Di saat yang hampir bersamaan, Angkatan Udara Indonesia berhasil
menelurkan penerbang-penerbang pesawat tempur. Ada lima penerbang dari
dua tipe pesawat tempur berbeda yang berhasil lulus, dan yang unik hanya
satu orang dari penerbang pesawat tempur F-16 dan empat penerbang
lainnya dari pesawat tempur Su-30MK2.
Menurut ANTARA, untuk penerbang F-16 pada
tahun ini mencetak satu, yakni Lettu Pnb Fulgentius Dio Prakoso.
Sedangkan untuk pesawat tempur Flanker ada empat penerbang yang berhasil
lulus, yakni Mayor Pnb Reza Muryaji, Mayor Pnb M.Yunus, Mayor Pnb I
Kadek Suta A. dan Mayor Pnb Apri Arfianto.
Foto : Antara
Padahal dimasa mendatang, justru armada
pesawat tempur F-16 refurbished yang akan segera datang memperkuat
Angkatan udara Indonesia, yang menurut berbagai pemberitaan dari media
nasional ada 10 unit yang akan datang pada tahun 2017. Sedangkan dari
armada pesawat tempur Sukhoi sendiri masih belum diketahui
kedatangannya.
Pilot pesawat tempur adalah aset Angkatan Udara yang paling berharga.
Untuk di Indonesia, dana pendidikan seorang pilot pesawat tempur selama
2 hingga 3 tahun bisa memakan biaya lebih dari 10 miliar rupiah
Untuk satu jam terbang latih dengan menggunakan pesawat tempur F-16
bisa menghabiskan biaya 50 juta rupiah, sedangkan untuk pesawat tempur
Sukhoi Su-30 menghabiskan biaya 91 juta rupiah, dan semuanya ditanggung
oleh negara.
Sekolah penerbang TNI AU biasanya berlangsung selama 18 bulan. Siswa
lulus kemudian berlatih di kesatuan selama enam bulan. Setiap siswa
kemudian diberikan pilihan ingin menjadi pilot pesawat tempur, pesawat
transport atau helikopter. Para pilot kemudian disiapkan lagi untuk
latihan operasi perang selama 6-12 bulan.
Karena punya fungsi untuk mengejar dan
menghancurkan pesawat tempur, maka tak heran bila rudal hanud
(pertahanan udara) diciptakan untuk melesat dengan kecepatan supersonic,
sebagian dari Anda mungkin sudah mahfum dengan nama-nama rudal hanud,
terlebih dengan yang telah dioperasikan oleh TNI. Dan untuk lebih
mengenal tentang rudal hanud, pada artikel kali ini kami kupas tentang
dua mahzab sistem pemandu yang berlaku dalam dunia rudal hanud.
Masing-masing punya karakter dan keunggulan tersendiri, bergantung pada
situasi, kondisi, dan jenis sasaran yang dihadapi.
Bo Almqvist, Vice President, Strategic Business Project Dynamics Saab
India, dalam suatu kesempatan di Aero India 2017 menyebutkan, bahwa
pada prinsipinya ada dua platform sistem pemandu (guidance)
yang digunakan dalam rudal hanud. Pertama adalah radar atau IR (Infra
Red) homing missiles, dan Kedua adalah Command to Line of Sight Systems.
Rudal dengan pemandu radar atau IR (Infra Red) homing missiles, jamak
ditemui pada rudal hanud jarak dekat dan sebagian besar rudal MANPADS (Man Portable Air Defence System).
Disini dicirikan penempatan sensor pemandu berada pada bagian depan
rudal. Rudal dengan jenis ini pun sudah digunakan TNI sejak beberapa
tahun, diantaranya rudal Mistral besutan MBDA, rudal QW-3 produksi China
Aerospace Science and Industry Corporation (CASIC), dan rudal Chiron
lansiran LIG Nex1 yang digunakan Denhanud Paskhas TNI AU.
Rantis komodo buatan Pindad, sekilas mirip Sherpa. Rantis ini mengusung peluncur Mistral Atlas.Konfigurasi rudal Mistral Sementara yang kedua, sistem pemandu dengan Command to Line of Sight
Systems, dicirikan penempatan sensor pemandu berada pada bagian belakang
rudal. Rudal jenis ini pun sudah bukan sesuatu yang asing bagi TNI,
seperti Arhanud TNI AD yang mengoperasikan rudal VSHORAD (Very Short Air
Defence System) RBS-70 MK2 produksi Saab, rudal ini tidak bersifat fire and forget,
melainkan bekerja dengan cara dipandu (diarahkan) lewat teknologi laser
ke sasaran yang dikehendaki. Masih dari perusahaan yang sama, rudah
hanud BAMSE (Bofors Advanced Missile System Evaluation) yang juga sempat
ditawarkan ke Indonesia, juga mengadopsi pemandu Fire Control Radar (FCR) Automatic Command to Line Of Sight
(ACLOS). Bedanya bila RBS-70 adalah VSHORAD dengan jarak tembak
maksimum 8 km, sedangkan BAMSE bisa menghajar sasaran hingga jarak 25
km.
Lantas bagaimana dengan nama-nama rudal lainnya yang tak kalah sangar, seperti S-300, Sky Dragon 50, dan NASAMS,
menggunakan sistem pemandu yang manakah mereka? Dan bila ditelaah dari
cara kerjanya, maka kecenderungannya mengarah pada sistem pemandu jenis
pertama. Lantas apa yang menjadi keunggulan sistem pemandu jenis kedua,
yakni Command to Line of Sight Systems. Bo Almqvist menyebut bahwa opsi
yang dipilih Saab pada jenis pemandu tersebut karena dianggap lebih
tahan terhadap jamming, kemudian ada kemampuan self destruction, dan presisi yang lebih tinggi pada pengenaan sasaran.
Penulis dengan simulator RBS-70 NGDalam pemahanan di dunia rudal hanud bisa ditekankan, bahwa pada sistem pemandu radar atau IR (Infra Red) homing missiles, main intelligent system berada pada rudal. Sebaliknya pada sistem pemandu Command to Line of Sight Systems, main intelligent system
berada di ground system (pada pengendali di darat). Yang jelas diantara
kedua sistem pemandu punya keunggulan tersendiri, maka tak heran bila
pihak user, seperti Arhanud TNI AD mengadopsi dua sistem pemandu pada
arsenal rudal hanud yang dimiliki saat ini. (Haryo Adjie)Indomil.
Tanpa hiruk pikuk soal ToT (Transfer of Technology), dua
helikopter ringan pesanan Direktorat Kepolisian Udara (Polisi Udara) RI
jenis Bell 429 GlobalRanger kini telah rampung diproduksi, bahkan
terlihat sudah mengudara di fasilitas manufakturnya. Penandatanganan
pengadaan dua helikopter dilakukan pada ajang Singapore AirShow 2016.
Kehadiran Bell 429 GlobalRanger dilakukan sebagai langkah peremajaan
pada armada unit helikopter NBO-105 yang sudah digunakan Polri sejak
beberapa dekade.
Seperti terlihat di dalam foto,dua Bell 429 GlobalRanger Polri telah
siap mengudara, namun belum ada informasi mengenai kapan waktu
pengiriman unit helikopter tersebut ke Indonesia. Melihat kebiasaan
pengiriman helikopter dari lokasi manufaktur, besar kemungkinan Bell 429
GlobalRanger akan didatangkan secara teruruai, untuk kemudian dirakit
di Indonesia.
Sebuah seremoni kecil saat penandatanganan kontrak pembelian 2 unit Bell 429 untuk Polri.
Bell
429 ditenagai twin engine Pratt & Whitney Canada PW207D1 turboshaft
, menjadikan helikopter ini dapat mencapai kecepatan maksimum hingga
287 km per jam. Dengan jangkauan terbang sampai 722 km, Bell 429 dengan
kapasitas bahan bakar 821 liter mampu melaju dengan kecepatan jelajah
273 km per jam. Bell 429 punya kemampuan multirole, selain laris
digunakan pihak sipil dan kepolisian internasional, pihak AL Australia
(RAN) juga mengoperasikan Bell 429 di Skadron 723. Dengan bekal
clamshell doors di bagian belakang, heli ini juga ideal dipakai sebagai
ambulance udara (medical evacuation). Sementara untuk misi intai dan penegakan hukum, Bell 429 bisa disematkan perangkat FLIR (Forward Looking Infra Red), bahkan pada pintu gesernya dapat dipasang door gun.
Bell 429 dilengkapi fasilitas glass cockpit.
Bell
429 saat ini telah beroperasi di kawasa Amerika Utara, Amerika Latin,
Eropa, Timur Tengah, dan Asia Pasifik. Di Asia Pasifik saat ini ada
lebih 30 unit Bell 429 yang beroperasi, dan dua unit milik Polri akan
menambah populasi tersebut. Merunut sejarahnya, Bell 429 adalah hasil
pengembangan dari Bell Helicopter dan Korea Aerospace Industries.
Rancang bangunnya berasal dari generasi Bell 427. Prototipe heli ini
terbang perdana pada 27 Februari 2007, sementara sertfikasi lulus uji
terbang diperoleh dari FAA pada 1 Juli 2009.
“Kami telah menikmati hubungan yang cukup lama dengan Kepolisian
Indonesia, dan bangga untuk mendukung dengan penggunaan produk Bell 206
dan NBell-412 untuk armada Polri saat ini,” uajr Sameer A. Rehman,
Managing Director Bell Helicopter Asia Pasifik dalam siaran pers
(18/2/2016). (Gilang Perdana)
Dalam meladeni peperangan modern, unit pasukan infanteri pun sudah harus mahfum dengan kemampuan drone/UAV (Unmanned Aerial Vehicle).
Dan menunjang kebutuhan taktis infanteri di medan tempur, dikenal drone
dengan ukuran mini untuk menunjang pengintaian. Karena digelar dalam
operasi taktis, drone untuk infanteri ini dapat dikemas di dalam tas
ransel, dan tentunya dapat di rakit dengan cepat bilamana dibutuhkan.
Meski belum dirilis wujudnya, Korps Marinir TNI AL belum lama ini
dikabarkan tengah melakukan pelatihan dan uji fungsi drone yang disebut
UAV Backpack SWG Throw System. Dan saat tulisan ini dibuat, sejumlah
prajurit Marinir sejak 28 Februari 2016 tengah melaksanakan uji fungsi
drone di PT Bhimasena yang terlerak di kawasangan Jatinangor, Bandung,
Jawa Barat. Pelatihan dibuka secara resmi oleh Kepala SUB Dinas
Perbekalan (Kasubdisbek) Dinas Material Korps Marinir (Dismat Kormar)
Letkol Marinir Hendy, Selaku penanggung jawab Kepelatihan.
“Pelatihan uji fungsi drone intai dengan kendali jarak jauh dan mampu
membawa muatan baik senjata maupun muatan lainnya. untuk memberikan
bekal dan meningkatkan kemampuan serta pengetahuan kepada prajurit
Denjaka, Batalyon Taifib, dan Brigade Infanteri Korps Marinir. Sasaran
dalam latihan ini adalah agar para peserta mampu mengawaki serta
meningkatkan pengetahuan drone yang berfungsi untuk mengintai dengan
kendali jarak jauh dan mampu membawa muatan baik senjata maupun muatan
lainnya. Supaya Korps Marinir bisa menghadapi perkembangan teknologi.
RQ-11 Raven
Nano drone PD 100 Black Hornet
Sembari
menunggu kabar apa persisnya jenis drone yang digunakan Korps Marinir,
sejatinya drone model backpack sudah lazim diterapkan di lingkungan
sipil. Dikemas dalam ransel yang kompak dan terlindung, maka saat
dibutuhkan drone dapat cepat digelar. Seperti contohnya pasukan
infanteri AS di Irak dan Afghanistan menggunakan drone pesawat RQ-11
Raven. (Bayu Pamungkas)
Mock up pesawat N-245 PTDI di International Maritime & Aerospace (LIMA) exhibition, Malaysia. (credit photo :Ainonline)
Dunia industri penerbangan Indonesia terus bergerak mengejar
kemandirian di bidang pembuatan pesawat. Kendaraan udara ini sangat
dibutuhkan oleh negara kepulauan seperti Indonesia, di mana penduduk
membutuhkan transportasi yang cepat.
Untuk itu PT Dirgantara Indonesia atau PTDI berencana membuat pesawat
baru berkapasitas kurang lebih 50 penumpang. Pesawat N-245 itu akan
dikerjakan PTDI dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional atau
Lapan, dengan model hampir sama dengan pesawat N-235. Direktur Utama PTDI, Budi Santoso mengatakan, PTDI saat ini mulai
merencanakan proyek pengerjaan pesawat yang dilengkapi teknologi Short
Take-Off and Landing (STOL) atau mampu tinggal landas dan mendarat di
landasan pendek, yakni 800 meter, seperti yang dilansir oleh Viva.co.id , 28/2/2017.
“Hanya 25 persen baru lainnya enggak. Kami akan ambil sayap pesawat
N-235, yang dipakai N-295. Engine pakai N-295 tapi dikurangi. Dari N-235
lebih panjang 1,8 meter. Perubahan penting di bagian belakang pesawat,”
ungkap Budi kepada Viva.co.id di PTDI, Bandung, Jawa Barat, Senin 27
Februari 2017. PTDI tak ingin bersaing dengan perusahaan pesawat raksasa dunia
seperti Airbus dan Boeing. Karenanya yang disasar adalah pasar pesawat
dengan kapasitas 50 penumpang. Rencananya pesawat itu akan diperkenalkan
kepada publik, usai pesawat N-219 terbang perdana pertengahan tahun
2017. Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin mengatakan setelah pengembangan
pesawat N219 yang sudah memasuki tahap akhir, diharapkan dapat terus
berlanjut ke pesawat N245 dan N270.
Jet tempur taktis Hawk 109/Hawk 209 TNI AU sudah lazim dipasangi
rudal udara ke permukaan Raytheon AGM-65 Maverick, dalam sekali terbang
jet tempur single engine besutan British Aeropsace ini dapat membawa dua
unit AGM-65 Maverick. Dan belum lama berselang, Skadron Udara 12 “Black
Panther” Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru, pada Senin (20/2/2017) telah
melaksanakan latihan tempur diatas udara wilayah Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD). Lima unit Hawk 109/Hawk 209 dikerahkan dengan
masing-masing mengusung rudal AGM-65 Maverick.
Untuk misi penghancuran, Hawk 109/Hawk 209 di setting untuk
membawa rudal AGM-65G Maverick. Ada label seri “G”menyiratkan bahwa ini
adalah seri keluarga Maverick yang beroperasi dengan sistem pemandu
infra red. AGM-65G sendiri berasal dari pengembangan AGM-65D dan
diluncurkan perdana pada Februari 1986. Dengan hulu ledak seberat 136
kg, AGM-65G memang pas untuk menghajar sasaran dari jarak jauh, termasuk
sasaran favoritnya adalah kapal permukaan. Bobot total AGM-65G ditaksir
mencapai 301,5 kg. Bila Hawk 109/Hawk 209 hanya bisa menggotong dua
unit Maverick, maka F-16 Fighting Falcon bisa membawa empat unit
Maverick.
Resminya AGM-65G mampu melesat dengan kecepatan 1.150 km per jam,
sementara jarak jangkaunya ada di rentang 13 – 27 km (tergantung sudut
ketinggian pelepasan rudal). Karena merupakan alutsita berharga tinggi,
untuk uji cobanya pun harus selektif, Hawk Skadron Udara 1 TNI AU pernah
melaksanakan uji tembak rudal ini pada bulan Juni 2011 di Air Weapon
Range (AWR) Pulung, Ponorogo, Jawa Timur dengan melibatkan tujuh pesawat
Hawk 109/209.
Pakai TGM-65 Maverick?
Dalam misi latihan tempur 20 Februari lalu, lima pesawat jenis Hawk ini take off
dari Lanud Sultan Iskandar Muda (SIM), Blang Bintang, Aceh Besar,
Setelah berputar-putar di udara Tanah Rencong sekitar 45 menit, pesawat
ini kembali ke Lanud. Pada sesi pertama, ada tiga pesawat yang terbang
disusul dua pesawat lainnya. Kelima pesawat ini terbang pada ketinggian 6
ribu kaki. Lokasinya 15 mil dari Lanud SIM di sisi barat dan timur.
Foto: detik.comNamun
melihat dari foto yang dipublikasikan di beberapa media, Nampak rudal
Maverick yang terpasang di Hawk 109/Hawk 209 dilengkapi cincin (ring)
berwarna putih. Jenis Maverick dengan ring putih menandakkan bahwa
rudal tersebut adalah TGM-65, jenis rudal latih yang juga dimiliki TNI
AU dalam paket pembelian Maverick pada dekade 90-an. TGM-65 resminya
adalah Training Groung Missile-65. Ditandai dengan cincin putih yang
berarti dummy dipakai sebagai prasarana latihan penerbang dalam
hal pembidikan di udara. Mempunyai sistem serupa dengan AGM-65, cuma
tidak dilengkapi motor roket, jadi tidak dapat diluncurkan.
Selain TGM-65, TNI AU juga memiliki MLT-65, yakni Munition Load
Training-65. Digunakan para teknisi di darat untuk latihan loading dan
unloading agar terlatih sewaktu memasang Maverick yang asli. MLT-65
mempuyai bentuk, berat, warna sama dengan rudal asli, dan ditandai
cincin biru. Karena mempunyai kemiripan dengan rudal asli, sering
dipakai saat static show. Masih ada lagi MMT-65, yaitu Munition
Maintenance Training. Dipakai teknisi guna mengecek sistem alat bidik
yang ada di pesawat, untuk membedakan dari jenis lain alat peraga ini
bercincin kuning. (Gilang Perdana) Indomil.
Di arsenal jet tempur TNI AU, kodrat Hawk 109 dan Hawk 209 sudah
dipatok sebagai penempur lapis kedua yang punya peran tempur taktis.
Meski dari aspek payload ada perbedaan, tapi keduanya dapat
menggotong jenis senjata yang serupa, bahkan Hawk109/Hawk 209 sama-sama
tidak dilengkapi kanon internal. Namun bila ditelaah lebih dalam, Hawk
209 sanggup terbang lebih lama dan lebih jauh berkat adanya fasilitas air to air refueling, berbeda dengan Hawk 109 yang tandem seat, jet tempur yang dijuluki Lead In Fighter Trainer ini harus pasrah terbang sesuai kapasitas tangki bahan bakar.
Sejak keluarga Hawk 100 mulai dirilis British Aerospace (BAe) pada
awal dekade 90-an, berlanjut ke akhir tahun 2016, tidak satu pun varian
Hawk 100 yang dilengkapi fasilitas refueling probe. Kodrat Hawk 100
(untuk versi TNI AU disebut Hawk 109) hanya dipatok pada jet latih
tempur dengan kemampuan serba terbatas, terlebih dari segi endurance.
Baru kemudian ada gebrakan yang terbilang revolusioner, di pameran
dirgantara Aero India 2017 yang berlangsung 13 – 18 Februari lalu di
Bangalore, BAe Systems dan Hindustan Aeronautics Limited (HAL) resmi
meluncurkan versi terbaru Hawk yang paling mutakhir, diberi label
Advanced Hawk, jet latih tempur dengan kemampan ground attack ini dilengkapi refueling probe.
India yang berstatus rawan pecah konflik dengan Pakistan, memang
berusaha menyiapkan kekuatan udara dengan segala upaya. Selain
bintang-bintang utama seperti Sukhoi Su-30MKI, Mirage 2000, MiG-29,
Specat Jaguar, MiG-21 Bishon, dan Tejas, AU India juga menyiapkan bala
bantuan cadangan, yaitu bilamana diperlukan armada jet latih tempur
diharuskan dapat mengambil peran dalam babak pertempuran. Dan yang
dipersiapkan sebagai penempur cadangan lapis kedua adalah Hawk MK132. Air refueling probeIndia
sampai saat ini menjadi pengguna terbesar keluarga Hawk 100, setidaknya
AU India mengoperasikan 106 unit Hawk 132 yang disokong mesin
Rolls-Royce Adour Mk 871. Karena India membeli dalam jumlah besar, maka
nilai ToT (Transfer of Technology) yang didapat juga
signifikan, ini terbukti dengan HAL yang merilis versi Hawk i pada awal
tahun ini. Nah, menengok kebisaan Hawk 200 yang dibekali air refueling
probe, menjadikan HAL terobsesi untuk menawarkan versi baru Hawk 100,
dan yang ini disebut Advanced Hawk.
Karena Advanced Hawk tak hanya diproyeksi untuk kebutuhan India, agar
moncer dalam pasar ekspor, sedari awal HAL telah melibatkan BAe Systems
dari Inggris pada rancangan Advanced Hawk. Bukan sekedar pemasanan air
refueling probe pada bagian hidung, sejumlah pemaharuan dilakukan untuk
mengurangi tuntutan pelatihan pada pesawat tempur utama yang memakan
biaya operasional besar.
Meski sosoknya tak berbeda dengan Hawk 109 milik TNI AU, tapi
sejumlah peningkatan telah dilakukan pada Advanced Hawk, diantaranya
pada bagian sayap ekor dibekali defensive aids suite, pada bagian ini
terdapat komponen RWR (Radar Warning Receiver) dan counter measure
dispensing system. Guna membawa jenis senjata yang lebih beragam, pada
struktur sayap telah diberi kekuatan pada combat flap.
Pada bagian kokpit juga di-upgrade dengan keberadaan datalink, sensor
simultan,digital head up display, autopilot, dan ground proximity
warning system. Terkhusus untuk kapasitas beban, Advanced Hawk sudah
dibekali smart weapon enabled, laser designation pod, dan centerline
dual purpose fuel. Di Aero India 2017, beberapa senjata yang dipajang
untuk Advanced Hawk seperti smart bomb Paveway, ruda udara ke permukaan
Brimstone, dan rudal udara ke udara Cobham.
Lain dari itu, Advanced Hawk dilengkapi perangkat elektronik yang
serupa Hawk 109, seperti komponen elektronik pada bagian hidung berupa
sensor penjejak laser (laser range finder) dan perangkat FLIR (Forward
Looking Infra Red). (Haryo Adjie)