Bung Karno saat naik pesawat (VIVA.co.id / Dody Handoko)
Nama-nama besar seperti Gajah Mada, para Wali, Siliwangi, Pangeran
Diponegoro, Pattimura, Bung Karno hingga Jenderal Sudirman dianggap
memiliki kesaktian.
Bukan hanya itu, hingga saat ini pun, di sejumlah daerah, masyarakat
setempat memiliki legenda-legenda tentang sosok sakti di daerahnya.Benarkah Bung Karno juga merupakan manusia “sakti?" Dengan sejarah sedikitnya tujuh kali luput, lolos, dan terhindar dari kematian akibat ancaman fisik secara langsung, menjadi hal yang jamak jika sebagian rakyat Indonesia menganggap Bung Karno adalah manusia dengan tingkat kesaktian tinggi.
Dalam buku Total Bung Karno karya Roso Daras diceritakan, sebuah perjalanan di Makassar, Bung Karno diserbu gerombolan separatis. Di perguruan Cikini, dia dilempar granat. Di Cisalak dia dicegat dan ditembaki. Di Istana, dia diserang menggunakan pesawat tempur oleh simpatisan PRRI/Permesta.
Bahkan ketika dia tengah salat Idul Adha, seseorang yang ditengarai dari anasir DI/TII menumpahkan serentetan tembakan dari jarak enam saf (barisan salat) saja.
Bung Karno tetap selamat, tetap sehat, dan tidak gentar. Dia terus saja menjalankan tugas kepresidenan dengan segala konsekuensinya. Dalam salah satu pernyataannya di biografi Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams, berkomentar tentang usaha-usaha pembunuhan yang dilakukan terhadapnya, Bung Karno tidak mengaku memiliki kesaktian tertentu.
“Mati-hidup adalah kehendak Tuhan. Manusia mencoba membunuh, kalau Tuhan belum berkehendak saya mati, maka saya belum akan mati,” kata Bung Karno ketika itu.
Dengan kepemimpinannya yang tegas, berani “menentang” mengutuk politik Amerika Serikat, dengan keberaniannya keluar dari PBB dan membentuk Conefo, dengan penggalangan jaringan yang begitu kokoh dengan negara-negara besar di Asia maupun Afrika, Bung Karno tentu saja sangat ditakuti Amerika Serikat sebagai motor bangkitnya bangsa-bangsa di dunia untuk menumpas praktik-praktik imperialisme.
Untuk membunuh Soekarno dari luar terbukti telah gagal, maka gerakan intelijen menusuk dari dalam pun disusun, hingga lahirnya peristiwa Gestok yang benar-benar berujung pada jatuhnya Bung Karno sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara Republik Indonesia.
Tidak berhenti sampai di sini, upaya membunuh secara fisik pun dilakukan dari dalam.
Bung Karno, dalam penuturan kepada Cindy Adams, pernah membuat pernyataan yang mencengangkan. “Untuk membunuh saya adalah mudah, jauhkan saja saya dari rakyat, saya akan mati perlahan-lahan,” kata dia waktu itu.
Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dan atas dukungan Amerika Serikat (dan kroninya), melakukan upaya mengisolasi terhadap Bung Karno dengan cara diasingkan di Istana dan wisma Yaso. Seperti yang telah disebutkan oleh Bung Karno sendiri.
Hingga Mei 1967, Bung Karno seperti tahanan rumah. Meski masih berstatus Presiden, tetapi ia terpenjara di Istana dan wisma Yaso. Tidak boleh keluar tanpa kawalan tentara di kubu Soeharto.
Usai ia dilengserkan oleh sidang istimewa MPRS, kemudian diasingkan di Bogor, kemudian disekap di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto. Ia benar-benar menjadi pesakitan. Yang paling menyakitkan adalah karena dia benar-benar dijauhkan dari rakyat. Rakyat yang menjadi “nyawa”-nya selama ini sampai Bung Karno wafat.
Viva.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar