Di masa kejayaan TNI AU, skuadron 41 dan
42 adalah sarangnya para mbaurekso udara, monster-monster angkasa yang
ditakui diseluruh langit Asia tenggara. Rumah bagi skuadron pesawat
pembom strategis, TU-16 Badger yang dimasa itu didatangkan demi
meningkat taring dalam pergelaran Operasi Trikora membebaskan Irian
Barat dari kekuasaan Kerajaan Belanda. Seiring gonjang ganjing politik
yang menyelebunginya, nasib dari para pembom Strategis ini berakhir
tragis, umur tugasnya yang masih seusia jagung dipaksa dimatikan pada
awal tahun 1970-an. Praktis setelah peristiwa muram ini, Angkatan Udara
tak lagi memiliki monster udara yang sangat dibanggakan, kebijakan
pemerintahan orde baru tak lagi memprioritaskan Angkatan Udara sebagai
matra yang agresif dan ditakuti kawasan. Kini, dengan bergejolaknya
perkembangan, situasi, konsi pertahanan dan keamanan di kawasan terkait
semakin panasnya drama perlombaan senjata, gesekan perbatasan dan
pelanggaran kedaulatan seperti membuka mata batin yang memaksa para
petinggi Hankam Republik ini memikirkan kembali kenangan masa lampau
ketika langit nusantara masih dijaga oleh sang monster udara.
Hingga sekara ini, praktis hanya Rusia
dan Amerika Serikat yang menjadi produsen unggulan Alutsista pesawat
bomber Strategis. Dengan adanya konsep pesawat multirole dan rudal
berteknologi canggih, bomber strategis menjadi semacam lini kedua dalam
meraih superioritas pertempuran udara. Meski demikian, bomber strategis
memiliki semacam fitur, aura yang tak dapat dimiliki oleh jenis pesawat
tempur lain, yakni memberikan efek deterrence bagi Negara
pemiliknya. Kehadirannya dapat memainkan peran psikologis bagi lawannya,
meminimalisir ancaman udara lawan, dan sebagai penggertak bagi siapa
pun yang mencoba mengganggu kedaulatan Negara. Konsep keunggulan bomber
strategis seperti inilah yang sangat diharapkan republic ini dalam
ancaman dan gangguan laten antara lain; ulah nakal tetangga
Utara dan Selatan , Gejolak konflik Laut China Selatan yang belum
stabil, serta yang paling berbahaya, pangkalan militer AS yang membentuk
cincin mengepung wilayah nusantara. “Bisikan ghaib” bahwa
Kemhan dalam hal ini TNI AU memiliki niatan kuat untuk menerbangkan
kembali skuadron bomber strategis merupakan salah satu upaya antidote dan preventif menghadapi segala kemungkinan ancaman diatas.
Apabila Kemhan dan TNI AU benar-benar
memasukan pesawat bomber strategis dalam daftar belanjanya mendatang,
maka pilihan yang paling “menguntungkan” adalah produk beruang merah
yakni Bomber TU22M dan SU-34 Fullback.
The Tupolev TU-22M3 (NATO : Backfire) adalah salah satu tulang punggung
armada bomber AU Rusia saat ini, versi terbaru dari varian TU-22.
Dikembangkan pada decade 1970-an , Bomber ini sudah kenyang uji Battle Proven
pada medan Afghanistan, Chechnya dan Georgia. Sedang Sukhoi SU-34
/Su-32 (NATO: Fullback) adalah Bomber paling gress dalam jajaran AU
Rusia, Dijuluki si cocor bebek, karena moncong hidungnya mirip dengan
binatang bebek atau platypus. Sosoknya merupakan kombinasi antara
Flanker dan Bomber, membuatnya memiliki kekuatan ganda dari dua jenis
Jet tempur ini.
Last, Bomber strategis sejak awal
diciptakannya bukan lah sebagai penentu kemenangan udara tapi lebih
sebagi arsenal penggentar langit. Sosoknya yang besar, daya jelajahnya
yang jauh, dan kapasitas angkutnya yang dikhawatirkan adalah alas an
utama bagi Negara sebesar, seluas, sekaya, secantik Indonesia untuk
tidak memiliki alasan untuk tak memilikinya. Keamanan dan integritas
kedaulatan adalah harga mati, semahal apapun biaya untuk mewujudkannya
bukan sebagai penghalang yang mengmbat. Membangkitkan kembali Armada
bomber TNI AU adalah salah satu langkah meraih kembali kejayaan matra
udara Indonesia di kawasan. So, mengoperasionalkan kembali
Pesawat-pesawat bomber strategis bukanlah mimpi di siang bolong, Langit
nusantara wajib dijaga oleh para raksasa udara yang disegani. Berharap
pula tawaran penjualan 1 Skuadron Backfire dan Fullback oleh Rusia
beberepa waktu lampau segera disambut dan realisasikan secepatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar