Dukungan kuat untuk memajukan industri
pertahanan dalam negeri telah diutarakan dengan tegas oleh calon
presiden Prabowo Subianto dan Joko Widodo agar Indonesia tidak
tergantung terus ke negara lain.
Dalam debat ketiga yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
itu, capres Joko Widodo berulang kali menyebukan rencananya
mengembangkan pesawat “drone” atau tanpa awak, serta menggunakan
teknologi hybrid dan cyber untuk menjaga kedaulatan Indonesia. Hal yang
sama juga disampaikannya dalam debat sebelumnya.
Pesawat tanpa awak itu juga akan digunakan untuk pemantauan dan
melindungi perairan Indonesia dari kasus pencurian ikan, meski rencana
itu juga mendapatkan kritikan keras sehubungan pengoperasiannya butuh
biaya dan satelit, sementara perusahaan telekomunikasi Indosat telah
dijual ke Singapura.
Kubu Jokowi menyebutkan “drone” berbiaya murah, namun lebih efektif
dalam melindungi maritim Indonesia. Kerugian yang diakibatkan pencurian
ikan oleh nelayan asing setiap tahunnya diperkirakan sedikitnya Rp300
triliun. Sementara harga satu pesawat tanpa awak diperkirakan hanya Rp20
miliar.
Biaya pengoperasian diklaim murah, juga menggunakannya tak rumit.
Pesawat drone itu, menurut Jokowi, akan dioperasikan di tiga kawasan,
yaitu Timur, Barat, dan Tengah Indonesia.
Penggunaan drone itu selain berguna untuk pertahanan, juga disebutkan bermanfaat untuk melindungi kekayaan Indonesia.
Sementata itu, capres Prabowo Subianto juga tak kalah tegas untuk
menyatakan dukungannya dalam memodernisasi industri pertahanan dalam
negeri, serta mendukung pembelian tank tempur utama Leopard II dari
Jerman. Meski pembeliannya ditentang Jokowi, namun Menhan Purnomo
Yusgiantoro menyebutkan tank Leopard sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
Indonesia.
Meski demikian, dukungan kedua capres itu terhadap modernisasi
industri pertahanan nasional merupakan tantangan keras bagi industri
strategis dalam negeri untuk menjawabnya.
Banyak negara dalam sepuluh tahun terakhir berlomba-lomba
mengembangkan pesawat tanpa awak, termasuk Indonesia. Ketika mantan
Presiden AS George W Bush mengumumkan “Perang Atas Teror”, CNN
menyebutkan Pentagon hanya memiliki kurang dari 50 pesawat tanpa awak.
Kini, negara adi daya itu memiliki lebih dari 7.500 pesawat.
Sejauh ini, baru AS, Israel dan Inggris yang diketahui telah
menggunakan pesawat tanpa awak atas musuh mereka. Belakangan ini banyak
negara sudah menggunakan drone, seperti Korea Utara yang dilaporkan
telah mengirimkannya ke wilayah Korsel.
Namun, pesawat tanpa awak juga digunakan Republik Rakyat Tiongkok
untuk memantau suatu kepulauan tak berpenghuni di Laut Tiongkok Selatan
yang disengketakan oleh Jepang, Tiongkok, dan Taiwan.
Karena biayanya cukup murah dan efektivitas yang lebih tinggi yang
menyebabkan banyak negara mengembangkan pesawat tanpa awak. Misalnya
harga pesawat militer berawak seperti F-35C mencapai 63 juta dolar AS.
Pesawat supersonik itu memang memiliki multi fungsi, seperti pertempuran
udara ke udara, dukungan udara jarak dekat dan pengeboman taktis. Harga
drone jauh lebih murah, padahal sebagian peran pesawat berawak itu
sudah diambil alih drone.
Pengoperasian “drone” tak menimbulkan risiko kehilangan awaknya meski
dioperasikan di medan yang sangat berat, sementara risiko kehilangan
pilot cukup besar di pesawat tempur berawak.
Di masa depan, penyerangan dan perang udara (dog fight) bukan tidak
mungkin akan diperankan oleh pesawat-pesawat tempur tanpa awak ini
(unmaned combat aerial vechile (UCAV), bukan lagi pesawat tempur
konvensional. Pesawat tanpa awak bisa dikendalikan secara otomatis oleh
komputer yang ditaruh dalam pesawat, atau dikendalikan menggunakan
remote control, atau bisa juga dikendalikan pilot atau “combat system
officer” yang berada di daratan atau dalam kendaraan lainnya.
Pesawat tanpa awak ini umumnya digunakan untuk keperluan militer,
namun kini banyak negara mengembangkannya untuk keperluan sipil seperti
pemantauan dan penelitian.
Sebagai mesin perang di udara, pesawat “drone” sudah terbukti
keampuhannya. Pesawat “Predator” milik AS yang berpangkalan di
Afghanistan menjadi mesin perang andalan negara itu di Afghanistan dan
Yaman. Harga Predator jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya pesawat
pengebom B-2 Stealth yang harganya berkisar 737 juta hingga 2,2 miliar
dolar AS per unit.
Konflik
Maraknya konflik bersenjata dan sengketa perbatasan antarnegara, terutama di perbatasan yang kaya akan sumber daya alam, akan mendorong banyak negara untuk mengembangkan pesawat tanpa awak untuk keperluan pengintaian maupun misi militer lainnya.
Maraknya konflik bersenjata dan sengketa perbatasan antarnegara, terutama di perbatasan yang kaya akan sumber daya alam, akan mendorong banyak negara untuk mengembangkan pesawat tanpa awak untuk keperluan pengintaian maupun misi militer lainnya.
Indonesia sendiri memiliki masalah perbatasan dengan negara
tetangganya, sementara kekayaan maritimnya banyak dicuri nelayan asing.
Sebelas tahun lalu, AS yang mendominasi penggunaan pesawat tanpa awak
ini. Namun sekarang bukan lagi monopoli AS, karena makin banyak negara
yang berminat mengembangkan atau membelinya, termasuk Indonesia. CNN
menyebutkan lebih dari 70 negara kini memiliki pesawat tanpa awak, meski
hanya sebagian kecil dari negara itu yang memiliki pesawat puna (tanpa
awak) yang dipersenjatai.
Lonjakan kemajuan teknologi pesawat tanpa awak akan mengubah cara
pandang suatu negara menghadapi perang dan ancaman, yang tentunya memacu
perlombaan senjata. AS serta Israel sejauh ini merupakan eksportir
utama teknologi dan pesawat drone ke banyak negara.
Melihat konflik perbatasan yang makin rawan di masa depan, terutama
yang berkaitan dengan sumber daya alam yang semakin terbatas, merupakan
langkah tepat yang diambil Indonesia untuk mengembangkan pesawat puna
(tanpa awak) sendiri.
Komitmen capres Jokowi untuk membangun pesawat tanpa awak itu menjadi
“amunisi” kuat untuk mengembangkannya, meski banyak pihak mengkritiknya
karena dinilai belum tepat atau teknologinya terlalu canggih.
Indonesia jauh sebelum debat capres digelar, sudah melakukan kajian dan rekayasa teknologi untuk mengembangkan drone.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pernah menguji
terbang prototipe pesawat tanpa awak terbaru di Halim Perdanakusuma
Jakarta. Meski dinilai sukses, namun performa pesawat itu masih jauh
dari memuaskan, seperti suara mesinnya yang masih terlalu bising. Dengan
kata lain, pesawat nirwana semestinya tidak berisik atau tidak
mengeluarkan suara besar.
Pesawat Luwung mempunyai bentang sayap 6,36 meter, dan terbuat dari
bahan komposit. Pesawat ini mampu terbang empat jam pada ketinggian
8.000 kaki, dapat lepas landas pada jarak 300 meter, serta memiliki
kecepatan operasional 52-69 knot. Pesawat ini juga dilengkapi dengan
“target lock camera system” untuk misi pengintaian, serta mampu terbang
hingga 73,4 km.
Penelitian dan pengembangan pesawat tanpa awak Indonesia memang masih
harus terus ditingkatkan, seperti bagaimana mengembangkan jarak tempuh
operasionalnya, menambah daya angkutnya serta bagaimana meminimalkan
tingkat kebisingannya.
Indonesia baru memasuki fase pengembangan teknologi, setelah itu baru
masuk ke tahapan “engineering manufacturing”, kemudian yang terakhir
adalah tahap produksi.
Mulai tahun 2011, BPPT dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sudah
bekerja sama mengembangkan drone untuk misi pemantauan dari udara. BPPT
telah mengembangkan pesawat udara nir awak sejak tahun 2004, dan telah
menghasilkan berbagai prototipe puna, seperti Gagak, Pelatuk, Seriti,
Alap-alap dan terakhir “Wulung” atau burung elang. Kesemuanya untuk
mendukung patroli di perbatasan Indonesia.
Untuk mengembangkannya sesuai kebutuhan Indonesia, diperlukan
penelitian dan pengembangan lebih lanjut dengan dukungan kebijakan
politik dan keuangan yang lebih besar dari pemerintah hasil Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden 2014.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 diikuti pasangan
capres dan cawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf
Kalla. ( Hisar Sitanggang / Ruslan Burhani / Antara). JKGR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar