Minggu, 26 April 2015

Kualitas SS2, Diuji Bocah SD

 
SS2 merupakan senapan serbu unggulan Pindad. Selain sudah disesuaikan dengan ergonomi orang Indonesia sebagai pemakainya, SS2 memiliki tingkat akurasi yang sangat baik. Keberhasilan tim menembak Indonesia menjadi kampiun di sejumlah kejuaraan menembak Internasional mejadi buktinya.
Tapi, tahukah teman-teman watjag, sebelum diproduksi secara massal, pengujian kualitas SS2 dilakukan oleh bocah yang masih duduk di kelas 4 Sekolah Dasar?
Jadi ceritanya begini, waktu itu hari Sabtu di tahun 2003. Direktur Utama PT Pindad saat itu, Budi Santoso, jalan-jalan ke instalasi persenjataan. Tidak seperti biasanya, kali ini ia datang bersama seorang anaknya, Dito yang masih SD tersebut. Saat itu, Budi tengah resah dan bingung menentukan desain akhir SS2 yang di dikembangkan PT Pindad. Karena, pendapat tentara sebagai user selalu berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
Budi Santoso bersama SS2
Lalu Budi mendekati anaknya dan mengatakan begini :
“Kamu pernah pegang bedil?” tanya Budi
“Belum pak” jawab Dito.
“Kalau di video game?” tanya Budi Lagi
“Sudah” dijawab Dito
Budi pun tersenyum, kemudian mengambilkan kursi dan menempatkannya di lorong tembak. Diletakannya SS2 di meja tembak.
“Sekarang kamu tembak. Jangan mikir kena yang mana. Prinsipnya tengahnya,” Kata Budi memandu Dito yang telah bersiap menembak.
Dito pun mulai beraksi. Dalam beberapa kali tembakan yang dilakukan sembarangan, Dito mampu menembak sasaran.
“Memang, enggak tepat. Tapi itu karena pisir dan pejera berbeda. Yang terpenting saya bisa tahu ternyata anak sekecil itu bisa menembakkan SS2 dengan nyaman dan kena sasaran. Saya pikir, anak kecil saja bisa menembak seakurat itu, apalagi tentara yng sudah terlatih. Kalau tentara enggak bisa pakai SS2, ya malu-maluin,” ungkap Budi sambil tersenyum.
Keberhasilan anak Pak Budi menembak dengan cukup baik memberikan confidance bahwa kita mampu membuat senjata bagus. Setelah itu, barulah kita sempurnakan desain SS2,” tambah Ade Bagdja, yang saat itu menjabat Kepala Divisi Senjata.
DSC_0030
Iseng mejeng dengan SS2 V5 Commando
Pada ajang Danjen Kopassus Cup 2015 beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan Wadansat 81 Gultor Kopassus, saya pun menanyakan gimana perkembangan senjata Pindad? Ia pun mengaku bangga dengan produk PT Pindad. Menurutnya, akurasi dan daya tahan sudah banyak kemajuan dibanding seri sebelumnya.
“Untuk akurasi lebih baik dan lebih bagus dibanding M-16. Saya bangga dengan perkembangan senjata Pindad. Untuk akurasi hingga 200 meter cukup bagus,” ucap Pria murah senyum ini.
Saya juga bertemu dengan sejumlah petembak yang mengikuti AARM (ASEAN Armies Rifle Meet) sejak 2005-2015. Mereka juga mengatakan hal yang sama. Hanya, menurut mereka perlu dilihat lagi masalah standarisasi senjata buatan Pindad. Karena menurut mereka, kasus yang sering terjadi adalah kualitas senjata satu berbeda dengan senjata lainnya.
“Kita sangat berharap kualitas senjata Pindad kualitasnya sama dengan yang lain. Standarisasi harus diketatkan lagi. Saat kompetisi, karena nilai kita tim negera lain nanya-nanya masalah senjata kita. Kita akan bantu Pindad agar bisa go Internasional,” harap Pria berpangkat Mayor ini.
(Jalo dan Buku Pijakan Untuk Kemandirian Alutsista)

Rheinmetall melewati tes penerimaan untuk Simulator Leopard 2 Indonesia

 
Leopard 2 main battle  tanks
Leopard 2 main battle tanks

Rheinmetall hari ini mengumumkan bahwa mereka telah berhasil lulus tes penerimaan untuk Leopard 2 simulator untuk Angkatan Darat Indonesia.
Rheinmetall telah menghasilkan simulator mengemudi dan gunnery simulator systems untuk melatih  Leopard 2 untuk personil Indonesia. Proyek ini bernilai beberapa juta euro.
The Leopard Gunnery Skills Trainer (LGST) dan  Driver Training Simulator (DTS) secara khusus dirancang untuk pelatihan awak tank Leopard 2A4 , dan terutama akan digunakan untuk keahlian penggunaan  meriam dan melatih  keterampilan para komandan, penembak dan pengemudi.
MBT_Leo_simulation ( rheinmetall-defence.com )
MBT Leo simulation ( rheinmetall-defence.com )
Produk simulasi Rheinmetall menggabungkan mesin permainan dalam hal visualisasi dengan pelatihan hasil-hasil simulator.
Selama Maret 2015 delegasi dari Indonesia melakuan tes penerimaan pabrik (FAT) di Rheinmetall dan kedua simulator telah berhasil mereka lewati. Pengiriman dan pemasangan simulator akan segera dimulai dalam waktu dekat.
Kontrak ini dan kemajuan yang cepat memberikan kepercayaan global pada Rheinmetall’s simulation technology dan keahlian tank tempur utama. (defenseworld.net)

PTDI antara Mimpi dan Kenyataan !

 
Maaf ini tulisan lama Pak Chappy, banyak yang teriak-teriak soal PT DI. Mari kita kenali dulu sejarahnya :


Bila browsing di internet dengan mengklik PTDI, tampilan yang muncul adalah PTDI,Professional Truck Driver Institute. Padahal, yang ingin dibahas bersama di sini adalah tentang PT Dirgantara Indonesia.
Membingungkan? Sekarang mari kita berkunjung ke website-nya PT Dirgantara Indonesia yang ternyata tertera di sana,mungkin untuk konsumsi global, PTDI dipromosikan dengan nama Indonesian Aerospace Inc. Tercatat didirikan pada 26 April 1976 bernama IPTN dengan N untuk Nurtanio dan pada 11 Oktober 1985 diubah dengan IPTN yang N-nya sudah menjadi Nusantara,serta pada 24 Agustus 2000 berubah lagi menjadi PT Dirgantara Indonesia / Indonesian Aerospace Inc.
Inilah pabrik pesawat terbang termegah di belahan bumi selatan yang sangat sibuk dengan kegiatan utamanya, yaitu gonta- ganti nama dan tenar dengan tagline-nya Tetuko! (sing teko ora tuku-tuku dan sing tuku ora teko-teko) Sementara itu, dalam catatan sejarah yang agak sulit untuk dihapus begitu saja, pada 1940-an Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisurjo,dan Yum Soemarsono bersama dengan Tossi, Ahmad,dan kawan-kawan sudah merintis upaya pembuatan pesawat terbang walau terbatas pada jenis pesawat tidak bermotor.
Berikutnya kemudian dikenal pula rintisan pesawat bermotor yang menggunakan mesin Harley Davidson dengan kode WEL-X/RI–X yang merupakan ujud dari pesawat bermesin pertama karya anak bangsa. Tahun 1954, Nurtanio membuat rancangan pesawat terbang ”Si-Kumbang”. Tidak berhenti di situ,pada 1957–1958 Nurtanio mengembangkan desain pesawat lainnya dengan nama “Belalang” dan “Si Kunang”.
Semua dikerjakan sendiri tanpa adanya kucuran dana dari pemerintah, proyek yang hanya berlandaskan idealisme dan jiwa patriot murni dari sang prajurit udara. Kerja yang jauh dari kegiatan seremonial apalagi dengan hal yang glamor serta luxurious sifatnya. Pada tahun 1976, seluruh kegiatan yang patriotik itu distop dan hanggar eksperimen serta kawasan di sekitarnya diambil alih untuk didirikan IPTN yang megah dan meriah.
Secara bertahap, para personel Angkatan Udara dieliminasi secara sistematis, dan puncaknya pada 1985 nama pahlawan kebanggaan Angkatan Udara yang sangat dihormati, Nurtanio, dicoret dan diganti dengan Nusantara. Berlanjut kemudian pada tahun 2000 menjadi PTDI.
Harapan?
Kini PTDI, di tengah kelesuan dari production line-nya, bertiup angin segar dari pemerintah. Dengan menyandang bendera industri strategis pertahanan, kelihatannya ada keinginan untuk menghidupkan ulang PTDI sebagai pabrik pesawat terbang. Proyek C-295 dan N-219 konon sudah nongkrong di depan pintu untuk digarap.
Kabar ini tiba-tiba saja muncul sebagai pembawa “angin surga”, pengembangan industri pertahanan dalam negeri yang akan segera tampil ke pentas global. Harus diingatkan selalu bahwa keinginan yang patut dihargai sebagai langkah berani untuk kembali ke jalan yang benar ini, janganlah sampai menjadi tidak lebih dari pepesan kosong belaka.
Sekat feodalistis telah menjadi barrier yang sangat ampuh dalam menghambat aliran informasi ke meja “Big Boss”. Ide-ide cemerlang hendaknya jangan dibiarkan melayang di atas awan. Ide-ide dengan proyek-proyek besar seyogianya dibawa untuk “down to earth” terlebih dahulu, diajak untuk melihat realita yang ada di PTDI. Realita yang selalu saja sulit untuk bisa sampai di meja kerja sang pemimpin.
Dari kenyataan yang ada,PTDI masih berhadapan dengan begitu banyak PR yang harus diselesaikan dulu sebelum dapat diajak untuk mengerjakan proyek-proyek sekelas C-295 dan atau N-219. PR yang pertama adalah bahwa PTDI masih menghadapi masalah serius tentang keuangan bernilai lebih dari satu triliun, berkait dengan manajemen dana pensiun dari para pegawainya.
Di samping itu, PTDI juga berhadapan dengan masalah kaderisasi SDM terutama menyangkut produktivitas dan kapabilitas perancangan yang membutuhkan waktu lama untuk dapat memenuhinya. Sebagian besar telah mencapai usia 50 tahun. Hal sangat penting lainnya adalah menyamakan persepsi tentang pabrik atau industri pesawat terbang yang tidak bisa dan atau tidak mungkin berdiri sendiri.
Almarhum Dr Said Jenie mengatakan tentang mutlaknya dibangun tiga pilar industri penerbangan nasional di bawah asuhan pemerintah, sebagai “konduktornya”. Ketiga pilar itu adalah Angkatan Udara, Pabrik Pesawat, dan Perguruan Tinggi. Bila tidak ada long term strategic planning yang mapan serta dukungan dana yang konsisten, akan sia-sialah apa pun yang dikerjakan.
Harus ada proyek-proyek pesawat militer jangka panjang yang dapat dikonversikan juga sebagai pesawat angkutan udara sipil yang menjadi program terpadu,lengkap dengan ditopang oleh kegiatan penelitian dan pengembangan. Karena pada hakikatnya, untuk bersaing di panggung global tanpa pijakan pasar di dalam negeri, pasti akan langsung menjadi pungguk yang merindukan sang bulan.
Pola Kerja Sama
Khusus untuk proyek C-295 (sebenarnya adalah merupakan pesaing dari N-250) telah mengembalikan posisi PTDI persis seperti pada waktu mengerjakan C-212. Bila tidak ada hero dari pihak ketiga, “local content” 50% tidak akan pernah bisa tercapai. Lebih-lebih (mungkin saja terjadi) data engineering-nya tidak diberikan.
Kalau saja hal ini dipaksakan juga, peran PTDI nantinya tidak akan optimal. Memang ada pilihan lain yang lebih realistis mungkin, yaitu PTDI beralih untuk lebih banyak berkonsentrasi pada industri komponen, seperti yang selama ini dilakukan dalam konteks survival.
Namun, harus digarisbawahi bahwa added value yang akan diperoleh sangat rendah, karena akan berperan sebagai yang sering diselorohkan sebagai “tukang obras”. Di sini hanya dibutuhkan tenaga STM dan politeknik saja. Tidak dibutuhkan para sarjana. Nah, itulah semua apa adanya di PTDI, sebuah pabrik pesawat yang tengah kehilangan nyawanya, kehilangan spiritnya sebagai akibat dari antara lain,melenyapkan nama besar
Nurtanio sebagai perintis industri penerbangan di Indonesia. Sebuah ironi dari balada industri pesawat terbang yang didirikan dengan pendekatan kekuasaan belaka. Menggunakan kawasan orang lain dengan sekaligus menghapus sejarah dan nama besar pemiliknya.
Masih besar harapan untuk bangkit kembali, dengan syarat menyelesaikan terlebih dahulu beberapa PR yang kini tengah dihadapi sebelum bergulir dengan proyek-proyek besar seperti C-295 dan atau N-219.
Mudah-mudahan, kebanggaan Indonesia tidak berhenti hanya kepada para SDM-nya yang kini berkiprah di hampir seluruh pabrik pesawat di muka bumi ini,Insya Allah.

Jakarta 18 Nopember 2011
CHAPPY HAKIM Komisaris Utama PTDI 2002–2005,
Chairman CSE Aviation

Jumat, 24 April 2015

Mengenang Poros Jakarta-Peking-Moscow yang buat gemetar AS & Barat

Soekarno dan Kim Il-sung. ©timawa.net
Sikap Indonesia di Konferensi Asia Afrika menuai pujian. Ketegasan sikap untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina dan menentang kolonialisme ekonomi mendapat simpati para negara peserta KAA.
Wakil Ketua Komisi I Tantowi Yahya mengaku bisa melihat ketakutan sejumlah negara barat dengan langkah Indonesia yang makin mendekatkan diri pada Tiongkok.
“Apakah ini upaya untuk meraih dukungan Tiongkok yang kembali akan dijadikan sahabat utama? Time will tell. Namun yang jelas, Jepang sebagai aliansi Amerika dan saudara tua kita, saat ini sangat mengkhawatirkan politik luar negeri kita yang saat ini lebih condong ke Tiongkok,” kata Tantowi di Gedung DPR RI, Senayan, Kamis (23/4).
Dirinya bahkan memuji keberanian pemerintah dalam menentukan langkah politik internasionalnya itu, sebagai sebuah resiko demi membangun Indonesia yang lebih baik, dan adil dalam pemerataan kesejahteraan.
“Ada kekhawatiran poros Jakarta-Beijing-Pyongyang akan hidup lagi,” ujar Tantowi.
Dulu di era Soekarno, poros Jakarta-Peking-Pyongyang-Moscow ini sangat kuat. Indonesia menerima banyak bantuan dan tawaran persahabatan dari China, Korea Utara dan Rusia.
Bukan tanpa alasan Soekarno lebih memilih negara-negara tersebut. Soekarno tak mau menerima bantuan dari Amerika Serikat yang penuh syarat dan kepentingan politis. Ketika melawat ke AS dan memiliki kesempatan berpidato di depan kongres AS, Soekarno dengan tegas menolak bantuan dari negara adidaya itu.
“Indonesia menolak diperlakukan seperti seekor kenari dalam sangkar emas dan diberi makanan yang enak-enak. Indonesia ingin diperlakukan seperti burung garuda yang berada di atas batu cadas tetapi bebas berjuang mencari makanannya sendiri. Jangan membanjiri Dolar anda ke Indonesia dengan disertai ikatan karena pasti akan ditolak,” tegas Soekarno dengan marah sekitar tahun 1955.
Para anggota Kongres AS terpesona dengan pidato tersebut. Secara spontan mereka berdiri dan memberi tepuk tangan panjang sebagai penghormatan atas sikap Soekarno.

Industri IT Lokal, Benteng Kedaulatan Informasi

ilustrasi (ist)
Kedaulatan informasi menjadi isu penting di 2015. Dalam gelaran IT terbesar dunia, CeBIT 2015, mantan kontraktor intelejen NSA (National Security Agency) Edward Snowden menyampaikan meningkatnya kegiatan pengintaian cyber disebabkan oleh semakin massifnya negara-negara menghimpun informasi dari internet.
Snowden terkenal setelah diburu Amerika Serikat karena membocorkan banyak kegiatan penyadapan terhadap negara lain dan warganya sendiri. Indonesia sendiri mempunyai pemakai internet lebih dari 80 juta orang. Namun aktifnya pemakai internet Indonesia belum bisa diimbangi oleh keamanan yang memadai.
Prasarana yang ada belum fokus pada keamanan para pemakai. Contoh nyata adalah pencurian dana nasabah di tiga bank besar senilai Rp 130 milyar. Menurut Bareskrim POLRI, pelakunya adalah warga asing dari daratan Eropa.
Modus yang dipakai adalah memberikan software palsu yang diinstal di komputer. Sehingga saat korban mentransfer, rekening tujuan dibelokkan ke rekening mereka.
Dalam diskusi “Update Isu IT Security”, di Jakarta, Ketua lembaga riset keamanan cyber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) Pratama Persadha menyampaikan bahwa pemerintah selayaknnya fokus dan serius menghadapi tantangan keamanan cyber yang semakin nyata. Bahkan, pemerintah perlu mengambil sikap ekstrim dalam mewujudkan kedaulatan informasi di dunia cyber.
“Kedaulatan informasi di Indonesia bisa diwujudkan dengan industri IT lokal yang kompetitif. Selanjutnya pembangunan infrastruktur sistem informasi dan komunikasi menggunakan buatan lokal, serta memakai tenaga dalam negeri,” jelasnya.
Menurut Pratama, produk dalam negeri ini bisa lebih dipercaya dibanding produk asing. “Bila sudah masuk pada hal sensitif dan penting, pemerintah sebaiknya memakai produk dalam negeri. Jangan sampai terulang kasus e-KTP,” terang mantan Ketua Tim Pengamanan IT KPU ini.
Kemampuan IT dalam negeri memang tidak bisa dipandang remeh. Pertengahan Maret lalu 12 perusahaan Indonesia dalam wadah Indoglobit yang mengikuti CeBIT 2015 cukup mengagetkan Eropa. Kemampuan membangun teknologi informasi dan komunikasi mereka tidak bisa dipandang remeh. Bahkan beberapa teknologi keamanan sistem informasi dan komunikasi yang dipamerkan mampu menyedot perhatian pengunjung yang hadir.
Hal ini diamini oleh Pratama yang juga hadir di CeBIT Hannover Jerman. Menurutnya pemerintah harus memberi ruang dan mendorong industri IT lokal berkembang. “Jangan sampai gegap gempita dunia cyber Indonesia malah dinikmati asing karena semua layanan dan infrastruktur mereka yang kuasai,” tegasnya. (Sindonews)

TNI Sita Senapan Peninggalan Eks Timor Timur

Senapan buatan Italia jenis Springfield kaliber 15 mm sisa peninggalan eks Timor Timur yang disita Satgas Pengamanan Perbatasan dari seorang warga Nusa Tenggara Timur (NTT). (Sefnat Besie/iNews TV)
Senapan Lontak Musket buatan Italia jenis Springfield kaliber 15 mm sisa peninggalan eks Timor Timur disita Satgas Pengamanan Perbatasan dari seorang warga Nusa Tenggara Timur (NTT).
Senjata api laras panjang itu diperoleh warga usai jajak pendapat Timor Timur tahun 1999 silam.
Komandan Satgas Pengamanan Perbatasan RI-RDTL, Sektor Barat, Letkol Inf Yudi Gumilar, mengatakan, lantaran kepemilikan senjata itu dirasa sangat mengganggu, warga yang tak ingin identitasnya diketahui akhirnya rela menyerahkan kepada TNI.
“Senjata buatan Italia itu diserahkan oleh warga kepada anggota TNI di Pos Haslot, Motamasin saat usai kegiatan anjangsana, karya bhakti, dan kegiatan keagamaan serta sosialisasi kepemilikan senjata ilegal,” ungkap Yudi Gumilar, Jumat (24/4/2015).
Menurut Gumilar, sebelumnya warga takut untuk menyerahkan senpi ilegal tersebut lantaran takut bisa berhadapan dengan hukum.
Namun saat usai melakukan sosialisasi, warga dengan sukarela menyerahkan kembali senjata ilegal tersebut.
“Senjata itu sudah diserahkan awal pekan ini. Alasan warga sembunyikan karena bila diserahkan bisa diproses hukum. Setelah warga rela serahkan, selanjutnya barang bukti itu kita bawa ke Makosatgas sektor Barat di Kefamemanu, Timor Tengah Utara,” timpal Gumilar.
Dia mengimbau warga yang masih menyimpan senjata api ilegal agar secepatnya menyerahkan kepada TNI sebab dikuatirkan warga salah menggunakan senjata api tersebut dan bisa menimbulkan korban jiwa bagi orang lain. (Sindonews)

Menerawang Plus Minus Sukhoi Su-35 Super Flanker Untuk TNI AU

su35_10
Ibarat jelang Pilpres (Pemilihan Presiden) 2014 lalu, maka kontestan Sukhoi Su-35 Super Flanker bisa disebut sebagai calon paling kuat untuk memenangkan kompetisi. Tak ada yang menyangkal bahwa Su-35 adalah pesawat tempur tercanggih Rusia dengan label keunggulan multirole air superiority fighter dari generasi 4++. Lepas dari seabreg kecanggihannya, sejak awal Super Flanker ini mampu mencuri ‘hati’ publik di Indonesia.
Harus diakui, pandangan masyarakat begitu dominan menginginkan jet tempur ini sebagai pengganti F-5 E/F Tiger II TNI AU yang segera pensiun. Keinginan menggebu publik di Tanah Air setara dengan kerinduan datangnya kapal selam Kilo Class yang urung dibeli Indonesia. Dukungan pada Su-35 di ‘akar rumput’ justru mengemuka ke soal non teknis, seperti kerinduan akan kejayaan militer Indonesia saat mesra di era Uni Soviet, hingga ke soal embargo. Rusia disebut-sebut paling rendah kerawanan dalam hal embargo, bukan lantaran Rusia anti embargo, namun lebih pada kepentingan politik/ekonomi Rusia yang tak terlampau besar di Indonesia, terutama jika dibandingkan dengan kepentingan AS dan Eropa Barat di Indonesia.
Su-35-Flanker-E-1su35image001
Sementara TNI AU sebagai user, juga menyiratkan keinginannya untuk bisa mendapatkan pesawat tempur ini, sebagai pertimbangan mulai dari urusan daya deteren, sampai transformasi teknologi, tentu tak begitu sulit karena pilot dan teknis TNI AU sudah punya pengalaman dalam mengoperasikan Su-27SK/Su-30MK yang ada di Skadron Udara 11. Senjata yang telah dibeli untuk melengkapi Su-27/Su-30 pun dapat langsung dipasang di Su-35. Beberapa rudal canggih yang telah dimiliki TNI AU seperti rudal udara ke udara R-73, R-77 dan R-27. Sementara rudal udara ke permukaan, TNI AU sudah punya Kh-29TE dan Kh-31P.
Lepas dari soal non teknis diatas, Su-35 yang oleh NATO diberi label Flanker E memang fenomenal. Su-35 yang terbang perdana pada 19 Februari 2008, sejatinya adalah derivatif heavy upgrade dari Su-27 Flanker, single seat fighter yang juga telah dimiliki TNI AU. Meski bukan identitas resmi, versi yang ditawarkan ke Indonesia ada yang menyebut sebagai Su-35BM. Keunggulan thrust vectoring yang memungkinkan manuver cobra pughachev dapat dilakukan dengan mudah, dan memberi keunggulan tersendiri saat dog fight.
Thrust vectoring nozzle Su-35.
Thrust vectoring nozzle Su-35.

Kemunculan Su-35 Super Flanker pertama di muka publik internasional yakni pada Paris Air Show di Le Bourget tahun 2013. Di Paris Air Show, Su-35 unjuk kemampuan dengan melakukan manuver yang mencengangkan dan menurut banyak pengamat sulit ditandingi jet tempur keluaran Eropa Barat, konon yang mampu menandingi hanya F-22 Raptor yang sama-sama ditenagai mesin dengan nosel pengarah daya dorong mesin (thrust vectoring engine).
Meski secara desain bak pinak dibelah dua dengan Su-27, namun secara struktur Su-35 berbeda dengan Su-27, terlebih untuk jeroan elektronik yang dibenamkan. Bicara tentang airframe, struktur Su-35 diperkuat agar memiliki usia pakai lebih lama ketimbang Su-27, serta perkuatan airframe dimaksudkan agar pesawat mampu menahan gaya akibat manuver ekstrim. Meski avionik dan sensornya baru, tapi radarnya masih mengadopsi Irbis-E PESA (passive electronically scanned array), tapi jangkauannya terbilang jauh dan secara teknologi masih lebih baik dari mechanically scanned radar, atau radar konvensional. Radar Irbis-E di Su-35 dapat mendeteksi 30 sasaran di udara secara simultan, dan mampu melakukan serangan ke delapan target secara bersamaan. Jangkauan radar ini disebut-sebut mampu mengendus sasaran hingga jarak 400 Km.
Radar Irbis-E
Radar Irbis-E

Dan sebagai produk teknologi, Su-35 pun tak lepas dari plus minus, dan berikut plus minus Sukhoi Su-35 dari perspektif Indonesia.

Plus
– Su-35 sampai saat ini baru dimiliki Rusia, itu pun masih terbatas karena tergolong pesawat baru. Faktor ini ditambah masih misteriusnya kapabilitas Super Flanker yang masih dirahasiakan.
– Karena masih banyak yang berbau rahasia, sontak Su-35 punya daya deteren paling tinggi dibanding Eurofighter Typhoon, Dassault Rafale, dan JAS 39 Gripen NG.
– Daya angkut senjata (tonase dan jumlah) tergolong tinggi dengan 12 hard point.
– Mesin punya usia pakai yang lebih panjang ketimbang Flanker sebelumnya.
– Paling rendah kerawanan terhadap adanya embargo.
– Bisa memanfaatkan/membawa bekal senjata Flanker generasi sebelumnya.
– Mampu beroperasi dari landasan pendek berkat mesin yang dilengkapi TVC (thrust vectoring control), bahkan konfigurasi rodanya menjadikan Su-35 dapat dioperasikan dari landasan yang agak kasar.
– Pihak user (TNI AU) sudah menyatakan pilihannya pada Su-35.
SU-30-MK2-&-SU35

Minus
– Hanya tersedia dalam varian kursi tunggal, alhasil proses latih tempura atau konversi hanya bisa dilakukan di simulator. Atau bisa juga mengandalkan Su-30MK2 Flanker yang juga telah dimiliki TNI AU.
– Biaya operasional per jam terbilang paling tinggi, ada yang menyebut Sukhoi sebagai ‘ATM terbang.’ Mengutip informasi dari defence.pk, biaya operasional per jam (cost of flying per hours) Su-27/Su-30 mencapai US$7.000, sementara untuk Su-35 biaya operasi per jam bisa mencapai US$14.000. Sebagai perbandingan biaya operasional per jam F-16 hanya US$3.600.
– Belum ada kejelasan untuk detail skema ToT (Transfer of Technology) yang ditawarkan kepada pihak PT Dirgantara Indonesia. (Ram)