Kunjungan peserta Lemhanas ke Istana. ©Rumgapres/Abror Rizki
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengatakan, tidak ada gunanya Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa
memanggil duta besar Australia untuk Indonesia terkait penyadapan.
Menurut Mahfudz, jawaban duta besar Australia normatif dan tidak akan
mengakui.
"Kerja intelijen tertutup. Ketika Menlu panggil
Australia mereka akan menjawab dengan normatif. Kalau mau tahu, di
sinilah BIN harus bergerak," kata Mahfudz di Gedung DPR, Senayan,
Jakarta, Jumat (8/11).
Mahfudz menilai, masalah penyadapan lintas
negara sudah krusial. Kalau mau membalas, menurut Mahfudz, harus ada
kontra intelijen.
Ia melihat, masalah teknologi intelejen yang
digunakan Indonesia banyak menggunakan produksi Eropa. Menurut Mahfud,
Jerman salah satu negara dengan kemampuan teknologi yang bagus juga
disadap oleh Amerika Serikat selama 10 tahun.
"Setahu saya
Lembaga Sandi Negara, banyak menggunakan produk dari Eropa. Memang untuk
aplikasinya didesain sendiri," ujar Mahfudz.
Hal yang mungkin
dilakukan saat ini adalah dengan membangun sistem informasi aman.
Menurutnya, saat ini arah intelijen Amerika Serikat tak menyadap
pimpinan kepala negara lain, masyarakat sipil juga dicuri kegiatan
komunikasinya.
"Kalau sipil sudah disadap, berarti semua
informasi pembicaraan orang satu negara diawasi. Terus siapa yang jamin
data itu tidak bocor. Sebaiknya ke depan kita bangun sistem informasi
yang aman, karena sekarang ini masih rentan," kata Mahfudz.
Dugaan
adanya penyadapan oleh pemerintah Australia terhadap Indonesia
diketahui berdasarkan kesaksian pembocor intelijen Dinas Rahasia
Keamanan AS Edward Snowden yang dipublikasikan oleh media Australia.
Media itu menyebut bahwa Kedutaan Australia dan AS di Jakarta memiliki
fasilitas penyadapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar