INVESTASI UNTUK RISET
Setiap tahun di perguruan tinggi berlangsung masa
pendaftaran mahasiswa baru. Meskipun sudah rutin terjadi, tak urung ada
cerita menarik yang terbetik di sana-sini. Pernah di sebuah institut, di
Bandung, seorang (calon) mahasiswa datang membawa segulung uang kertas
yang diikat karet gelang. Sebagian lembar uangnya tampak lusuh. Pada
masa itu pembayaran online memang belum menjadi kebiasaan.
Begitu diserahkan di meja pembayaran
ternyata gulungan itu merupakan satu-satunya milik dan bekal terakhir si
pendaftar. Sama sekali tidak ada yang tersisa. Terungkap
pula anak muda itu tidak tahu bagaimana akan makan dan menginap,
padahal ia datang dari tempat yang jauh. Kisah yang hampir menjadi
drama ini untungnya lekas memperoleh solusi ketika seorang dosen
bersedia menerimanya menumpang di rumah, setidaknya untuk beberapa hari.
Banyak pihak memang ikhlas mempertaruhkan harta dan milik demi bekal
belajar. Upaya habis-habisan yang dicurahkan dianggap layak sebagai
investasi menuju kehidupan di masa depan yang lebih baik.
Berskala kolektif
Di pihak lain, sesungguhnya ada jenis
kesibukan yang sifatnya juga bersakit-sakit dahulu, tetapi jarang
mengundang niat investasi. Tujuan pun tidak kalah mulia dibandingkan
dengan studi karena menjadi dasar untuk berjalan ke depan, bukan orang
per orang, melainkan bagi keberlanjutan bangsa. Kesibukan
itu namanya penelitian atau riset. Manfaatnya tak akan kurang
disebutkan: pengetahuan baru, nilai tambah, dan peningkatan daya saing.
Karena penyelenggaraan riset bukan menyangkut segulung uang, melainkan berskala kolektif, berapa alokasi dana yang dipandang layak? Negara-negara maju membelanjakan 2 persen produk domestik bruto (PDB) atau lebih untuk riset dan pengembangan.
Pada 2009 angka yang dibukukan Singapura adalah 2,43 persen, Malaysia 1,01 persen, dan Thailand 0,25 persen (Research and Development Expenditure, data.worldbank.org). Biasanya kita malu menyebut apa yang berlaku untuk Indonesia karena besarnya hanya 0,08 persen.
Dengan tipisnya pendanaan di Tanah Air, terbatas pula kuantitas kegiatan dan hasil penelitian. Dibandingkan dengan sebuah negara tetangga yang pernah berguru dari Indonesia dan sekarang mengalokasikan dana yang besar, kita jauh tertinggal dalam jumlah makalah pada jurnal internasional. Padahal, publikasi taraf dunia merupakan ukuran penting bagi prestasi penelitian.
Walaupun demikian, keadaan tertinggal tampaknya tidak terasa mengenaskan bagi kaum awam. Bila diamati sehari-hari, tanpa banyak riset pun kehidupan seakan sudah berjalan ”normal” dan bahkan menunjukkan pencapaian yang memadai. Pertumbuhan PDB kita belakangan justru lebih tinggi daripada negara tetangga yang dimaksudkan tadi.
Karena penyelenggaraan riset bukan menyangkut segulung uang, melainkan berskala kolektif, berapa alokasi dana yang dipandang layak? Negara-negara maju membelanjakan 2 persen produk domestik bruto (PDB) atau lebih untuk riset dan pengembangan.
Pada 2009 angka yang dibukukan Singapura adalah 2,43 persen, Malaysia 1,01 persen, dan Thailand 0,25 persen (Research and Development Expenditure, data.worldbank.org). Biasanya kita malu menyebut apa yang berlaku untuk Indonesia karena besarnya hanya 0,08 persen.
Dengan tipisnya pendanaan di Tanah Air, terbatas pula kuantitas kegiatan dan hasil penelitian. Dibandingkan dengan sebuah negara tetangga yang pernah berguru dari Indonesia dan sekarang mengalokasikan dana yang besar, kita jauh tertinggal dalam jumlah makalah pada jurnal internasional. Padahal, publikasi taraf dunia merupakan ukuran penting bagi prestasi penelitian.
Walaupun demikian, keadaan tertinggal tampaknya tidak terasa mengenaskan bagi kaum awam. Bila diamati sehari-hari, tanpa banyak riset pun kehidupan seakan sudah berjalan ”normal” dan bahkan menunjukkan pencapaian yang memadai. Pertumbuhan PDB kita belakangan justru lebih tinggi daripada negara tetangga yang dimaksudkan tadi.
Kedalaman pandang
Akan tetapi, coba tengok kegiatan mana
yang berhasil mengungkit jenjang perekonomian. Dari tahun ke tahun hasil
industri manufaktur Indonesia cenderung memakai teknologi rendah sampai
menengah (Indikator Iptek Indonesia 2009, LIPI 2010). Produk yang
mengandalkan teknologi tinggi, seperti peralatan komunikasi, belum
meningkat secara signifikan. Padahal, pemanfaatan teknologi tinggi
paling berpeluang memberikan nilai tambah dan memerlukan riset untuk
mengembangkannya.
Jadi, ada yang dilewatkan di sini dan beruntung kelebihan lain bisa diberdayakan. Pertanyaannya, akankah tetap demikian sampai era nanti?
Baiklah kita ingat bahwa penelitian diarahkan untuk melahirkan setakar demi setakar pemahaman, teori, rumus, metode, teknik, sekaligus memberikan kepada pelakunya dua keuntungan. Pertama, kelekatan yang erat bagai mendarah daging dengan bidang yang ditekuni. Kedua, kedalaman pandang (insight) yang intens pada bidang tersebut membuat kita sanggup memecahkan persoalan yang belum pernah ada atau sangat berbeda daripada sebelumnya.
Sementara itu, sosok masa depan belum jelas benar, kecuali ditandai dengan susutnya sumber daya alam dan potensi konflik antarpenduduk dunia yang semakin penuh, saling berdesakan dengan segala kebutuhannya. Pada saatnya nanti, yang sintas, apalagi berjaya, ialah bangsa yang siap dan berkemampuan tinggi. Dan, kemampuan tangguh tidak diperoleh seketika dari mengunduh, tetapi melalui jalan panjang yang ditempuh dengan tekun. Maka, perlu kiranya diindahkan oleh penentu kebijakan keuangan maupun pengusaha, industriman dan masyarakat, betapa mendesaknya investasi untuk riset kita. (Kompas, 10 April 2014/ humasristek).
Jadi, ada yang dilewatkan di sini dan beruntung kelebihan lain bisa diberdayakan. Pertanyaannya, akankah tetap demikian sampai era nanti?
Baiklah kita ingat bahwa penelitian diarahkan untuk melahirkan setakar demi setakar pemahaman, teori, rumus, metode, teknik, sekaligus memberikan kepada pelakunya dua keuntungan. Pertama, kelekatan yang erat bagai mendarah daging dengan bidang yang ditekuni. Kedua, kedalaman pandang (insight) yang intens pada bidang tersebut membuat kita sanggup memecahkan persoalan yang belum pernah ada atau sangat berbeda daripada sebelumnya.
Sementara itu, sosok masa depan belum jelas benar, kecuali ditandai dengan susutnya sumber daya alam dan potensi konflik antarpenduduk dunia yang semakin penuh, saling berdesakan dengan segala kebutuhannya. Pada saatnya nanti, yang sintas, apalagi berjaya, ialah bangsa yang siap dan berkemampuan tinggi. Dan, kemampuan tangguh tidak diperoleh seketika dari mengunduh, tetapi melalui jalan panjang yang ditempuh dengan tekun. Maka, perlu kiranya diindahkan oleh penentu kebijakan keuangan maupun pengusaha, industriman dan masyarakat, betapa mendesaknya investasi untuk riset kita. (Kompas, 10 April 2014/ humasristek).
Ditulis oleh : Andrianto Handojo -Guru Besar Fakultas Teknologi Industri ITB yang juga menjabat “Ketua Dewan Riset Nasional”
NYANYIAN PILU KEMITRAAN RISET
Ketergantungan Indonesia pada teknologi
impor tampaknya belum bisa disudahi meski tak mungkin lepas sepenuhnya.
Namun, jika mampu mengembangkan kemandirian niscaya akan memberi harapan
lebih besar untuk mencapai lompatan menuju bangsa dan negara
bermartabat. Dan, untuk mencapai ke arah itu, tentu saja Indonesia akan
selalu memerlukan kemitraan strategis dengan negara-negara maju.
Kemitraan
strategis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tidak saja dalam
wujud penerapan teknologi impor di sektor industri, melainkan juga perlu
diupayakan melalui penguatan kolaborasi riset yang setara dengan
melibatkan lembaga litbang dan perguruan tinggi dalam pengawasan ketat
oleh pemerintah.
Pemerintah
tak mungkin harus berdiam diri terhadap eksploitasi lembaga litbang dan
perguruan tinggi oleh pihak asing dalam kemitraan riset. Kenyataan ini
dapat dilihat dari kecenderungan klaim kepemilikan atas hak kekayaam
intelektual (HKI) oleh lembaga litbang dan perguruan tinggi tidak
mencerminkan sebagai hasil kemitraan riset dengan pihak asing. Sementara
jumlah permohonan izin penelitian oleh peneliti asing rata-rata
mencapai 400 buah proposal dalam setahun. Faktanya, banyak hasil
penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia, meski melalui
kemitraan riset dengan lembaga litbang atau perguruan tinggi,
kepemilikannya diklaim secara sepihak oleh pihak asing. Situasi demikian
sudah berlangsung cukup lama, jauh sebelum peraturan tentang izin
penelitian bagi orang asing dibuat.
Kemitraan Seimbang
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memerlukan kemitraan yang lebih erat dengan negara-negara industri maju di bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, kemitraan itu sendiri hendaknya tidak menggiring Indonesia pada posisi sekedar pendampingan saja. Melainkan, harus mampu menangkap posisi sebagai mitra utama yang terlibat langsung dalam kegiatan penelitian itu.
Suatu izin penelitian yang diberikan Kementerian Riset dan Teknologi kepada perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, serta orang asing, kadangkala tidak membuahkan hasil penelitian yang dapat diklaim sebagai milik bersama. Kondisi itu disebabkan oleh kekurangsiapan mitra penelitian dalam negeri, terutama tidak ditopang kesepakatan awal yang kuat dalam perjanjian risetnya.
Padahal, setiap kegiatan penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia seyogianya dapat memberikan manfaat luas bagi pengembangan iptek itu sendiri. Bukan hanya sebatas pada manfaat finansial yang diperoleh dari biaya perizinan dan pengembangan. Karena itu, kegiatan penelitian harus selalu dalam kerangka kemitraan yang seimbang.
Tak jarang, pendampingan kegiatan peneliti asing oleh tenaga ahli Indonesia lebih tampak berperan sebagai pemandu dan penerjemah bahasa. Sementara hal-hal yang bersifat substansial justru luput dari perhatian peneliti mitra pendamping.
Tujuan utama dari pengaturan izin penelitian bagi orang asing itu sendiri sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2006 adalah untuk melindungi kepentingan Indonesia. Pertama, tidak boleh terjadi eksploitasi dan pencurian atas sampel yang bersumber dari kekayaan alam Indonesia, meliputi keanekaragaman hayati maupun non-hayati, artefak dan lain sebagainya. Kedua, tercapainya transfer of knowledge dari peneliti asing kepada peneliti Indonesia, bukan sebaliknya. Dan, ketiga, mencegah terjadinya penguasaan secara sepihak atas hasil penelitian yang dilakukan secara bersama-sama di Indonesia.
Perlu Diwaspadai
Dalam pergaulan internasional, keunggulan ekonomi negara-negara maju, yang meliputi pula bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh Majelis Umum PBB sebagaimana dituangkan dalam Resolusi 3281 (XXIX) tanggal 12 Desember 1974, mengenai Piagam Hak-hak dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara, diamanatkan untuk membantu mewujudkan hak negara-negara dunia ketiga dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Walaupun tujuan yang sebenarnya belakangan disadari sebagai bentuk lain dari upaya eksploitasi ekonomis atas negara-negara dunia ketiga. Hal tersebut ti-dak dapat dielakkan namun perlu diwaspadai. Adalah merupakan konsekuensi logis dalam hubungan internasional, dimana dimensi ekonomi merupakan alasan utama terwujudnya kemitraan.
Secara prinsip seyogianya tidak satu pun kegiatan penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia dapat dilaksanakan sendiri tanpa melibatkan lembaga penelitian terkait di dalam negeri. Bahkan, penting dikawal dengan suatu perjanjian riset yang kuat dalam melindungi kepentingan Indonesia.
Sayangnya, di kalangan dunia penelitian masih terdapat pemahaman konservatif bahwa kontribusi dana pihak asing menjadi main determinants bagi kepemilikan hasil penelitian oleh pihak asing. Sudah barang tentu pemahaman tersebut harus diubah. Sebab, kemitraan riset yang seimbang adalah yang mampu memberikan peluang pemilikan hasil penelitian berdasarkan kontribusi para pihak secara proporsional, baik in-cash maupun in-kind.
Cara-cara yang digunakan oleh peneliti asing merupakan bagian dari kegiatan mata-mata di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini yang kemudian dikenal sebagai bagian dari techno-nationalism, sikap makin tertutup negara-negara maju dalam mempublikasikan hasil-hasil teknologinya demi mempertahankan supremasi ilmiah. Sementara melalui berbagai cara persuasif justru melakukan pencurian ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara-negara berkembang. Sungguh sangat memilukan! (Suara Karya, 21 November 2013/ humasristek)
Dalam pergaulan internasional, keunggulan ekonomi negara-negara maju, yang meliputi pula bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh Majelis Umum PBB sebagaimana dituangkan dalam Resolusi 3281 (XXIX) tanggal 12 Desember 1974, mengenai Piagam Hak-hak dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara, diamanatkan untuk membantu mewujudkan hak negara-negara dunia ketiga dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Walaupun tujuan yang sebenarnya belakangan disadari sebagai bentuk lain dari upaya eksploitasi ekonomis atas negara-negara dunia ketiga. Hal tersebut ti-dak dapat dielakkan namun perlu diwaspadai. Adalah merupakan konsekuensi logis dalam hubungan internasional, dimana dimensi ekonomi merupakan alasan utama terwujudnya kemitraan.
Secara prinsip seyogianya tidak satu pun kegiatan penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia dapat dilaksanakan sendiri tanpa melibatkan lembaga penelitian terkait di dalam negeri. Bahkan, penting dikawal dengan suatu perjanjian riset yang kuat dalam melindungi kepentingan Indonesia.
Sayangnya, di kalangan dunia penelitian masih terdapat pemahaman konservatif bahwa kontribusi dana pihak asing menjadi main determinants bagi kepemilikan hasil penelitian oleh pihak asing. Sudah barang tentu pemahaman tersebut harus diubah. Sebab, kemitraan riset yang seimbang adalah yang mampu memberikan peluang pemilikan hasil penelitian berdasarkan kontribusi para pihak secara proporsional, baik in-cash maupun in-kind.
Cara-cara yang digunakan oleh peneliti asing merupakan bagian dari kegiatan mata-mata di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini yang kemudian dikenal sebagai bagian dari techno-nationalism, sikap makin tertutup negara-negara maju dalam mempublikasikan hasil-hasil teknologinya demi mempertahankan supremasi ilmiah. Sementara melalui berbagai cara persuasif justru melakukan pencurian ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara-negara berkembang. Sungguh sangat memilukan! (Suara Karya, 21 November 2013/ humasristek)
Oleh : Medy P Sargo - Penulis adalah Kabid Perti dan Lemlitbang – Asdep Kekayaan Intelektual dan Standardisasi Iptek, Kemenristek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar