Kisah Pasukan M ALRI, Menang Tak Dibilang Gugur Tak Dikenang
Ketika Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta selesai mengumumkan
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka
keesokan harinya di depan sidang PPKI, para pemimpin kita, menegakkan
sebuah negara Republik Indonesia dengan Presiden dan Wakilnya Ir.
Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta.
Namun, bangsa-negara yang baru merdeka ini, justru menghadapi langkah
ketidakadilan berlanjut dari kolonialis Belanda yang telah menjajah
bangsa dan tanah air Indonesia puluhan tahun lamanya.
Pemerintah kolonial Belanda menolak mengakui kemerdekaan bangsa
Indonesia yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan juga
menolak mengakui kedaulatan Negara Kesatuan RepubliK Indonesia (NKRI)
yang dibentuk-tegakkan pada 18 Agustus 1945.
Singkatnya pemerintah kerajaan Belanda tidak menganggap adanya sebuah
bangsa-negara Indonesia yang merdeka, dan karena itu, pemerintah
kerajaan kolonialis itu tetap menganggap NKRI sebagai Nederlandsch-Indie
(Hindia-Belanda). Bangsa kolonialis itu tetap merasa dan berkehendak
mengembalikan sistem pemerintahan kolonialismenya ke tengah-tengah
bangsa-negara Indonesia (NKRI) yang telah merdeka.
Untuk melaksanakan tujuan kolonialismenya, van Mook-Letnan Gubernur
Jenderal, pimpinan pemerintah Belanda yang lari ke Australia –tentu saja
atas perintah kerajaan Belanda di Den Haag– melaksanakan suatu perang
kolonialis kepada bangsa Indonesia selama kurang lebih empat tahun,
1945-1949.
Pemaksaan perang kolonialis oleh pemerintah kerajaan Belanda dihadapi
oleh bangsa-negara Indonesia dalam bentuk “Perang (Mempertahankan)
Kemerdekaan” dalam periode yang sama sebagaimana yang disebut di atas.
Dengan demikian, dalam perang yang dipaksakan itu, berhadapan dua
kekuatan yang menerjuni perang itu dengan tujuan yang berbeda. Di satu
pihak, bangsa-negara Indonesia menerjuni perang yang dipaksakan itu
dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan bangsa-negarany. Sebaliknya,
pemerintah kerajaan kolonialis Belanda mengadakan peperangan itu untuk
mengembalikan sistem pemerintahan kolonialismenya ke tengah-tengah
bangsa-negara Indonesia yang telah merdeka.
Dalam menerjuni perang mempertahankan kemerdekaan yang dipaksan oleh
pemerintah kolonialisme Belanda itu, tentu saja pemerintah, pemimpin
bangsa-negara Indonesia berusaha sekuat tenaga, sebaik-baiknya, untuk
mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Bagi pemimpin bangsa kita,
mempertahankan kemerdekaan tentu saja merupakan “tugas dan kewajiban”,
bahkan dianggap sebagai sesutau yang memiliki “makna suci”. Karena itu,
dalam perang mempertahankan kemerdekaan itu, kita sering mendengar
teriakan dan tulisan pamflet : “merdeka atau mati!!!!”.
Anak-anak usia muda yang masih sekolah –pelajar– meninggalkan bangku
sekolahnya dan ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu;
entah karena kemauan sendiri atau ikut dengan kawan-kawannya, bersama
membentuk suatu kelompok dan menjadi satu organisasi yang digunakan
untuk mengatur dan melakukan perlawanan melawan pasukan kolonialis
Belanda.
Dalam menerjuni perang-termasuk dalam perang mempertahankan
kemerdekaan itu-tampillah “beberapa” orang yang kemudian hari setelah
perang usai, dikategorikan sebagai “pahlawan”, karena selama perang
kemerdekaan berlangsung memperlihatkan/menunjukkan “kelebihan” tertentu
jika dibandingkan dengan orang lain pada umumnya. Orang yang dianggap
mempunyai sikap khas di tengah krisis itu, diberi sebutan pahlawan.
Apakah pahlawan itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) –Balai
Pustaka, 1991, pahlawan disebutkan sebagai “orang yang menonjol” karena
keberanian dan pengorbanan di dalam membela kebenaran; disebut juga
pejuang yang gagah berani.
Sejak 1960-an, pemerintah NKRI melakukan kebijakan untuk memberikan
anugerah, gelar, kepahlawanan kepada seseorang yang dianggap mempunyai
sikap, tindakan yang luar biasa, yang melebihi dari warga negara
lainnya, dengan tindakan luar biasa itu, orang yang bersangkutan diberi
galar “pahlawan nasional”. Untuk pengusulan seseorang menjadi pahlawan
nasional harus melalui mekanisme tertentu sesuai dengan prosedur yang
ditentukan oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.
Bali-Sunda Kecil: Ancaman Kolonialis Belanda
Setelah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945, dan
menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 18 Agustus
1945, maka menyebarlah berita proklamasi dan pembentukan NKRI itu ke
seluruh wilayah Republik, dari Sabang sampai Merauke, dari wilayah
pantai-pantai sampai ke gunung-gunung dan segeralah para pemimpin,
tokoh, dan masyarakat umum di daerah-daerah memberikan dukungannya
–walau tentu saja ada juga sejumlah kecil warga yang tetap memberikan
dukungannya kepada pemerintah kolonial kerajaan Belanda– kepada Presiden
dan pemerintah NKRI.
Sesuai dengan keadaan transportasi dan peralatan komunikasi yang
sederhana dan medan wilayah NKRI pada 1945 itu, terdengar dan sampainya
berita proklmasi kemerdekaan itu tidak bersamaan ke seluruh wilayah
NKRI. Namun demikian, setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan
dan terbentuknya NKRI itu, masyarakat memberi dukungan dan mempersiapkan
diri untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negaranya,
NKRI. Demikian pula halnya dengan keadaan di Bali-Sunda Kecil.
Perkembangan kegiatan membela dan mepertahankan (proklamasi)
kemerdekaan bangsa-negara, NKRI tentu sesuai dengan situasi obyektif
yang ada di Bali-Sunda Kecil pada periode 1945-1949 itu. Keadaan di
Bali-Sunda Kecil pada waktu itu terbagi atas delapan kerajaan, dan pada
umumnya “memihak” kepada kekuasaan kerajaan Belanda. Hanya ada satu raja
yang dapat dianggap betul-betul memihak kepada Republik, yaitu Puri
Satrya, Raja Badung. Namun demikian, dengan bantuan dukungan masyarakat
yang pro republik, akhirnya pemerintah Jepang menyerahkan kekuasaannya
kepada Gubernur Bali, Ktut Pudja pada 8 Oktober 1945. Susunan
badan-badan perjuangan pun makin diperbaiki untuk melakukan kegiatan
mempertahankan kemerdekaan, bendera Merah Putih mulai berkibar di
gedung-gedung pemerintahan. Beberapa kapal kayu dagang milik Jepang
diambil alih oleh pemuda dan kelasi berkebangsaan Jepang ditampung oleh
pemerintah. BKR juga terbentuk dengan komandannya I Made Putu.
Untuk melakukan konsolidasi perlawanan mempertahankan kemerdekaan di
Bali-Sunda Kecil, diadakanlah suatu rapat di Puri Raja Badung, Denpasar,
yang merupakan rapat pertama yang dihadiri oleh utusan-utusan dari
daerah atau kerajaan yang merupakan keluarga dari raja-raja kerajaan
yang ada du Bali. Dalam rapat pertama ini diputuskan markas TKR Sunda
Kecil berkedudukan di Denpasar. Rapat kedua, telah mengambil keputusan
untuk memilih pimpinan dan staf TKR Sunda Kecil, yang terdiri dari:
Pimpinan TKR : I Gusti Ngurah Rai
Barisan Penggempur/Operasi : I Gusti Putu Wisnu
Kepala Staf : I Wayan Ledang
Dalam perkembangannya, pasukan Belanda pun berusaha menduduki Bali dengan cara membonceng pasukan Sekutu-Inggris yang datang untuk menggantikan posisi pasukan pendudukan Jepang.
Barisan Penggempur/Operasi : I Gusti Putu Wisnu
Kepala Staf : I Wayan Ledang
Dalam perkembangannya, pasukan Belanda pun berusaha menduduki Bali dengan cara membonceng pasukan Sekutu-Inggris yang datang untuk menggantikan posisi pasukan pendudukan Jepang.
Pasukan M-Markadi: Pasukan Bantuan Perjuangan di Bali
Keadaan masyarakat Bali – Sunda Kecil dan pendukung NKRI dalam
menghadapi kekuatan imperialis Balenda dalam situasi kritis. Masyarakat
Bali yang measih berada di bawah kekuasaan sistem pemerintahan
feodalistik kerajaan-kerajaan, tidak dapat mengembangkan kekuatan
perlawanannya sebagaimana yang diharapkan. Untuk mendukung perlawanan
perjuangan di Bali-Sunda Kecil, diperlukan usaha untuk memberikan
bantuan pasukan dari Pulau Jawa. Dalam rangka itulah kemudian suatu
pasukan yang akan dikirimkan ke Bali dibentuk, yaitu pasukan yang
dipimpin oleh Kapten Markadi atau sesuai dengan huruf awal nama
komandannya itu, disebut “Pasukan M”. Kapten Markadi semula adalah
Komandan Kompi Tentara Laut Resimen II TRI Laut Malang, yang kemudian
ditugaskan untuk membentuk unit pasukan kecil yang akan dikirim ke Bali
dengan tugas utama menghimpun informasi intelijen yang akan digunakan
untuk melakukan pelbagai operasi yang terkait dengan pengambilalihan
persenjataan Jepang; senjata-senjata rampasan Jepang itu dimaksudkan
untuk memperkuat kekuatan para pejuang di Bali-Sunda Kecil.
Kapten Markadi diberi tugas intelijen – yang tentu tidak mudah – ke
Bali itu tentu karena dianggap mempunyai kemampuan berdasar pengalaman
yang telah dimilikinya sebelum penugasan itu. Ia sudah pernah mendapat
tugas mendampingi Kolonel Prabowo dan Kolonel Moenadji untuk
mengambilalih persenjataan Jepang di Bali. Sementara itu, situasi di
Bali-Sunda Kecil makin kritis karena kegagalan gerakan pemuda republiken
untuk merebut senjata Jepang pada peristiwa 13 Desember 1945.
Walaupun begitu, usaha-usaha para pejuang patriotik Bali-Sunda Kecil
yang dipimpin oleh Letkol I Gusti Ngurah Rai tidaklah surut. Selama
periode Januari-Maret 1946, Letkol I Gusti Ngurah Rai bersama Kolonel
Prabowo, Kolonel Moenadji dan didampingi oleh Kapten Markadi menemui
pimpinan TNI di Markas Besar TRI di Yogyakarta untuk meminta bantuan
kekuatan guna menguatkan semangat dan kekuatan perjuangan yang makin
kritis dalam mepertahankan kemerdekaan di Bali-Sunda Kecil.
Letkol I Gusti Ngurah Rai beserta teman-temannya, termasuk Kapten
Markadi berhasil memperoleh dukungan dari Markas Besar TRI melalui
Jenderal Urip Sumoharjo. Adanya dukungan Markas Besar TRI itu
mempercepat usaha membangun kekuatan pasukan yang akan dikirim ke
Bali-Sunda Kecil. Dalam kaitan itulah, Kapten Markadi – karena tetap
ditugaskan untuk memimpin pasukan bantuan perjuangan ke Bali – segera
berusaha membangun pasukannya, Pasukan M, agar segera siap
diberangkatkan ke Bali. Ia berhasil membentuk pasukan yang berkekuatan
empat seksi, yaitu tiga seksi pasukan tempur dan satu seksi pasukan
khusus diberi nama CIS (Combat Intelligence Section) yang personilnya
berasal dari para pelajar berbagai Sekolah Menengah Atas yang telah
mendapatkan pelatihan tempur dan intelijen.
Setelah pelbagai persiapan yang dianggap cukup, dengan menggunakan
kendaraan laut tradisional yang tersedia ketika itu – berupa
perahu-perahu dari pelbagai jenis – mereka pun berangkat untuk
menjalankan tugas dengan segala resiko yang mungkin dapat menimpa
mereka. Kapten Markadi bersama pasukannya dengan menaiki sejumlah
perahui berangkat ke Bali.
Tetapi, dalam perjalanan itu, saat fajar 5 April 1946, dua perahu
Madura yang ditumpangi Kapten Markadi bersama pasukannya yang sudah
hampir mencapai pantai Bali “kepergok” oleh dua kapan Angkatan Laut
Belanda yang sedang menjalankan tugas patroli. Kedua kapal musuh,
Angkatan Laut Belanda itu melihat dan mendatangi perahu para pejuang
itu. Kapten Markadi berusaha melakukan tindakan “kamuflase” untuk
mengelabui Angkatan Laut Belanda itu, tetapi gagal. Kapal Angkatan Laut
Belanda itu pun akhirnya tahu bahwa orang-orang yang ada di kedua perahu
Madura itu dan berusaha segera menangkap mereka. Dengan itu pertempuran
pun tak dapat dihindarkan. Dari buku tulisan Iwan Santoso dan Wenri
Wanhar, peristiwa itu digambarkan:
“Kapten Markadi yang mengerti bahasa Belanda langsung melempar tali
seraya memberi perintah menembak dan langsung menceburkan diri ke laut.
Pertempuran laut pertama dalam sejarah RI seketika pecah di Selat Bali.
Tidak semua awak perahu itu ikut bertempur. Beberapa orang hanya tiarap
karena tidak memiliki senjata. Pelaut Belanda membalas serangan Pasukan M
dengan intraliur berat jenis Browning kaliber 12,7mm. Namun, karena
terlalu dekat dengan posisi LCM lebih tinggi dari perahu Madura,
sehingga senapan mesin berada dalam sudut mati dan tembakan prajurit
Belanda hanya mengenai tiang layar karena perahu yang ditumpangi Markadi
ini berada dalam posisi sangat rendah. Kapten Markadi yang tadi terjun
menyelam di lambung sebelah kanan perahu, muncul di lambung sebelah kiri
dan dengan dibantu anak buahnya naik lagi ke perahu
Dalam menghadapi perlawanan para pejuang NKRI yang dipergokinya itu,
awak kapal patroli Belanda itu nyaris putus asa karena tembakannya tidak
mengenai sasarannya. Dalam keputusasaannya itu,
“…, kemudian menabrakan LCM nya ke perahu Kapten Markadi. Mereka
berharap perahu pejuang akan tenggelam. Beberapa orang yang berada di
perahu tersebut jatuh ke laut. Tapi mereka kembali naik lagi ke perahu
dengan bantuan personel lainnya, LCM tersebut beberapa kali menabrak
perahu. Saat tabrak-tabrakan itulah Kapten markadi memerintahkan Pasukan
M serempak melemparkan granat ke arah dua LCM Belanda.
Tak lama kemudian terdengar granat meledak di atas sebuah LCM Belanda
dan diperkirakan menewaskan empat orang awaknya, segera LCM lainnya
melarikan diri dengan keadaan terbakar pada bagian dek dan lambung
kapal. Sambil mundur ke arah Gilimanuk, LCM itu terus menembak, akan
tetapi tidak ada yang kena sasaran. Menurut laporan Angkatan Laut
Belanda, LCM tersebut dikabarkan kembali beroperasi setelah dilakukan
perbaikan.
Pertempuran yang berlangsung ±15 menit itu disebut-sebut sebagai
pertempuran laut pertama yang dimenangi Angkatan Perang Indonesia
setelah proklamasi, di awal kemerdekaan bangsa dan tegaknya negara
Republik Indonesia. Dalam pertempuran itu, pasuka M kehilangan seorang
warganya atas nama Sumeh Darsono dan seorang terluka tembak, Tamali.
Walaupun dalam pertempuran itu Pasukan M dapat dikatakan memperoleh
“kemenangan kecil” tetapi ia dan pasukannya tidak mau menyenangkan diri.
Segera ia memerintahkan kedua perahu pasukannya untuk memutar haluan
dan kembali ke Banyuwangi dengan alasan menengedepankan keselamatan
seluruh pasukan. Sebab setelah peristiwa pertempuran yang menghadapi
sejumlah kecil pejuang NKRI yang “mengalahkannya” mungkin saja
melahirkan perasaan malu besar pada pimpinan Angkatan Laut Belanda dan
mungkin saja pimpinan Angkatan Perang Belanda mengirimkan pesawat
tempurnyan untuk menghancurkan para pejuang yang baru saja mengalahkan
mereka di Selat Bali itu.
Walaupun mendapatkan “kemenangan” dalam pertempuran laut pertama bagi
republik merdeka ini, namun tujuan utamanya untuk mendarat di Bali
justru “gagal”. Karena itu, dalam waktu singkat, Kapten Markadi kembali
merencanakan usaha penyebrangan yang kedua kalinya. Setelah melakukan
evaluasi terhadap persiapan, peralatan pada usaha penyebrangan yang
pertama kalinya – antara lain mengganti perahu Madura yang lamban dengan
perahu Mayang yang lebih cepat – dilakukanlah penyebrangan yang kedua.
[penyebrangan yang kedua ini berlangsung dengan baik dan Kapten Markadi
bersama Pasukan M-nya berhasil mendarat di Bali dan memberikan bantuan –
sebagaimana tujuan utama mereka ditugaskan ke Bali – untuk memperkuat
pasukan perlawanan pejuang NKRI di daerah ini.
“Selanjutnya, Pasukan M beroperasi di balik garis belakang pertahanan
Belnda di Bali membantu pasukan Ciung Wanara pimpinan Letkol I Gusti
Ngurah Rai. Tidak terlalu lama, Pasukan M dan para pejuang dari Jawa
sudah bergerilya di pelbagai wilayah Bali termasuk di Tabanan yang
berbatasan dengan Badung-Denpasar, pusat kekuasaan pemerintah Belanda.
Kapten Markadi berhasil Menjalankan Tugas Pengabdiannya
Kapten Markadi dengan Pasukan M nya berhasil menjalankan tugasnya
untuk memberi bantuan kepada salah satu wilayah, bagian strategis dari
wilayah NKRI yang oleh pemerintah kerajaan Belanda tidak diakui
kemerdekaan dan kedaulatannya. Belanda hendak memutar jarum sejarah,
bahkan dengan memaksakan perang kolonialismenya. Bangsa-negara Indonesia
yang sudah merdeka dan berdaulat harus menghadapi perang kolonialis
yang dipaksakan demi mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatnnya. Perang
ini berlangsung selama ± 4 tahun, 1945-1949. Kapten Markadi setelah
berada di Bali, ia dan pasukan M nya telah menyumbangkan tenaga dan
pikirannya untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa-negara
Indonesia demi keutuhan NKRI. Kapten Markadi dengan Pasukan M nya telah
memberikan sesuatu bentuk pengabdian dengan menjalankan penugasan yang
diberikan negara kepadanya. Apakah dengan itu, beliau patut diberikan
penghargaan lebih oleh pemerintah berupa Pahlawan nasional?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar