Pembeliannya harus lengkap. Jangan sampai seperti yang sudah-sudah beli pelurunya menyusul atau belum lengkap."
Rencana pemerintah Indonesia dalam
pembelian pesawat tempur Sukhoi dari Rusia diharapkan menghindari
keterlibatan pihak ketiga untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak
diinginkan, kata pengamat pertahanan dari Imparsial Al Araf.
"Dalam pengadaan alutsista jangan sampai melibatkan pihak ketiga, atau broker," kata Araf saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Ia berpendapat sebaiknya kontrak pembelian pesawat tempur tersebut dilakukan antarpemerintah "G to G" atau antarpabrikan "B to B".
Selain itu juga ia berharap proses pengadaan Sukhoi tersebut dilakukan secara transparan dan akuntabel agar tidak terjadi dugaan "mark up" harga. "Harganya juga harus disesuaikan dengan harga pasar," kata dia.
Araf juga mengatakan Indonesia harus belajar dari pengalaman dalam pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) dengan membeli secara utuh.
"Pembeliannya harus lengkap. Jangan sampai seperti yang sudah-sudah beli pelurunya menyusul atau belum lengkap," kata dia.
Ia juga menekankan pentingnya "transfer of technology" dalam pembelian alutsista sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Araf tidak menampik transfer teknologi dalam pembelian alutsista dari negara lain memang sulit didapatkan, namun bukan berarti mustahil.
Dia menekankan pentingnya negosiasi pemerintah Indonesia dalam pembelian tersebut, dan mengingatkan prinsip "pembeli adalah raja".
"Harus ada mekanisme offset, tidak selalu harus transfer teknologi, bisa juga dalam bentuk kerja sama lain," kata dia.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan akan berkunjung ke Rusia bulan ini untuk menjadi pembicara di seminar sekaligus membahas kontrak pembelian pesawat Sukhoi.
Ryamizard mengatakan pemerintah Indonesia berencana membeli secara bertahap hingga nanti terpenuhi untuk satu skuadron.
"Dalam pengadaan alutsista jangan sampai melibatkan pihak ketiga, atau broker," kata Araf saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Ia berpendapat sebaiknya kontrak pembelian pesawat tempur tersebut dilakukan antarpemerintah "G to G" atau antarpabrikan "B to B".
Selain itu juga ia berharap proses pengadaan Sukhoi tersebut dilakukan secara transparan dan akuntabel agar tidak terjadi dugaan "mark up" harga. "Harganya juga harus disesuaikan dengan harga pasar," kata dia.
Araf juga mengatakan Indonesia harus belajar dari pengalaman dalam pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) dengan membeli secara utuh.
"Pembeliannya harus lengkap. Jangan sampai seperti yang sudah-sudah beli pelurunya menyusul atau belum lengkap," kata dia.
Ia juga menekankan pentingnya "transfer of technology" dalam pembelian alutsista sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Araf tidak menampik transfer teknologi dalam pembelian alutsista dari negara lain memang sulit didapatkan, namun bukan berarti mustahil.
Dia menekankan pentingnya negosiasi pemerintah Indonesia dalam pembelian tersebut, dan mengingatkan prinsip "pembeli adalah raja".
"Harus ada mekanisme offset, tidak selalu harus transfer teknologi, bisa juga dalam bentuk kerja sama lain," kata dia.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan akan berkunjung ke Rusia bulan ini untuk menjadi pembicara di seminar sekaligus membahas kontrak pembelian pesawat Sukhoi.
Ryamizard mengatakan pemerintah Indonesia berencana membeli secara bertahap hingga nanti terpenuhi untuk satu skuadron.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar