang dan berlanjut untuk memperkuat kemampuan individu dan terutama mengasah kerjasama tim. Pendidikan calon awak kapal selam lebih lama dibandingkan kapal atas air mengingat faktor kesulitan pengoperasian dan pemeliharaannya.
Sistem senjata angkatan laut memiliki keunikan, yaitu bukan manusia yang dipersenjatai, melainkan senjata yang diawaki. Dengan demikian, pendidikan awak kapal baik untuk operator maupun mekanik selalu panjang, bertahap, berjenjang dan berlanjut untuk memperkuat kemampuan individu dan terutama mengasah kerjasama tim. Pendidikan calon awak kapal selam lebih lama dibandingkan kapal atas air mengingat faktor kesulitan pengoperasian dan pemeliharaannya.
Di sisi lain, sudah sejak tahun 1970 TNI AL tidak lagi menggunakan KS
kelas Whiskey dari Rusia. Dan, sejak tahun 1981 mulai menggunakan KS
kelas U 209/ 1300 buatan Jerman. Sistem pendidikan awak KS merupakan
faktor utama dalam kesiagaan sistem senjata, dan sudah sejak tahun
1980-an didesain untuk mengawaki KS Negara Barat.
Hibah dua buah KS kelas Kilo rasanya tidak akan menjadikannya sebagai
tulang punggung kekuatan kapal selam TNI AL sehingga pendidikan awaknya
pun akan mengalami kesulitan. Belum lagi kendala bahasa bagi para awak
kapal yang lebih terbiasa dengan bahasa Inggris.
Kemampuan awak kapal merupakan ukuran kesiapan atau readiness, selain
tentunya kesiapan teknis. Ditambah dengan kemampuan taktik dan
kemampuan alat deteksi dan tingkat modernisasi persenjataan akan
merupakan ukuran efektifitas, bahkan efisiensi kekuatan laut. Dengan
demikian, selain masalah pelatihan, kesiapan teknis KS Kilo nantinya
akan menjadi pertanyaan besar mengingat usia kapal yang rata-rata sudah
di atas 20 tahun.
Kita perlu memperhitungkan kesediaan suku cadang yang diperkirakan
akan langka dalam hitungan beberapa tahun serta bengkel dan teknis
pemeliharaan kapal yang tentunya membutuhkan peralatan dan keahlian
tersendiri serta kemungkinan modernisasi mesin pendorong, alat deteksi
dan persenjataan, yang walaupun masih memungkinkan secara teknologi
diperkirakan akan lebih mahal daripada membeli baru.
Dengan pemikiran di atas, kiranya pemerintah perlu mempertimbangkan
kembali pengadaan KS kelas Kilo, yang walaupun merupakan hibah tentunya
untuk perbaikan dan modernisasi sensor dan persenjataannya akan
menggunakan APBN.
Mungkin program U-209/ 1400 buatan Jerman atau Changbogo Class dari
Korea Selatan lebih feasible dalam jangka panjang, terutama bila mesin
penggerak dan pendorongnya dikembangkan untuk menggunakan
air-independent propulsion(AIP) serta dengan mengupayakan adanya
transfer teknologi dalam pemberdayaan indutri kapal nasional.
Dengan pengadaan 12 KS yang relatif sejenis, maka masalah logistik
akan menjadi lebih mudah dan murah, serta menjadi kekuatan penangkal
yang diperhitungkan.
Rosihan Arsyad * Penulis adalah Laksamana Muda TNI (Purn), Gubernur
Sumsel 1998-2013, President United in Diversity Forum, anggota Institute
for Maritime Studies danAdvisory Board Member Conservation
International Indonesia. (shnews.co /Sinar Harapan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar