Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus
1945 pada tahun-tahun selanjutnya masih menemui banyak tantangan yang
harus diselesaikan melalui pertikaian bersenjata. Korban jiwa dan materi
yang tak bisa dicegah pun berjatuhan.
Setelah lebih dari sepuluh tahun RI merdeka, sejumlah daerah merasa
tidak puas bahkan dengan terang-terangan berupaya memisahkan diri,
sehingga pemerintah pusat di Jakarta terpaksa harus menyelesaikannya
secara militer. Salah satu upaya pemisahan diri dengan cara membentuk
negara baru dan menyatakan berpisah dari pangkuan RI adalah Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pimpinan Mr Sjafrudin
Prawiranegara yang dibentuk pada 15 Februari 1958 di Sumatera.
Upaya pemisahan diri dari PRRI itu jelas menjadi ancaman serius bagi
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan harus segera diambil tindakan
tegas. Tapi tindakan tegas yang harus diambil oleh pemerintah RI
khususnya Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) harus benar-benar
terencana secara matang. Pasalnya PRRI juga didukung oleh sejumlah
unsur militer di Sumatera yang semula anggota APRI, sehingga memiliki
kekuatan yang teraltih dan bersenjata lengkap. Satuan-satuan militer
yang mendukung APRI antara lain Resimen IV/TT-1/ Bukit Barisan di bawah
komandan Letkol Achmad Husein, Tentara Territorium I di bawah komandan
Kolonel Mauluddin Simbolon, Tentara Teritorium II di bawah pimpinan
Letkol Barlian, dan lainnya. Pada 22 Desember 1956 Panglima TT-1,
Kolonel Simbolon di Medan bahkan telah terlebih dahulu memutuskan
hubungan dengan pemerintahan pusat. Dari sisi kemampuan tempurnya yang
terlatih, jumlah total pasukan PRRI sekitar 10.000 0rang.
Selain memiliki pasukan yang terlatih pasukan PRRI juga memunyai
senjata-senjata modern yang kemudian diketahui sebagai bantuan dari AS
(CIA). Persenjataan yang terdeteksi oleh intelijen APRI pada 28
Februari 1958 dan dikirim melalui penerbangan gelap ke Sumatera itu
antara lain 15 senjata mesin ringan, 125 pucuk senapan laras panjang,
dan dua senapan mesin berat lengkap dengan pelurunya. Dengan
memperhitungkan bahwa kekuatan militer yang dimiliki PRRI sebelumnya
merupakan pasukan reguler dan memiliki persenjataan yang digelar dalam
kawasan luas, APRI di bawah komando KSAD Kolonel AH Nasution pun
segera menggelar operasi gabungan. Sebagai komandan operasi gabungan
ditunjuk perwira TNI AD yang sudah cukup pengalaman, Kolonel Achmad
Yani. Sejumlah operasi yang digelar untuk membereskan PRRI antara lain
Operasi Tegas, Operasi Saptamarga, Operasi Sadar, dan Operasi 17
Agustus.
Peran AURI
Sebagai operasi gabungan yang melibatkan seluruh kekuatan APRI, peran
kekuatan AURI (TNI AU) sangat dominan karena bertugas menerjunkan
pasukan, menerjunkan logistik, memberikan air cover, bantuan
tembakan udara kepada pasukan darat, misi SAR, dan lainnya. Kekuatan
udara AURI yang dikerahkan antara lain 26 pesawat C-47 Dakota, enam pesawat pemburu P-51 Mustang, delapan pembom B-25 Mitchell, enam AT-16 Harvard yang
dipersenjatai, dan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI. Sedangkan kekuatan
ALRI yang dikerahkan terdiri dari enam kapal perang, 19 kapal transpor
dan ribuan prajurit AL. Angkatan Darat RI juga mengerahkan ratusan
prajurit RPKAD yang dalam misi tempurnya akan diterjunkan melalui
udara dan didaratkan menggunakan kapal ALRI. Jumlah pasukan APRI yang
dikerahkan untuk menumpas PRRI sekitar 50.000 orang.
Menurut Marsma (Purn) Augustinus Andoko (84) saksi hidup Operasi Tegas yang turut menerbangkan Dakota,
untuk melancarkan operasi militer merebut Riau Daratan itu taktik
tempurnya dititikberatkan pada unsur pendadakan. Target lain Operasi
Tegas adalah membebaskan Pangkalan Udara Simpang Tiga, Pekanbaru yang
selanjutnya akan digunakan sebagai basis terdepan guna menghadapi PRRI.
Sebanyak 26 Dakota dari Skadron Udara 2 yang telah disiapkan di
pangkalan aju Tanjung Pinang, tidak semuanya diterbangkan oleh
pilot-pilot AURI karena masih terbatasnya penerbang Dakota.
“Pilot-pilot dari Garuda Indonesian Airways atau biasa disebut Wing
Garuda juga ikut dilibatkan. Saya sendiri saat itu sebenarnya bukan
pilot Dakota dari Skadron 2, tapi menjabat Chief Instructor
di Sekolah Penerbang Bandung,’’ jelas Andoko yang saat itu berpangkat
Kapten Pnb. ‘’Tapi karena memiliki kemampuan menerbangkan Dakota dan karena kurang tenaga pilot, semua yang bisa menerbangkan Dakota
pun dilibatkan. Saat itu semua instruktur dilibatkan dalam operasi
sehingga para siswa penerbang pekerjaannya hanya duduk-duduk saja karena
tidak ada instrukturnya,’’ tambah Andoko yang juga dikenal sebagai
salah satu sesepuh TNI AU dan salah satu pendiri Perhimpunan
Purnawirawan Angkatan Udara (PPAU).
Andoko yang pada massa Perang Kemerdekaan RI (1945-1947) tergabung
dalam Tentara Pelajar Batalyon 300 itu mendapatkan kemampuan
menerbangkan sejumlah pesawat, salah satunya Dakota, sewaktu
mengikuti Pilot Course di Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TALOA),
Bakersfield, California, AS (1950). Sebelum dikirim ke TALOA, Andoko
yang lulus pendidikan SMTT (Sekolah Menengah Teknik Tinggi) Yogyakarta
telah diterima sebagai kadet AURI (1949) dan sudah memiliki kemampuan
terbang solo menggunakan pesawat L-4J.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar