PT Dirgantara Indonesia yakin 90% kalau program pembuatan
pesawat N-219 bakal jalan. Keyakinan itu didasari dengan sudah
mengucurnya dana untuk pengembangannya dan adanya persetujuan DPR,
tinggal menunggu kelengkapan dokumentasi.
Kabar gembira karena program pesawat N-219 yang akan
dibuat oleh PT Dirgantara Indonesia (DI) bakal jalan. Program yang sudah
dicanangkan sejak tahun 2002 itu akan melalui tahap pengajuan aplikasi
untuk proses sertifikasi ke DKUPPU (Direktorat Kelaikan Udara
Pengoperasian Pesawat Udara) Ditjen Perhubungan Udara Kementerian
Perhubungan. Pengajuan type certificate application ini rencananya dilakukan pada Oktober ini.
“Kami akan ajukan aplikasi jika sudah mendapat signing contract dari
LAPAN,” kata Budi Sampurno, Program Manager N-219, Direktorat Teknologi
dan Pengembangan PT DI, awal September lalu di Bandung. Jika pengajuan
aplikasi sertifikat untuk mendapatkan type certificate itu
diajukan pada Oktober ini, berlakunya tiga tahun sampai Oktober 2016.
Targetnya, pada kuartal pertama 2016, pesawat sudah mendapatkan
sertifikasi untuk diproduksi.
Menurut Palmana Banandhi dari Tim Program N-219, tahun 2014 pesawat ditargetkan roll out dan setahun kemudian terbang perdana. Untuk terbang perdana, pesawat membutuhkan flight permit dengan mengaplikasi beberapa dokumen analisis teknis dan pengujian-pengujian di darat (ground). Izin terbang perdana (khusus) akan dikeluarkan DKUPPU setelah melalui pengecekan di darat dan lulus tes. “Starting dari situ, mulai flight test,” ujarnya. Setelah itu, untuk mendapatkan sertifikasi akhir, pesawat membutuh 630 flight hours. Saat ini, N-219 baru tahap preliminary design.
Proses panjang
Pembuatan pesawat buatan anak bangsa ini melalui
proses yang sangat panjang. Kata Judho Birawono Santoso dari Tim Program
N-219, pihaknya melakukan survei dan studi pasar sejak tahun 2004.
Sebelum memasuki tahap produksi, PT DI melakukan requirement market, kebutuhannya, dan problemnya seperti apa. Tahun 2006 dilakukan penerbangan dengan Twin Otter
untuk survei ke Papua, yang akan menjadi area penerbangannya. Diperoleh
masukan, antara lain, pesawat harus bisa mendarat di pegunungan dengan
landasan yang tidak rata dan panjang tak lebih dari 500 meter. Masukan
lain juga diterima dari airline, misalnya tentang daya tempuh yang dibutuhkannya. Tahap ini disebut dengan fase requirement development, yang dilakukan sampai menemukan bentuk yang kira-kira dapat menjadi solusi nantinya.
Ada era ketika program ini nyaris tak terdengar
beritanya. Tahun 2008, sewaktu Budi dipercaya khusus menangani N-219,
banyak pekerjaan “administrasi” yang harus dilakukan agar program ini
dapat diwujudkan. Kini ia optimis karena dana untuk pembangunan dan
pengembangannya sudah ada. Dana Rp1 triliun untuk pengembangan
proyek-proyek baru di PT DI sudah mengucur dan di sana ada bagian untuk
N-219. Begitu pula dengan dana Rp310 miliar, yang diturunkan kepada
LAPAN. Lembaga ini memang sudah ditugaskan untuk mengembangkan pesawat
berkapasitas di bawah 30 penumpang sejak tahun 2008. LAPAN sebagai
Reseach & Development dan PT DI sebagai manufakturnya.
Sebenarnya dana Rp310 miliar yang sudah menjadi pagu
definitif tahun 2014 itu belum cukup untuk mengembangkan N-219 dalam
satu tahun ke depan. Setelah melalui pengajuan dan yustifikasi dari
Bappenas, akan dianggarkan lagi Rp90 miliar untuk tahun 2015. Jika sudah
demikian, LAPAN sudah dapat memberikan kontrak tidak mengikat kepada PT
DI; LAPAN sebagai pemilik proyek dan PT DI sebagai kontraktornya. “Kami
tawarkan pada mereka untuk kerja bareng dengan kami. Kompensasi dari
pemberian kontrak itu, kami kasih knowledge,” papar Budi.
Pengajuan aplikasi
Walaupun pemilik proyek N-219 itu LAPAN, tapi persyaratan untuk pengajuan sertifikasi itu harus yang memiliki DOA (Design Organization Approve),
yang hanya dimiliki oleh PT DI. Menurut Budi, dulu regulator mengacu ke
FAA (AS), yang membolehkan setiap badan usaha mengajukan aplikasi,
selama objeknya memenuhi kriteria regulasi. Namun sekarang regulator
mengacu ke EASA (Eropa), yang mensyaratkan pengajuan aplikasi harus
organisasi yang memiliki DOA kelas D atau yang sudah diaudit mampu
mendesain pesawat terbang.
“Kami akan perkenalkan pesawat N-219 ini mengarah ke komuter dengan
regulasi CASR atau FAR 23. Ini pesawat kelas kecil dengan maksimum 19
penumpang,” tutur Budi. Pada FAR 23 ini ada kelas transpor, komuter, dam
aerobatik. Dipilih kelas komuter karena bisa menjadi pesawat yang dapat
terbang berjadwal, sementara kelas transpor harusnya hanya untuk
pesawat carter saja. Bobot N-219 akan dibuat 15.500 pon (komuter sampai
19.000 pon, transpor 12.500 pon).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar