Logo Badan Intelijen Negara (BIN) RI (foto: ilustrasi)
Pasca dilantik sebagai
Kepala Badan Intelejen Negara (BIN), Sutiyoso langsung mengemukakan
pentingnya BIN beralih dari Human Intelligence ke Cyber Intellegence.
Dia menjelaskan, hal ini juga adalah pesan dari mantan Kepala BIN yang
digantikannya, Marciano Norman.
Dalam keterangan persnya, Selasa (14/7/2015) pengamat keamanan cyber Pratama Persadha mengapresiasi langkah Sutiyoso untuk membawa BIN beradaptasi dengan medan yang berbeda. BIN dituntut bisa masuk dan beradaptasi dengan perkembangan jaman yang serba digital. Isu ketahanan nasional saat ini juga telah melebar ke ranah digital, buktinya Presiden Jokowi sudah menetapkan Badan Cyber Nasional harus segera terbentuk di tahun 2016 mendatang.
Dalam keterangan persnya, Selasa (14/7/2015) pengamat keamanan cyber Pratama Persadha mengapresiasi langkah Sutiyoso untuk membawa BIN beradaptasi dengan medan yang berbeda. BIN dituntut bisa masuk dan beradaptasi dengan perkembangan jaman yang serba digital. Isu ketahanan nasional saat ini juga telah melebar ke ranah digital, buktinya Presiden Jokowi sudah menetapkan Badan Cyber Nasional harus segera terbentuk di tahun 2016 mendatang.
“Intelejen saat ini memang tak sekedar mengandalkan insting. Kini
informasi tersebar lewat media yang beragam, salah satunya internet.
Disanalah BIN harus hadir dan mempunyai peran vital. Negara lain sudah
bergerak maju, kita tak boleh tertinggal,” jelasnya.
Pengguna internet Indonesia sampai akhir 2014 diperkirakan sudah
mencapai lebih dari 80 juta orang. Menurut APJII bahkan pada 2017
mendatang pengguna internet di Indonesia bisa lebih dari 100 juta orang.
Dengan hampir 50% penduduk Indonesia menggunakan sarana internet
sebagai komunikasi, BIN dituntut bisa ikut serta dalam mengamankan
negara.
“Isu strategis banyak bermunculan dari dunia digital di Indonesia.
Mulai maraknya penyebaran faham teroris lewat internet, sampai pada
ancaman pencurian data oleh asing. BIN harus bisa memberikan informasi
yang benar-benar akurat kepada Presiden sebagai user utama BIN,”
tegasya.
Menurut Pratama, seperti negara lainnya, BIN sebagai lembaga
intelejen akan sangat didengarkan pendapatnya, terutama oleh Presiden.
Seorang kepala negara membutuhkan informasi yang penting dan rahasia di
saat genting, namun bisa dijamin keakuratannya.
Sutiyoso beberapa kali menegaskan bahwa BIN salah satu fokus utamanya
pada pengamanan ekonomi. Bila benar, maka sasaran Sutiyoso sebenarnya
sudah sangat tepat. Karena dalam era perang informasi digital ini,
negara-negara berlomba mendapatkan informasi untuk tujuan penguasaan
ekonomi.
“Seperti kata Snowden di ajang CeBIT di Jerman, bahwa aksi peretasan
kini akan massif dilakukan oleh negara-negara. Tujuannya adalah
penguasaan sumber-sumber ekonomi baru,” terang pria yang 19 tahun lebih
bergelut di dunia intelejen ini.
Pratama menjelaskan bahwa penguasaan data penduduk juga sangat
penting. Negara lain tidak selalu dilakukan melakukan penetrasi dan
mencuri informasi kependudukan. Misalnya lewat perusahaan mereka yang
ada di negara lain bisa secara langsung menghimpun data-data tersebut.
Di sinilah BIN bisa memberikan informasi dan mencegah agar kerugian
Indonesia secara materiil dan immaterial tidak terus membesar.
“Belum lagi sektor perbankan yang sangat rawan terhadap peretasan.
Lalu informasi lain yang berharga seperti lokasi gudang senjata
TNI/POLRI,” terang mantan ketua tim IT Sandi Negara untuk IT
Kepresidenan ini.
Pada akhirnya BIN harus berkolaborasi dengan lembaga lain untuk bisa
tangguh di era cyber intellegence. BIN harus mampu menggandeng lembaga
intelijen lainnya untuk bekerjasama dan bertukar informasi cyber
intelligence. Antara lain Lembaga Sandi Negara, Intel Kejaksaan Agung,
Intel Polisi, BAIS TNI, Bea Cukai, Imigrasi dan BNN.
“Lengkapnya data intelijen, akan semakin komprehensif informasi yang
bisa diserahkan kepada Presiden, sehingga sangat membantu pengambilan
keputusan strategis,” jelas pria asal Cepu ini.
Pratama menegaskan bahwa saat kita membangun basis cyber
intellegence, harus memakai produk dalam negeri. Karena cyber
intelligence bukan hanya harus dioperasikan oleh anak bangsa, namun alat
dan teknologi harus diusahakan asli buatan Indonesia.
“Buat apa kita bangun sistem mahal dan canggih, namun karena
ketergantungan pada produk asing, setiap informasi intelejen kita masih
bisa diambil asing,” tegasnya. (Okezone)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar