Perkembangan
dinamika dan lingkungan strategis mengakibatkan perubahan paradigma, sehingga
spektrum ancaman bergeser dari ancaman bersifat non fisik berubah menjadi
perang masa depan bersifat cyber war. Atas dasar itulah intelijen
Indonesia harus menyesuaikan dengan bentuk dan sifat ancaman perang tersebut.
Kemajuan teknologi harus menjadi peluang bagi intelijen Indonesia untuk
mencapai tujuan dan kepentingan nasional disertai dengan mengintensifkan
pengembangan SDM intelijen baik kecerdasannya maupun nasionalisme. Demikian
intisari pendapat mantan Deputi Bidang Produksi dan Analisa Badan Koordinasi
Intelijen Negara/BAKIN (Red: sekarang BIN) Supono Soegirman, yang juga penulis
buku intelijen berjudul “Intelijen Profesi Unik Orang-Orang Aneh”, dalam
wawancara di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Berikut petikan wawancara dengan mantan Deputi III
BAKIN, Supono Soegirman.
Bagaimana perjalanan karir Anda di bidang intelijen?
Awal karir di BAKIN, saya bertugas sebagai liason
dengan DPR, setelah mengalami reorganisasi ditempatkan di salah satu Direktorat
Riset Deputi Bidang Luar Negeri BAKIN. Saya sempat menjabat sebagai Kepala
Seksi Vietnam, Kasubdit Asia Tenggara, kemudian dipindah ke direktorat
operasional dan ditugaskan ke luar negeri. Kembali dari luar negeri ditugasi
sebagai Direktur Riset dan Analisa di lingkungan Deputi III (Deputi Produksi
dan Analisa BAKIN). Kemudian seusai pendidikan Lemhanas saya ditugasi menjadi
staf ahli bidang Sosial Budaya, dan puncaknya dipercaya menduduki jabatan eselon
I sebagai Deputi III BAKIN.
Apa motivasi Anda menulis buku tentang intelijen?
Terdapat peribahasa latin "verba volant,
scripta mament", artinya kata-kata lisan menguap, tulisan langgeng.
Peribahasa tersebut merupakan salah satu pertimbangan mendorong saya menulis
buku tentang intelijen, agar masyarakat umum punya persepsi yang benar terhadap
dunia intelijen. Buku-buku yang saya tulis menggunakan bahasa populer agar
mudah dimengerti masyarakat sebagai "stay behind of intelligence",
bersikap kondusif bagi kinerja intelijen. Selama ini tulisan-tulisan berbahasa
Indonesia tentang intelijen masih sulit ditemukan. Dilain pihak, banyak
terdapat cukup banyak film tentang intelijen yang umumnya justru mudah memberi
gambaran keliru. Apabila persepsi masyarakat tentang profesi intelijen dapat
proporsional, maka akan dapat meringankan sebagian tugas-tugas intelijen.
Respon publik terhadap tulisan-tulisan saya tentang
intelijen cukup konstruktif. Komentar langsung dalam seminar, pertemuan
maupun pertanyaan tertulis melalui media sosial, meskipun disampaikan dalam
kalimat-kalimat pendek, menumbuhkan harapan bahwa pembaca bersedia memberikan
pemahaman terhadap profesi intelijen sebagaimana semestinya. Sejauh ini
buku-buku tentang intelijen yang memadai dalam arti mampu mengobati rasa dahaga
masyarakat tanpa harus mengumbar rahasia negara, sekaligus bermanfaat untuk
kepentingan literatur pendidikan maupun konsumsi masyarakat luas dirasa masih
kurang. Munculnya buku-buku tentang intelijen yang mampu menjembatani berbagai kepentingan
tersebut tentu akan membawa banyak manfaat.
Bagaimana pendapat Anda tentang intelijen masa kini
dan konsep smart intelligence?
Smart Intelligence merupakan sebuah terminologi yang dapat digunakan
untuk mendiskripsikan bagaimana seharusnya postur intelijen ideal dalam
menyikapi paradigma baru era keterbukaan. Seperti diketahui, era keterbukaan
diwarnai dengan kemajuan teknologi komunikasi, telah menjadikan informasi,
termasuk klasifikasinya terbatas, bahkan tertutup, sebagai komoditi yang mudah
diakses oleh siapa saja, bukan lagi monopoli intelijen. Berbagai media sosial
seperti internet, termasuk google, yahoo, bahkan face book,
twitter, menyediakan beragam informasi berharga yang bisa diolah menjadi
sebuah produk analisis bernilai tinggi. Akan tetapi, perlu diingat, tidak
selamanya data yang tersedia di media sosial tersebut akurat. Bisa saja
data-data tersebut merupakan "desepsi", penyesatan, atau mungkin data
yang belum teruji kesahihan dan validitasnya.
Intelijen masa kini dan konsep smart inteligence
ideal bagi BIN, harus sesuai tantangan yang dihadapi kedepan, setidaknya perlu
memenuhi beberapa kriteria, yakni responsif, simpatik, kreatif, dan nasionalis.
Responsif dalam arti cepat memberikan reaksi terhadap setiap situasi yang
berkembang cepat. Intelijen tidak boleh ketinggalan informasi yang tersedia di
media-media sosial, terlebih kalah cepat dengan unsur-unsur masyarakat biasa.
Intelijen perlu bereaksi cepat, tetapi harus akurat sebagaimana moto
"velox et excatus". Intelijen harus simpatik, menghadapi paradigma
keterbukaan menghendaki model "penggalangan" halus, tidak memberikan
kesan menakutkan. Intelijen harus kreatif, banyak akal, banyak ide terutama
ketika menganalisis sesuatu masalah. Sedangkan nasionalisme harus tetap merupakan
dasar pijak intelijen, dalam rangka menghadapi ancaman kedepan terhadap
eksistensi, integritas dan kedaulatan NKRI. Dalam nasionalisme tentu terkandung
sifat keberanian, semangat berkorban dan semangat pengabdian.
Apa pendapat Anda tentang ancaman intelijen masa kini?
Intelijen masa kini dengan prestasi intelijen masa
lalu, tentu tidak bisa dibandingkan, karena situasi dan tantangan yang dihahapi
berbeda. Perubahan lingkungan strategis saat ini dibanding dengan masa lalu
juga berbeda. Pada masa lalu, interaksi negara-negara di dunia ditandai
rivalitas antara blok Barat dan blok Timur. Blok Barat yang anti komunis
dipimpin Amerika Serikat. Sedangkan blok Timur yang berhaluan komunis -
sosialis dipimpin oleh Uni Soviet. Berhubung Indonesia baru saja terhindar dari
malapetaka pemberontakan-kudeta G30S-PKI, maka seakan Indonesia berada dalam
orbit blok Barat. Kondisi ini tidak mudah bagi intelijen, sebab pada dasarnya
kepentingan nasional RI tidak selamanya otomatis sejalan dengan blok Barat, dan
tidak otomatis selamanya berseberangan dengan blok Timur.
Dalam pengabdian pada kepentingan nasional, intelijen
senantiasa berpegang pada adagium "tidak ada kawan atau lawan yang abadi,
kecuali kepentingan". Sekedar contoh, semula musuh AS adalah komunis.
Setelah Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur runtuh, komunis bukan lagi
dirasakan sebagai musuh utama, dan saat ini teroris menjadi musuh
terbesarnya. Bagi RI, kejahatan luar biasa yang harus dihadapi adalah
korupsi dan teroris, selanjutnya paham liberal dan radikal lain yang dapat
menggerus ideologi Pancasila, juga perlu diwaspadai. Sejarah membuktikan sesuai
perkembangan dan dinamika situasi, telah terjadi perubahan paradigma, sehingga
spektrum ancaman juga berubah. Apalagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, ternyata bentuk ancaman dimasa mendatang juga berubah. Ancaman dan
perang yang semula bersifat fisik militer, bergeser pada bentuk-bentuk ancaman
dan perang bersifat non fisik, multi-dimensi mencakup banyak bidang, termasuk
perang masa depan di dunia maya/cyber war. Oleh karena itu, intelijen
Indonesia juga perlu menyesuaikan dengan bentuk dan sifat ancaman - perang baru
tersebut.
Intelijen Indonesia yang dikomandani oleh BIN,
tampaknya sangat antisipatif. Beberapa diantaranya adalah penyempurnaan
organisasi dengan dibentuknya sebuah Deputi yang menyediakan sarana dan
infrastruktur untuk perang cyber. Selain itu juga telah dibentuk sebuah Deputi
yang menghimpun pasukan perang cyber. Dengan perkuatan dua deputi tersebut,
intelijen Indonesia diharapkan bukan hanya akan mampu menangkal ekses negatif
dampak serangan cyber pihak asing yang mengarah pada pembentukan opini sesat,
namun jika diperlukan juga diharapkan mampu melakukan "specified
mission" lainnya.
Apa pendapat Anda tentang ancaman perang cyber bagi
intelijen?
Ancaman perang cyber yang harus dihadapi Intelijen
Indonesia, utamanya BIN cukup berat. Sebagaimana perang fisik yang memerlukan
dukungan keunggulan teknologi, perang cyber sangat dipengaruhi kecanggihan
teknologi. Di bidang kecanggihan teknologi inilah Indonesia harus mengakui
ketinggalan terutama bila dihadapkan dengan negara-negara Barat. Celakanya,
masyarakat Indonesia sedang gandrung menikmati kecanggihan teknologi komunikasi
dan informasi ciptaan negara-negara lain, tanpa menyadari akan mudah menjadi
sasaran pembentukan opini pihak lain yang belum tentu sejalan dengan
kepentingan nasional RI. Sekedar contoh, Indonesia merupakan negara terbanyak
kelima dalam hal penggunaan perangkat "dunia maya". Sebagai
ilustrasi, pada akhir 2012 pengguna internet tercatat sekitar 62 juta, dan
pengguna twitter mencapai sekitar 32 juta, demikian pula pemanfaatan media
sosial lainnya cukup berkembang.
Tentu saja, semua media sosial memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Bagi intelijen Indonesia, kemajuan teknologi
yang dimiliki oleh negara-negara barat sekalipun, harus dilihat sebagai peluang
untuk pencapaian tujuan dan kepentingan nasional. Itu sebabnya ketika menyadari
kekurangan yang dimiliki yakni bidang teknologi komunikasi, maka tidak ada
pilihan lain kecuali mengintensifkan pengembangan SDM intelijen, baik
kecerdasannya maupun nasionalismenya. Kecanggihan SDM yang terdukung oleh
nasionalisme tinggi akan mampu menyiasati kelebihan peralatan teknologi pihak
lain, agar menjadi sesuatu yang kondusif bagi kepentingan nasional RI.
Bagaimana Anda melihat peran penting SDM intelijen?
Peran SDM dalam pelaksanaan tugas intelijen sangat
penting. SDM intelijen populer dengan istilah "human intelligence"
atau “humint”, sebagaimana perumpamaan yang berbunyi "the man behind the
gun". Secanggih apapun teknologi yang digunakan, kalau humint-nya
tidak punya semangat pengabdian, apalagi tidak cerdas, maka "senjata"
yang ada ditangannya akan menjadi senjata makan tuan. Perlu dijaga keyakinannya
bahwa apa yang dilakukan petugas intelijen akan bermanfaat bagi negara dan
masyarakat banyak. Selanjutnya berbagai pendidikan dan refreshing course
kepada humint amat perlu dilakukan, terutama untuk meningkatkan
kemampuan, memelihara dan menyegarkan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya agar
tetap menjaga dan meningkatkan profesionalitasnya sebagai petugas intelijen.
Sementara itu, yang berdimensi keluar, keunggulan humint terkait upaya
membangun jaringan agen di dalam negeri maupun diluar negeri, perlu terus
dikembangkan. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa operasi tertutup
menggunakan jaringan agen memerlukan dana dan resiko besar. Bagi intelijen
Indonesia yang perlu dipupuk terus adalah patriotisme dan semangat pengabdian
kepada tanah air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar