Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, secanggih dan
kuatnya sosok kapal selam modern, tetap ada potensi mengalami kecelakaan
yang berujung pada karam atau kandasnya kapal selam di dasar lautan.
Bila hal itu terjadi, tentu dibutuhkan kesigapan dari awak kapal untuk
bisa menyelamatkan diri secara aman. Tentu selain terpaan pendidikan dan
pelatihan awak kapal selam yang serba ketat, juga perlu ditunjang
kehandalan sistem evakuasi yang ada di kapal selam itu sendiri.
Pilihan terbaik dan paling aman untuk evakuasi awak kapal selam yakni lewat wahana Deep Submergence Rescue Vehicle
(DSRV). Wahana berbentuk kapal selam mini ini dapat melalukan evakuasi
awak dengan jumlah relatif banyak dan bisa menghindari awak dari bahaya
dekompresi. Agar wahana DSRV bisa merapat ke kapal selam yang karam,
sudah barang tentu dibutuhkan pintu baterai yang dapat klop dengan DSRV. Untuk urusan pintu merujuk pada standar NAVSEA 0994-LP-013-9010.
Namun, sayangnya dua kapal selam milik TNI AL saat ini, yakni Type
209 – KRI Cakra 401 dan KRI Nanggala 402, belum dilengkapi pintu yang
bisa terkoneksi dengan DSRV. Baru pada Changbogo Class yang saat ini
sedang digarap di Korea Selatan, kapal selam dirancang dengan pintu
baterai sesuai standar NAVSEA 0994-LP-013-9010.
Lalu pertanyaannya, bagaimana prosedur evakuasi awak di kapal selam
Type 209 TNI AL? Maka jawabannya merujuk pada pakaian (suite) untuk
keselamatan dan perlindungan dari dekompresi, atau populer dengan
sebutan Submarine Escape and Immersion Equipment (SEIE).
Sebagai perlengkapan darurat, pakaian ini dirancang dengan warna oranye
untuk memudahkan pencarian oleh tim SAR. Secara umum, suite yang
menutupi keseluruhan tubuh awak ini, dilengkapi dengan kemampuan menahan
tekanan air, memberi perlindungan dari penyakit dekompresi, hipotermia,
dan perubahan iklim yang ekstrim. Maklum saja, awak kapal selam yang
telah berhasil keluar dan mencapai permukaan, bakal menghadapi situasi
yang rawan, seperti tinggi gelombang dan temperatur air yang dingin.
Selama proses evakuasi, pakaian sudah dilengkapi dengan tabung oksigen
dan raft tools kit.
Meski Changbogo Class pesanan TNI AL nantinya dibekali pintu baterai
untuk DSRV, namun, setiap kapal Changbogo Class juga dengan paket
Submarine Escape and Immersion Equipment. Dengan jumlah awak Changbogo
Class yang 40 orang, tiap kapal dilengkapi 48 suite SEIE, lebihnya suite
ini mungkin dimaksudkan sebagai cadangan atau untuk tambahan penumpang
(bila ada). Di kapal selam Type 209, prosedur evakuasi dapat dilakukan
lewat conning tower, tapi juga dimungkinkan lewat tabung peluncur torpedo.
Jenis SEIE suite yang dipesan TNI AL untuk melengkapi Changbogo Class
adalah jenis MK-10 buatan Inggris. MK-10 suite dapat digunakan untuk
evakuasi awak kapal selam dari kedalaman maksimum 182 meter. Selain AL
Inggris, MK-10 sejauh ini telah digunakan di kapal selam USS Toledo
(SSN-769) dan USS Los Angeles (SSN-688)
Musibah Saat Latihan Evakuasi di KRI Cakra 401
Untuk pertama kalinya, Korps Hiu Kencana TNI AL pada 7 Februari 2012, melaksanakan latihan basah untuk proses evakuasi kapal selam. Sebagai wahana uji dipilih KRI Cakra 401 yang berada di perairan Pasir Putih, Situbondo, Jawa Timur.
Untuk pertama kalinya, Korps Hiu Kencana TNI AL pada 7 Februari 2012, melaksanakan latihan basah untuk proses evakuasi kapal selam. Sebagai wahana uji dipilih KRI Cakra 401 yang berada di perairan Pasir Putih, Situbondo, Jawa Timur.
Skenario dari latihan ini adalah karamnya KRI Cakra 401 bersama 6
awaknya, karena mengalami kerusakan mesin. Satu persatu awak akan
diselamatkan dari conning tower kapal selam, untuk kemudian naik ke
permukaan laut. Keenam personel dibagi ke dalam tiga gelombang dan
setiap gelombang dua orang. Dalam simulasi pertama dan kedua, para
korban muncul ke permukaan air dalam waktu 15 menit. Namun dalam proses
penyelamatan ketiga terjadi masalah.
Tim yang ada di permukaan telah menunggu sekitar 30 menit akan tetapi
kedua awak kapal belum muncul juga. Setelah lama ditunggu, Kolonel Laut
Jeffry Stanley Sanggel, Komandan Satuan Kapal Selam Koarmatim dan Mayor
Laut Eko Indang Prabowo, muncul ke permukaan dengan kondisi yang cedera
parah. Hidung dan telinga mereka mengeluarkan darah, serta tidak
sadarkan diri, hingga akhirnya nyawa mereka tak dapat diselamatkan.
Diduga tabung oksigen yang melekat di baju khusus mereka tidak
berfungsi/selangnya lepas. Karena tidak ada oksigen, mereka terpaksa
naik ke permukaan laut dengan cepat, sehingga mengalami dekompresi.
Dekompresi adalah akumulasi nitrogen yang terlarut saat menyelam dan
membentuk gelembung udara yang menyumbat aliran darah serta system
syaraf. Udara yang kita hirup adalah oksigen dan nitrogen. Namun gas
nitrogen tidak digunakan tubuh. Akibatnya, gas Nitrogen akan
terakumulasi didalam tubuh penyelam, proporsional dengan durasi dan
kedalaman penyelaman. Masalah terjadi, bila penyelam naik dengan cepat
dari kedalaman tertentu, ke permukaan air. Hal ini seperti botol bir
yang dikocok lalu kita buka tutupnya. Akumulasi nitrogen di dalam cairan
tubuh penyelam dilepas dalam bentuk gelembung udara akibat penurunan
tekanan secara drastis. Buih-buih inilah yang menyumbat aliran darah
maupun sistem syaraf tubuh manusia dan berakibat fatal. (Haryo Adjie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar