Pertempuran Surabaya. ©istimewa
Keberhasilan
rakyat merebut senjata-senjata milik Jepang membuat semangat mereka
berkobar. Para pejuang lantas membidik markas polisi rahasia (Kempetai)
sebagai serangan berikutnya.
Markas ini dianggap sebagai lambang
kekuasaan fasis militer Jepang, tak hanya itu, sejumlah pejuang disiksa.
Bukan rahasia lagi, rakyat sering mendengar gonggongan anjing, serta
rintihan para tawanan yang mengalami penyiksaan terdengar saban hari.
Dalam
buku yang diterbitkan Balai Pustaka berjudul 'Pertempuran Surabaya'
tahun 1998 milik Pusat Sejarah ABRI, rakyat kemudian merencanakan
penyerangan ke markas yang dikenal sebagai Gedung Setan tersebut.
Di
bawah koordinasi Ketua Keresidenan, Abdul Wahab, para pemuda, Badan
Keamanan Rakyat (BKR) dan polisi istimewa mengepung Gedung Setan. Para
pejuang datang dari segala penjuru, kabel komunikasi diputus, pagar
berduri pun berhasil ditembus.
Tak disangka, serdadu Jepang telah
mempersiapkan baik-baik sistem pertahanan mereka. Tepat pukul 12.00
WIB, ratusan butir peluru keluar dari lubang perlindungan. Korban mulai
berjatuhan dari kedua belah pihak, aksi saling tembak terus terjadi.
Para
pejuang mencoba bertahan dari peluru-peluru yang ditembakkan dari
senapan milik bala tentara Jepang. Bahkan, utusan pemerintah yang
terdiri dari Ketua BKR Kota Sengkono, Residen Soedirman dan Kepala
Polisi Istimewa, Moh Jasin tak mampu menghentikan tembak menembak.
Dalam
buku 'Memoar Jasin sang Polisi Pejuang' terbitan PT Gramedia Pustaka
karangan Moh Jasin. Perwira polisi istimewa ini tak ingin korban dari
pihak pejuang terus bertambah. Namun, ia juga kesulitan untuk
menghentikan pertempuran sengit tersebut.
Tanpa berpikir panjang,
Moh Jasin nekat menerobos terjangan peluru dari kedua belah pihak.
Dengan cekatan, ia menerobos pagar berduri, berlari di tengah halaman,
hingga masuk ke dalam ruang Kempetaityo (kepala polisi militer). Di
tengah perjalanannya, ia melihat mayat-mayat jatuh bergelimpangan
terkena peluru musuh.
Setelah berhasil masuk ke dalam gedung,
kedatangannya itu membuat tentara Jepang terkejut, beberapa di antaranya
dengan sigap menodongkan senjatanya ke arah Moh Jasin dan koleganya,
Soeprapto. Di tengah ketegangan, dengan ia minta dipertemukan dengan
Takahara, seorang penerjemah di markas itu.
Dengan kawalan ketat,
keduanya lebih dulu dipertemukan dengan seorang mayor yang mampu
berbahasa Inggris. Di depan perwira tersebut, Jasin minta diantar ke
tempat Takahara. Mayor itu masuk ke dalam ruangan dan kembali bersama
seorang yang ingin ditemuinya.
Di hadapan Takahara, dengan suara
lantang Jasin meminta agar tentaranya menyerah. Dia pun berjanji akan
menjaga keselamatan bala tentara Jepang yang masih hidup. Tanpa
memberikan jawaban, Jasin diantar Takahara menuju Kempetaityo yang
tengah memantau pertempuran.
Setelah diperkenalkan, sang komandan
lantas membentak Jasin, "Mau apa?". Setelah dijelaskan maksud
kedatangannya oleh Takahara, komandan tersebut malah nampak kebingungan.
Tanpa berkomentar, ia berbicara dengan salah seorang stafnya untuk
membahas tawaran yang diberikan dari pihak pejuang.
Dengan sigap,
Moh Jasin mengambil saputangan berwarna putih dari kantong celananya.
Tanpa banyak bicara, Jasin menarik paksa tangan Kempetaityo untuk
mengibarkannya ke luar. Tindakan itu ternyata tidak mendapat perlawanan,
sang komandan hanya mengikuti gerakan tangan yang dilakukan Jasin.
sapu
tangan warna putih itu pun terlihat jelas oleh sejumlah pejuang. Dengan
sorak sorai, mereka berupaya memasuki gedung. Tapi, pasukan Jepang yang
masih berada di garis pertahanan menganggapnya sebagai serbuan,
tembakan pun kembali menyalak hingga menyebabkan beberapa orang tewas.
Tak
lama, komandan Kempetai memerintahkan Jasin dan rekannya keluar. Dengan
kawalan polisi khusus Jepang, keduanya menuju serambi gubernuran.
Takahara kemudian keluar dari dalam ruangan dan berjalan menuju halaman
gedung, dia pun menurunkan bendera Jepang sebagai tanda Jepang telah
menyerah.
Pertempuran pun berhenti seketika. Para pejuang yang
berada di luar gedung bersorak-sorak gembira dan berhamburan masuk ke
dalam gedung sembari berteriak "MERDEKA!". Tindakan itu ternyata
mendapat dukungan dari panglima senior Jepang di Surabaya, Laksamana
Madya Shibata Yaichiro.
40 Orang tercatat tewas dalam pertempuran
yang paling menentukan ini, angka itu terdiri dari 25 pejuang dan 15
dari Jepang. Sementara, 81 orang terluka, yang terdiri 60 pejuang, 14
serdadu Jepang, 2 tentara China dan 5 Belanda.
Sebaliknya,
berdasarkan sumber dari Jepang pada 1 Oktober 1945, peristiwa ini
menewaskan 22 orang, 25 luka-luka, enam orang ditawan dan banyak yang
hilang. Pertempuran ini menjadi puncak kemenangan para pejuang
kemerdekaan terhadap Jepang.