Tahun ini adalah tahun pertama kedatangan
burung-burung besi F-16 upgrade dari USA. Semakin mendekati hari
kedatangan, semakin banyak pula pro-kontra menanggapi kehadirannya.
Pihak yang pro menganggap bahwa keputusan pemerintah untuk menerima
hibah ini adalah hal yang wajar untuk mengejar kuantitas sebelum meraih
kualitas. Sementara yang kontra tentu saja menganggap bahwa mendatangkan
pesawat bekas meskipun di-upgrade hingga block 52 bahkan mungkin nanti
ada block 70, 80, 100 dan seterusnya, tetap saja percuma mengingat
dinamika kawasan yang akan kedatangan pesawat-pesawat tempur canggih
sekelas gen 4,5++ hingga gen 5.
Terlepas dari pro-kontra tersebut, mari kita menyimak “pengalaman tempur”
pesawat ini sebelum memberi penilaian. Kata yang dibold itu sengaja
dibuat untuk menekankan arti pengalaman yaitu bukti empiris ketimbang
teori berdasarkan spesifikasi.
Coba perhatikan beberapa pandangan pilot-pilot Amerika dan Eropa yang
pernah menggunakannya baik dalam latihan skala besar maupun pertempuran
sesungguhnya.
Menurut Letkol Philip “Rico” Malebranche dari USAF, F-16 mampu
meladeni pesawat sekelas F-15 Eagle dengan baik. “F-16 itu kecil, ringan
dan lincah” katanya. Meskipun memiliki kecepatan maksimum dan menanjak
yang lebih rendah, namun ia mempunyai RCS yang kecil sehingga
menyulitkan untuk dibidik (spot), dan juga dapat menandingi F-15 pada
ketinggian rendah dengan manuver-manuver ekstrim.
USAF sendiri memerlukan kehadiran F-16 untuk mendampingi penempur
kelas berat F-15 dalam menghadapi pesawat blok timur dari type ringan
seperti Mig-21 pada pertempuran WVR. Lagi menurut Rico, dengan Thrust to
Weight ratio yang lebih tinggi ketimbang F-18 E/F super hornet, pada
kecepatan tinggi F-16 mampu mengatasi super hornet dengan cara menanjak
hingga 3000 meter di atas F-18 kemudian bermanuver untuk menempatkan
F-18 tetap di depan HUD (head up display pilot). Namun hal ini menjadi
berbahaya pada kecepatan yang lebih rendah dimana F-18 mampu menaikkan
hidungnya lebih mudah ketimbang F-16.
Bagaimana dengan pesawat lain?
Dibanding Mirage 2000, F-16 tidak banyak kehilangan daya ketika harus bermanuver cepat dalam radius kecil. Sedangkan jika dibandingkan dengan Eurofighter Typhoon, F-16 mampu melayaninya pada ketinggian di bawah 10.000 kaki. Pada jelajah di atas 10.000 kaki maka kemampuan aerodinamis dan komputerisasi Typhoon tidak mampu diatasi oleh F-16.
Dibanding Mirage 2000, F-16 tidak banyak kehilangan daya ketika harus bermanuver cepat dalam radius kecil. Sedangkan jika dibandingkan dengan Eurofighter Typhoon, F-16 mampu melayaninya pada ketinggian di bawah 10.000 kaki. Pada jelajah di atas 10.000 kaki maka kemampuan aerodinamis dan komputerisasi Typhoon tidak mampu diatasi oleh F-16.
Bagaimana implementasi di lapangan?
Dengan homebase di Pekanbaru, maka hanya sekian menit F-16 sudah dapat mengintip langit tetangga. Itu berarti tidak diharuskan ketinggian jelajah di atas 10.000 kaki, yang berarti pilot-pilot F-16 tetap dapat mengandalkan keunggulan F-16 dalam manuver ketinggian rendah ketika harus bertemu pesawat-pesawat dari tetangga.
Dengan homebase di Pekanbaru, maka hanya sekian menit F-16 sudah dapat mengintip langit tetangga. Itu berarti tidak diharuskan ketinggian jelajah di atas 10.000 kaki, yang berarti pilot-pilot F-16 tetap dapat mengandalkan keunggulan F-16 dalam manuver ketinggian rendah ketika harus bertemu pesawat-pesawat dari tetangga.
Namun, Geografi lingkungan mulai dari Pekanbaru hingga Batam juga
berupa dataran rendah dan laut, termasuk flat sehingga tiada tempat
untuk sembunyi atau bermanuver di area sempit yang merupakan keunggulan
utama F-16.
Terhadap Sonora yang akan mendatangkan F-35, memang fitur silumannya
cukup memusingkan untuk dihadapi oleh TNI-AU baik pilot tempur maupun
arhanud. Tapi jangan lupa, kita punya marinir dan dari Batam semua
pergerakan pesawat dapat terlihat jelas bahkan dengan mata telanjang.
Keunggulan siluman itu menjadi sia-sia jika disiapkan pengamat dengan
4-5 shift sehari dilengkapi panduan malam dan kamera infra merah karena
Singapura belum mampu meluncurkan pesawatnya tanpa terlihat dari wilayah
Indonesia kecuali mereka mengirim dari luar Singapura.
Terhadap Sonotan, nah ini yang agak sulit. Garis pantai yang panjang
di sepanjang pesisir selatan Jawa hingga Bali, NTB, NTT, laut Arafura
hingga Papua sangat memungkinkan ditembus kapan saja baik siang maupun
malam (karena lalu lintas udara dan air di kawasan tersebut juga relatif
tidak seramai di Barat-Utara).
Akuisisi rudal khusus yang bisa mentracking pesawat siluman menjadi
keharusan di area selatan ini. Tidak mungkin nanti setelah mendatangkan
Su-35, kita selalu mengirim 2 sukhoi tersebut untuk patroli (tracking
IRST terhadap pesawat siluman sangat efektif menggunakan 2 pesawat
bersamaan dengan cara menggiring seperti nelayan menggunakan pukat
harimau yang ditarik 2 perahu). Sampai ditemukannya teknologi yang
secara efisien dapat melacak pesawat siluman, maka wilayah selatan tetap
adalah lubang hitam kita. Mungkin biar seimbang, Kilo harus terus
berpatroli dengan tujuan tidak untuk melacak pesawat siluman musuh (yang
memang tidak dimungkinkan), namun lebih kepada keseimbangan bahwa
kitapun bisa menerobos garis pagar sonotan. (by Maling Jemuran).
Sumber: Theaviationist.com
Sumber: Theaviationist.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar