Minggu, 09 Maret 2014

Singapore Airshow 2014: Potensi Pasar Giring Potensi Konflik


Delapan pesawat jet T-50B Golden Eagle dari AU Republik Korea yang tergabung dalam tim aerobatik Black Eagles, menunjukkan kehebatan manuver mereka di langit Changi. Berbagai aksi formasi maupun solo yang mendebarkan ditampilkan. Lagu tradisional Arirang pun ikut mengiringi tarian udara. Penampilan jet supersonik T-50 di Singapore Airshow (SAS) 2014 yang berlangsung dari 11-16 Februari selain menarik mata, juga memiliki arti lebih jauh. Berikut laporan lengkap wartawan Angkasa RB Sugiantoro, A. Darmawan, Dudi Sudibyo, dan Reni Rohmawati langsung dari Changi.

            Setidaknya menunjukkan betapa Korea kini telah menjadi produsen sistem pertahanan yang patut diperhitungkan dunia. Hal ini pun diperkuat oleh enam pesawat turboprop KT-1B WongBee, juga asal Korea, yang dengan mulus dan sempurna ditampilkan oleh tim aerobatik Jupiter (Juru Pendidik Terbang) Aerobatic Team (JAT) TNI AU pada ajang yang sama. Inilah penampilan perdana JAT di SAS. Pada saat hampir bersamaan, di Jakarta pun berlangsung seremoni penyerahan 16 pesawat T-50i dari Kemhan kepada TNI AU. Dengan telah diterimanya pesawat ini oleh Indonesia, maka Korea menjadi negara keenam di dunia yang telah mengekspor jet supersonik.

            Keberhasilan Korea Selatan dalam penguasaan teknologi dan industri pertahanan, tidaklah terlepas dari situasi geopolitik yang dihadapinya. Ancaman dari Korea Utara sangatlah nyata, ditambah lagi dengan relasi kurang kondusif dengan Jepang dan China, baik sebagai dampak kepahitan sejarah masa lalu maupun konflik wilayah perairan dan pulau-pulau karang. Konflik segitiga ini tak terbatas hanya pada soal prestis atau kebanggaan nasional, namun dikarenakan pula oleh keyakinan bahwa dasar laut yang mereka sengketakan itu kaya minyak dan gas alam. Hal ini pun serupa dengan konflik di Laut China Selatan yang melibatkan enam negara sekaligus.

            Sebagaimana halnya Israel yang selalu merasa terancam dalam, sehingga memaksanya menguasai teknologi sistem pertahanan yang maju, maka Korsel pun merasa sebagai keharusan hidup-mati untuk menguasai teknologi. Setelah menguasai dan mewujudkannya sebagai produk, maka kerja selanjutnya selain memanfaatkan untuk kepentingan sendiri, adalah memasarkannya. Ketegangan di beberapa kawasan Asia Pasifik tentu membantu pemasaran. “Setiap kali Korea Utara mengeluarkan ancaman, maka itu membantu penjualan kami,” aku pejabat Raytheon, produsen sistem hanud Patriot dari AS.

            Korsel pun merasakan hal serupa. Dia tidak hanya menjual mobil dan telepon pintar, tetapi dalam tahun-tahun terakhir ini Seoul tercatat sebagai salah satu pengekspor alat pertahanan yang peningkatannya terpesat di dunia. Salah satu kunci keberhasilannya, karena pemerintah kompak mendukung sepenuhnya. Nilai ekspor pertahanannya tahun lalu mencapai 3,4 miliar dolar, padahal 2006 baru 250 juta dolar. Setelah mengekspor 16 T-50 ke Indonesia, Korsel berhasil menjual 24 jet ke Irak, dan kini pada tahap akhir menjual 12 jet ke Filipina, guna menghadapi sikap agresif China dalam sengketa Kepulauan Spratly. Taiwan pun kabarnya tertarik T-50, untuk menggantikan ke-60 F-5E/F Tiger yang lima tahun lagi masuk pensiun.

            Penampilan T-50 di Singapura, juga tak lepas dari impian terbesarnya, yaitu menjual pesawat ini kepada AS, yang berencana mengganti armada pesawat latih lanjut AU AS yang telah tua. Apabila penjualan ke AS yang akan mencapai lebih dari 300 pesawat terwujud, maka dapat dipastikan jet Korsel ini menjadi best-seller di dunia. Selain KT-1 dan T-50 dengan berbagai variannya, Korsel pun berambisi mengekspor helikopter serba-guna Surion, dengan target hingga tahun 2020 terjual sekitar 300 unit.

            Selain berupaya keras mandiri dalam pengadaan sistem dan alat pertahanan, saat ini Korsel pun terus meningkatkan kekuatannya. Pengadaan pesawat tempur tercanggih Lockheed Martin F-35JSF sebanyak 40 buah sudah diprogramkan walau belum diteken. Seoul memutuskan membeli F-35 karena Jepang pun melengkapi diri dengan pesawat serupa, sementara China terus mengembangkan pesawat tempur berkemampuan siluman. Seoul tetap menjadi sasaran utama Boeing untuk F-15 Silent Eagle, yang diklaim sulit terlacak radar. Sedangkan untuk modernisasi F-16 yang lebih dari 130, Korea telah mengontrak BAE Systems, termasuk pemasangan radar tercanggih AESA (active electronically scanned array).

            Masih dalam upaya kemandirian, Korsel kini memulai lagi program KF-X, pembuatan pesawat jet tempur generasi 4,5 yang dikerjasamakan dengan Indonesia. Program ini sempat terhenti akibat silang pendapat politisi Korsel, karena dari mereka ada yang bersikukuh bahwa dananya lebih baik dipakai untuk pengadaan pesawat yang sudah siap di pasaran daripada membuat sendiri.

Jepang mulai berubah
              Dalam situasi konflik politik dan wilayah perairan dengan China maupun Korea, Jepang pimpinan PM Shinzo Abe sejak akhir 2012 mulai menunjukkan perubahan sikap semakin keras. Untuk anggaran pertahanan 2014, pemerintahnya minta kenaikan tiga persen dari tahun lalu. Ini berbeda dengan pendahulunya yang malah cenderung menguranginya. Memang, sikap baru Jepang ini tidaklah lepas dari agresivitas China, baik dalam peningkatan kekuatan maupun sikapnya dalam sengketa teritori, baik di Laut China Timur maupun Selatan. Seperti pengumuman sepihak China beberapa bulan lalu tentang diberlakukannya Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ), yang juga meliputi gugusan pulau yang saling diklaim oleh kedua pihak.

            Peningkatan anggaran pertahanan oleh Jepang segera diwujudkan dalam Strategi Keamanan Nasional, berupa komitmen untuk pengadaan 28 dari 42 pesawat F-35 yang pembeliannya telah diputuskan. Dari jumlah ini, empat F-35A pertama akan diterima pada 2016 dari Lockheed Martin, sedangkan sisanya dikerjakan di fasilitas Mitsubishi Heavy Industries di Nagoya, dengan rencana pesawat pertama dirampungkan 2017.

            Selain itu Jepang akan membeli 17 tiltrotor MV-22 Osprey dari Bell-Boeing, seperti yang dioperasikan Marinir AS di Okinawa. Pesawat ini diarahkan untuk mendukung pertahanan pulau-pulau terluar. Dengan demikian Jepang akan menjadi negara pertama di luar AS yang mengoperasikan pesawat ini. AS menampilkan sepasang Osprey Marinir AS di Changi, salah satunya untuk demo terbang. Pesawat ini dipromosikan di kawasan Asia Pasifik, mengingat Samudera Pasifik dikelilingi tak kurang dari 42 negara, dan dari jumlah ini sekitar 10 negara memiliki  korps marinir yang tentunya memerlukan sarana angkut dinamis seperti Osprey.

Meski batal memboyong CN-235 versi Patroli Maritim akibat selisih paham penamaan KRI Usman-Harun, PT Dirgantara Indonesia tetap mampu menoreh sukses di ajang Singapore Airshow 2014. Mereka berhasil mengajak Airbus Helicopters membangun kerjasama strategis regional di bidang maintenance, repair and overhaul (MRO). Kerjasama untuk membangun kepuasan operator helikopter buatan AH ini akan melengkapi kebangkitan DI setelah melewati fase restrukturisasi dan penyehatan finansial.

Memorandum of Understanding (MoU) kerjasama ditandatangani Dirut DI Budi Santoso dan Dirut Airbus Helicopters Guillame Faury, 12 Februari di ajang Singapore Airshow 2014. Lewat perjanjian skala regional ini kantor pusat AH di Marignane, Perancis, akan mengolah pembagian kerja yang baru di antara fasilitas MRO di sejumlah perwakilannya di Asia Tenggara manakala DI sudah siap memulai bisnis di bidang yang sama. AH tak mengkhawatirkan persaingan yang tidak sehat mengingat pasar yang amat besar di wilayah ini.

Seperti disampaikan Budi Santoso, kerjasama DI-Airbus Helicopters sebenarnya telah berlangsung lama dan dibangun atas dasar kepercayaan. Untuk itu kedua pihak masih terus berusaha mencari celah bisnis  yang saling menguntungkan. “DI adalah mitra terpenting kami. Lewat kerjasama ini kami berharap dapat mengejar aspek-aspek yang baru,” sambut Guillame Faury.

DI mendapati bidang perawatan dan perbaikan helikopter di dalam negeri sebagai celah bisnis yang amat prospektif, terutama karena populasi helikopter buatan AH di Indonesia yang amat besar. Bagi AH, kerjasama ini dinilai strategis karena akan menyeleraskan proyek-proyek yang ada dengan kapabilitas yang dimiliki AH Malaysia, Singapura dan Indonesia (Cibubur, Jawa Barat). Dalam waktu dekat, ketiga perwakilan tersebut dan DI akan dipanggil duduk bersama melihat peta pasar yang ada. 

Saat ini, populasi helikopter buatan AH di dalam negeri mencapai 500 unit. Dari jumlah tersebut, ragamnya cukup bervariasi mulai dari NAS-330 Puma, NAS-332 Super Puma, NBO-105, EC-725 Cougar, AS-365 Dauphin sampai EC-120 Colibri. Oleh karena semua butuh dukungan teknis berkala untuk menjamin kelayakan terbangnya,  permintaan akan kontrak perawatan serta perbaikan masih cukup besar untuk dikerjakan fasilitas MRO di ketiga perwakilan AH Asia dan DI kelak.

Menanggapi inisiatif strategis ini, pimpinan AH berjanji akan memfasilitasi kebutuhan DI. “Salah satu yang paling kami perlukan adalah EASA Certificate untuk CASR 145. Dengan sertifikat ini, nantinya fasilitas perawatan DI bisa merawat dan memperbaiki helikopter buatan AH dengan approval dari EASA (Badan Kelaikan Udara Eropa). Untuk mendapatkannya memang tidak mudah, karena Indonesia bukan anggota komunitas Eropa. Tetapi dengan perjanjian bisnis yang saling menguntungkan, hal ini bisa dipecahkan,” ungkap Kepala Divisi Pemasaran DI, Arie Wibowo, kepada Angkasa.

Ia mengungkap, tak dimilikinya sertifikat EASA (sejauh ini hanya berbekal sertifikat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara) telah membuat jasa service and support di perusahaannya sulit berkembang. Hal itu bisa dimaklumi karena operator lebih suka “menitipkan” helikopternya di fasilitas dengan sertifikat berstandar internasional. Begitu pun, dirinya tak menampik bahwa sejumlah problem internal telah ikut memperburuk citra fasilitas DI di pasar regional.

“Agar kepercayaan bisa dibangun, kelemahan-kelemahan internal itu harus diperbaiki dulu. Untuk itu dalam setahun kami akan kerja keras membenahi struktur dan kualitas SDM, serta merevitalisasi peralatan agar nanti benar-benar sesuai standar yang ditetapkan EASA. Kami berharap sertifikat EASA bisa diterima pada 2016,” ungkapnya optimis.

Berlari cepat
Angkasa mencatat, kerjasama DI-AH (sebelumnya, Eurocopter) telah berlangsung sejak awal berdirinya DI (sebelumnya, IPTN) pada 1976. Kala itu selain membuat pesawat sayap tetap NC-212 dan CN-235, pabrik pesawat terbang yang terletak di Bandung, Jawa Barat ini, juga membuat NBO-105 rancangan MBB, Jerman (selanjutnya bergabung dengan Eurocopter). Heli lincah ini terbilang laku, terbukti dengan angka penjualan yang mencapai 122 unit. Selain itu, DI juga ikut membuat/merakit NAS-330 (terjual 11), NAS-332 (20) dan AS-365 (2).

Setelah ini, hubungan keduanya masih berlanjut dengan adanya kontrak pembuatan tailbooms heli EC-725 dan EC-225 (Cougar versi sipil), yang kemudian dilanjutkan dengan pembuatan upper & lower fuselage heli yang sama. Untuk kontrak jangka panjang pengerjaan komponen EC-725/225 yang dikabarkan telah dimulai sejak 2008 ini, DI mendapat 43 juta dolar AS. Disamping AH, DI juga merupakan mitra setia Airbus Military (sebelumnya CASA) yang belum lama ganti nama jadi Airbus Defence & Space. Dengan anak perusahaan Airbus ini, DI membuat, merakit dan mengembangkan NC-212 serta CN-235, dan selanjutnya CN-295.

Operator utama NC-212, CN-235 dan CN-295 di dalam negeri adalah TNI AD, AL dan AU. Setelah menyerahkan satu unit CN-235 versi Patroli Maritim, Oktober 2013, tahun ini DI akan menyerahkan lagi kepada TNI AL dua unit lainnya yang telah dipesan. “CN-235 masih menjadi favorit, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Pesawat ini dibeli Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Brunei, Uni Emirat Arab, Pakistan, Senegal dan lainnya,” ujar Direktur Komersial dan Restrukturisasi DI, Budiman Saleh, menguti Kompas (15/2/2014).

Atas berbagai kontrak bisnis tersebut, kini kondisi DI memang telah berangsur pulih. Dalam beberapa tahun, perusahaan ini telah menangguk laba. “Jika pada 2013 kami telah memperoleh laba bersih Rp 10,272 miliar, tahun ini ditargetkan mencapai Rp 66,5 miliar,” tambahnya.

2014 akan menjadi tahun menentukan. Pasalnya, selain harus merakit pesawat dan berbagai komponen pesanan pesanan luar negeri, DI harus “berlari cepat” mengerjakan komuter 19 kursi N-219. Pesawat yang utamanya dipesan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri ini ditargetkan selesai pada 2015. Pun di ajang SAS, program pembuatan pesawat ini cukup menyedot perhatian. Tak saja dari calon pembelinya, tetapi juga dari vendor-vendor yang ingin ikut terlibat di dalamnya.

Telah dipastikan, Pratt & Whitney akan menyuplai mesin PT6-42 sementara Garmin akan membuatkan avionik untuk pesawat murah berbobot 15.000 pound ini. Kepada Angkasa, dengan mata berbinar, Manager Pengembangan Teknologi & Produk Baru DI sekaligus Chief Engineer N219, Palmana Banandhi mengungkap, dari titik impas sebanyak 20 unit, pesanan atas pesawat ini sudah melampaui 100 unit.  Tingginya minat customer atas pesawat ini boleh jadi dilatari konsep yang melandasi perancangannya.

Bentuknya sederhana, harganya murah dan dirancang mudah ditangani. DI tak mau merancang yang muluk-muluk karena pesawat ini akan dioperasikan di daerah terpencil. Misinya untuk menghidupkan perekonomian daerah dan menjadi feeder bagi pesawat-pesawat yang lebih besar. “Jika pesawat sekelasnya rata-rata dihargai 7-7,5 juta dolar AS, pesawat ini cukup 5 juta dolar saja,” pungkas Palmana.

Singapore Airshow yang digelar setiap dua tahunan, tiap kali digelar semakin kental menonjolkan kemampuan industri strategis militer negeri yang sedikit lebih luas dari Pulau Batam itu. Sehingga terasa nuansanya semakin kental ke peralatan militer dibanding industri angkutan udara sipil.

            Dalam arena pameran statis SAS, kehadiran pesawat penumpang yang jumlahnya menyusut dibanding sebelumnya, kalah pamor dengan digelarnya pesawat militer milik AU Singapura, terutama sekali ujung tombaknya pesawat tempur supersonik Boeing F-15SG Eagle, lengkap dengan persenjataannya. Sayapnya selain dipersenjatai rudal AIM-9P Sidewinder, rudal andalan F-16 Fighting Falcon TNI AU, juga ditambahi rudal AMRAAM yang lebih ampuh dan bom pintar GBU-10 dan 12 Paveway.  

Tidak hanya satu F-15SG, tapi tiga pesawat dipamerkan pada arena pameran statis, mengundang antrian mengular panjang para pengunjung dapat kesempatan duduk di dalam kokpit. Terlihat warga Singapura sangat bangga memiliki pesawat tempur lini depan angkatan udaranya, satu-satunya negara anggota ASEAN yang mengoperasikan jet tempur ini, yang juga andalan AU AS.

            Tidak saja F-15SG, tapi juga jet tempur F-16 Block 52 yang paling mutakhir dipamerkan, bersanding dengan pesawat tempur Northrop F-5E/F Tiger yang di-retrofit industri pertahanan Singapura sehingga menambah kemampuannya.

            Kemampuan retrofit pesawat militer, merupakan salah satu achievement industri strategis militer Singapura yang telah berhasil dikuasai negeri Lee Kuan Yew, disamping peralatan militer lainnya yang tidak ada hubungan langsung dengan kedirgantaraan. Seperti senjata yang dilengkapi peralatan optik, kendaraan lapis baja, kendaraan serba-guna militer yang dapat digunakan di darat maupun di air.

            Kehadiran peralatan militer semakin mengentalkan bahwa ke depannya SAS akan lebih menonjolkan segala hal yang berkaitan industri pertahanan (untuk membedakannya dengan Dubai Airshow yang telah mencuri posisi Singapura di bidang industri pesawat angkut sipil). Di sisi lain, pencapaian Singapura secara militer menumbuhkan kepercayaan diri dalam mempertahankan negeri kepulauan ini dari ancaman yang (mungkin) akan muncul.

            Mungkin tidak salah bila disebut, Singapura meniru jejak Israel mengingat setelah pisah dari Federasi Malaysia di tahun 1960-an, langsung membuka hubungan diplomatik disusul kerjasama militer dan pertukaran ilmu dengan negara tersebut. Di luar Israel dengan pencapaian industri pertahanan tinggi, tercatat negara kecil Swedia dan Swiss yang sektor industri strategisnya diakui dalam dunia persenjataan.          Saab dari Swedia yang di Indonesia lebih dikenal dengan produk mobilnya, merupakan produsen jet tempur Saab Gripen yang diakui dunia.

Di panggung SAS, diperkenalkan helikopter tanpa awak dan sejumlah pesawat tanpa awak (UAV) buatan tuan rumah Singapura dan Super Heron HF buatan Israel yang dipamerkan di depan Israel Aerospace Industries (IAI) Chalet CD03. HF adalah singkatan heavy fuel yakni bahan bakar Jet A1 (diesel) sebagai sumber bahan propulsinya.

Kalah pamor
            Langkah Singapura ini tampaknya merupakan upaya negara ini merebut kembali posisi peringkat ketiga pameran kedirgantaraan dunia, setelah Paris Airshow di Perancis dan Farnborough Air Show di Inggris yang tahun 2013 lalu bergeser ke Dubai Airshow dengan transaksi 200 miliar dolar AS saat pameran ditutup. Sementara SAS 2014 ditutup dengan transaksi senilai 34 miliar dolar, masih belum berhasil merebut kembali peringkat yang bertahun-tahun pernah disandangnya.

            Pameran tahun ini mungkin belum, tapi kemungkinan dua tahun mendatang akan lain mengingat pasar dunia sudah bergeser ke belahan bumi Asia sebagai pertumbuhan tercepat pasar penerbangan dunia. Airbus memproyeksikan China akan menggantikan AS dalam jumlah pesanan pesawat kurun waktu hingga 2030 bersama negara Asia lainnya termasuk Indonesia dan India yang memiliki potensi pemesanan besar pesawat udara.

            Kehadiran pesawat mid-size widebody Airbus A350XWB, satu-satunya produk terbaru di SAS buatan pabrik Eropa Airbus diharapkan dapat mendongkrak keharuman pameran ini, mengingat inilah untuk pertama kali pesawat badan lebar tersebut dipamerkan kepada publik dunia. Tahun lalu memang pesawat yang dijuluki hush airliner karena mesinnya yang nyaris tidak terdengar saat terbang, hadir di Paris Airshow. Tetapi hanya terbang lintas dan tidak dipamerkan secara statis.

            Meski ada pesaing 787 Dreamliner yang dipinjam Boeing dari Qatar Airways untuk dipamerkan, tidak ayal lagi primadona pameran adalah A350XWB yang terbang anggun mempesona serta mengundang kekaguman luar biasa para peserta dan pengunjung. Meski demikian kehadirannya kurang mampu menggeser kekaguman yang disajikan industri strategis militer tuan rumah Singapura.

            Airbus memproyeksikan kawasan Asia-Pasifik kurun waktu 20 tahun mendatang butuh sekitar 29.200 pesawat penumpang dan kargo senilai 4,4 triliun dolar AS, di antaranya 7.270 pesawat twin aisle badan lebar jenis A330 dan A350XWB, termasuk produk rivalnya Boeing 787 Dreamliner dan varian baru Boeing 777X, selain 1.170 very large aircraft (sejenis jumbo dan superjumbo) dan 20.240 pesawat lorong tunggal (single aisle).

            “Armada pesawat yang dioperasikan maskapai penerbangan Asia-Pasifik saat ini sebanyak 4.960, kurun waktu 20 tahun mendatang akan mengoperasikan 12.130 pesawat,” ungkap John Leahy, Airbus Chief Operating Officer Customers pada pemaparannya hari pertama pameran sebelum pucuk pimpinan Airbus Fabrice Bregier meneken kontrak pesanan pasti dan opsi 90 Airbus A320 senilai 9,1 miliar dolar AS  dengan maskapai berbiaya murah Vietnam VietJet Air. Pesanan pasti tersebut terdiri dari 42 Airbus A320neo, 14 A320ceo, dan tujuh A321ceo.

Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia tak pernah ketinggalan memasarkan produknya di Singapore Airshow. Kali ini kontrak besar yang ditandatangannya adalah dengan Honerywell dan Sriwijaya Air, yang menyepakati kerjasama senilai 2 juta dolar AS per tahun dengan rentang waktu dua tahun.

Sejak 1998, GMF tidak pernah absen membuka stan di ajang pameran kedirgantaraan di Singapura itu. Bahkan beberapa tahun kemudian, pameran sejenis di Dubai pun kerap diikutinya. Pasar Asia bahkan pasar global, menjadi target utama pemasaran fasilitas MRO (Maintenance Repair Overhaul).

Tahun ini di Singapura, GMF  menyepakati kerjasama dengan Sriwijaya Air dan Honeywell International Inc. untuk mendukung perawatan wheel and brake pesawat B737 Next Generation dan B737 Classic milik Sriwijaya Air. Perjanjian ini  ditandatangani EVP Base Operation GMF, Agus Sulistyono dan Direktur Teknik Sriwijaya Air, Ananta Wijaya, serta Brian Davis, VP Airlines Asia Pacific Region Honeywell pada 12 Februari lalu. 

            Kata Agus, model kerjasama ini merupakan terobosan menarik untuk ketiga pihak. Masing-masing pihak memiliki peran berbeda sesuai bisnis intinya. Honeywell sebagai OEM (Original Equipment Manufacturing) berperan memroduksi perlengkapan orisinilnya. Perusahaan dari AS yang menjadi salah satu pemasok utama perlengkapan dan peralatan pesawat komersial ini membuat wheel and brake untukB737-NG dan B737 Classic. Sementara Sriwijaya sebagai operator memiliki hak khusus untuk mendapatkan material dari OEM. GMF sebagai penyedia perawatan pesawat mendapat limpahan kemudahan dari Sriwijaya untuk mendapatkan material tersebut.

             “Material yang kami dapat dari OEM itu untuk mendukung perawatan Sriwijaya Air,” kata Agus, seraya menambahkan bahwa limpahan kemudahan kepada GMF dari Sriwijaya tidak lepas dari kerjasama yang sudah terjalin lama dan menjadi salah satu langganan setia GMF sejak operator ini beroperasi 10 November 2003. Apalagi kali ini Sriwijaya menyerahkan total care armadanya kepada GMF. Tak tanggung-tanggung, Sriwijaya juga menyerahkan perawatan engine CFM56-7 yang pertama kepada GMF.

Mesin juga
GMF memang sudah memiliki kapabilitas dalam perawatan engine/mesin. Kapabilitas itu, antara lain, untuk perawatan CFM56-3, Spey, APU GTCT 85 Series, TSCP 700, dan CFM56-7B, hingga tahap overhaul. Kapabilitas baru GMF dalam melakukan perawatan CFM56-7 sampai overhaul sudah mendapatkan approval dari EASA (European Aviation Safety Agency) dalam audit pada akhir Januari lalu. Untuk memaksimalkan kapabilitasnya ini, GMF berpartner dengan General Electric (GE) dan mendapatkan approval nomor AS9110 dari GE. 

            Untuk aktivitas perawatan APU (Auxiliary Power Unit) baru, APU GTCP-131 9A dan 9B, GMF didukung oleh Honeywell International SARL. Dukungan ini diberikan melalui penandatanganan kerjasama Material Supply and Part Repair Agreemen selama lima tahun, pada hari kedua Singapore Airshow 2014. Honeywell akan memasok kebutuhan material untuk perawatan dan perbaikan jenis APU untuk pesawat B737-800NG Garuda Indonesia dan A320 Citilink.

            Pada waktu yang sama, GMF juga menandatangani kerjasama perawatan APU GTCP 131 9B dengan Aersale. Perjanjian ini ditandatangani oleh Dwyne Adcock, VP Airframe Material Sales Aersale dan Agus itu meraih potensi pendapatan sekitar 275.000 dolar AS dari satu unit APU yang dirawat.

            Menurut Agus, GMF berkomitmen untuk mengembangkan kapabilitas dan kapasitasnya, dengan menguasai perawatan pesawat-pesawat tipe terbaru, terutama B737-NG dan A320, termasuk perawatan engine-nya. Populasi kedua jenis pesawat tersebut, baik di Indonesia maupun di luar negeri, terus bertambah setiap tahun. Sampai saat ini, GMF merupakan fasilitas MRO terbesar di Indonesia dan sudah menguasai sedikitnya 70 persen perawatan pesawat dalam negeri.

Perawatan kabin
Bukan cuma perawatan airframe dan engine pesawat, GMF juga merambah perawatan kabin dan interior. Untuk memperkuat layanan MRO kabin dan interior itu, anak perusahaan Garuda Indonesia ini menggandeng Regent Aerospace Corporation, salah satu perusahaan manufaktur serta MRO kabin dan interior terbesar di dunia. Penandatanganan Master Agreement of Joint Operation Establishment-nya dilakukan oleh CEO GMF AeroAsia Richard Budihadianto dan President of Regent Aerospace Corporation, Reza Soltanian. 

Kerjasama ini ternyata untuk mendukung sang induk perusahaan merealisasikan targetnya menjadi “Airline Skytrax Bintang Lima”. Salah satu syaratnya adalah penampilan, kebersihan, dan fungsionalitas fitur-fitur di dalam kabin pesawat yang dioperasikan oleh sebuah maskapai penerbangan. Regent bersedia memfasilitasi kebutuhan mesin dan tenaga ahli pendamping, sedangkan GMF menyediakan fasilitas dan tenaga kerja untuk layanan MRO.
“Dengan kemampuan ini, peluang pengembangan bisnis perusahaan makin besar. Selain untuk mendukung Garuda Indonesia, layanan ini juga kami pasarkan untuk airlines lain, baik domestik maupun internasional,” kata Richard.

Di ajang Singapore Airshow 2014 itu, GMF memang melakukan banyak aktivitas untuk menjaring peluang bisnisnya agar kian besar. Selain yang disebutkan di atas, beberapa perjanjian dan kerjasama juga dilakukan, seperti dengan Air Asia Indonesia dan JAS Engineering. Dengan JAS Engineering, kerjasama dalam hal line maintenance, sedangkan dengan Air Asia Indonesia untuk perawatan pesawat. “Kami sudah lama menjalin kerjasama dengan GMF dan sudah memperpanjangnya lagi. Di sini hanya mengukuhkan saja,” ujar Soeratman dari Air Asia Indonesia.


T-50i Golden Eagle: “Baby Falcon” Elang Emas Indonesia


Penyerahan 16 unit T-50i Golden Eagle dari Korea Selatan kepada Indonesia di Lanud Halim Perdanakusuma, 13 Februari 2013, menandai resminya Sang Elang Emas bergabung dengan jajaran kekuatan TNI AU. Pesawat yang juga dijuluki “Baby Falcon” ini akan menjadi titik awal kebangkitan Skadron Udara 15 di tahun-tahun mendatang.

                Sehari sebelum penyerahan 16 T-50i, Mekopolhukan Marsekal (Purn) Djoko Suyanto didampingi Komandan Skadron Udara 15 Letkol Pnb Wastum terbang menggunakan T-50i nomor ekor TT-5004 berkelir biru-kuning. Di pesawat yang lain, KSAU Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia juga terbang menggunakan T-50i nomor ekor TT-5012 berkelir hijau toska-abu-abu didampingi Kasiops Skadron Udara 15 Mayor Pnb Hendra Supriyadi. Dari Lanud Halim kedua pesawat terbang dengan tanda panggil Golden Flight menuju ketinggian 15.000-20.000 kaki di atas Pelabuhan Ratu, Jawa Barat selama kurang lebih satu  jam.

                Sebagai mantan penerbang tempur, baik Menkopolhukam (F-5E/F Tiger II) maupun KSAU (A-4 Skyhawk) tentu saja tertantang untuk mencoba mengendalikan sendiri jet latih fly-by-wire buatan Korea Aerospace Industries (KAI) kerja sama dengan Lockheed Martin, AS yang bentuknya mirip F-16 Fighting Falcon ini. Kedua fighter TNI AU tersebut kemudian mencoba kendali sendiri dan melaksanakan beberapa manuver seperi loop, cuban eight, serta barrell roll.

“Seperti Baby Falcon. Bagus, enak,” ujar Menkopolhukam dengan raut wajah berseri dan sedikit berkeringat. Demikian juga halnya dengan KSAU. Terbang dengan tarikan gaya gravitasi yang besar tentu mengasyikkan dan addicted, namun juga badan akan dipaksa menerima tekanan-tekanan dengan bobot berlipat dari bobot tubuh. Beruntunglah karena fisik kedua pejabat dapat dikatakan masih oke. Menkopolhukam dan KSAU juga bukan kali ini saja me-refreh ketahanan tubuh dengan kembali terbang di sela-sela kesibukan keduanya yang sangat tinggi.

Perkuatan TNI
                Seremoni penyerahan 16 T-50i yang dilaksanakan di Lanud Halim Perdanakusuma terbilang cukup meriah. Selain ke-16 pesawat T-50i yang ditampilkan berderet, di lokasi upacara juga dihadirkan pesawat-pesawat baru TNI AU lainnya seperti CN295, EMB-314 Super Tucano, pesawat latih Grob G-120TP-A dan jet tempur Su-30MK2 untuk TNI AU. Sementara untuk TNI AL ditampilkan CN235-220 MPA dan untuk TNI AD helikopter NBell-412EP.

                Prosesi penyerahan dilaksanakan berantai dari Presiden Direktur KAI Ha Sung-yong kepada
Kabaranahan Kemenhan Laksda TNI Rachmad Lubis, lalu kepada Aslog Panglima TNI Marsda TNI Karibiyama, dan terakhir kepada Aslog KSAU Marsda TNI Ida Bagus Anom Manuaba. Penyerahan disaksikan Menhan Purnomo Yusgiantoro, Menkopolhukam Djoko Suyanto, KSAU Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia, KSAD Jenderal TNI Budiman, KSAL Laksamana TNI Marsetio, Duta Besar Korea di Jakarta Kim Young-sun, KSAU Korea Selatan Jenderal Sung Il-hwan, dan pejabat lainya.

Usai prosesi serah terima, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono hadir untuk menyaksikan demo flypass empat T-50i dikawal dua Su-30MK. Setelah itu ditampilkan solo aerobatik Grob G-120TP-A yang memperlihatkan kelincahan dan kecepatan terbangnya sebagai pesawat latih full aerobatic.

Presiden RI kemudian meninjau kokpit T-50i dan mengangkat tangannya. “Untuk Perkuatan TNI,” ujarnya penuh gembira. Setelah itu presiden juga melihat pesawat-pesawat baru lainnya yang dipamerkan.

                Kebahagiaan presiden sangat beralasan karena sesuai pencanangan program perkuatan TNI menuju Minimum Essential Force (MEF), pesawat-pesawat dan alutsista yang dibeli untuk TNI terus berdatangan, membuat TNI tak lagi menjadi yang terlemah di kawasan regional bahkan di tahun 2024 bisa menjadi salah satu kekuatan yang amat diperhitungkan.

                "Pesawat-pesawat ini akan meningkatkan peran TNI dalam mengemban tugas yang lebih besar dalam menghadapi tantangan yang lebih kompleks di masa mendatang,” ujar Purnomo Yusgiantoro. Ia menambahkan bahwa untuk tahun ini masih ada sejumlah pesawat pesanan yang akan datang. Di antaranya adalah 24 unit F-16 setara Block 52, pesawat tempur Super Tucano yang akan lengkap menjadi satu skadron hingga awal semester II tahun 2014, pesawat tanpa awak (UAV) untuk mengisi Skadron UAV di Lanud Supadio, Pontianak, pesawat CN295 sehingga jumlahnya menjadi sembilan, dua CN235, serta satu CASA 212 untuk angkut ringan. Lalu dalam rangka menunggu kegiatan airlift dan Operasi Militer Selain Perang (OSMP), akan datang sembilan pesawat C-130H yang satu di antaranya sudah tiba. Kemudian penambahan pesawat latih Grob G-120TP-A dari 18 unit menjadi 24 unit.

                Untuk pesawat sayap putar, saat ini telah ditambah beberapa jenis heli yakni tiga NAS-332 Super Puma dan kemudian akan datang heli full combat SAR EC-725 Cougar kerjasama dengan Eurocopter sebanyak enam unit. (Roni Sontani)

Beberapa fakta C 130 Hercules TNI AU

  ... terjadi penerbangan ferry terjauh untuk semua jenis pesawat terbang, C-130B AURI terbang sejauh 13.000 mil laut melintasi tiga samudera dari pabrikan ke negara operatornya... "
Satu C-130KC dari Skuadron Udara 32 sedang "menyusui" dua pesawat tempur TNI AU saat gladi HUT ke-66 TNI AU, di Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu (7/4). Indonesia operator terbanyak C-130 di belahan selatan Bumi. (FOTO ANTARA/Widodo S Jusuf)

Indonesia tercatat sebagai negara pertama di luar Amerika Serikat yang mengoperasikan C-130 Hercules.

Latar belakangnya adalah Allan Pope, pilot swasta Amerika Serikat yang bisa ditembak jatuh dan ditangkap seturut PRRI/Permesta pada 1958.

Skuadron Udara 31 Hercules Sang Penjelajah terbitan TNI AU, menuturkan, bermula dari kunjungan Presiden Soekarno kepada koleganya, Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy, akhir 1959.

Kennedy berterima kasih atas kesediaan Indonesia melepas Pope, pilot CIA berstatus sipil itu yang memperkuat AUREV-Permesta, yang ditembak jatuh Kapten Udara Penerbang Dewanto, dalam pertempuran udara.

Ini juga satu-satunya dog fight bersenjata dan menang oleh penerbang tempur TNI AU hingga kini.
Kennedy menawarkan "pengganti" Pope kepada Soekarno, dan berdasarkan "keperluan" dari Panglima AU, Laksamana Madya Udara Suryadarma, AURI memerlukan pengganti pesawat transportasi de Havilland Canada DHC-4 Caribou.

Pilihan kemudian C-130B Hercules, dalam kunjungan Soekarno ke pabriknya, Lockheed (belum bergabung dengan Martin).

Akhirnya 10 C-130B bisa diterbangkan secara ferry ke Tanah Air; yang membanggakan, penerbangan-penerbangan itu dilakukan langsung oleh pilot dan awak AURI.

Saat itu, delapan C-130B kargo dan 2 C-130B tanker bisa dibawa ke Pelabuhan Udara Kemayoran, Jakarta.

"Itu menunjukkan bangsa Indonesia disegani dan memiliki posisi tawar yang kuat di mata Amerika Serikat," kata Mersekal Pertama TNI Teguh David, dalam buku itu.

Fakta menyatakan, pendaratan pertama C-130B Hercules ke Tanah Air dilakukan Mayor Udara Penerbang S Tjokroadiredjo, Letnan Muda Udara II A Cargua, Sersan Mayor Udara S Wijono, dan Kapten Udara Navigator The Hing Ho.

Juga Sersan Mayor Udara M Smith, Kapten Udara Penerbang Pribadi, Letnan Muda Udara II Alex Telelepta, Sersan Mayor Udara Ali Nursjamsu, Letnan Muda Udara I Basjir, Letnan Muda Udara I Sukarno, Letnan Muda Udara I Arifin Sarodja, dan Kapten Muda Udara Sasmito Notokusumo.

Fakta selanjutnya, itulah pertama kalinya terjadi penerbangan ferry terjauh untuk semua jenis pesawat terbang, C-130B AURI terbang sejauh 13.000 mil laut melintasi tiga samudera dari pabrikan ke negara operatornya.

Itu juga penerbangan internasional pertama yang 100 persen diawaki personel aktif AURI, dan belum pernah terjadi pada militer lain di dunia saat itu.

Fakta pada penerbangan 18 Maret 1960 itu menjadikan Indonesia operator terbanyak C-130 Hercules di belahan selatan dunia di kemudian hari.

Saat itu, 10 C-130B dimasukkan ke dalam Skuadron Udara Angkut Berat AURI mendampingi Skuadron Udara 2 berintikan C-47 Dakota/Skytrain.

C-130B saat itu menjadi pesawat multiengine perdana di Tanah Air berteknologi turboprop, suatu lompatan teknologi penting dan besar yang ternyata bisa cepat dikuasai putera-putera bangsa.

Hal ini dipuji secara khusus oleh Menteri Keamanan Nasional, Jenderal AH Nasution, dan beberapa petinggi Lockheed.
Dikarenakan jumlahnya cukup banyak, maka pada 19 Februari 1962, didirikanlah Skuadron Udara 31 angkut berat, disusul Skuadron Udara 32 pada 29 Desember 1965. Yang unik, C-130B saat itu kemudian berdampingan dengan Antonov An-12 buatan Uni Soviet di Skuadron Udara 31.

Fakta saat itu, kedua skuadron udara itu (31 dan 32) berpangkalan di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.

Kemudian Skuadon Udara 32 dipindahkan ke Pangkalan Udara Utama 32 Abdulrahman Saleh, Malang, Jawa Timur, pada 1976.

Skuadron Udara 32 sempat dinonaktifkan sejalan penonaktifan Antonov An-12 pada 11 Mei 1965; kemudian diaktifkan lagi pada 11 Juli 1981, yang keseluruhannya berisikan C-130B.

Saat itu, pembagian kekuatan udara di antara kedua skuadron udara adalah enam C-130HS (nomor registrasi A-1317, A-1318, A-1319, A-1320, dan A-1324 plus C-130H/A-1323) untuk Skuadron Udara 31.

Skuadron Udara 32 mendapat dua C-130B (A-1301-A-1313), dua C-130H (A-1315 dan A-1316), dan dua C-130KC (tanker udara, A-1309 dan A-1310).

Sebetulnya, masih ada beberapa varian C-130 Hercules yang dioperasikan TNI AU (kemudian), yaitu satu versi sipil C-130 Hercules, L-100-30, yang lalu dikonversi ke militer (A-1314) dan C-130HS (A-1341) yang didedikasikan pada Skuadron Udara 17 VIP.

A-1314 dan A-1341 dinomori di luar kelaziman, karena jika dijumlah, baik angka 1314 dan 1341 akan menghasilkan angka 9; ini sesuai pemberian langsung dari Menhankam/Panglima ABRI (saat itu), Jenderal TNI M Yusuf.

Fakta menunjukkan, Skuadron Udara 17 VIP merupakan satu-satunya skuadron udara militer di dunia yang mengoperasikan C-130 dan variannya sebagai pesawat terbang VIP kenegaraan resmi.

Skuadron Udara 5 pernah mendapat satu C-130MPH bernomor registrasi A-1322 sebagai pesawat intai maritim yang dijejali sensor elektronika penjejak.

Fakta berikutnya adalah tambahan 12 unit C-130H series yang dibeli pada dasawarsa '80-an, yaitu tiga C-130H (A-1315, A-1316, dan A-1323), satu unit C-130MPH (A-1322), tujuh unit C-130HS (A-1317, A-1318, A-1319, A-1320, A-1321, A-1324, dan A-1341), satu unit L-100-30 (A-1314).

Fakta lain, penambahan pesawat terbang transport berat ini terjadi pada 1995, yaitu dua L-100-30 hibah dari PT Merpati Nusantara Airlines (A-1325 dan A-1326) dan tiga unit L-100-30 dari PT Pelita Air Service  (A-1327, A-1328, dan A-1329).

Sampai saat ini, TNI AU mengoperasikan hingga 28 unit C-130 Hercules dari berbagai varian, terbanyak di belahan selatan dunia.

Jika hibah sembilan unit C-130H Hercules dari Australia telah tiba semuanya, maka akan semakin banyak lagi "koleksi" C-130 Hercules kita, terdaftar hingga 37 unit. 

Sabtu, 08 Maret 2014

Sukarno Ditodong Senjata?

Pengakuan Soekardjo Wilardjito bahwa Sukarno menandatangani Supersemar di bawah todongan senjata dianggap omong kosong.
 
OLEH: HENDRI F. ISNAENI

SOEKARDJO Wilardjito (86), saksi penandatanganan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), meninggal dunia pada 5 Maret 2013.
Pada 22 Agustus 1998, Soekardjo, di kantor LBH Yogyakarta menceritakan bahwa empat jenderal, M. Panggabean, M. Jusuf, Basuki Rachmat, dan Amir Mahmud pada 11 Maret 1966 sekira pukul 01.00 datang menghadap Presiden Sukarno di Istana Bogor untuk meminta menandatangani surat dalam map warna merah jambu.
Pada saat M. Jusuf menyodorkan surat dalam map itu, M. Panggabean dan Basuki Rachmat mengeluarkan pistol. Melihat situasi demikian, Soekardjo selaku anggota pengawal presiden Tjakrabirawa yang sedang menggantikan ajudan presiden Komisaris Besar Polisi Sumirat juga mengeluarkan pistol, tetapi dicegah oleh Sukarno.
Pengakuan Soekardjo dan perjalanan hidupnya sudah dibukukan dalam Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang Pengawal Presiden, terbit 2008.
Karena versi itu dianggap dapat menimbulkan keonaran, Kejaksaan Tinggi Yogyakarta menuntut Soekardjo. Namun, pengadilan memutuskan dia tak bersalah. Kasasi jaksa ditolak Mahkamah Agung dalam keputusannya yang diterima Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada 11 Juni 2008.
Mantan wakil komandan Tjakrabirawa, Maulwi Saelan, mengatakan, “Dia (Soekardjo) itu omong kosong. Tidak ada nama dia dalam Tjakrabirawa,” kata Maulwi kepada Historia.
Menurut Maulwi, ring satu Tjakrabirawa adalah Detasemen Kawal Pribadi dari Kepolisian yang dipimpin Komisaris Polisi Mangil Martowidjojo, ring dua Corps Polisi Militer (CP), serta ring tiga dari infantri Angkatan Darat, marinir (Korps Komando) Angkatan Laut, dan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara. Selain itu, Soekardjo adalah anggota infantri berpangkat letnan dua.
“Yang datang menghadap Sukarno hanya tiga orang, M. Jusuf, Basuki Rachmat, dan Amir Mahmud,” ujar Maulwi. “KASAD M. Panggabean berada di Jakarta.”
Lima hari setelah pengakuan Wilardjito, M. Panggabean membantah dan menyatakan bahwa dirinya tidak ikut menghadap Sukarno. Pada 4 September 1998, M. Jusuf menguatkan bahwa yang menghadap Sukarno hanya dirinya, Basuki Rachmat, Amir Mahmud; dan mereka di sana sampai pukul 20.30.
“Kalau betul mereka baru pulang pukul 20.30, itu memperlihatkan bahwa pembicaraan dengan Sukarno berjalan alot,” tulis sejarawan Asvi Warman Adam dalam Membongkar Manipulasi Sejarah.
Sejarawan Anhar Gonggong juga meragukan kisah Soekardjo. Menurutnya, tidak mungkin seorang prajurit Tjakrabirawa bisa mendekat ke ruangan tidur presiden. Sejarawan Baskara T. Wardaya sependapat dengan Anhar, tetapi dengan alasan lain.
Dalam Mencari Supriyadi Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno, Baskara menulis, sebelum 11 Maret 1966 sudah dikirim dua orang pengusaha yang dekat dengan Sukarno, yaitu Dasaat dan Hasyim Ning untuk membujuk Sukarno menyerahkan pemerintahan kepada Soeharto. Karena upaya itu tidak berhasil, dikirimkan tiga orang jenderal ke Bogor.
“Surat itu dikeluarkan memang dengan tekanan tetapi tidak perlu memakai pistol,” tulis Baskara. “Lagi pula waktu itu Bung Karno masih menjadi presiden, wibawanya belum hilang sama sekali, rasanya tidak ada jenderal yang berani menodongkan pistol kepada beliau.”

Memata-matai Istana dan PKI

Ada mata-mata di lingkaran kelompok komunis maupun Istana.
 
Jusuf Wanandi bersama Presiden Soeharto dan Liem Sioe Liong pada acara pertemuan dengan tokoh-tokoh pengusaha nasional di Tapos, Bogor, 1986. Foto: Sekretariat Negara.
 
OLEH: WENRI WANHAR

JUSUF Wanandi membuka rahasia. Menjelang keruntuhan Sukarno, dia mengumpulkan informasi dari dalam Istana untuk mencari tahu siapa orang yang punya pengaruh kuat terhadap Sukarno. Dia dan kawan-kawan aktivis Katolik juga punya mata-mata di dalam lingkaran kelompok komunis.
Pengakuan Jusuf Wanandi tersebut tertuang dalam memoarnya, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998, yang diluncurkan di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, 20 Februari lalu. Edisi bahasa Inggrisnya, Shades of Grey, sudah terbit pada 2012 di Singapura.
“Banyak kisah dalam buku ini yang orang lain belum tentu mau mengisahkannya,” ujar sejarawan Anhar Gonggong, pembedah buku itu.
Sementara Salim Said, mantan wartawan suratkabar Angkatan Bersenjata, mengatakan, “Buku ini menjadi menarik karena penulisnya, Jusuf Wanandi, terlibat langsung dalam bagian-bagian penting perpolitikan masa itu. Jarang ada buku serupa ini.”
Jusuf Wanandi kala itu aktivis Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Bersama Partai Katolik, PMKRI mengambil sikap antikomunis dan menganggap muslim sebagai sekutu alamiah melawan komunis.
Jusuf masuk Istana sejak 1964 sebagai sekretaris Soejono, wakil ketua II Dewan Pertimbangan Agung (DPA). DPA dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno. Dengan pekerjaan itu, dia mengetahui siapa yang punya pengaruh kuat terhadap Sukarno. Menurutnya, orang tersebut adalah Njoto, orang nomor tiga di jajaran pimpinan PKI.
“Menyaksikan pertemuan-pertemuan sarapan pagi, Njoto memang mempunyai hubungan yang khusus dengan Presiden. Njoto adalah sosok paling intelektual di antara pemimpin PKI. Itulah alasan mengapa dia menjadi salah satu penulis pidato Bung Karno yang paling berpengaruh,” ungkap Jusuf.
Jika Jusuf mengumpulkan informasi di Istana, informan penting lainnya berada di lingkaran pejabat teras PKI. Dia lulusan Universitas Gadjah Mada, menjadi Katolik setelah menikah dengan seorang gadis Katolik. Sebelumnya, dia anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), perkumpulan mahasiswa komunis. Karena pandai, pada 1960 dia dipromosikan menjadi asisten Soedisman, sekretaris jenderal PKI.
“Orang muda yang berani ini –namanya tidak bisa disebut karena sensitif– memberikan informasi kepada kami mengenai apa yang sedang terjadi di dalam tubuh PKI,” kata Jusuf. “Dari informasi-informasi dia, kami tahu bahwa kesimpulan kami tidak terlalu meleset: PKI akan mengambil-alih kekuasaan, bukan dalam waktu lima tahun lagi, melainkan segera. Segera.”
Menurut informan itu, kata Jusuf, sebuah pertemuan sedang direncanakan untuk mengadili kapitalisme birokrat dan spion badan intelijen Amerika Serikat (CIA) di tubuh Angkatan Darat. Untuk itu, Pemuda Rakyat dan Gerwani dilatih kemiliteran di Lanud Halim Perdanakusuma. Mereka ingin mengesankan ada pergolakan di tubuh Angkatan Darat dan peristiwa itu bebas dari jejak PKI.
PMKRI pun melatih dua kelompok kader dari pemimpin mahasiswa dan akademisi di Gunung Sahari untuk melakukan konsolidasi. HMI melakukan hal yang sama di Megamendung, Bogor, di kediaman Wakil Ketua NU Subchan Zaenuri Erfan. “Hanya kami-lah –di antara kelompok nonkomunis– yang melakukan pelatihan seperti ini,” kata Jusuf.
Harry Tjan Silalahi dan IJ Kasimo dari Partai Katolik menghadap dan mengatakan kepada Jenderal AH Nasution bahwa kalangan Katolik sudah mengetahui rencana PKI dan meminta pendapatnya apa yang harus mereka lakukan. Jawaban Nasution mengecewakan.
Peristiwa 30 September 1965 pecah. Di luar dugaan Jusuf dan kelompoknya, tak ada pengadilan rakyat terhadap kapitalisme birokrat dan agen-agen CIA. Yang terjadi adalah pembunuhan terhadap para jenderal.
Dalam memoar ini, Jusuf menyajikan beberapa tafsiran di balik Peristiwa 30 September 1965. Tentu saja dia menempatkan PKI berada di balik peristiwa itu dan membela Soeharto.
Jusuf mengatakan kontak pertama dengan Soeharto terjadi pada 4 Oktober 1965. Harry Tjan dan Subchan bertemu dengan Soeharto di Mabes Kostrad. “Dari sanalah kami menjalin hubungan erat, yang bertahan hingga dua dekade,” kata Jusuf.
Setelah Soeharto berkuasa, Jusuf Wanandi menjadi salah satu pendiri CSIS, lembaga pemikir (think tank) Orde Baru.

Polisi Zaman Kumpeni


Cuma ada tiga polisi jujur di negeri ini: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng.
 
OLEH: BONNIE TRIYANA

DALAM canda yang dilontarkan Gus Dur itu tersimpan kritik pedas bahwa kejujuran di tubuh organisasi kepolisian telah hilang dan menjadi barang langka. Benarkah demikian?
Belakangan ini polisi sedang menghadapi cobaan terberat sepanjang keberadaannya di Republik ini. Perkara Susno Duadji, rekening gendut, hingga yang paling beken Gayus Halomoan Tambunan membuat lembaga kepolisian mendapat sorotan dari masyarakat. Kasak-kusuk tentang kinerja polisi pun sudah beredar luas dari mulut ke mulut dan kuping ke kuping, menyisakan sejumput ragu atas kinerja lembaga kepolisian.
Beberapa ungkapan kekecewaan dan plesetan sindiran terhadap kinerja polisi kerap mewarnai perbincangan di warung kopi: “kehilangan rumah” saat mengurus motor yang dicuri atau KUHP, Kasih Uang Habis Perkara. Begitulah citra polisi di mata masyarakat. Penuh rekayasa dan manipulasi. Bagaimana sebenarnya peran polisi di dalam sejarah? Apakah benar polisi selalu identik dengan rekayasa dan segala tuduhan miring?
Marieke Bloembergen, sejarawan yang bekerja sebagai peneliti di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) di Leiden, Belanda, menulis sebuah buku tebal tentang rekam jejak polisi di Hindia Belanda. Dalam buku terjemahan dari bahasa Belanda setebal 500 halaman lebih itu Marieke membeberkan sejarah polisi di Hindia Belanda sejak awal pembentukannya pada 1897 sampai keruntuhan negara kolonial pada 1942.
Menurut Marieke, polisi di Hindia Belanda merupakan produk langsung dari ketakutan dan kepedulian. Sejak 1870 masyarakat Eropa mulai membanjiri dan menetap di Hindia Belanda. Mereka merasa was-was karena bagaimana pun mereka tinggal di sebuah negeri asing di mana masyarakat di sekeliling mereka punya budaya dan pemahaman lain atas komunitas kulit putih.
Perlawanan kaum pribumi terhadap otoritas kolonial sebagaimana terjadi pada 1888 di Banten dan sebelumnya pada 1854 menjadi catatan tersendiri buat pemerintah kolonial untuk mendirikan sebuah organisasi kepolisian modern untuk menjaga kepentingan dan keberadaan mereka di Hindia Belanda. Kemunculan politik etis dan terciptanya golongan elit pribumi yang menginisiasi gerakan nasionalisme di Hindia Belanda mendorong pemerintah kolonial lebih aktif memodernisasi kepolisiannya. Selain sebagai penjaga keamanan juga untuk “mewujudkan gagasan bahwa urusan keamanan adalah bagian penting dari kewajiban (penyelenggaraan) negara sekalipun dengan segala cara tetap ingin mempertahankan status quo kolonial,” tulis Marieke dalam bukunya.
Pemerintah kolonial pun memikirkan fungsi sosial lain dari kepolisian. Ia harusnya mampu menjaga ketertiban masyarakat; memastikan masyarakat tetap patuh pada peraturan pemerintah; dan memuaskan kebutuhan masyarakat akan rasa aman.
Kepolisian di Hindia Belanda dibentuk sebagai tanggapan dari negeri induk terhadap persoalan bagaimana memelihara dan menjaga keamanan di negara koloni. Ironisnya, ketika lembaga kepolisian ini dibentuk, tak ada seorang pribumi pun yang dimintai masukan tentang bagaimana seharusnya kepolisian bekerja. Menurut Marieke, ketika 1930 anggota kepolisian mencapai jumlah terbesarnya, yakni 54 ribu personel, 96 persen di antaranya justru berasal dari golongan pribumi. Sebagian besar dari mereka, kecuali anak bupati yang diberi previlese sebagai petinggi polisi, menempati posisi sebagai anggota terendah dalam struktur kepolisian yang hierarkis.
Film Si Pitung (1970), disutradarai Nawi Ismail, menggambarkan situasi yang mendekati kebenaran, di mana kepala polisi yang diperankan Hamid Arif adalah seorang Belanda sementara anak buahnya terdiri dari pribumi berkulit sawomatang. Meneer Belanda kepala polisi itu menggunakan perpanjangan tangan kolonial lain, yakni Demang Meester, untuk menangkap Pitung yang dianggap selalu meresahkan masyarakat kulit putih di Betawi yang dipersonifikasi sebagai komunitas penjajah yang menebarkan ketidakadilan pada rakyat jelata.
Semenjak tahun 1830-an upaya negara kolonial untuk mengintegrasikan dirinya ke dalam sistem ekonomi imperialis mulai berkembang. Satu dekade setelah Perang Jawa, investasi asing mulai masuk dan berwujud dalam berbagai macam industri perkebunan dan pertambangan. Pemerintah kolonial harus memastikan kalau pihak swasta penanam modal itu menadapatkan perlindungan dan jaminan keamanan dari segala gangguan yang bisa sewaktu-waktu datang dari kelompok pribumi.
Memang pada 1860, pejabat tinggi kolonial di Hindia Belanda melontarkan kritik pedas pada kinerja kepolisian yang tak sanggup memelihara keamanan dan ketertiban di kalangan masyarakat. Menanggapi kritik demikian pemerintah kolonial pun mendirikan sebuah komisi kepolisian yang memiliki tugas menelaah dan mencari jalan keluar agar ada perbaikan pada mutu kerja kepolisian.
Apa yang terjadi pada zaman itu mengingatkan kita pada pembentukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang didirikan pada 1 Juni 2006. Tugas Kompolnas pun mirip-mirip dengan komisi kepolisian yang dibentuk pada zaman kolonial, yakni berupaya meningkatkan kinerja kepolisian Indonesia melalui masukan dan saran kepada Presiden RI.
Pada zaman kolonial, sebagaimana temuan Marieke, ternyata polisi pun ambil urusan menangani soal-soal akhlak. Pada 1937, atas permintaan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, polisi mengadakan penyelidikan perkara homoseksualitas yang marak terjadi di kalangan pejabat tinggi pemerintah. Perintah gubernur kepada polisi itu didahului oleh sebuah surat dari Christelijke Staaprtij (CSP) yang melihat telah banyak dosa yang dibuat para pejabat tinggi karena menjalankan aktivitas homoseksual. Kepolisian kolonial pun menebar agen reserse untuk menangkap homoseksual dan memenjarakan mereka. Menurut Marieke, cara kepolisian kolonial memberantas homoseksualitas tak jauh berbeda dari cara mereka memberantas komunisme yang melakukan pemberontakan pada 1926.
Negara Hindia Belanda digambarkan sejarawan Henk Schulte Nordholdt sebagai negara yang penuh dengan kekerasan. Karena itu, guna memajukan kepentingan ekonomi dan kekuasaan politiknya, negara kolonial ini praktis membutuhkan polisi sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang bisa secara aktif menjalankan kebijakan dan menegakkan “rust en orde” atau keamanan dan ketertiban. Polisi di era kolonial pada kenyataannya telah merambah ke fungsi lain, dari sekadar memberikan rasa aman kepada komunitas Eropa dan masyarakat hingga mencakup persoalan politik dan polisi moral.  Peran yang luas dan menggurita itu membuat sejarawan Harry Poeze menyebut Hindia Belanda sebagai negara polisi (politiestaat).
Penelitian sejarawan alumnus Universiteit van Amsterdam itu berhasil memberikan gambaran yang jelas tentang asal-usul lembaga kepolisian modern di Hindia Belanda sekaligus memberikan dasar pengetahuan holistik untuk memahami bentuk dan kinerja kepolisian Indonesia di masa sekarang. Penelitiannya, yang telah diterbitkan menjadi buku Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan (Penerbit Buku Kompas, 2011), merupakan jalan masuk yang lempang bagi sarjana dan peneliti yang hendak menelusuri sekaligus menelaah lembaga kepolisian dari beragam perspektif keilmuan.

Barak-barak Soeharto



BILA dalam teks-teks biografi Soeharto selama ini terdapat sejumlah kejanggalan dan pengakuan yang tak masuk akal, terutama mengenai karier militernya selama pendudukan Jepang, David Jenkins mengurainya dalam buku ini.
Jenkins seorang wartawan-cum-peneliti asal Australia yang memiliki daya jelajah luas sehingga berhasil mewawancarai sejumlah perwira militer Jepang yang sempat bersinggungan dekat dengan Soeharto. Dia kali pertama mempublikasikan risetnya ini dalam jurnal terbitan Cornell University, Indonesia, dengan judul “Soeharto and The Japanese Occupation” pada Oktober 2009.
Sebagai wartawan The Sidney Morning Herald, Jenkins bukanlah sosok asing lagi dalam tautannya dengan Soeharto. Dia salah satu dari segelintir wartawan yang pernah mewawancarai Soeharto. Artikelnya pada 10 April 1986 yang berjudul “After Marcos, Now for the Suharto Billion” sempat membuatnya dicekal masuk Indonesia sampai 1994. 
Seperti penelitian Jenkins sebelumnya, Soeharto and His Generals: Indonesian Military Politics, dalam buku ini tak ada petikan wawancara dengan Soeharto. Tak mudah mendapatkan kesempatan wawancara empat mata dengan tokoh kontroversial itu, terlebih wawancara soal politik (Orde Baru). Untung, ada sejumlah buku dan artikel tentang Soeharto yang membantu Jenkins melacak karier militer Soeharto pada masa pendudukan Jepang (Maret 1942-Agustus 1945).
Tahun 1942 menjadi momen akhir sekaligus awal bagi karier kemiliteran Soeharto: masa akhir sebagai serdadu KNIL (Koninklijke Nederlandsch-Indisch Leger) dan awal karier sebagai perwira Peta (Pembela Tanah Air). Sebelum mendaftar Peta, Soeharto sempat masuk dalam korps kepolisian Jepang. Dia menjalani pelatihan selama tiga bulan, lalu ditempatkan di Yogyakarta. Setahun lamanya Soeharto menghabiskan waktu dalam institusi yang sangat ditakuti rakyat masa itu. Di sinilah Soeharto ditempa dalam disiplin tinggi, otoriter, dan paternalis. 
Selama berdinas di Yogya, Soeharto ingat pangkatnya adalah keibuho (inspektur polisi). Inilah yang dicatat Jenkins dari keterangan Soeharto sendiri dalam buku OG Roeder ) The Smiling General: President Soeharto of Indonesia dan otobiografi Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Keibuho merupakan jenjang kepangkatan keempat dalam tangga promosi setelah anggota polisi (junsa), polisi senior (junsacho), lalu sersan polisi (junsabucho). Menurut penelusuran Jenkins, di Jepang saja, pangkat keempat hanya bisa disandang perwira polisi yang berpengalaman atau pemuda lulusan universitas –dan selalu Universitas Kekaisaran Tokyo (kini Universitas Tokyo). 
Jenkins menduga, Soeharto salah menyebutkan istilah Jepang untuk menunjuk kesatuan polisi (keimubu) dengan keibuho. Jenkins pun sangsi atas keterangan Soeharto yang sukses menyembunyikan fakta sebagai bekas KNIL ketika mendaftar sebagai polisi Jepang. Kecuali, Jepang benar-benar terpesona dengan kepintaran Soeharto –di tengah keterbatasan jumlah pribumi terdidik yang diharapkan mendaftar dalam kesatuan polisi. Dan, itu pun tak cukup menghalangi tangga kehidupan Soeharto berikutnya sebagai prajurit Peta. 
Pada Oktober 1943, Soeharto mendaftar sebagai tentara sukarela Peta. Sekelompok pemuda Indonesia memperoleh kursus militer dalam waktu singkat sebagai kekuatan perang cadangan bila Sekutu menyerang Jepang, yang diperkirakan dari pesisir selatan Jawa. Hingga Peta dilucuti senjatanya oleh Jepang pada Agustus 1945, praktis keseharian Soeharto hanya beranjak dari satu barak pelatihan ke barak lainnya. Dia bukan sosok yang taktis untuk mengambil kesempatan dari pembentukan Peta sebagai kekuatan “pemberontak” layaknya Supriyadi. 
Enam minggu pertama setelah dinyatakan lolos, Soeharto menjalani pemusatan pelatihan komandan peleton (shodancho) di Bogor, bersama 230 calon shodancho dari Jawa Tengah di Kompi Empat. Setiap perwira Peta mengenang periode pelatihan keras itu, yang pada akhir 1944 melahirkan 37.000 tentara dari golongan pribumi. Tak salah bila Peta kemudian menjadi anatomi angkatan bersenjata Indonesia pascaproklamasi. Para perwiranya pun mengisi jabatan tinggi dalam militer Indonesia selama 30 tahun pertama. 
Walau bukan lulusan terbaik Peta, Soeharto termasuk sedikit shodancho yang dipercayai militer Jepang. Dari 10 Mei sampai 10 Agustus 1944, Soeharto “ditarik kembali” ke Bogor untuk menjalani pelatihan sebagai komandan kompi (chudancho), yang akan membawahkan tiga peleton. Soeharto pun tercatat sebagai komandan yang selama lima bulan (dari Maret sampai Agustus 1945) melatih sisa-sisa prajurit batalyon Peta Blitar, yang sudah tak dipersenjatai dan ditepikan di kaki Gunung Wilis menyusul aksi “pemberontakan” pada Februari 1945. 
Maka, kalau dalam berita Watashi no rirekisho (Sejarah Pribadi Saya) yang dimuat koran Nihon Keizai Shimbun pada 6 Januari 1998, Soeharto memoles citranya sebagai orang yang diamat-amati Kenpeitai (polisi militer Jepang) lantaran bersikap kritis terhadap Jepang, tak sedikit mantan perwira militer Jepang yang menyangkalnya. Marimoto Takeshi, penulis buku Jawa boei giyugun-shi (Sejarah Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa) yang juga bekas tentara Jepang, mengatakan, “Semua orang, termasuk saya sendiri, diawasi oleh Kenpei. Jadi dia bukan satu-satunya.” Soeharto memang tak ingin kita mengenalnya bukan dari siapa dia melainkan dari bagaimana dia ingin kita mengenalnya.
Dalam konteks keikinian, terutama di tengah pasang-surut wacana penyematan gelar pahlawan kepada Soeharto, buku ini amat berguna sebagai bahan pertimbangan objektif. Selama beberapa tahun terakhir, wacana tersebut selalu mengemuka dan pandangan pro-kontra tak pernah berhenti bergulir. Kelak, tak ada jaminan perdebatan serupa bakal tutup buku atau minimal dipandang tak perlu diulang-ulang.
Yang jelas, Jenkins menutup buku ini dengan kesimpulan sinis. Dia melihat sosok Soeharto sebagai orang yang “mengabdi pada dua kubu militer” (Belanda dan Jepang) justru saat para tokoh nasionalis Indonesia tengah jatuh-bangun meniti kemerdekaan republik. Soeharto “mendapat cukup makanan, pakaian yang baik, dan gaji yang bagus” justru ketika rakyat Indonesia tersungkur dalam kemelaratan oleh praktik kerja paksa Jepang (romusha). 
Kontras seperti itu tentu tak bisa ditelan mentah-mentah dan dipahami sebagai realitas sejarah an sich. Jenkins, biarpun tekun meneliti sosok Soeharto, bukanlah seorang dokumentator dan sejarawan murni. Acapkali dia terjebak untuk memungkasi tulisan dengan kalimat-kalimat spekulatif dan berani. 
Semisal ketika menulis, Soeharto “pasti akan dipandang dengan penuh skeptisisme oleh para pemimpin nasionalis, sebagian karena dia pernah berdinas di KNIL dan sebagian karena dukungannya tanpa kritik terhadap apa yang mereka anggap sebagai fasisme Jepang”. Padahal buku ini jelas tak sedang mendalami hubungan Soeharto dengan kelompok nasionalis pada masa-masa sensitif dan tak keruan di awal pembentukan republik. 
Di luar itu, riset Jenkins ini tak memberi ruang secara menyeluruh, kalau memang dipersoalkan, terhadap orang-orang di lingkaran keluarga Soeharto. Jenkins tak memasukkan mereka dalam daftar narasumber yang diwawancarai. Baik dari anggota keluarga setelah Soeharto menikah dan membangun dinasti politik Orde Baru maupun anggota keluarganya semasa muda. Tentu hal itu tak lepas dari sosok Soeharto sebagai pribadi yang cenderung tertutup dan tak ingin diketahui masa lalunya.

Historia.