Australia
sejak beberapa dekade lalu menyatakan bahwa musuh mereka akan datang
dari Utara, oleh karena itu design pertahanan Australia lebih fokus
diarahkan ke Utara. Australia membangun Over the Horizon Radar,
yang mampu memonitor beberapa ribu kilometer kearah Utara, melewati
batas wilayah Indonesia. Walaupun akurasi radar ini tidak tinggi, dalam
sebuah sistem pertahanan udara, prinsip early warning merupakan
kebutuhan mutlak. Kini Australia memutuskan akan membeli alutsista
berupa pesawat tanpa awak MQ-4C Triton untuk intai maritim. Pada PD-II,
akibat kegagalan sistem early warning, Amerika Serikat
menderita kerugian yang besar, sekitar 20 kapal-kapal perang dan 188
pesawat terbangnya rusak atau hancur, dan tercatat korban meninggal
2.403 jiwa saat Pearl Harbour diserang oleh AL Jepang.
Dalam peristiwa aktual yang terjadi
akhir-akhir ini, Australia melakukan penyadapan dalam operasi pulbaket
tertutup (spionase) terhadap beberapa sumber penting di Indonesia.
Australia menurut mantan agen NSA/CIA Edward Snowden tergabung dalam
kelompok 5-Eyes bersama AS, Inggris, NZ dan Canada. Pertanyaannya,
apakah Indonesia merupakan ancaman hingga disadap? Ternyata bukan.
Setelah diteliti secara ilmiah, ancaman utama Australia adalah China.
Sebuah laporan dari Australian Strategic Policy Institute
(ASPI) yang dikeluarkan pada hari Kamis (13/2/2014) dan ditayangkan
media Autralia Newscom, menyatakan bahwa risiko terbesar bagi keamanan
Australia di masa depan adalah kombinasi dari pertumbuhan ekonomi yang
menakutkan dari China dan kemungkinan penarikan peran AS dari kawasan
Asia Timur.
Skenario ASPI menyatakan bahwa dimasa
mendatang, Australia akan lebih rentan terhadap agresi asing
dibandingkan bentuk-bentuk ancaman sejak tahun 1942. Laporan yang
ditulis oleh ekonom AS David Hale dengan judul "China's New Dream,"
menggambarkan keajaiban perekonomian China. Hale tidak menyebutkan
China sebagai agresor penyerang, tetapi memberikan gambaran
kekhawatirannya dengan pertumbuhan luar biasa dari China dan adanya
kemauan untuk menggunakan kekuatan militer yang tumbuh untuk mencapai
tujuan-tujuannya. Ditegaskan oleh Hale, “The re-emergence of China as a great power will be Australia’s greatest foreign policy challenge during the 21st century."
Munculnya kembali China sebagai kekuatan
besar di dunia akan menjadi tantangan kebijakan luar negeri terbesar
Australia pada abad ke-21. Menurutnya, Canberra harus hati-hati
menyeimbangkan pertumbuhan hubungan ekonomi antara Australia dengan
China disamping tetap berjalannya aliansi tradisional dengan AS .
Ancaman utama terhadap tindakan penyeimbangan ini akan muncul jika
muncul masalah fiskal, dan Amerika dipaksa untuk memangkas pengeluaran
bidang pertahanan sehingga terpaksa menarik diri dari kawasan Asia
Timur.
Hale mengatakan, bahwa satu-satunya
negara Asia yang mampu mengimbangi pertumbuhan China adalah India,
karena itu disamping hubungannya dengan AS dan China, sebaiknya harus
Australia menjaga serta memelihara hubungannya dengan India.
Sebagai dampak pertumbuhan
perekonomiannya, anggaran pertahanan China terus meningkat, terbesar
kedua setelah AS. Tahun 2000, China (USD 22,2 milyar), dibandingkan AS
(USD 166,2 milyar), tahun 2012, China (USD 166,2 milyar), AS (USD 660
milyar).
Laporan juga menyebutkan, bahwa China
membutuhkan lebih dari setengah produksi semikonduktor dunia dan
menghasilkan 75 persen dari output global ponsel , 87 persen dari
komputer pribadi dan 52 persen dari televisi berwarna. China merupakan
mitra dagang terkemuka bagi 124 negara , dibandingkan dengan 76 yang
dimiliki oleh AS. Investasi asing langsung ke China telah meningkat
menjadi USD 832 milyar. Hanya tiga negara yang mampu menyainginya, yaitu
Amerika Serikat, Perancis dan Inggris yang memiliki nilai lebih.
Cadangan devisa China merupakan yang
terbesar di dunia, pada tahun 2013 sebesar USD 3,7 trilyun. Dengan
kekuatan perekonomian yang berdampak semakin menguatnya kekuatan
pertahanan, China semakin berani bertindak. China menyatakan penerapan
ADIZ (Air Defence Identification Zone) dikawasan Laut China Timur (LCT)
dan kini sedang mempersiapkan pernyataan ADIZ ke kawasan Laut China
Selatan (LCS). China memprovokasi kawasan LCS, mengklaim kepulauan
Spratly dan Paracel, juga memprovokasi perselisihan batas wilayah
dengan Vietnam dan Filipina. Menurut Hale, resiko terbesar dari agresi
China adalah terjadinya kecelakaan militer. Tindakan China dimasa
mendatang bisa memprovokasi ketegangan dan menciptakan kekhawatiran
timbulnya perang.
Dari perkembangan China tersebut, maka
Australia disarankan agar lebih menyeimbangkan pola hubungan politik,
ekonomi dan pertahanan dengan negara India, dan tidak hanya tergantung
hanya dengan AS. Hubungan tradisional Australia-AS telah dibangun dalam
beberapa dekade, dan para ahli strategi AS dan Australia justru kini
mulai menyarankan membangun hubungan yang lebih erat dengan India. Pada
waktu lalu, hubungan dengan India kurang baik, sebagai contoh, kini
disaat Australia menginginkan pesawat F-22 untuk pertahanan dalam
negerinya, AS tidak mengijinkan. AS hanya akan memberikan ijin pembelian
pesawat tempur F-35. Para ahli pertahanan di Australia beberapa waktu
lalu justru menyarankan, dario sisi kekuatan udara saja, dibandingkan
dengan negaranya saja saja, kemampuan AU Australia berada dibawah
Indonesia yang menggunakan Flanker Family. Belum lagi apabila
dibandingkan dengan AU China.
Mereka menyarankan agar Australia meniru
India mengadopsi Flanker untuk meningkatkan kekuatan udaranya. Dalam
perbandingan kekuatan udara kini, Australia jauh dibawah China, dan
kesempatan penyeimbangan kiranya hanya akan didapat apabila bekerja sama
dan meniru India. Australia akan bisa mendapatkan SU-35 yang merupakan
pesawat masa depan, disamping peluang mendapatkan pesawat tempur T-50
PAK-FA generasi kelima, hanya inilah peluangnya untuk mengimbangi China.
Nah, fokus Australia kini kepada China, tetapi bagaimana menyeimbangkan, membangun balance of power di
kawasan? Saat ini hanya AS yang mampu, karena itu memang Australia
harus realistis, juga dalam membangun hubungan dengan Indonesia sebagai
negara yang selama ini dianggap sebagai bumpernya. Yang jelas Australia
akan menjumpai kesulitan apabila AS terpaksa mengundurkan diri dari
kawasan. Inilah kesimpulan terpenting bagi Australia.
Selain itu ada hal penting yang harus
dipikirkan oleh Australia. Akan lebih rumit lagi bagi Australia, apabila
dari hasil pemilu 2014, pemerintah Indonesia mendatang sangat erat
hubungannya dengan China. Karena itu sebaiknya kini Australia
berbaik-baik dengan Indonesia. Harus disadari posisi geografisnya kurang
baik. Terkunci di Selatan. Karena itu memang bisa dimengerti, apabila
Australia berusaha keras terus menyadap para pejabat, elit dan juga
para capres Indonesia, untuk mengetahui cara berfikir serta posisi para
pengambil keputusan. Nah, dengan kesimpulan penelitian ASPI, dan
dikaitkan dengan analisis, kini Australia akan lebih khawatir apabila
ada capres Indonesia yang pro atau dibina oleh China, maka akan semakin
terancam dan gundahlah negara kanguru ini. Apakah begitu?
Oleh : Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar