Selasa, 07 Maret 2017

V-150, Panser Andalan Yonkav 7 yang Kenyang Perang


Biarpun TNI AD terus mendatangkan beragam jenis panser baru untuk mencapai kekuatan esensial minimum, panser beroda ban V-150 yang menjadi tulang punggung Batalyon Kavaleri 7 Sersus (Panser Khusus) masih belum terdengar akan diganti.

Panser yang kenyang akan asam garam pertempuran ini sudah mencicipi perang di Timor-timur, Aceh, dan Papua. Seluruh trouble spot di dalam negeri sudah mendapat ‘sentuhan’ garangnya panser yang sering disebut ‘mobil setan’ oleh awaknya ini.

V-150 sendiri merupakan hasil pengembangan dan kawin silang dari panser V-100 dan V-200 buatan perusahaan Cadillac Gage.

V-100 dibeli oleh Polisi Militer AD AS untuk kendaraan pengaman konvoi di Vietnam. Sedangkan V-200 adalah model ekspor yang ditawarkan sebagai produk militer komersial.

V-150 menjadi model tengah yang memanfaatkan desain V-100 dengan mesin dan transmisi yang lebih bertenaga.

Desain lambungnya sudah mengadopsi V-hull yang antiranjau membuatnya tahan dari ledakan ranjau yang sudah dibuktikan tidak hanya sekali-dua kali oleh prajurit Kavaleri TNI AD.

Uniknya, kisah pembelian V-150 sendiri justru berasal dari inisiatif Kolonel (Polisi) Jusuf Chuseinsaputra saat berkunjung ke Amerika Serikat (AS) pada tahun 1970-an.

Saat itu ia sedang mencari panser pengganti M8 Greyhound milik Brimob. Dalam kunjungannya ia meminta dicarikan informasi terkait panser V150 buatan Cadillac Gage. Informasi tersebut kemudian dibawa kembali ke Indonesia.

Panglima ABRI saat itu, Jenderal M. Panggabean, tertarik pada V-150 karena harganya yang terjangkau. TNI AD saat itu juga mempertimbangkan panser roda rantai M113 yang berjaya di Vietnam, tetapi harganya waktu itu terlalu mahal.

Pemerintah Indonesia pun melakukan pendekatan intensif ke AS agar diijinkan untuk dapat membeli V-150. Presiden Soeharto pun melakukan pendekatan khusus kepada Menlu AS Henry Kissinger. Jenderal M. Panggabean juga terus bernegosiasi dengan Dubes AS untuk Indonesia David Newsom.

Hasilnya, AS setuju untuk mendanai melalui program pembiayaan FMS (Foreign Military Sales) di tahun anggaran 1974 yang berbunga lunak.

Cadillac Gage kemudian menunjuk PT. Sunda Karya sebagai agen di Indonesia untuk mengurus administrasi dan menjadi penghubung dengan TNI AD.

Biaya yang dibutuhkan untuk membeli V-150 seluruhnya bernilai USD 7,9 juta. Pemerintah AS setuju jumlah total V-150 yang dibeli oleh TNI AD adalah 58 unit.

Jumlah ini cukup untuk menjadi modal membentuk satu Batalyon, dalam hal ini Yonkav 7 Sersus yang berlokasi di Cijantung, Jakarta Timur.

Dari total 58 unit, 46 unit di antaranya adalah varian dengan kubah sederhana yang bersenjatakan dua pucuk senapan mesin M60. Sementara 12 unit sisanya tampil dengan kubah yang mengusung kanon 90mm L28 Mecar gun yang merupakan kanon dengan alur (rifled).

Kanon 90 mm ini merupakan kanon bertekanan rendah. Performanya mirip dengan kanon Cockerill MkIII yang kemudian mempersenjatai tank ringan Scorpion 90.

Uniknya, pemerintah AS bertindak selaku end user yang mewakili pemerintah Indonesia dalam proses sertifikasi kubah dan kanon Mecar yang dibeli dari Belgia.

Dari total 58 unit itu, empat unit dialokasikan untuk satuan Paspampres sebagai kendaraan escape Presiden Soeharto dan keluarga dalam kondisi darurat.

Pemindahan ke istana ini dilakukan secara diam-diam. Pasalnya, AS secara eksplisit tidak setuju apabila V-150 digunakan menjaga istana. Mereka khawatir panser itu akan digunakan untuk menembaki massa apabila terjadi demonstrasi terhadap pemerintah.

V-150 mulai dikapalkan dari AS ke Indonesia pada tahun 1975. Penampilan perdana V-150 di depan publik terjadi dalam parade hari ABRI 5 Oktober 1976.

Saat itu V-150 bergabung dengan sejumlah alutsista lain yang juga baru diperkenalkan ke publik, seperti OV-10 Bronco, Fokker F-27 Troopship, dan CASA-212.

Tak lama setelahhnya, V-150 pun dikapalkan ke Timor-timur untuk melaksanakan misi tempur menumpas Fretilin. Palagan Timor-Timur inilah yang menjadi pembuka lembaran awal sejarah panjang kiprah V-150 di Indonesia.
 
 

Tak Banyak yang Tahu, Sat-81 Sudah Tak Gunakan Kata “Gultor”

Sumber gambar: Suharso Rahman

Kopassus selama ini dikenal memiliki satu unit pasukan khusus yang memiliki spesialisasi penanganan teror. Pasukan itu dikenal dengan Sat-81 Penanggulangan Teror (Gultor).

Menelisik jauh ke belakang, Sat-81/Gultor berdiri pada dekade 1980-an atas prakarsa dari L.B. Moerdani yang saat itu menjadi salah satu dedengkot pasukan khusus dan TNI. Konon, pasukan ini dibentuk dengan latar belakang kasus pembajakan pesawat Garuda Indonesia 206 di Woyla, Thailand tahun 1981.

Luhut Binsar Pandjaitan dan Prabowo Soebianto didapuk menjadi Komandan dan Wakil Komandan pertama Sat-81/Gultor. Mereka dikirim ke Grenzschutzgruppe-9 (GSG-9) di Jerman untuk menjalani spesialisasi teror. Sekembalinya ke Indonesia, mereka bertugas merekrut anggota yang kelak menjadi penerus Sat-81/Gultor.

Namun, tahukah Anda jika saat ini Sat-81 tidak lagi menggunakan nama Penanggulangan Teror atau Gultor di belakang namanya? Seorang perwira menengah di Sat-81 menceritakan alasan penghapusan “brand” Gultor ini secara khusus kepada Angkasa dan Commando.

Tanpa menyebut tanggal pasti, ia menyebutkan bahwa nama Gultor di Kopassus sudah dihilangkan sejak beberapa tahun yang lalu. Sehingga saat ini nama resminya adalah Sat-81 Kopassus.

“Alasannya, sejak terjadinya serangan bom 2001 (teror gedung WTC di Amerika Serikat), pola teror sudah berubah sama sekali. Perubahan ini tentu merubah seluruh kemampuan kami,” ungkapnya.

Sejak saat itu, anggota Sat-81 dilatih ulang dan diberi kemampuan lebih banyak, tidak hanya sekadar penanggulangan teror.

“Saya tidak bisa sebut apa kemampuan lain yang kami latihkan. Tapi yang jelas, kami sekarang tidak hanya spesialisasi di kasus penanggulangan teror, tapi juga di beberapa hal lain,” tambahnya.

Jika dilihat bersama, kasus-kasus terorisme saat ini jelas jauh berbeda dengan aksi teror di dekade 80 dan 90-an. Di masa itu, pola teror lebih banyak menyandera masyarakat sipil, meminta adanya transaksi untuk menebus para sandera.

Sebuah aksi teror di masa itu bisa memakan waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Pelaku teror pun cenderung lebih sabar dan membuka kran perundingan.

Walau aksi-aksi yang konvensional itu masih ada, namun aksi teror saat ini cenderung dikerjakan soliter dan dalam tempo yang sesingkatnya.

“Kebanyakan tidak ada lagi tawan-menawan sampai berhari-hari. Dalam waktu sekian jam kalau tidak dituruti sandera langsung dibunuh. Atau malah langsung membunuh saja tanpa ada permintaan apa-apa,” tambah perwira tersebut.

Inilah yang mendasari TNI AD, dalam hal ini Kopassus, untuk mengubah pelatihan penanganan teror dan menambah kemampuan lain pada anggota Sat-81.

Meski tidak ingin membuka apa kemampuan lebih Sat-81 Kopassus saat ini, namun sang perwira memberikan satu bocoran.

Cyber war (peperangan siber) sudah kami mulai walau masih sangat awal,” jelasnya.
 

FNSS : Tank Medium-Berat Indonesia Diluncurkan Tahun 2017

 

Model Tank Medium FNSS-Pindad

Produksi Prototipe pertama sebagai bagian dari Program Tank Medium Modern Indonesia dilakukan di Triwulan I tahun 2017.

FNSS Turki membuat kemajuan yang signifikan dengan mitra Indonesia mereka, mengenai proyek tank kelas berat medium yang dilakukan di bawah naungan Undersecretariat Industri Pertahanan, ujar Direktur Program dan Pengembangan Bisnis FNSS, Aybars Küçük dalam Seminar 3rd Annual Land Platforms yang diselenggarakan Undersecretariat for Defense Industries di Ankara, 7-8 November 2016 yang dihadiri oleh 870 peserta.

Küçük melanjutkan : “Di sini, kami sedang mengembangkan sebuah tank dengan berat sekitar 32-35 ton. berat badan tank akan menyesuaikan berdasarkan konfigurasi armor di atasnya. Kami sedang mengembangkan sebuah tank dengan berat yang sesuai dengan kontur wilayah tertentu. Turret untuk tank langsung dipilih oleh Kementerian Pertahanan Indonesia. Tank itu memiliki turret dengan kanon 105 mm dan memiliki sistem sendiri di dalamnya. Kami bertujuan untuk mengembangkan sistem turret kami sendiri bersama perusahaan pertahanan Turki dan kami ingin memulai serial produksinya dengan turret kami sendiri”.

“Turret kami dipilih oleh Indonesia ada pada prototipe saat ini. Insinyur dari mitra kami di Indonesia PT PINDAD telah berkolaborasi dengan kami sejak awal proyek dan di semua tahapan pengembangan dan produksi. Kami akan memproduksi prototipe pertama di fasilitas FNSS. Saat ini kami telah memulai produksi dan produksi prototipe pertama akan selesai pada kuartal pertama tahun 2017, dan kemudian para insinyur yang dilatih di sini dan terlibat dalam semua proses akan memproduksi prototipe kedua dengan dukungan kami di fasilitas PT PINDAD. Prototipe kedua yang diproduksi di Indonesia akan ditampilkan dalam acara Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 5 Oktober tahun 2017 dan setelah itu tes penerimaan oleh pengguna (user acceptance tests) akan diluncurkan dan Tentara Nasional Indonesia akan menerima sertifikasi”.
 
 

Mengapa Indonesia Cetak Lebih Banyak Pilot Flanker?

 


Di saat yang hampir bersamaan, Angkatan Udara Indonesia berhasil menelurkan penerbang-penerbang pesawat tempur. Ada lima penerbang dari dua tipe pesawat tempur berbeda yang berhasil lulus, dan yang unik hanya satu orang dari penerbang pesawat tempur F-16 dan empat penerbang lainnya dari pesawat tempur Su-30MK2.

Menurut ANTARA, untuk penerbang F-16 pada tahun ini mencetak satu, yakni Lettu Pnb Fulgentius Dio Prakoso. Sedangkan untuk pesawat tempur Flanker ada empat penerbang yang berhasil lulus, yakni Mayor Pnb Reza Muryaji, Mayor Pnb M.Yunus, Mayor Pnb I Kadek Suta A. dan Mayor Pnb Apri Arfianto.


Foto : Antara


Padahal dimasa mendatang, justru armada pesawat tempur F-16 refurbished yang akan segera datang memperkuat Angkatan udara Indonesia, yang menurut berbagai pemberitaan dari media nasional ada 10 unit yang akan datang pada tahun 2017. Sedangkan dari armada pesawat tempur Sukhoi sendiri masih belum diketahui kedatangannya.

Pilot pesawat tempur adalah aset Angkatan Udara yang paling berharga. Untuk di Indonesia, dana pendidikan seorang pilot pesawat tempur selama 2 hingga 3 tahun bisa memakan biaya lebih dari 10 miliar rupiah


Untuk satu jam terbang latih dengan menggunakan pesawat tempur F-16 bisa menghabiskan biaya 50 juta rupiah, sedangkan untuk pesawat tempur Sukhoi Su-30 menghabiskan biaya 91 juta rupiah, dan semuanya ditanggung oleh negara.

Sekolah penerbang TNI AU biasanya berlangsung selama 18 bulan. Siswa lulus kemudian berlatih di kesatuan selama enam bulan. Setiap siswa kemudian diberikan pilihan ingin menjadi pilot pesawat tempur, pesawat transport atau helikopter. Para pilot kemudian disiapkan lagi untuk latihan operasi perang selama 6-12 bulan.


JKGR.

Mengenal Dua Sistem Pemandu Pada Rudal Arhanud TNI




Karena punya fungsi untuk mengejar dan menghancurkan pesawat tempur, maka tak heran bila rudal hanud (pertahanan udara) diciptakan untuk melesat dengan kecepatan supersonic, sebagian dari Anda mungkin sudah mahfum dengan nama-nama rudal hanud, terlebih dengan yang telah dioperasikan oleh TNI. Dan untuk lebih mengenal tentang rudal hanud, pada artikel kali ini kami kupas tentang dua mahzab sistem pemandu yang berlaku dalam dunia rudal hanud. Masing-masing punya karakter dan keunggulan tersendiri, bergantung pada situasi, kondisi, dan jenis sasaran yang dihadapi.

Bo Almqvist, Vice President, Strategic Business Project Dynamics Saab India, dalam suatu kesempatan di Aero India 2017 menyebutkan, bahwa pada prinsipinya ada dua platform sistem pemandu (guidance) yang digunakan dalam rudal hanud. Pertama adalah radar atau IR (Infra Red) homing missiles, dan Kedua adalah Command to Line of Sight Systems. Rudal dengan pemandu radar atau IR (Infra Red) homing missiles, jamak ditemui pada rudal hanud jarak dekat dan sebagian besar rudal MANPADS (Man Portable Air Defence System). Disini dicirikan penempatan sensor pemandu berada pada bagian depan rudal. Rudal dengan jenis ini pun sudah digunakan TNI sejak beberapa tahun, diantaranya rudal Mistral besutan MBDA, rudal QW-3 produksi China Aerospace Science and Industry Corporation (CASIC), dan rudal Chiron lansiran LIG Nex1 yang digunakan Denhanud Paskhas TNI AU.



Rantis komodo buatan Pindad, sekilas mirip Sherpa. Rantis ini mengusung peluncur Mistral Atlas.
Konfigurasi rudal Mistral

Sementara yang kedua, sistem pemandu dengan Command to Line of Sight Systems, dicirikan penempatan sensor pemandu berada pada bagian belakang rudal. Rudal jenis ini pun sudah bukan sesuatu yang asing bagi TNI, seperti Arhanud TNI AD yang mengoperasikan rudal VSHORAD (Very Short Air Defence System) RBS-70 MK2 produksi Saab, rudal ini tidak bersifat fire and forget, melainkan bekerja dengan cara dipandu (diarahkan) lewat teknologi laser ke sasaran yang dikehendaki. Masih dari perusahaan yang sama, rudah hanud BAMSE (Bofors Advanced Missile System Evaluation) yang juga sempat ditawarkan ke Indonesia, juga mengadopsi pemandu Fire Control Radar (FCR) Automatic Command to Line Of Sight (ACLOS). Bedanya bila RBS-70 adalah VSHORAD dengan jarak tembak maksimum 8 km, sedangkan BAMSE bisa menghajar sasaran hingga jarak 25 km.



Lantas bagaimana dengan nama-nama rudal lainnya yang tak kalah sangar, seperti S-300, Sky Dragon 50, dan NASAMS, menggunakan sistem pemandu yang manakah mereka? Dan bila ditelaah dari cara kerjanya, maka kecenderungannya mengarah pada sistem pemandu jenis pertama. Lantas apa yang menjadi keunggulan sistem pemandu jenis kedua, yakni Command to Line of Sight Systems. Bo Almqvist menyebut bahwa opsi yang dipilih Saab pada jenis pemandu tersebut karena dianggap lebih tahan terhadap jamming, kemudian ada kemampuan self destruction, dan presisi yang lebih tinggi pada pengenaan sasaran.

Penulis dengan simulator RBS-70 NG
Dalam pemahanan di dunia rudal hanud bisa ditekankan, bahwa pada sistem pemandu radar atau IR (Infra Red) homing missiles, main intelligent system berada pada rudal. Sebaliknya pada sistem pemandu Command to Line of Sight Systems, main intelligent system berada di ground system (pada pengendali di darat). Yang jelas diantara kedua sistem pemandu punya keunggulan tersendiri, maka tak heran bila pihak user, seperti Arhanud TNI AD mengadopsi dua sistem pemandu pada arsenal rudal hanud yang dimiliki saat ini. (Haryo Adjie)
 
 
Indomil. 

Bell 429 GlobalRanger Pesanan Polri Telah Mengudara


Tanpa hiruk pikuk soal ToT (Transfer of Technology), dua helikopter ringan pesanan Direktorat Kepolisian Udara (Polisi Udara) RI jenis Bell 429 GlobalRanger kini telah rampung diproduksi, bahkan terlihat sudah mengudara di fasilitas manufakturnya. Penandatanganan pengadaan dua helikopter dilakukan pada ajang Singapore AirShow 2016. Kehadiran Bell 429 GlobalRanger dilakukan sebagai langkah peremajaan pada armada unit helikopter NBO-105 yang sudah digunakan Polri sejak beberapa dekade.
Seperti terlihat di dalam foto,dua Bell 429 GlobalRanger Polri telah siap mengudara, namun belum ada informasi mengenai kapan waktu pengiriman unit helikopter tersebut ke Indonesia. Melihat kebiasaan pengiriman helikopter dari lokasi manufaktur, besar kemungkinan Bell 429 GlobalRanger akan didatangkan secara teruruai, untuk kemudian dirakit di Indonesia.
Sebuah seremoni kecil saat penandatanganan kontrak pembelian 2 unit Bell 429 untuk Polri.
Bell 429 ditenagai twin engine Pratt & Whitney Canada PW207D1 turboshaft , menjadikan helikopter ini dapat mencapai kecepatan maksimum hingga 287 km per jam. Dengan jangkauan terbang sampai 722 km, Bell 429 dengan kapasitas bahan bakar 821 liter mampu melaju dengan kecepatan jelajah 273 km per jam. Bell 429 punya kemampuan multirole, selain laris digunakan pihak sipil dan kepolisian internasional, pihak AL Australia (RAN) juga mengoperasikan Bell 429 di Skadron 723. Dengan bekal clamshell doors di bagian belakang, heli ini juga ideal dipakai sebagai ambulance udara (medical evacuation). Sementara untuk misi intai dan penegakan hukum, Bell 429 bisa disematkan perangkat FLIR (Forward Looking Infra Red), bahkan pada pintu gesernya dapat dipasang door gun.

Bell 429 dilengkapi fasilitas glass cockpit.
Bell 429 saat ini telah beroperasi di kawasa Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa, Timur Tengah, dan Asia Pasifik. Di Asia Pasifik saat ini ada lebih 30 unit Bell 429 yang beroperasi, dan dua unit milik Polri akan menambah populasi tersebut. Merunut sejarahnya, Bell 429 adalah hasil pengembangan dari Bell Helicopter dan Korea Aerospace Industries. Rancang bangunnya berasal dari generasi Bell 427. Prototipe heli ini terbang perdana pada 27 Februari 2007, sementara sertfikasi lulus uji terbang diperoleh dari FAA pada 1 Juli 2009.
“Kami telah menikmati hubungan yang cukup lama dengan Kepolisian Indonesia, dan bangga untuk mendukung dengan penggunaan produk Bell 206 dan NBell-412 untuk armada Polri saat ini,” uajr Sameer A. Rehman, Managing Director Bell Helicopter Asia Pasifik dalam siaran pers (18/2/2016). (Gilang Perdana)

Korps Marinir Uji Fungsi Drone Backpack SWG Throw System




Dalam meladeni peperangan modern, unit pasukan infanteri pun sudah harus mahfum dengan kemampuan drone/UAV (Unmanned Aerial Vehicle). Dan menunjang kebutuhan taktis infanteri di medan tempur, dikenal drone dengan ukuran mini untuk menunjang pengintaian. Karena digelar dalam operasi taktis, drone untuk infanteri ini dapat dikemas di dalam tas ransel, dan tentunya dapat di rakit dengan cepat bilamana dibutuhkan.

Meski belum dirilis wujudnya, Korps Marinir TNI AL belum lama ini dikabarkan tengah melakukan pelatihan dan uji fungsi drone yang disebut UAV Backpack SWG Throw System. Dan saat tulisan ini dibuat, sejumlah prajurit Marinir sejak 28 Februari 2016 tengah melaksanakan uji fungsi drone di PT Bhimasena yang terlerak di kawasangan Jatinangor, Bandung, Jawa Barat. Pelatihan dibuka secara resmi oleh Kepala SUB Dinas Perbekalan (Kasubdisbek) Dinas Material Korps Marinir (Dismat Kormar) Letkol Marinir Hendy, Selaku penanggung jawab Kepelatihan.





“Pelatihan uji fungsi drone intai dengan kendali jarak jauh dan mampu membawa muatan baik senjata maupun muatan lainnya. untuk memberikan bekal dan meningkatkan kemampuan serta pengetahuan kepada prajurit Denjaka, Batalyon Taifib, dan Brigade Infanteri Korps Marinir. Sasaran dalam latihan ini adalah agar para peserta mampu mengawaki serta meningkatkan pengetahuan drone yang berfungsi untuk mengintai dengan kendali jarak jauh dan mampu membawa muatan baik senjata maupun muatan lainnya. Supaya Korps Marinir bisa menghadapi perkembangan teknologi.

RQ-11 Raven
Nano drone PD 100 Black Hornet
Sembari menunggu kabar apa persisnya jenis drone yang digunakan Korps Marinir, sejatinya drone model backpack sudah lazim diterapkan di lingkungan sipil. Dikemas dalam ransel yang kompak dan terlindung, maka saat dibutuhkan drone dapat cepat digelar. Seperti contohnya pasukan infanteri AS di Irak dan Afghanistan menggunakan drone pesawat RQ-11 Raven. (Bayu Pamungkas)