1940an-1950an: Masa awal
Garuda
Indonesia berawal dari tahun 1940-an, di mana Indonesia masih berperang
melawan Belanda. Pada saat itu, Garuda terbang jalur spesial dengan
pesawat DC-3.
Pada tanggal
26 Januari 1949 dianggap sebagai hari jadi Garuda Indonesia. Pada saat
itu nama maskapai adalah Indonesian Airways. Pesawat pertama mereka
bernama Seulawah atau Gunung Emas, yang diambil dari nama gunung
terkenal di Aceh.
Dana untuk membeli pesawat ini didapatkan dari sumbangan rakyat Aceh,
Untuk mengumpulkan dana itu, Soekarno berpidato pertama kali pada 16 Juni 1948 di Aceh
Hotel, Kuta Raja, dan berhasil menggugah semangat rakyat Sumatra khususnya Aceh. Lalu panitia Dakota dibentuk, dan diketuai oleh Djunet Yusuf, Said Ahmad Al Habsji. Dalam tempo dua hari, masyarakat Aceh berhasil mengumpulkan uang 130.000 straits dollar.
Hotel, Kuta Raja, dan berhasil menggugah semangat rakyat Sumatra khususnya Aceh. Lalu panitia Dakota dibentuk, dan diketuai oleh Djunet Yusuf, Said Ahmad Al Habsji. Dalam tempo dua hari, masyarakat Aceh berhasil mengumpulkan uang 130.000 straits dollar.
pesawat
tersebut dibeli seharga 120,000 Dollar yang sama dengan 20 kg emas.
Maskapai ini tetap mendukung Indonesia sampai revolusi terhadap Belanda
berakhir. Garuda Indonesia mendapatkan konsesi monopoli penerbangan dari
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1950 dari Koninklijke
Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij, perusahaan penerbangan
nasional Hindia Belanda. Garuda pada awalnya adalah hasil joint venture
antara Pemerintah Indonesia dengan maskapai Belanda, Koninklijke
Luchtvaart Maatschappij (KLM). Pada awalnya, Pemerintah Indonesia
memiliki 51% saham dan selama 10 tahun pertama, perusahaan ini dikelola
oleh KLM. Karena paksaan nasionalis, KLM menjual sebagian dari sahamnya
pada tahun 1953 ke pemerintah Indonesia.
Pemerintah
Burma banyak menolong maskapai ini pada masa awal maskapai ini. Oleh
karena itu, pada saat maskapai ini diresmikan sebagai perusahaan pada 31
Maret 1950, Garuda menyumbangkan sebuah pesawat DC-3 kepada Pemerintah
Burma. Pada mulanya, Garuda memiliki 27 pesawat terbang, staf terdidik,
bandara dan jadwal penerbangan, sebagai kelanjutan dari KNILM. Ini
sangat berbeda dengan perusahaan-perusahaan pionir lainnya di Asia.
Pada tahun
1953, maskapai ini memiliki 46 pesawat. Tahun 1956 mereka mengangkut
jamaah haji dan membuat jalur penerbangan pertama ke Mekkah.
Convair 990 "Majapahit" milik Garuda Indonesian Airways di Bandar Udara Internasional Schiphol, Amsterdam tahun 1965
1960an: Tumbuh dan Berkembang
Tahun
1960-an adalah era kemajuan pesat Garuda. Pada tahun 1960, Garuda
mendatangkan tiga pesawat turboprop Lockheed L-188C Electra. Ketiga
pesawat baru itu masuk dinas aktif pada bulan Januari 1961 serta diberi
nama "Pulau Bali", "Candi Borobudur" dan "Danau Toba", tiga tujuan
wisata Indonesia yang paling dikenal dunia luar. Di tahun yang sama,
Garuda membuka rute penerbangan menuju Hong Kong. Garuda memasuki era
jet di tahun 1964 dengan datangnya tiga pesawat baru Convair 990A yang
diberi nama "Majapahit", "Pajajaran" dan "Sriwijaya", nama-nama kerajaan
kuno di Indonesia, dan menjadi maskapai pertama di Asia Tenggara yang
mengoperasikan pesawat jet subsonik. Saat itu, jet bermesin empat
Convair 990 merupakan pesawat berteknologi canggih dan memiliki
kecepatan tertinggi dibandingkan pesawat-pesawat lain yang sejenis,
seperti Boeing 707 dan Douglas DC-8[6]. Dengan pesawat ini pula Garuda
kemudian membuka penerbangan antarbenua dari Jakarta ke Amsterdam
melewati Kolombo, Bombay, Roma, dan Praha. Di tahun 1966, Garuda kembali
memperkuat armada jetnya dengan mendatangkan sebuah pesawat jet baru,
yaitu Douglas DC-8. Sementara, pada akhir tahun 1960-an, Garuda membeli
sejumlah pesawat turboprop baru, Fokker F27. Pesawat ini datang secara
bertahap mulai tahun 1969 hingga 1970 dan dioperasikan untuk penerbangan
domestik.
Asal Nama Garuda
Pada tanggal
25 Desember 1949, wakil dari KLM yang juga teman Presiden Soekarno, Dr.
Konijnenburg, menghadap dan melapor kepada Presiden di Yogyakarta bahwa
KLM Interinsulair Bedrijf akan diserahkan kepada pemerintah sesuai
dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) dan meminta kepada beliau
memberi nama bagi perusahaan tersebut karena pesawat yang akan
membawanya dari Yogyakarta ke Jakarta nanti akan dicat sesuai nama itu.
Menanggapi
hal tersebut, Presiden Soekarno menjawab dengan mengutip satu baris dari
sebuah sajak bahasa Belanda gubahan pujangga terkenal, Raden Mas Noto
Soeroto di zaman kolonial, Ik ben Garuda, Vishnoe's vogel, die zijn
vleugels uitslaat hoog boven uw eilanden ("Aku adalah Garuda, burung
milik Wisnu yang membentangkan sayapnya menjulang tinggi diatas
kepulauanmu")
Maka pada
tanggal 28 Desember 1949, terjadi penerbangan yang bersejarah yaitu
pesawat DC-3 dengan registrasi PK-DPD milik KLM Interinsulair terbang
membawa Presiden Soekarno dari Yogyakarta ke Kemayoran - Jakarta untuk
pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan
logo baru, Garuda Indonesian Airways, nama yang diberikan Presiden
Soekarno kepada perusahaan penerbangan pertama ini.
Era
Tahun 1950-1968
Garuda
Indonesian Airways (GIA), yang lahir dari hasil perjuangan selama
revolusi fisik menjadi sebuah maskapai flag carrier yang mendominasi
sejarah penerbangan sipil sekaligus mendominasi bisnis penerbangan
komersil pada awal-awal perkembangan republik ini. Selain itu, peran
Merpati Nusantara juga tak kalah penting dengan GIA. Karena maskapai
yang satu ini menjadi pionir bagi penerbangan perintis, membuka
keterisolasian daerah-daerah terpencil di Nusantara.
Penerbangan
2 unit pesawat C-47 Dakota dari Maguwo ke Kemayoran itu menjadi
sebuah peristiwa yang biasa saja dan terlupakan jika tidak melihat
tanggal dan penumpang yang dibawanya. Pagi itu tanggal 28 Desember
1949- hanya berselang sehari setelah pengakuan kemerdekaan dan
kedaulatan NKRI oleh Belanda lewat perundingan KMB. Presiden
Soekarno, Ibu Fatmawati, beserta seluruh jajaran bertolak dari
ibukota perjuangan Yogyakarta menuju ibukota negara Jakarta.
Rute Penerbangan KNILM
Soekarno
menolak terbang dengan Dakota KLM-IIB (Inter Insulair Bedrijf) jika
belum dicat ulang menjadi pesawat milik Indonesia. Dan kalau
ditelusuri lebih lanjut, KLM-IIB adalah maskapai yang masih ada
hubungannya dengan Belanda- KNILM. Meskipun sudah tamat, namun banyak
dari mantan pegawainya berusaha menghidupkan kembali kejayaan KNILM.
Setelah Jepang menyerah, mereka datang kembali ke Hindia Belanda
namun dengan kondisi yang berbeda karena rakyatnya telah menyatakan
kemerdekaannya lewat proklamasi bersejarah tertanggal 17 Agustus
1945. Mantan pegawai KNILM itu datang sebagai personel Skuadron
Angkut 19 AU Australia dengan membonceng pasukan sekutu yang ingin
melucuti tentara Jepang. Dengan pendudukan kembali kota-kota besar
seperti Batavia, Surabaya, Semarang, dan Balikpapan, mereka mulai
melakukan penerbangan reguler. Perusahaan penerbangan segera dibentuk
yang dinamakan; Netherlandsh Indies Government Air Transport (NIGAT).
Salah
satu prestasi besar NIGAT adalah membuka penerbangan jarak jauh
Batavia – Los Angeles, yang dilakukan bulan November 1946 dengan
pesawat Douglas DC-4. Sayangnya akibat kondisi politik, menyebabkan
NIGAT gagal menjadi “KNILM kedua” dan menyerahkan bisnis
penerbangannya kepada KLM pada tanggal 1 Agustus 1947. Perusahaan itu
diberikan nama baru KLM- Interinsulair Bedriff, yang dipimpin oleh
Th. J. de Bruijn (Mantan Kepala Administrasi KNILM).
Lewat
KMB dan atas desakan PBB, Belanda harus menghentikan konflik dan
mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam butir-butir
perundingan itu, Belanda wajib menyerahkan seluruh kekayaan Hindia
Belanda berupa tambang, perkebunan, pabrik, dan perusahaan
transportasi udara termasuk KLM-IIB.
Royal Netherlands Indian Airways
TANTANGAN
GIA
Modal
yang begitu besar harus dikelola secara profesional. Sayangnya pihak
Indonesia belum memiliki tenaga profesional yang memadai. Hanya ada
pegawai administrasi, pramugari/pramugara, dan teknisi pesawat dengan
jumlah yang sedikit, bahkan tidak memiliki satupun penerbang (pilot).
Untuk sementara, seluruh mantan pegawai KLM-IIB baik darat maupun kru
pesawat diperbantukan untuk GIA yang tergabung dalam Assistentie
Group KLM. Diperkirakan butuh sepuluh tahun sampai GIA benar-benar
mandiri.
Untuk
mendidik penerbang, GIA dibantu Direktorat Kementerian Perhubungan
mengirim pemuda-pemuda Indonesia belajar ke sekolah penerbangan di
luar negeri, yaitu di Hamble, Inggris, dan Ypenburg, Belanda.
Sedangkan untuk pendidikan awak kabin dipercayakan kepada Bagian
Urusan Pendidikan yang berada dibawah Departemen Personalia GIA. API
(Akademi Penerbangan Indonesia) yang mulai didirikan tahun 1953
secara bertahap mulai menghasilkan penerbang, teknisi pesawat, dan
petugas lalu lintas udara sehingga tidak tergantung dari pendidikan
penerbang di luar negeri.
Pada
tahun 1954, GIA yang saat itu dipimpin oleh Dirut Ir. Soetoto mulai
berkembang mantap. Apalagi GIA telah mengangkat penerbang
berkualifikasi Captain berlatar belakang AURI (Angkatan Udara
Republik Indonesia). Dan diikuti setahun kemudian, dari lulusan
Hamble dan Ypenburg- sehingga total ada sebelas Captain yang dimiliki
GIA pada penghujung periode 1954-1957. Armada GIA juga berkembang.
Setelah mempensiunkan dini seluruh armada Catalina, GIA membeli
pesawat pertamanya. 8 unit pesawat Convair 240 (1950) diikuti de
Havilland DH. 104 Heron (1954) sebanyak 14 unit, dan ditambah lagi
dengan pembelian 8 unit Convair 340 (1954).
Selain
bertugas melayani rute-rute domestik. GIA juga melebarkan sayap
mereka dengan membuka rute penerbangan ke Singapura, Manila, dan
Bangkok. GIA juga melakukan layanan khusus penerbangan haji,
mengantar kontingen Olimpiade Melbourne, dan penerbangan Kepresidenan
dengan pesawat Dakota dan Convairliner.
Tapi
GIA mendapat tantangan baru saat perubahan politik di Indonesia
dengan menasionalisasi seluruh perusahaan yang sahamnya dimiliki
orang Belanda- termasuk GIA – sebagai buntut berlarut-larutnya
konflik Irian Barat. Pada tahun 1957 Assistentie Group KLM hengkang
dan membuat GIA- yang telah menjadi Perseroan Negara (PN) GIA,
dipaksa harus mandiri sebelum waktunya. Meskipun demikian seluruh
karyawannya baik darat maupun udara bertekad terus memajukan GIA
menjadi armada penerbangan yang mandiri.
LAHIRNYA
MERPATI
di
sela-sela tugasnya melayani penerbangan, GIA juga melakukan
kewajibannya sebagai alat Pertahanan dan Keamanan sebagai Wing
Garuda. Tugas sebagai Skuadron Angkut Cadangan Wing Garuda dimulai
saat pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta dan diikuti oleh Kampanye
Trikora.
Setelah
era Trikora berakhir, personel Wing Garuda mendapatkan tugas untuk
mengambil alih maskapai Belanda yang beroperasi di Papua, New Guinea
Luchtvaart Maatschapij (NNGLM). Dengan armada yang terdiri dari de
Havilland, Beaver Sea plane, Twin Pioneer, dan DC-3 Dakota, GIA
memiliki maskapai yang melayani rute penerbangan perintis di Papua
dengan nama Garuda Irian Barat pada tahun 1963. Pusat operasi
(Hub)-nya berada di Biak-Mokmer.
Setahun
sebelumnya pada tanggal 6 September, berdirilah maskapai perintis PN.
Yakni Merpati Nusantara dengan pusat operasinya berada di Kemayoran.
Ini merupakan wujud realisasi dari usaha membuka keterisolasian
wilayah Kalimantan yang telah dirintis AURI sejak tahun 1957. Tidak
mengherankan Direktur Utama Merpati berlatar belakang AURI, yakni
Komodor Udara Sutojo Adiputro dengan modal armada pesawat bekas pakai
AURI yaitu 4 unit de Havilland Otter dan 2 unit Dakota.
Akibat
dari embargo negara Barat saat kampanye Dwikora membuat seluruh
armada Otter milik Merpati tidak bisa diterbangkan lagi. 2 unit
Dakota yang tersisa tinggal menunggu waktu saja seperti nasib Otter.
Kekurangan armada dan mis-manajemen membuat Merpati terpuruk pada
awal-awal masa perkembangannya.
Tapi
ini hanya berlangsung sementara, karena GIA memutuskan untuk menutup
dan menyerahkan seluruh aset dan armada Garuda Irian Barat kepada
Merpati pada tahun 1964. Setahun kemudian armada Merpati bertambah
dengan kehadiran 3 unit Dornier Do-28 dan 6 unit Pilatus Porter PC-6.
Pada tahun 1966-1967, karena ditarik kembali ke AURI, Sutojo
menyerahkan kepemimpinan Merpati kepada Captain RB Wibisono. Pada
saat itu pula Merpati membeli tambahan Pilatus Porter dan memperoleh
bantuan dari PBB berupa 3 unit de Havilland DHC-6 Twin Otter. Total
ada 20 unit pesawat untuk melayani rute Merpati yang meliputi Jawa,
Sumatera Selatan, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua.
PERIODE
MONOPOLI
Periode
tahun 1950-1968 dapat disebut sebagai sebuah periode monopoli yang
dilakukan maskapai GIA dan Merpati. Tapi roda zaman kembali berputar,
Orde Lama tumbang digantikan dengan Orde Baru. Senasib dengan PN
lainnya, jika Pemerintah goyah maka goyah pula kondisi keuangannya.
Sama seperti yang terjadi pada GIA dan Merpati Nusantara.
Selain
menghadapi masalah krisis keuangan, kedua maskapai penerbangan ini
juga tidak bisa lagi menikmati periode manis era monopoli. Sekaligus
mereka menghadapi tantangan baru menghadapi maraknya kehadiran
maskapai-maskapai domestik baru lainnya yang baru saja berdiri.
Karena Orde Baru membuka izin untuk mendirikan maskapai-maskapai
kepada pihak swasta lewat kebijakan Multi Airlines System pada tahun
1968.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar