Menteri Kesehatan terpilih Endang Rahayu
Setyaningsih adalah staf Departemen Kesehatan, yang paling ‘dekat’
dengan Namru (The US Naval Medical Reseach Unit Two) atau Unit 2
Pelayanan Medis Angkatan Laut.
Endang
adalah seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
tahun 1979, dan memperoleh gelar master dan dokter dari Harvard School
of Public Health, Boston, masing-masing tahun 1992 dan 1997. Ia
menjalani karier di bidang kesehatan dengan menjadi dokter puskesmas di
NTT dan pernah menjadi dokter di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Ia juga
pernah ditugaskan di Kanwil Departemen Kesehatan DKI Jakarta menjadi
seorang peneliti, dan pernah menjabat Kepala Litbang Biomedik dan
Farmasi Departemen Kesehatan.
“Dia (Endang) adalah mantan pegawai
Namru. Dia memang sekarang ini tidak mempunyai jabatan khusus sebagai
peneliti biasa,” kata Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam
perbincangan dengan TvOne, Rabu, 21 Oktober 2009.
Dipilihnya Endang Rahayu Sedyaningsih sebagai menteri kesehatan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II membuat kaget Siti Fadilah Supari. Siti yang masih menjabat Menkes hingga pelantikan menteri baru Kamis besok, tidak habis pikir, kenapa Endang yang terpilih.
“Semua juga kaget, ternyata, kok bisa dia. Dia itu eselon II dan tidak punya jabatan,” kata Siti dalam perbincangan dengan tvOne setelah Yudhoyono mengumumkan susunan KIB II, Rabu 21 Oktober 2009.
Menurut Siti Fadilah, Endang memang
lulusan dari Amerika Serikat. Siti melanjutkan, Endang dikenal sebagai
staf Departemen Kesehatan yang ‘dekat’ dengan Namru.
“Ibu Endang ini adalah orang yang paling dekat dengan Namru diantara dengan semua pegawai Depkes,” ujar Siti Fadilah.
Meski pun bekerja di Depkes, kata dia,
pekerjaan sehari-hari Endang hanya di laboratorium. “Tapi disertasinya
di masyarakat. Dia tidak punya pengalaman di puskermas. Tapi saya
melihat kecerdasannya,” kata Siti.
Maka itu, Siti Fadilah berharap untuk
periode mendatang, Endang Setyaningsih dapat mengikuti kebijakan yang
sudah diambil sebelumnya.
“Dimana Namru, sudah secara resmi sudah tutup. dan saya mohon, ini jangan dibuka lagi,” ujar dia. (sumber berita)
Munculnya nama Endang Rahayu Sedyaningsih
di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II, Rabu (21/10), memunculkan
tudingan dia terlalu pro Amerika Serikat. Tetapi hal itu dibantah oleh
mantan staf peneliti Namru 2 itu.
Endang mengakui bahwa semasa Menkes Siti
Fadhilah Supari, dia sempat diskors karena dianggap berpihak kepada AS
dalam soal virus flu burung. “Bagi saya ini persoalan yang tidak
penting-penting amat. Dan ini wajar kalau atasan tidak senang kemudian
menskors bawahannya,” kata Endang dalam wawancara dengan Media
Indonesia, Rabu (21/10) malam. (sumber)
Ada apa dengan NAMRU 2 ?
Dalam Lembar Fakta tentang NAMRU-2 yang ada di situs Kedubes Amerika Serikat
dinyatakan bahwa Naval Medical Research Unit No. 2 (NAMRU-2) adalah
sebuah laboratorium penelitian biomedis yang meneliti penyakit menular
demi kepentingan bersama Amerika Serikat, Departemen Kesehatan RI, dan
komunitas kesehatan umum internasional. NAMRU-2 didirikan pada tahun
1970 sesuai permintaan Departemen Kesehatan RI.
Kegiatan penelitian bersama ini
menitikberatkan pada malaria, penyakit akibat virus seperti demam
berdarah, infeksi usus yang mengakibatkan diare dan penyakit menular
lainnya termasuk flu burung. Penelitian NAMRU-2 hanya berhubungan dengan
penyakit-penyakit tropis yang terjadi secara alamiah.
Laboratorium Namru berada di kompleks
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan di
Jalan Percetakan Negara, Jakarta.
Kenapa NAMRU bisa bercokol begitu lama di Indonesia ? Apa yang mereka cari di negara kepulauan ini, dan apa manfaat kehadiran mereka bagi Indonesia ? Dan, kenapa lembaga dari Amerika Serikat ini terkesan begitu misterius ? Banyak sekali pertanyaan yang tak terjawab mengenai lembaga riset ini. Dan aku berani memastikan, tak satu pun wartawan di Indonesia memiliki akses ke lembaga ini; malahan mungkin mereka pun tak pernah tahu keberadaan NAMRU.
Siti Fadilah Supari telah melarang semua
rumah sakit di Indonesia untuk mengirimkan sampel virus flu burung ke
laboratorium Namru. Sebab, kontrak kerjasama dengan Namru telah berakhir
sejak Desember 2005.
Pakar intelijen Laksamana Muda (Purn)
Subardo tetap meyakini keberadaan laboratorium medis milik angkatan laut
AS, The U.S. Naval Medical Research Unit Two (NAMRU-2) merupakan alat
intelijen AS. Hal ini diyakini Subardo berdasarkan penilaiannya selama
lebih dari 30 tahun bekerja di bidang intelijen serta pernah menjabat
sebagai Kepala Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) tahun 1986-1998.
“Kalau
saya pribadi yakin itu ada motif intelijen dari Amerika. Saya kan kerja
di bidang intelijen ini sejak Letnan hingga Bintang Dua (laksmana
muda). Lebih dari 30 tahun,” kata Subardo di sela-sela Seminar Hari Kesadaran Keamanan Informasi (HKKI) di Fakultas MIPA UGM, Yogyakarta, Jumat (25/4/2008).
Meski meyakini keberadaan NAMRU-2 terkait
operasi intelijen milik AS, Subardo, mengaku dirinya tidak lagi
mempunyai wewenang menangani persoalan tersebut. Dirinya menyerahkan
sepenuhnya kepada pemerintah khususnya melalui Badan Intelijen Negara
(BIN).
“Saya tidak punya wewenang lagi. Itu
urusannya pemerintah dan BIN. Saya hanya mengungkapkan ini agar kita
lebih waspada, sebab penyadapan informasi melalui intelijen ada di
mana-mana,” tegasnya.
Menurut dia kesadaran akan keamanan
informasi di Indonesia sampai saat ini masih cukup lemah. Hal ini
terbukti dari laporan Lemsaneg beberapa waktu lalu yang menemukan bukti
dari 28 kantor Kedubes Indonesia di Luar Negeri, sebanyak 16 diantaranya
telah disadap sehingga harus dilakukan pembersihan dan pembenahan.
Kasus ini menurutnya sebagai preseden buruk bagi Indonesia untuk lebih
berhati-hati dalam menjaga keamanan informasi.
“Sekitar 16 kedubes yang disadap di luar
negeri. Jelas hal itu sebagai preseden buruk agar kita lebih
berhati-hati melakukan pengamanan, khususnya informasi,” imbuhnya. (sumber detiknews)
Kontroversi keberadaan Naval Medical
Research Unit 2 (Namru-2) di Indonesia rampung sudah. Tercatat sejak 16
Oktober 2009, Namru-2 sudah tidak beroperasi lagi.
“Surat resmi penghentian kerjasama dengan
Namru resmi dilayangkan dubes AS di Indonesia tanggal 16 Oktober
kemarin. Jadi perjanjian yang diawali 16 Januari 1970 sudah resmi
berakhir 16 Oktober kemarin,” ujar mantan Menkes Siti Fadilah Supari
kepada wartawan di Jakarta, Rabu (21/10/2009)
Siti Fadilah mengatakan dirinya
keberadaan Namru-2 mengganggu kedaulatan Indonesia. Sebab, pusat
penelitian itu meneliti virus yang dilakukan Angkatan Laut AS.
“Saya
tidak akan rela kalau di wilayah yang berdaulat ini ada penelitian tapi
ada militernya, tapi kok tidak jelas. Mudah-mudahan tidak terjadi
lagi,” harapnya..
Oleh karena itu Siti Fadilah berharap
pada penerusnya, Endang Rahayu Edyaningsih, agar tidak membuka lagi
Namru-2. Dia yakin Endang bisa melanjutkan kebijakannya tersebut. “Saya
kira Ibu Endang bisa mengikuti langkah-langkah yang telah kita ambil
pada periode ini, di mana Namru sudah secara resmi ditutup, dan saya
mohon jangan dibuka lagi,” katanya. (sumber)
Saatnya Dunia Berubah
Bagi
Anda yang masih percaya akan adanya nasionalisme dan keadilan global
dalam hubungan internasional maka wajib hukumnya untuk membeli buku ini.
Buku ini sebenarnya catatan harian dari Ibu Menteri Siti Fadilah Supari
ketika memperjuangkan transparansi dan keadilan dalam organisasi
kesehatan dunia, WHO (World Health Organization). Ceritanya berawal
ketika banyak negara (termasuk Indonesia) dilanda bencana virus Flu
Burung. WHO mewajibkan negara-negara yang menderita virus Flu Burung
untuk menyerahkan virusnya ke laboratorium mereka. Namun anehnya, hasil
penelitian dari virus tidak diberikan kepada negara penderita (affected
countries). Tiba-tiba vaksinnya sudah ada dan dijual secara komersial.
Vietnam, contohnya, memiliki banyak penderita penyakit Flu Burung.
Vietnam pun memberikan sampel virusnya ke WHO. Tidak ada vaksin yang
didapat malah terpaksa untuk membeli vaksin Flu Burung dari salah satu
perusahaan farmasi AS dengan harga mahal. Darimana vaksin itu berasal
kalau bukan dari sampel virus flu burung Vietnam?
Ibu Menteri mencium aroma kapitalistik
dari negara-negara maju, sebut saja, Amerika Serikat. Jelas saja ini
akan sangat merugikan Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya
apabila memberikan virus Flu Burung namun tidak mendapatkan vaksinnya.
Ada dugaan kalau WHO justru menjual kembali virus itu kepada perusahaan
farmasi AS untuk dibuatkan vaksinnya yang akan dijual secara komersial
kepada negara-negara yang menderita pandemi Flu Burung. Hal ini semakin
jelas ketika pihak WHO yang diwakili Dr. Heyman mendatangi Ibu Menteri
Kesehatan memaksa Ibu Siti Fadilah untuk memberikan sampel virus Flu
Burung Indonesia kepada WHO. Dari hasil sebuah penelitian, virus Flu
Burung ala Indonesia memiliki tingkat keganasan yang sangat tinggi.
Vaksin flu burung yang sudah ada waktu itu tidak mampu mengatasi virus
Flu Burung ala Indonesia. Ibu Menteri Kesehatan menyadari bahwa virus
Flu Burung ala Indonesia yang sangat dibutuhkan WHO adalah sebuah
bargaining power untuk mereformasi WHO yang tidak adil dan menguntungkan
AS saja.
Dimulailah pertarungan antara Daud dan
Goliat. Daud yang diwakili Menteri Kesehatan RI melawan Goliat yang
diwakili WHO dan AS. Sangat seru membaca bagaimana Ibu Menteri Kesehatan
berjuang menghadapi perwakilan WHO yang sangat ngotot meminta RI
memberikan virus Flu Burung tanpa syarat. Meskipun berlatar belakang
dokter, Ibu Menteri berusaha belajar bagaimana berdiplomasi multilateral
di tingkat organisasi internasional. Untunglah DEPLU RI bersedia
membantu Ibu Siti Fadilah dalam menggalang dukungan dari negara lain
untuk proposal Indonesia. Bu Siti Fadilah pun cukup lihai dalam
menggunakan media internasional untuk menyudutkan WHO dan AS. Beberapa
kali media internasional seperti The Economist, Guardian mendukung dan
memuji perjuangan Ibu Siti Fadilah. Anehnya, media nasional dan anggota
DPR justru mencaci maki gerakan ini (mungkin karena keterbatasan
informasi dan sibuk buat “UUD“).
Sangat seru membaca dialog-dialog antara
Ibu Siti Fadilah dengan pejabat-pejabat WHO seperti David Heyman dan
Margareth Chan. Terjadi beberapa kali pertemuan menegangkan antara Ibu
Siti Fadilah Supari dengan WHO. Bahkan, pejabat-pejabat senior AS
sendiri sempat bertemu dua kali dengan Ibu Siti Fadilah membujuk Ibu
Siti Fadilah membatalkan niat Indonesia untuk mereformasi WHO. Meskipun
berdarah Jawa, bagi saya Ibu Siti Fadilah ini orang Batak tulen. Tidak
ada basa-basi, langsung menusuk ke inti persoalan. Bahkan ketika
memberikan pidato di depan majelis sidang World Health Assembly, Ibu
Siti Fadilah tidak sungkan menuduh pabrik farmasi AS dapat membuat
senjata biologi melalui virus Flu Burung ini. Telinga pejabat AS pun
panas mendengar hal ini. Ibu Siti Fadilah pun sangat tegar dalam prinsip
dengan cerdas mencari solusi permasalahan. Dalam beberapa sidang,
deadlock hampir terjadi. Pak Makarim Wibisono, duta besar Indonesia
untuk PBB pun sempat menyerah terhadap situasi sidang. Tetapi Ibu Siti
Fadilah tetap tegar dengan mencari berbagai senjata ampuh untuk
menaklukkan AS. Dan akhirnya ketemu satu senjata ampuh untuk tidak
terjadi deadlock!
Menarik juga untuk mengikuti sisi
religius dari perjuangan reformasi WHO ini. Ketika ketika terjadi
keterlambatan penerbangan dari Iran ke Jenewa, Ibu Siti Fadilah hampir
tidak bisa mengikuti proses sidang World Health Assembly yang menentukan
apakah agenda Indonesia diluluskan atau tidak. Tapi untungnya, sidang
WHA pun terlambat sehingga Ibu Siti Fadilah dapat menyampaikan pidatonya
untuk meyakinkan proposal Indonesia. Ada satu kejadian seru lagi dimana
ketika memasuki persidangan, agenda Indonesia tidak mendapat satupun
dukungan (co-sponsorship) dari negara-negara anggota WHO. Namun
menjelang detik-detik akhir, Iran datang dan menandatangi co-sponsorship
dan membantu mencarikan dukungan dari negara-negara muslim dan
sosialis. Indonesia akhirnya didukung oleh semua negara anggota WHO dan
tidak ada yang mendukung AS. Luar biasa! Ibu Siti Fadilah sangat yakin
kalau Tuhan yang Maha Kuasa berada di balik perjuangannya.
Bagi yang penasaran dan ingin mengetahui
bagaimana AS melalui WHO berupaya membujuk Indonesia membatalkan rencana
reformasi WHO, segeralah membeli buku ini. Akan terlihat sangat nyata
bahwa AS di berbagai arena internasional memiliki segudang pengaruh
untuk merealisasikan kepentingan negaranya. Entah melalui pemberian
uang, bantuan atau bahkan sanksi. Saya sungguh menikmati buku ini,
bahkan beberapa kali saya merinding ketika membaca buku ini. Rupanya
masih ada satu kejadian dimana kapitalisme egoistik global yang biasanya
memangsa negara berkembang bisa dipadamkan oleh seorang pejabat senior
di Republik Indonesia. Terima kasih Ibu Siti Fadilah Supari atas
perjuangannya! (sumber artikel)
Berikut adalah kutipan dari berbagai pihak dan media terhadap buku dan perjuangan yang dilakukan oleh Siti Fadilah :
- “Keberhasilan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mereformasi WHO adalah contoh sangat bagus keberhasilan perjuangan berdiplomasi kelas dunia secara modern.” Prof. Dr. Juwono Soedarsono, Menteri Pertahanan Indonesia.
- “For the sake of basic human interests, the Indonesian government declares that genomic data on bird flu viruses can be accessed bu anyone”. With those words, spoken on August, 3rd, Siti Fadilah Supari started a revolution that could yet save the world from the ravages of a pandemic disease. That is because Indonesia’s health minister has chosen a weapon that may prove more useful than todays best vaccines in tackling such emerging threats as avian flu: transparency. The Economist, London (UK), August 10th, 2006 (sumber)
Apa yang dikhawatirkan Oleh Menkes lama?
Ceritanya
bermula dari paksaan WHO terhadap Indonesia agar mengirimkan virus flu
burung H5N1 strain Indonesia yang melanda negeri ini dua tahun lalu ke
WHO Collaborating Center (CC) untuk dilakukan risk assesement,
diagnosis, dan kemudian dibuatkan seed virus. Entah bagaimana caranya,
virus asal Indonesia itu berpindah tangan ke Medimmune dan diolah
menjadi seed virus. Hebatnya, seed virus ini diakui sebagai miliknya
karena diolah dengan teknologi yang sudah mereka patenkan. Indonesia,
yang memiliki virusnya tidak punya hak apa-apa. Padahal, dengan seed
virus inilah perusahaan swasta itu membuat vaksin yang dijual ke seluruh
dunia dengan harga mahal.
Bagi Siti Fadilah, hal ini aneh. Yang
memiliki teknologi mendapatkan hak amat banyak. Sebaliknya, yang
memiliki virus tidak dapat apa-apa. “Sehebat apapun teknologi
Medimmune, jika ditempelkan di jidatnya kan tidak akan menghasilkan seed
virus H5N1 strain Indonesia,” kata lulusan kedokteran Universitas
Gadjah Mada yang juga lulus program doktor di Universitas Indonesia itu
dalam bukunya yang berjudul Saatnya Dunia Berubah – Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung
Siti Fadilah melihat ketidakadilan itu —
yang ternyata sudah berlangsung selama 60 (enam puluh) tahun dilakukan
oleh WHO. Tergeraklah nuraninya. Ia sadar, dirinya hanyalah seorang
Menteri Kesehatan dari negara bukan super power. Namun, ia berpikir dan
bergerak cepat. Nalurinya mengatakan, kalau bahwa pemaksaan pengiriman
virus ke WHO adalah salah satu kunci lingkaran setan. Maka kalau ia
enggan mengirimkan virus itu, dunia akan bereaksi. Intuisinya benar.
Dunia bereaksi. Negara barat — terutama pemerintah dari negara penghasil
vaksin — geger. Mereka takut virus tersebut menyebar ke seluruh dunia
dan terjadi pandemi.(sumber)
Indonesia dan WHO telah menjalin
kesepakatan tentang pengiriman virus dengan cara baru, yang memberikan
akses vaksin terhadap negara pengirim virus. Siti Fadillah Supari
berharap Menteri Kesehatan yang baru, Endang Sedyaningsih, tidak
mengubah kesepakatan itu.
“Saya khawatir kalau policy tentang virus yang ditandatangani WHO. Jangan sampai diubah!” kata Siti di rumah dinasnya, Jl Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (21/10/2009).
Dikatakan Siti, persoalan virus sangat penting karena menyangkut ketahanan nasional. Dia berharap penggantinya mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi.
“Saya kira dia yang bisa mengerti. Saya
harap dia punya jiwa nasionalis sehingga bisa meneruskan apa-apa yang
bisa dicapai di WHO,” kata perempuan asal Solo, Jawa Tengah itu.
Jika ternyata tidak? “Saya akan berteriak. Saya harap semua ikut mengawal,” pungkasnya. (sumber)
Catatan : Sepertinya memang terlalu dini untuk menilai kemana arah esbeye jilid dua hanya saja ada kata kunci yang dikhawatirkan oleh Siti Fadillah Supari tentang WHO, Amerika Serikat dengan NAMRU-2 dan Virus. Kenapa pejabat eselon II yang jadi Menteri Kesehatan? Kenapa Endang Rahayu Setyaningsih baru muncul saat detik-detik menjelang pengumuman KIB jilid 2? TITIPAN SIAPAKAH BELIAU ???
Serba Sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar