Ada mata-mata di lingkaran kelompok komunis maupun Istana.
Jusuf Wanandi bersama Presiden Soeharto dan Liem Sioe Liong pada acara
pertemuan dengan tokoh-tokoh pengusaha nasional di Tapos, Bogor, 1986.
Foto: Sekretariat Negara.
OLEH: WENRI WANHAR
JUSUF Wanandi
membuka rahasia. Menjelang keruntuhan Sukarno, dia mengumpulkan
informasi dari dalam Istana untuk mencari tahu siapa orang yang punya
pengaruh kuat terhadap Sukarno. Dia dan kawan-kawan aktivis Katolik juga
punya mata-mata di dalam lingkaran kelompok komunis.
Pengakuan Jusuf Wanandi tersebut tertuang dalam memoarnya, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998,
yang diluncurkan di Centre for Strategic and International Studies
(CSIS), Jakarta, 20 Februari lalu. Edisi bahasa Inggrisnya, Shades of Grey, sudah terbit pada 2012 di Singapura.
“Banyak kisah dalam buku ini yang orang lain belum tentu mau mengisahkannya,” ujar sejarawan Anhar Gonggong, pembedah buku itu.
Sementara Salim Said, mantan wartawan suratkabar Angkatan Bersenjata,
mengatakan, “Buku ini menjadi menarik karena penulisnya, Jusuf Wanandi,
terlibat langsung dalam bagian-bagian penting perpolitikan masa itu.
Jarang ada buku serupa ini.”
Jusuf Wanandi kala itu aktivis Persatuan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Bersama Partai Katolik,
PMKRI mengambil sikap antikomunis dan menganggap muslim sebagai sekutu
alamiah melawan komunis.
Jusuf masuk Istana sejak 1964 sebagai
sekretaris Soejono, wakil ketua II Dewan Pertimbangan Agung (DPA). DPA
dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno. Dengan pekerjaan itu, dia
mengetahui siapa yang punya pengaruh kuat terhadap Sukarno. Menurutnya,
orang tersebut adalah Njoto, orang nomor tiga di jajaran pimpinan PKI.
“Menyaksikan pertemuan-pertemuan sarapan
pagi, Njoto memang mempunyai hubungan yang khusus dengan Presiden.
Njoto adalah sosok paling intelektual di antara pemimpin PKI. Itulah
alasan mengapa dia menjadi salah satu penulis pidato Bung Karno yang
paling berpengaruh,” ungkap Jusuf.
Jika Jusuf mengumpulkan informasi di
Istana, informan penting lainnya berada di lingkaran pejabat teras PKI.
Dia lulusan Universitas Gadjah Mada, menjadi Katolik setelah menikah
dengan seorang gadis Katolik. Sebelumnya, dia anggota Consentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), perkumpulan mahasiswa komunis.
Karena pandai, pada 1960 dia dipromosikan menjadi asisten Soedisman,
sekretaris jenderal PKI.
“Orang muda yang berani ini –namanya
tidak bisa disebut karena sensitif– memberikan informasi kepada kami
mengenai apa yang sedang terjadi di dalam tubuh PKI,” kata Jusuf. “Dari
informasi-informasi dia, kami tahu bahwa kesimpulan kami tidak terlalu
meleset: PKI akan mengambil-alih kekuasaan, bukan dalam waktu lima tahun
lagi, melainkan segera. Segera.”
Menurut informan itu, kata Jusuf, sebuah
pertemuan sedang direncanakan untuk mengadili kapitalisme birokrat dan
spion badan intelijen Amerika Serikat (CIA) di tubuh Angkatan Darat.
Untuk itu, Pemuda Rakyat dan Gerwani dilatih kemiliteran di Lanud Halim
Perdanakusuma. Mereka ingin mengesankan ada pergolakan di tubuh Angkatan
Darat dan peristiwa itu bebas dari jejak PKI.
PMKRI pun melatih dua kelompok kader
dari pemimpin mahasiswa dan akademisi di Gunung Sahari untuk melakukan
konsolidasi. HMI melakukan hal yang sama di Megamendung, Bogor, di
kediaman Wakil Ketua NU Subchan Zaenuri Erfan. “Hanya kami-lah –di
antara kelompok nonkomunis– yang melakukan pelatihan seperti ini,” kata
Jusuf.
Harry Tjan Silalahi dan IJ Kasimo dari
Partai Katolik menghadap dan mengatakan kepada Jenderal AH Nasution
bahwa kalangan Katolik sudah mengetahui rencana PKI dan meminta
pendapatnya apa yang harus mereka lakukan. Jawaban Nasution
mengecewakan.
Peristiwa 30 September 1965 pecah. Di
luar dugaan Jusuf dan kelompoknya, tak ada pengadilan rakyat terhadap
kapitalisme birokrat dan agen-agen CIA. Yang terjadi adalah pembunuhan
terhadap para jenderal.
Dalam memoar ini, Jusuf menyajikan
beberapa tafsiran di balik Peristiwa 30 September 1965. Tentu saja dia
menempatkan PKI berada di balik peristiwa itu dan membela Soeharto.
Jusuf mengatakan kontak pertama dengan
Soeharto terjadi pada 4 Oktober 1965. Harry Tjan dan Subchan bertemu
dengan Soeharto di Mabes Kostrad. “Dari sanalah kami menjalin hubungan
erat, yang bertahan hingga dua dekade,” kata Jusuf.
Setelah Soeharto berkuasa, Jusuf Wanandi menjadi salah satu pendiri CSIS, lembaga pemikir (think tank) Orde Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar