Setidaknya menunjukkan betapa Korea kini
telah menjadi produsen sistem pertahanan yang patut diperhitungkan
dunia. Hal ini pun diperkuat oleh enam pesawat turboprop KT-1B WongBee,
juga asal Korea, yang dengan mulus dan sempurna ditampilkan oleh tim
aerobatik Jupiter (Juru Pendidik Terbang) Aerobatic Team (JAT) TNI AU
pada ajang yang sama. Inilah penampilan perdana JAT di SAS. Pada saat
hampir bersamaan, di Jakarta pun berlangsung seremoni penyerahan 16
pesawat T-50i dari Kemhan kepada TNI AU. Dengan telah diterimanya
pesawat ini oleh Indonesia, maka Korea menjadi negara keenam di dunia
yang telah mengekspor jet supersonik.
Keberhasilan Korea Selatan dalam penguasaan teknologi dan
industri pertahanan, tidaklah terlepas dari situasi geopolitik yang
dihadapinya. Ancaman dari Korea Utara sangatlah nyata, ditambah lagi
dengan relasi kurang kondusif dengan Jepang dan China, baik sebagai
dampak kepahitan sejarah masa lalu maupun konflik wilayah perairan dan
pulau-pulau karang. Konflik segitiga ini tak terbatas hanya pada soal
prestis atau kebanggaan nasional, namun dikarenakan pula oleh keyakinan
bahwa dasar laut yang mereka sengketakan itu kaya minyak dan gas alam.
Hal ini pun serupa dengan konflik di Laut China Selatan yang melibatkan
enam negara sekaligus.
Sebagaimana halnya Israel yang selalu merasa terancam
dalam, sehingga memaksanya menguasai teknologi sistem pertahanan yang
maju, maka Korsel pun merasa sebagai keharusan hidup-mati untuk
menguasai teknologi. Setelah menguasai dan mewujudkannya sebagai produk,
maka kerja selanjutnya selain memanfaatkan untuk kepentingan sendiri,
adalah memasarkannya. Ketegangan di beberapa kawasan Asia Pasifik tentu
membantu pemasaran. “Setiap kali Korea Utara mengeluarkan ancaman, maka
itu membantu penjualan kami,” aku pejabat Raytheon, produsen sistem
hanud Patriot dari AS.
Korsel pun merasakan hal serupa. Dia tidak hanya menjual
mobil dan telepon pintar, tetapi dalam tahun-tahun terakhir ini Seoul
tercatat sebagai salah satu pengekspor alat pertahanan yang
peningkatannya terpesat di dunia. Salah satu kunci keberhasilannya,
karena pemerintah kompak mendukung sepenuhnya. Nilai ekspor
pertahanannya tahun lalu mencapai 3,4 miliar dolar, padahal 2006 baru
250 juta dolar. Setelah mengekspor 16 T-50 ke Indonesia, Korsel berhasil
menjual 24 jet ke Irak, dan kini pada tahap akhir menjual 12 jet ke
Filipina, guna menghadapi sikap agresif China dalam sengketa Kepulauan
Spratly. Taiwan pun kabarnya tertarik T-50, untuk menggantikan ke-60
F-5E/F Tiger yang lima tahun lagi masuk pensiun.
Penampilan T-50 di Singapura, juga tak lepas dari impian
terbesarnya, yaitu menjual pesawat ini kepada AS, yang berencana
mengganti armada pesawat latih lanjut AU AS yang telah tua. Apabila
penjualan ke AS yang akan mencapai lebih dari 300 pesawat terwujud, maka
dapat dipastikan jet Korsel ini menjadi best-seller di dunia. Selain KT-1 dan T-50 dengan berbagai variannya, Korsel pun berambisi mengekspor helikopter serba-guna Surion, dengan target hingga tahun 2020 terjual sekitar 300 unit.
Selain berupaya keras mandiri dalam pengadaan sistem dan
alat pertahanan, saat ini Korsel pun terus meningkatkan kekuatannya.
Pengadaan pesawat tempur tercanggih Lockheed Martin F-35JSF sebanyak 40
buah sudah diprogramkan walau belum diteken. Seoul memutuskan membeli
F-35 karena Jepang pun melengkapi diri dengan pesawat serupa, sementara
China terus mengembangkan pesawat tempur berkemampuan siluman. Seoul
tetap menjadi sasaran utama Boeing untuk F-15 Silent Eagle, yang
diklaim sulit terlacak radar. Sedangkan untuk modernisasi F-16 yang
lebih dari 130, Korea telah mengontrak BAE Systems, termasuk pemasangan
radar tercanggih AESA (active electronically scanned array).
Masih dalam upaya kemandirian, Korsel kini
memulai lagi program KF-X, pembuatan pesawat jet tempur generasi 4,5
yang dikerjasamakan dengan Indonesia. Program ini sempat terhenti akibat
silang pendapat politisi Korsel, karena dari mereka ada yang bersikukuh
bahwa dananya lebih baik dipakai untuk pengadaan pesawat yang sudah
siap di pasaran daripada membuat sendiri.
Jepang mulai berubah
Dalam situasi konflik politik dan
wilayah perairan dengan China maupun Korea, Jepang pimpinan PM Shinzo
Abe sejak akhir 2012 mulai menunjukkan perubahan sikap semakin keras.
Untuk anggaran pertahanan 2014, pemerintahnya minta kenaikan tiga persen
dari tahun lalu. Ini berbeda dengan pendahulunya yang malah cenderung
menguranginya. Memang, sikap baru Jepang ini tidaklah lepas dari
agresivitas China, baik dalam peningkatan kekuatan maupun sikapnya dalam
sengketa teritori, baik di Laut China Timur maupun Selatan. Seperti
pengumuman sepihak China beberapa bulan lalu tentang diberlakukannya
Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ), yang juga meliputi gugusan
pulau yang saling diklaim oleh kedua pihak.
Peningkatan anggaran pertahanan oleh Jepang segera
diwujudkan dalam Strategi Keamanan Nasional, berupa komitmen untuk
pengadaan 28 dari 42 pesawat F-35 yang pembeliannya telah diputuskan.
Dari jumlah ini, empat F-35A pertama akan diterima pada 2016 dari
Lockheed Martin, sedangkan sisanya dikerjakan di fasilitas Mitsubishi
Heavy Industries di Nagoya, dengan rencana pesawat pertama dirampungkan
2017.
Selain itu Jepang akan membeli 17 tiltrotor MV-22 Osprey dari
Bell-Boeing, seperti yang dioperasikan Marinir AS di Okinawa. Pesawat
ini diarahkan untuk mendukung pertahanan pulau-pulau terluar. Dengan
demikian Jepang akan menjadi negara pertama di luar AS yang
mengoperasikan pesawat ini. AS menampilkan sepasang Osprey Marinir
AS di Changi, salah satunya untuk demo terbang. Pesawat ini
dipromosikan di kawasan Asia Pasifik, mengingat Samudera Pasifik
dikelilingi tak kurang dari 42 negara, dan dari jumlah ini sekitar 10
negara memiliki korps marinir yang tentunya memerlukan sarana angkut
dinamis seperti Osprey.
Meski batal memboyong CN-235 versi Patroli Maritim akibat selisih paham penamaan KRI Usman-Harun,
PT Dirgantara Indonesia tetap mampu menoreh sukses di ajang Singapore
Airshow 2014. Mereka berhasil mengajak Airbus Helicopters membangun
kerjasama strategis regional di bidang maintenance, repair and overhaul
(MRO). Kerjasama untuk membangun kepuasan operator helikopter buatan AH
ini akan melengkapi kebangkitan DI setelah melewati fase
restrukturisasi dan penyehatan finansial.
Memorandum of Understanding (MoU) kerjasama ditandatangani
Dirut DI Budi Santoso dan Dirut Airbus Helicopters Guillame Faury, 12
Februari di ajang Singapore Airshow 2014. Lewat perjanjian skala
regional ini kantor pusat AH di Marignane, Perancis, akan mengolah
pembagian kerja yang baru di antara fasilitas MRO di sejumlah
perwakilannya di Asia Tenggara manakala DI sudah siap memulai bisnis di
bidang yang sama. AH tak mengkhawatirkan persaingan yang tidak sehat
mengingat pasar yang amat besar di wilayah ini.
Seperti disampaikan Budi Santoso, kerjasama DI-Airbus Helicopters
sebenarnya telah berlangsung lama dan dibangun atas dasar kepercayaan.
Untuk itu kedua pihak masih terus berusaha mencari celah bisnis yang
saling menguntungkan. “DI adalah mitra terpenting kami. Lewat kerjasama
ini kami berharap dapat mengejar aspek-aspek yang baru,” sambut Guillame
Faury.
DI mendapati bidang perawatan dan perbaikan helikopter di dalam
negeri sebagai celah bisnis yang amat prospektif, terutama karena
populasi helikopter buatan AH di Indonesia yang amat besar. Bagi AH,
kerjasama ini dinilai strategis karena akan menyeleraskan proyek-proyek
yang ada dengan kapabilitas yang dimiliki AH Malaysia, Singapura dan
Indonesia (Cibubur, Jawa Barat). Dalam waktu dekat, ketiga perwakilan
tersebut dan DI akan dipanggil duduk bersama melihat peta pasar yang
ada.
Saat ini, populasi helikopter buatan AH di dalam negeri mencapai 500
unit. Dari jumlah tersebut, ragamnya cukup bervariasi mulai dari NAS-330
Puma, NAS-332 Super Puma, NBO-105, EC-725 Cougar, AS-365 Dauphin sampai EC-120 Colibri.
Oleh karena semua butuh dukungan teknis berkala untuk menjamin
kelayakan terbangnya, permintaan akan kontrak perawatan serta perbaikan
masih cukup besar untuk dikerjakan fasilitas MRO di ketiga perwakilan
AH Asia dan DI kelak.
Menanggapi inisiatif strategis ini, pimpinan AH berjanji akan
memfasilitasi kebutuhan DI. “Salah satu yang paling kami perlukan adalah
EASA Certificate untuk CASR 145. Dengan sertifikat ini, nantinya
fasilitas perawatan DI bisa merawat dan memperbaiki helikopter buatan AH
dengan approval dari EASA (Badan Kelaikan Udara Eropa). Untuk
mendapatkannya memang tidak mudah, karena Indonesia bukan anggota
komunitas Eropa. Tetapi dengan perjanjian bisnis yang saling
menguntungkan, hal ini bisa dipecahkan,” ungkap Kepala Divisi Pemasaran
DI, Arie Wibowo, kepada Angkasa.
Ia mengungkap, tak dimilikinya sertifikat EASA (sejauh ini hanya
berbekal sertifikat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara) telah membuat
jasa service and support di perusahaannya sulit berkembang.
Hal itu bisa dimaklumi karena operator lebih suka “menitipkan”
helikopternya di fasilitas dengan sertifikat berstandar internasional.
Begitu pun, dirinya tak menampik bahwa sejumlah problem internal telah
ikut memperburuk citra fasilitas DI di pasar regional.
“Agar kepercayaan bisa dibangun, kelemahan-kelemahan internal itu
harus diperbaiki dulu. Untuk itu dalam setahun kami akan kerja keras
membenahi struktur dan kualitas SDM, serta merevitalisasi peralatan agar
nanti benar-benar sesuai standar yang ditetapkan EASA. Kami berharap
sertifikat EASA bisa diterima pada 2016,” ungkapnya optimis.
Berlari cepat
Angkasa mencatat, kerjasama DI-AH (sebelumnya, Eurocopter)
telah berlangsung sejak awal berdirinya DI (sebelumnya, IPTN) pada 1976.
Kala itu selain membuat pesawat sayap tetap NC-212 dan CN-235, pabrik
pesawat terbang yang terletak di Bandung, Jawa Barat ini, juga membuat
NBO-105 rancangan MBB, Jerman (selanjutnya bergabung dengan Eurocopter).
Heli lincah ini terbilang laku, terbukti dengan angka penjualan yang
mencapai 122 unit. Selain itu, DI juga ikut membuat/merakit NAS-330
(terjual 11), NAS-332 (20) dan AS-365 (2).
Setelah ini, hubungan keduanya masih berlanjut dengan adanya kontrak pembuatan tailbooms heli EC-725 dan EC-225 (Cougar versi sipil), yang kemudian dilanjutkan dengan pembuatan upper & lower fuselage heli
yang sama. Untuk kontrak jangka panjang pengerjaan komponen EC-725/225
yang dikabarkan telah dimulai sejak 2008 ini, DI mendapat 43 juta dolar
AS. Disamping AH, DI juga merupakan mitra setia Airbus Military
(sebelumnya CASA) yang belum lama ganti nama jadi Airbus Defence &
Space. Dengan anak perusahaan Airbus ini, DI membuat, merakit dan
mengembangkan NC-212 serta CN-235, dan selanjutnya CN-295.
Operator utama NC-212, CN-235 dan CN-295 di dalam negeri adalah TNI
AD, AL dan AU. Setelah menyerahkan satu unit CN-235 versi Patroli
Maritim, Oktober 2013, tahun ini DI akan menyerahkan lagi kepada TNI AL
dua unit lainnya yang telah dipesan. “CN-235 masih menjadi favorit,
tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Pesawat ini
dibeli Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Brunei, Uni Emirat Arab,
Pakistan, Senegal dan lainnya,” ujar Direktur Komersial dan
Restrukturisasi DI, Budiman Saleh, menguti Kompas (15/2/2014).
Atas berbagai kontrak bisnis tersebut, kini kondisi DI memang telah
berangsur pulih. Dalam beberapa tahun, perusahaan ini telah menangguk
laba. “Jika pada 2013 kami telah memperoleh laba bersih Rp 10,272
miliar, tahun ini ditargetkan mencapai Rp 66,5 miliar,” tambahnya.
2014 akan menjadi tahun menentukan. Pasalnya, selain harus merakit
pesawat dan berbagai komponen pesanan pesanan luar negeri, DI harus
“berlari cepat” mengerjakan komuter 19 kursi N-219. Pesawat yang
utamanya dipesan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri ini
ditargetkan selesai pada 2015. Pun di ajang SAS, program pembuatan
pesawat ini cukup menyedot perhatian. Tak saja dari calon pembelinya,
tetapi juga dari vendor-vendor yang ingin ikut terlibat di dalamnya.
Telah dipastikan, Pratt & Whitney akan menyuplai mesin PT6-42
sementara Garmin akan membuatkan avionik untuk pesawat murah berbobot
15.000 pound ini. Kepada Angkasa, dengan mata berbinar, Manager
Pengembangan Teknologi & Produk Baru DI sekaligus Chief Engineer
N219, Palmana Banandhi mengungkap, dari titik impas sebanyak 20 unit,
pesanan atas pesawat ini sudah melampaui 100 unit. Tingginya minat customer atas pesawat ini boleh jadi dilatari konsep yang melandasi perancangannya.
Bentuknya sederhana, harganya murah dan dirancang mudah ditangani. DI
tak mau merancang yang muluk-muluk karena pesawat ini akan dioperasikan
di daerah terpencil. Misinya untuk menghidupkan perekonomian daerah dan
menjadi feeder bagi pesawat-pesawat yang lebih besar. “Jika
pesawat sekelasnya rata-rata dihargai 7-7,5 juta dolar AS, pesawat ini
cukup 5 juta dolar saja,” pungkas Palmana.
Singapore Airshow yang digelar setiap dua tahunan, tiap kali digelar
semakin kental menonjolkan kemampuan industri strategis militer negeri
yang sedikit lebih luas dari Pulau Batam itu. Sehingga terasa nuansanya
semakin kental ke peralatan militer dibanding industri angkutan udara
sipil.
Dalam arena pameran statis SAS, kehadiran pesawat
penumpang yang jumlahnya menyusut dibanding sebelumnya, kalah pamor
dengan digelarnya pesawat militer milik AU Singapura, terutama sekali
ujung tombaknya pesawat tempur supersonik Boeing F-15SG Eagle, lengkap dengan persenjataannya. Sayapnya selain dipersenjatai rudal AIM-9P Sidewinder, rudal andalan F-16 Fighting Falcon TNI AU, juga ditambahi rudal AMRAAM yang lebih ampuh dan bom pintar GBU-10 dan 12 Paveway.
Tidak hanya satu F-15SG, tapi tiga pesawat dipamerkan pada arena
pameran statis, mengundang antrian mengular panjang para pengunjung
dapat kesempatan duduk di dalam kokpit. Terlihat warga Singapura sangat
bangga memiliki pesawat tempur lini depan angkatan udaranya,
satu-satunya negara anggota ASEAN yang mengoperasikan jet tempur ini,
yang juga andalan AU AS.
Tidak saja F-15SG, tapi juga jet tempur F-16 Block 52
yang paling mutakhir dipamerkan, bersanding dengan pesawat tempur
Northrop F-5E/F Tiger yang di-retrofit industri pertahanan Singapura sehingga menambah kemampuannya.
Kemampuan retrofit pesawat militer, merupakan salah satu achievement
industri strategis militer Singapura yang telah berhasil dikuasai
negeri Lee Kuan Yew, disamping peralatan militer lainnya yang tidak ada
hubungan langsung dengan kedirgantaraan. Seperti senjata yang dilengkapi
peralatan optik, kendaraan lapis baja, kendaraan serba-guna militer
yang dapat digunakan di darat maupun di air.
Kehadiran peralatan militer semakin mengentalkan bahwa ke
depannya SAS akan lebih menonjolkan segala hal yang berkaitan industri
pertahanan (untuk membedakannya dengan Dubai Airshow yang telah mencuri
posisi Singapura di bidang industri pesawat angkut sipil). Di sisi lain,
pencapaian Singapura secara militer menumbuhkan kepercayaan diri dalam
mempertahankan negeri kepulauan ini dari ancaman yang (mungkin) akan
muncul.
Mungkin tidak salah bila disebut, Singapura meniru jejak
Israel mengingat setelah pisah dari Federasi Malaysia di tahun 1960-an,
langsung membuka hubungan diplomatik disusul kerjasama militer dan
pertukaran ilmu dengan negara tersebut. Di luar Israel dengan pencapaian
industri pertahanan tinggi, tercatat negara kecil Swedia dan Swiss yang
sektor industri strategisnya diakui dalam dunia persenjataan.
Saab dari Swedia yang di Indonesia lebih dikenal dengan produk mobilnya,
merupakan produsen jet tempur Saab Gripen yang diakui dunia.
Di panggung SAS, diperkenalkan helikopter tanpa awak dan sejumlah pesawat tanpa awak (UAV) buatan tuan rumah Singapura dan Super Heron HF buatan Israel yang dipamerkan di depan Israel Aerospace Industries (IAI) Chalet CD03. HF adalah singkatan heavy fuel yakni bahan bakar Jet A1 (diesel) sebagai sumber bahan propulsinya.
Kalah pamor
Langkah Singapura ini tampaknya merupakan upaya negara
ini merebut kembali posisi peringkat ketiga pameran kedirgantaraan
dunia, setelah Paris Airshow di Perancis dan Farnborough Air Show di
Inggris yang tahun 2013 lalu bergeser ke Dubai Airshow dengan transaksi
200 miliar dolar AS saat pameran ditutup. Sementara SAS 2014 ditutup
dengan transaksi senilai 34 miliar dolar, masih belum berhasil merebut
kembali peringkat yang bertahun-tahun pernah disandangnya.
Pameran tahun ini mungkin belum, tapi kemungkinan dua
tahun mendatang akan lain mengingat pasar dunia sudah bergeser ke
belahan bumi Asia sebagai pertumbuhan tercepat pasar penerbangan dunia.
Airbus memproyeksikan China akan menggantikan AS dalam jumlah pesanan
pesawat kurun waktu hingga 2030 bersama negara Asia lainnya termasuk
Indonesia dan India yang memiliki potensi pemesanan besar pesawat udara.
Kehadiran pesawat mid-size widebody Airbus
A350XWB, satu-satunya produk terbaru di SAS buatan pabrik Eropa Airbus
diharapkan dapat mendongkrak keharuman pameran ini, mengingat inilah
untuk pertama kali pesawat badan lebar tersebut dipamerkan kepada publik
dunia. Tahun lalu memang pesawat yang dijuluki hush airliner
karena mesinnya yang nyaris tidak terdengar saat terbang, hadir di Paris
Airshow. Tetapi hanya terbang lintas dan tidak dipamerkan secara
statis.
Meski ada pesaing 787 Dreamliner yang dipinjam
Boeing dari Qatar Airways untuk dipamerkan, tidak ayal lagi primadona
pameran adalah A350XWB yang terbang anggun mempesona serta mengundang
kekaguman luar biasa para peserta dan pengunjung. Meski demikian
kehadirannya kurang mampu menggeser kekaguman yang disajikan industri
strategis militer tuan rumah Singapura.
Airbus memproyeksikan kawasan Asia-Pasifik kurun waktu 20
tahun mendatang butuh sekitar 29.200 pesawat penumpang dan kargo
senilai 4,4 triliun dolar AS, di antaranya 7.270 pesawat twin aisle badan lebar jenis A330 dan A350XWB, termasuk produk rivalnya Boeing 787 Dreamliner dan varian baru Boeing 777X, selain 1.170 very large aircraft (sejenis jumbo dan superjumbo) dan 20.240 pesawat lorong tunggal (single aisle).
“Armada pesawat yang dioperasikan maskapai penerbangan
Asia-Pasifik saat ini sebanyak 4.960, kurun waktu 20 tahun mendatang
akan mengoperasikan 12.130 pesawat,” ungkap John Leahy, Airbus Chief
Operating Officer Customers pada pemaparannya hari pertama pameran
sebelum pucuk pimpinan Airbus Fabrice Bregier meneken kontrak pesanan
pasti dan opsi 90 Airbus A320 senilai 9,1 miliar dolar AS dengan
maskapai berbiaya murah Vietnam VietJet Air. Pesanan pasti tersebut
terdiri dari 42 Airbus A320neo, 14 A320ceo, dan tujuh A321ceo.
Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia tak pernah ketinggalan
memasarkan produknya di Singapore Airshow. Kali ini kontrak besar yang
ditandatangannya adalah dengan Honerywell dan Sriwijaya Air, yang
menyepakati kerjasama senilai 2 juta dolar AS per tahun dengan rentang
waktu dua tahun.
Sejak 1998, GMF tidak pernah absen membuka stan di ajang pameran
kedirgantaraan di Singapura itu. Bahkan beberapa tahun kemudian, pameran
sejenis di Dubai pun kerap diikutinya. Pasar Asia bahkan pasar global,
menjadi target utama pemasaran fasilitas MRO (Maintenance Repair Overhaul).
Tahun ini di Singapura, GMF menyepakati kerjasama dengan Sriwijaya
Air dan Honeywell International Inc. untuk mendukung perawatan wheel and brake pesawat B737 Next Generation dan B737 Classic
milik Sriwijaya Air. Perjanjian ini ditandatangani EVP Base Operation
GMF, Agus Sulistyono dan Direktur Teknik Sriwijaya Air, Ananta Wijaya,
serta Brian Davis, VP Airlines Asia Pacific Region Honeywell pada 12
Februari lalu.
Kata Agus, model kerjasama ini merupakan terobosan
menarik untuk ketiga pihak. Masing-masing pihak memiliki peran berbeda
sesuai bisnis intinya. Honeywell sebagai OEM (Original Equipment Manufacturing)
berperan memroduksi perlengkapan orisinilnya. Perusahaan dari AS yang
menjadi salah satu pemasok utama perlengkapan dan peralatan pesawat
komersial ini membuat wheel and brake untukB737-NG dan B737 Classic.
Sementara Sriwijaya sebagai operator memiliki hak khusus untuk
mendapatkan material dari OEM. GMF sebagai penyedia perawatan pesawat
mendapat limpahan kemudahan dari Sriwijaya untuk mendapatkan material
tersebut.
“Material yang kami dapat dari OEM itu untuk mendukung
perawatan Sriwijaya Air,” kata Agus, seraya menambahkan bahwa limpahan
kemudahan kepada GMF dari Sriwijaya tidak lepas dari kerjasama yang
sudah terjalin lama dan menjadi salah satu langganan setia GMF sejak
operator ini beroperasi 10 November 2003. Apalagi kali ini Sriwijaya
menyerahkan total care armadanya kepada GMF. Tak tanggung-tanggung, Sriwijaya juga menyerahkan perawatan engine CFM56-7 yang pertama kepada GMF.
Mesin juga
GMF memang sudah memiliki kapabilitas dalam perawatan engine/mesin. Kapabilitas itu, antara lain, untuk perawatan CFM56-3, Spey, APU GTCT 85 Series, TSCP 700, dan CFM56-7B, hingga tahap overhaul. Kapabilitas baru GMF dalam melakukan perawatan CFM56-7 sampai overhaul sudah mendapatkan approval dari EASA (European Aviation Safety Agency)
dalam audit pada akhir Januari lalu. Untuk memaksimalkan kapabilitasnya
ini, GMF berpartner dengan General Electric (GE) dan mendapatkan
approval nomor AS9110 dari GE.
Untuk aktivitas perawatan APU (Auxiliary Power Unit)
baru, APU GTCP-131 9A dan 9B, GMF didukung oleh Honeywell International
SARL. Dukungan ini diberikan melalui penandatanganan kerjasama Material Supply and Part Repair Agreemen selama lima tahun, pada hari kedua Singapore Airshow 2014. Honeywell
akan memasok kebutuhan material untuk perawatan dan perbaikan jenis APU
untuk pesawat B737-800NG Garuda Indonesia dan A320 Citilink.
Pada waktu yang sama, GMF juga menandatangani kerjasama
perawatan APU GTCP 131 9B dengan Aersale. Perjanjian ini ditandatangani
oleh Dwyne Adcock, VP Airframe Material Sales Aersale dan Agus itu
meraih potensi pendapatan sekitar 275.000 dolar AS dari satu unit APU
yang dirawat.
Menurut Agus, GMF berkomitmen untuk mengembangkan
kapabilitas dan kapasitasnya, dengan menguasai perawatan pesawat-pesawat
tipe terbaru, terutama B737-NG dan A320, termasuk perawatan engine-nya.
Populasi kedua jenis pesawat tersebut, baik di Indonesia maupun di luar
negeri, terus bertambah setiap tahun. Sampai saat ini, GMF merupakan
fasilitas MRO terbesar di Indonesia dan sudah menguasai sedikitnya 70
persen perawatan pesawat dalam negeri.
Perawatan kabin
Bukan cuma perawatan airframe dan engine pesawat,
GMF juga merambah perawatan kabin dan interior. Untuk memperkuat layanan
MRO kabin dan interior itu, anak perusahaan Garuda Indonesia ini
menggandeng Regent Aerospace Corporation, salah satu perusahaan
manufaktur serta MRO kabin dan interior terbesar di dunia.
Penandatanganan Master Agreement of Joint Operation Establishment-nya dilakukan oleh CEO GMF AeroAsia Richard Budihadianto dan President of Regent Aerospace Corporation, Reza Soltanian.
Kerjasama ini ternyata untuk mendukung sang induk perusahaan
merealisasikan targetnya menjadi “Airline Skytrax Bintang Lima”. Salah
satu syaratnya adalah penampilan, kebersihan, dan fungsionalitas
fitur-fitur di dalam kabin pesawat yang dioperasikan oleh sebuah
maskapai penerbangan. Regent bersedia memfasilitasi kebutuhan mesin dan
tenaga ahli pendamping, sedangkan GMF menyediakan fasilitas dan tenaga
kerja untuk layanan MRO.
“Dengan kemampuan ini, peluang pengembangan bisnis perusahaan makin
besar. Selain untuk mendukung Garuda Indonesia, layanan ini juga kami
pasarkan untuk airlines lain, baik domestik maupun internasional,” kata Richard.
Di ajang Singapore Airshow 2014 itu, GMF memang melakukan banyak
aktivitas untuk menjaring peluang bisnisnya agar kian besar. Selain yang
disebutkan di atas, beberapa perjanjian dan kerjasama juga dilakukan,
seperti dengan Air Asia Indonesia dan JAS Engineering. Dengan JAS
Engineering, kerjasama dalam hal line maintenance, sedangkan
dengan Air Asia Indonesia untuk perawatan pesawat. “Kami sudah lama
menjalin kerjasama dengan GMF dan sudah memperpanjangnya lagi. Di sini
hanya mengukuhkan saja,” ujar Soeratman dari Air Asia Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar