Jumat, 03 Oktober 2014

Kejutan jelang HUT TNI

M113 TNI-AD Kurang dari seminggu selebrasi perayaan HUT TNI, berbagai alutsista telah disiapkan. Beberapa diantaranya sudah tiba di tanah beberapa minggu atau bulan sebelumnya. Tapi ini yang paling mengejutkan. Yaitu munculnya ranpur baru yang direncanakan akan memperkuat TNI-AD. Inilah ranpur M-113, yang telah tiba di Bandara Soekarno Hatta, kamis siang.
M113 TNI-AD Gosip mengenai akuisisi ranpur M-113 sejatinya telah ARC dengar sejak beberapa waktu lalu. Jumlah dan akan dimana penempatannya masih belum jelas. Namun konon kabarnya, ranpur buatan Amerika ini akan memperkuat Batalyon Infantri Mekanis. Meski demikian, yang pasti ranpur ini akan turut serta dalam defile perayaan HUT TNI ke 69, 7 oktober mendatang.

ARC. 

Model Klaster Industri Strategis Indonesia

 
Indonesia pernah berhasil mengembangkan klaster industri strategis melalui upaya transformasi industri nasional yang digagas Prof. B. J. Habibie. Menerapkan konsep “mulai dari akhir dan berakhir di awal” yang populer itu, negeri ini dalam rentang seperenpat abad (1970-1995) mampu mengembangkan antara lain industri dirgantara, industri maritim dan perkapalan, industri pertahanan, industri elektronika dan telekomunikasi, sebagai engine of growth sekaligus pijakan menuju tahap ekonomi berbasis inovasi.
“Kita tidak bisa membuat sebuah penemuan ulang suatu teknologi yang sudah lama ditemukan bangsa lain, sebab kita akan tertinggal,” demikian ucapan yang terkenal dari B. J. Habibie, mewakili konsep transformasi industrinya. Artinya, Indonesia perlu melakukan terobosan, alih-alih meniru dan menempuh “jalur lambat” tahapan evolusi industri negara-negara maju yang dimulai dari fase riset dasar hingga ke fase perakitan dan pemasaran produk. Melalui formula micro-accelerated evolution unit (MAEU), B. J. Habibie merumuskan bahwa tahapan transformasi industri Indonesia berlawanan arah dengan fase di negara-negara maju justru akan dimulai dari fase perakitan dan pemasaran produk dan berakhir di fase riset dasar.
4 tahap klaster
Konsep terobosan transformasi industri ini mengejawantah dalam empat tahapan penting, yang kadang-kadang dilakukan secara overlap

Tahap Pertama :
Pembentukan kemampuan teknologi produksi melalui penerapan Progresive Manufacturing Plan (PMP). Ini merupakan kebijakan terpadu untuk membentuk kemampuan manufactur suatu produk dengan teknologi yang diperoleh melalui lisensi, yang secara bertahap, teknologitersebut akan dikuasai sepenuhnya. Tahap ini meliputi pula upaya untuk meningkatkan kandungan lokal serta menguasai berbagai aspek organisasi dan manajemen QCD (quality, cost, delivery) produksi, jaringan vendor dan industri pendukung, pemasaran, penjualan dan layanan purna jual, dan berbagai aspek bisnis lain bertaraf internasional. Contoh produksi teknologi tahap pertama adalah CN-212, kapal Caraka Jaya, pabrik pupuk Iskandar Muda, pabrik Semen Gresik, Fast Patrol Boat (FPB) 57, kereta api argo bromo, dan Argo Gede serta sistem telekomunikasi Pasopati.
Tahap Kedua :
Pembentukan kemampuan mendifusikan dan mengintegrasikan teknologi ke dalam desain dan manufaktur suatu produk baru yang memiliki pasar prospektus. Selain memperdalam kemampuan yang mulai terbentuk pada tahap pertama, tahap kedua memfokuskan diri pada penguasaan berbagai aspek pengembangan produk dan hubungan umpan-baliknya yang rumit melalui perencanaan produksi, analisa pasar, manajemen siklus hidup produk/teknologi, Metrology, Standard, Testing and Quality (MTSQ), serta pengembangan jaringan pemasaran dan purnajual.
Pada tahap ini dibentuk pula berbagai aliansi dengan sumber-sumber teknologi sebagai bagian dari upaya untuk mengoptimalkan seluruh proses desain, produksi, dan pemasaran. Produk-produk domestik yang dihasilkan pada tahap ini ialah CN-235, mobil Toyota Kijang, kapal Palindo Jaya I, pabrik Pupuk Pusri 1-B, Garbarata dan jalan layang Sosrobahu.
Tahap Ketiga :
Pembentukan kemampuan inovasi untuk menginstegrasikan teknologi termutakhir, sekaligus mengembangkan desain dan manufaktur produk baru yang lebih maju ketimbang yang telah ada di pasar. Pada tahap ini dipersiapkan kemampuan bersaing secara langsung dan terbuka di pasar global, seiring dengan terbentuknya kepercayaan diri dalam pengembangan dan pemasaran produk baru pada tahap kedua.
Faktor-faktor keberhasilan krusial pada tahap ini meliputi kemampuan untuk :
  1. Mengikuti dan mengantisipasi kemajuan iptek
  2. Memobilisasi dan mengelola akumulasi keahlian baik yang terbentuk melalui berbagai kegiatan desain, produksi, dan pemasaran secara rutin maupun yang melalui kegiatan litbang di dalam perusahaan maupun tempat-tempat lain di dalam negeri
  3. Mengembangkan berbagai bentuk hubungan dengan jaringan global sumber-sumber iptek.
Unsur penting lainnya adalah pemahaman tentang mekanisme “Teknologi Push” dan “Market Pull” yang komplek di dalam proses inovasi serta kaitannya dengan sistem bisnis dan persaingan secara menyeluruh. Contoh produk alih teknologi tahap ketiga antara lain pesawat N-250 Gatotkoco dan mesin tekstil Texmaco. Setelah melalui tahap ketiga, perkembangan industri menjadi sangat bergantung pada perkembangan dunia riset, informasi, dan khasanah iptek yang terbentuk baik didalam maupun di luar negeri.
Tahap Keempat :
Sebagai konsekuensinya, di tahap ini perlu dikembangkan kemampuan penelitian dasar secara substansial. Ini ditujukan untuk menciptakan ilmuwan-ilmuwan yang mampu berkiprah pada ujung tombak kemajuan teknologi, dimana kehadiran mereka juga penting untuk mengaitkan diri ke jaringan riset global. Hubungan antara industri dan masyarakat ilmu pengetahuan dan penelitian yang telah mulai dirintis pada tahap ketiga juga akan diperluas.
Konsep transformasi industri B. J. habibie ini mengantarkan Indonesia yang pada 1990-an dijuluki salah satu “Macan Asia” memiliki sepuluh BUMN industri strategis yang dikembangkan dan dikoordinasikan oleh Badan Pengelola Industri Strategis, yakni PT. IPTN (sekarang PT. DI-penerbangan), PT. PAL (perkapalan), PT. LEN (elektronika), PT. INKA (perkeretaapian), PT. INTI (telekomunikasi), PT. Krakatau Steel (baja), PT. Pindad (persenjataan), PT. Barata Indonesia (peralatan berat), PT. Boma Bisma Indra (peralatan industri) dan PT. Dahana (bahan peledak).

Rabu, 01 Oktober 2014

Gripen E, Calon Pesawat Tempur Penganti F5



Gripen E  (airforce-technology.com)
Gripen E (airforce-technology.com)

Biaya operasional per jam
Indonesia bisa menerbangkan 4 Gripen E dengan biaya per jam yang sama untuk menerbangkan Su-27/30/35. Biaya operasional Gripen per jam hanya $4800 per jam, ini berarti juga hanya 59% dibanding biaya F-16.
MBDA Meteor
Gripen adalah pesawat pertama yang dipersenjatai missile jarak jauh ini. Meteor dengan teknologi Ramjet dianggap lebih baik / lebih modern dibanding AMRAAM C7 tipe terbaru yang bisa di ekspor Amerika (kalau kita bisa dapat izinnya). Meteor juga lebih unggul dibanding R77 tipe konvensional Russia (kecuali tipe R-77PD, tapi ini belum operasional).
Logistik/Fleksibilitas:
Gripen dirancang untuk bisa operasional di landasan “darurat” di masa perang. Dia bisa mendarat di jalan raya, asalkan ada cukup 800 meter jalan yang lurus. Gripen juga dirancang untuk bisa dipersenjatai/ diisi bahan bakar (dalam keadaan perang) hanya dengan 5 orang yang terlatih dan 1 truk pengangkut.
Di masa perang, Indonesia dengan puluhan ribu pulau, berpotensi bisa “menyembunyikan” Gripen E mereka di jutaan tempat. Sekarang ini, kalau Lanud Sultan Hassanudin, Pekan Baru, dan Iswayudhi berhasil di bom di hari pertama, TNI-AU kita mungkin sudah akan berantakan.
Supercruise
Gripen E ada salah satu tipe yg bisa melebihi kecepatan suara tanpa menggunakan afterburner. Su-27/30/35 dan F-16 mungkin bisa melaju lebih cepat, tapi tidak bisa lama-lama karena afterburner memboroskan bensin. Ini artinya, Gripen lebih mudah untuk melakukan “interception” (penyergapan). Mereka juga bisa menembakan Meteor dari jarak yang lebih jauh dibanding negara lain yang punya F-35, F-18E, atau F-15SG.
Radar
Gripen E sudah membawa Selex AESA radar, dan juga memiliki IRST (Infra-Red Search&Tracking) – ini memudahkan utk bisa mencari pesawat tipe F-35 (yang akan dibeli Singapore/Australia) di udara. Jika TNI-AU membeli Gripen E, ini untuk pertama kalinya kita bisa memiliki akses ke radar AESA yang akan menjadi standar untuk 50 tahun ke depan.
Networking
Gripen E is a Networked fighter. Sampai sekarang, hanya Su-27/30 di Indonesia yang mempunyai airborne Network (TSK-2), ini pun tidak compatible dengan transfer data dari radar-radar TNI-AU di darat. Dengan membeli Gripen-E, kita bisa mengintegrasi pesawat ini dengan semua radar di darat, dan juga kita bisa membuka kemungkinan pembelian pesawat AWACS.
Support
Dengan teknologi transfer 100%, kedaulatan Indonesia lebih terjamin dibanding sekarang, yang mengandalkan F-16 buatan Amerika (yang tukang blokade spare part). Mesin F414 memang masih buatan Amerika, tapi dari segi support akan mirip dengan tipe F404 yang sekarang dipakai dengan T-50i TNI-AU. Kita bisa berinvestasi utk mensupport dua mesin ini dengan lebih lancar terlepas dari support Amerika.
Gripen E  (airforce-technology.com)
Gripen E (airforce-technology.com)

Pengganti F-5E
Biaya operasional sama-sama murah, jarang jangkau jauh lebih baik, Gripen juga jauh lebih modern dan lebih cepat. Pembaca juga harus memperhatikan, sebentar lagi Hawk 209 / 109 yang dibeli TNI-AU di tahun 1990-an juga akan memasuki usia uzur. Ini membuka kemungkinan bahwa setelah membeli 16 pesawat (menggantikan F-5E), Indonesia bisa membeli 32 pesawat lagi utk menggantikan Hawk 209 di Skuadron 1 dan 12.
Terakhir, proyek KF-X dengan Korea, saya rasa masa depannya sangat diragukan. Sekarangg ini Korea sudah berkomitmen untuk membeli F-35 (harga selangit & memakan biaya anggaran AU Korea). Banyak orang di Korea juga menyatakan bahwa kemungkinan besar KF-X akan menelan biaya yang sama dibanding membeli F-15SE. Korea juga belum cukup punya kemampuan/pengalaman untuk mengembangkan pesawat dengan target ambisius seperti ini.
Gripen E adalah pilihan terbaik utk TNI-AU saat ini utk menjaga kedaulatan bangsa di saat krisis. Pesawat ini akan memiliki keunggulan secara tehnologi, network, support, kinematis, dan ongkos operasional dibanding potensial lawan2 regional seperti F-15SG dan F-16C/D Block 52 Singapore, F-18E Super Hornet Australia, dan Su-30MKM Malaysia.
(by Gripen for Indonesia / defense-studies.blogspot.com)


JKGR.

Tawaran Eurofighter untuk Indonesia

Eurofighter Typhoon
Eurofighter Typhoon

Dalam waktu dekat Kementerian Pertahanan dikabarkan akan kembali mengakuisisi jet tempur baru untuk mengisi hanggar Skadron Udara 14, yang sebentar lagi ditinggalkan jet pencegat F-5E/F Tiger II.
Salah satu kandidatnya adalah Eurofighter Typhoon, yang belakangan gencar ditawarkan pihak Airbus Defence & Space. Bagi Angkasa, kemunculan pesawat ini terbilang menarik, setidaknya oleh karena dua hal. Pertama adalah karena pesawat ini sejatinya dibuat berdasarkan filosofi atau kebutuhan khusus untuk sistem pertahanan udara Eropa. Dan kedua, karena pesawat ini ditawarkan dengan paket transfer teknologi yang bisa digunakan untuk masa depan industri kedirgantaraan Indonesia.
Keunggulan yang ditawarkan Typhoon ada pada dua dapur pacu Eurojet EJ200 berkekuatan masing-masing 13.490 pon dengan thrust-weight ratio 1,15 untuk menjamin kemampuannya mengejar dan menaklukkan lawan secara cepat di udara. Dengan sepasang canard yang terpasang di depan, pesawat sayap delta ini dijamin mampu melakukan gerakan menekuk dengan angle of attack yang jauh lebih impresif dibanding jet tempur pada umumnya. Gerakan menekuk amat diperlukan karena langit negara Eropa terbilang sempit.
Angkasa mencatat, Typhoon telah dirancang sejak 1980-an – ketika banyak negara Eropa tengah dihantui ekses Perang Dingin – namun baru bisa diterbangkan untuk pertama kali pada 1994 atau empat tahun setelah Perang Dingin usai. Manuverabilitas yang tinggi jadi persyaratan utama karena jet tempur ini akan digunakan sebagai tulang tombak penghadangan jet-jet tempur Uni Sovyet yang umumnya dirancang untuk menembus pertahanan udara lawan dan melakukan pemboman masif.
Penggarapan pesawat ini dipecah di empat pabrikan yang terletak di Jerman (DASA), Inggris (BAe), Italia (Aeritalia), dan Spanyol (CASA) yang pengintegrasiannya dikendalikan secara terpusat oleh Eurofighter Jagdflugzeug GmbH. Oleh sebab restrukturisasi yang diberlakukan Uni Eropa, pembuatan dan komersialisasinya kini dilimpahkan kepada BAE System, Alenia Aermacchi dan Airbus Defence & Space.
Nah, karena kewenangan penjualan atas segala produk Airbus DS untuk Indonesia dan sekitarnya kerap dilimpahkan kepada PT Dirgantara Indonesia, upaya penjualan Typhoon di wilayah ini pun dititipkan kepada manajemen pabrik pesawat yang ada di Bandung tersebut.

Sedang Dikaji
Pihak Kementerian Pertahanan dan KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) sendiri memastikan bahwa Typhoon sudah masuk sebagai kandidat. Bersama Sukhoi Su-35 (Rusia), Dassault Rafale (Perancis), Saab Jas-39 Gripen (Swedia), Boeing F/A-18E/F Super Hornet (AS) dan Lockheed Martin F-16 Block 62, pesawat ini akan segera diseleksi menurut kebutuhan operasional (ops-req) yang diajukan TNI AU.
eurofighter-typhoon (photo: baesystems)
eurofighter-typhoon (photo: baesystems)

“Pesawat-pesawat itu kini sedang dikaji. Keputusan baru akan diambil setelah pemerintahan baru berkuasa. Kita tunggu saja” ujar sebuah sumber. Pernyataan ini serta-merta mementahkan berita online yang menyatakan bahwa Pemerintah telah menyatakan positif membeli dan tengah menunggu pengirimannya.
Lalu seperti apa persisnya transfer teknologi yang ditawarkan? Belum ada rincian pasti. Namun, seperti diungkap Vice President Bisnis dan Pemerintahan PT Dirgantara Indonesia, Irzal Rinaldi Zailani, transfer teknologi yang ditawarkan bisa mengarah ke teknologi atau elemen yang diperlukan dalam perancangan jet tempur KFX/IFX. Oleh karena proses perakitannya bisa dilakukan di Bandung, enjinir PT DI juga bisa ikut menyerap ilmu dalam pembuatan jet tempur.
KFX/IFX adalah prototipe jet tempur masa depan yang tengah dirancang Korea Selatan bersama Indonesia. Merujuk Angkasa (Februari 2014), meski telah menuntaskan tahapan Pengembangan Teknologi pada akhir 2012, pemenuhan standar generasi 4,5 yang diharapkan masih menemui sejumlah kendala. Pesawat ini diantaranya belum menemukan mitra yang benar-benar mau “berbagi” teknologi radar penjejak sasaran multi-fungsi (AESA) dan mesin pendorong berkekuatan besar.
Dari tiga gambaran mesin yang dinilai cocok, yakni Eurojet EJ200, General Electric F-414 dan General Electric F-414 baru pihak Eurojet-lah yang menawarkan diri. Di lain pihak General Electric (AS) menyatakan berat untuk berbagi mesin yang kini menjadi andalan F/A-18E/F Super Hornet itu, namun tidak dengan GE F-100 yang selama ini dipakai F-16 versi awal.
“Kami tak mau pakai F-100, karena daya dorongnya terlalu kecil. Kami tetap pada prinsip bahwa jet tempur yang dihasilkan harus yang unggul. Kalau seadanya, itu sama saja cari mati,” ujar Dr Rais Zain, M.Eng, KFX/IFX Configuration Design Leader kepada Angkasa.
Selain itu, kedua pihak juga masih mencari sistem persenjataan yang bisa disimpan dalam internal weapon bay, sistem data-link yang bisa mengacak komunikasi darat-udara dan perangkat anti-jamming.
(Angkasa Magazine, No 12/XXIV, September 2014)

Dituduh gembong PKI oleh Soeharto, ini jawaban Jenderal Pranoto

Dituduh gembong PKI oleh Soeharto, ini jawaban Jenderal Pranoto


Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra menjalani 15 tahun dalam tahanan Orde Baru. Dari tahanan sementara di Komplek Polisi Militer Kebayoran Baru, Nirbaya hingga Rumat Tahanan Militer Boedi Oetomo. Dia tak pernah dihadirkan ke pengadilan.

Soeharto menangkap Pranoto dengan tuduhan gembong PKI dan terlibat G30S. Namun selama dalam tahanan, Pranoto tak pernah diperiksa resmi. Dia hanya diwawancara oleh pemeriksa dari Team Pemeriksa Pusat (Teperpu).

Satu hal yang dituduhkan, Pranoto disebut berada di Halim untuk merencanakan peristiwa G30S pada tanggal 30 September 1965 malam. Setelah itu menjelang Fajar terbang ke Yogyakarta dengan pimpinan PKI Aidit dengan pesawat AURI.



Pranoto menepis tuduhan itu. Perwira tinggi AD ini mengaku tanggal 30 September dari sore hingga malam dia dan keluarganya menghadiri acara orkes simfoni Angkatan Darat di Cililitan.

Setelah itu dia pulang ke rumah dan ada tamu bernama Letkol Gunung. Baru ngobrol sebentar, datang tiga perwira menjemputnya ke Pasar Senen untuk meninjau sapi-sapi yang akan digunakan untuk kepentingan parade HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1965.

Dia baru kembali pukul 01.00 WIB ke rumah dan tidur pukul 02.00 WIB. Pranoto meminta Teperpu menanyakan pada saksi penjaga rumah yang memegang kunci apakah setelah itu dia pergi ke luar rumah lagi.

Pranoto pun mengaku tak mungkin dirinya berangkat ke Yogya naik pesawat AURI pada dini hari. Buktinya pada pukul 06.00 WIB tanggal 1 Oktober 1965, sudah datang Kepala Departemen Psikiatri RSPAD Brigjen Amino ke rumahnya. Amino datang untuk melaporkan ada tentara yang menculik jenderal Ahmad Yani dan para pejabat teras Angkatan Darat.

Tak berapa lama kemudian, datang Brigjen Soedjono dan Kolonel CPM Hertasning ke rumah Pranoto.

"Sudilah kiranya pemeriksa juga mendengarkan keterangan-keterangan dari para saksi tersebut. Di samping itu pula saya mengharapkan dikonfrontir dengan orang-orang yang pernah memberikan keterangan yang saya anggap fitnah atau palsu itu," tegas Pranoto dalam catatan hariannya.

Catatan harian itu kemudian disunting Imelda Bachtiar dan diterbitkan Kompas tahun 2014 dengan judul Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya.

Sejarawan Asvi Warman Adam menilai catatan Jenderal Pranoto yang sempat terkubur puluhan tahun ini bisa melengkapi misteri soal Pusaran G30S. Menjelaskan peran Pranoto yang selama ini berada di ranah hitam tanpa ada sedikit pun kesempatan membela diri.

Pranoto mungkin tak seputih kertas. Tapi dia tak sehitam jelaga yang dituduhkan Orde Baru.

"Abu-abu, itulah yang paling tepat," kata Asvi saat berbincang dengan merdeka.com.

Tudingan soal kehadiran Pranoto di Halim bukan satu-satunya. Berikut pertanyaan Tim Pemeriksa dan jawaban Pranoto yang dilakukan di Nirbaya dan RTM Boedi Oetomo antara 1969 sampai 1970:

1.
Dipertemukan dengan orang AURI

Tim pemeriksa belum puas dengan keterangan Mayjen Pranoto soal bantahannya berada di Halim tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965. Maka tim pemeriksa memanggil dua saksi dari Angkatan Udara (AURI) yang mengaku melihat Pranoto di Halim kemudian terbang ke Yogyakarta bersama Audit.

Cara pemeriksaannya, Pranoto diminta duduk pada sebuah kursi. Kemudian dua pemeriksa yang tingginya hampir sama duduk di sebelah Pranoto. Mereka bertiga dipesan tak boleh bicara apapun kalau tak ditanya penyidik.

Setelah itu dua orang AURI itu disuruh masuk. Mereka adalah Mayor Udara Suyono dan Sersan Suwandi.

"Coba sekarang, yang manakah Jenderal Pranoto yang pernah bersama Aidit dalam jeep yang saudara kemudikan sendiri?" kata Kolonel Tahir, kepala pemeriksa.

Mayor Sujono yang menjawab. "Saya kira tidak ada di antara ketiga orang ini. Orang yang dikatakan sebagai Jenderal Pranoto itu berambut keriting dan lagi lebih gemuk tubuhnya. Tidak sejangkung seperti ketiga saudara ini."

Keterangan Sersan Suwandi pun sama. Kemudian terungkap yang disangka Jenderal Pranoto di Halim sebenarnya adalah ajudan Aidit yang bernama Kusno.

2.
Penempatan Letkol Untung di Tjakrabirawa

Team Teperpu menanyakan pada Pranoto benarkah dia sengaja menaruh Letkol Untung sebagai Komandan Batalyon Cakrabirawa dan Kolonel Latief sebagai Komandan Brigade Kodam V/Jaya. Kedua orang ini adalah aktor militer gerakan G30S.

Pranoto saat itu memang menjabat Asisten III/Men pangad bidang personalia.

Pranoto mengaku bukan dia secara pribadi yang mengangkat para perwira tersebut. Seperti biasa ada rapat dengan Mayjen Soeprapto, Mayjen S Parman, dan beberapa perwira lain sebelum akhirnya Pranoto yang menandatangani surat pengangkatan tersebut.

Untuk Letkol Untung, Pranoto menyebut itu keputusan Mayjen Ahmad Yani saat Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur dan wakilnya Kolonel Saelan menghadap. Saat itu Pangkostrad Mayjen Soeharto juga meminta Letkol Untung bertugas di Kostrad.

Akhirnya Yani menugaskan Untung di Tjakrabirawa untuk menghormati jasa-jasanya saat bertugas di Irian Barat.

3.
Kenal Pono tokoh PKI dan pertemuan dengan Sjam

Team Teperpu menanyakan pada Pranoto benarkah kenal tokoh PKI bernama Pono dan apakah pernah bertemu dengan Sjam dan Aidit.

Pranoto membenarkan mengenal Pono sejak menjadi Panglima di Jawa Tengah. Perkenalannya biasa saja. Pranoto mengaku tugas seorang Panglima di Daerah untuk bergaul dengan politisi dari aliran mana pun.

Dia mengaku temannya juga banyak yang berasal dari Partai Nasional Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah hingga golongan Katolik.

"Janganlah dianggap saya mencari kenalan orang PKI. Dia duluan yang datang ke rumah saya," kata Pranoto.

Mengenai pertemuan dengan Sjam dan Aidit, Pranoto berkilah hal itu dilakukan dalam rangka tugasnya sebagai panitia pawai Angkatan Darat tanggal 5 Oktober. Pawai itu juga menampilkan golongan Agama, Nasionalis dan Komunis.

Ternyata golongan komunis mogok tak ikut pawai. Padahal draft rencna pawai sudah disetujui oleh Ahmad Yani dan Presiden Soekarno.

Pranoto pun mengontak Pono yang kemudian mengantarnya menemui Sjam. Di sanalah pertama kali Pranoto bertemu Aidit. Pranoto menegur Aidit soal massa PKI yang membatalkan sepihak hadir dalam pawai itu. Aidit beralasan massa PKI tak bisa ikut pawai karena harus mempertajam kewaspadaan.

Pranoto enggan memperpanjang pembicaraan. Dia meninggalkan rumah tersebut. Dia mengaku inilah pertama dan terakhir dia menemui Aidit.

4.
Tudingan Pranoto makan uang rampasan PRRI

Perseteruan Pranoto dan Soeharto dimulai saat penyelewengan dana yang dilakukan Soeharto di Jawa Tengah terungkap. Kolonel Soeharto sempat meminta pensiun karena malu. Saat itu Pranoto yang memberikan fasilitas bagi tim pemeriksa Angkatan Darat untuk bergerak di Jawa Tengah.

Saat angin politik pasca 1965 berbalik, Soeharto menangkap Pranoto. Salah satu tuduhan yang dialamatkan pada Pranoto soal penyelewengan uang rampasan perang PRRI yang jumlahnya ratusan juta saat itu.

"Sampai saat terakhir saya bertugas di Sumatera Barat, uang rampasan itu masih tetap berada di bagian keuangan Komando Operasi 17 Agustus. Sebagian telah saya perintahkan untuk pembiayaan RRI Padang, Rumah Sakit Umum Padang, Taman Makam Pahlawan Padang. Selain itu untuk membantu pembangunan Masjid Raya Padang serta Gedung Universitas Andalas."

"Andaikata ada sebagian uang itu yang masuk ke kantong saya sendiri, pastilah akan diketahui pula adanya harta kekayaan saya, entah yang berupa tanah atau rumah atau simpanan di bank. Andaikata itu ada, maka saya ingin mewakafkan harta kekayaan itu kepada para yatim piatu atau lebih untuk saudara pemeriksa sendiri," sindir Pranoto pada petugas pemeriksanya.

5.
Pengerahan pemuda rakyat untuk menumpas PRRI

Tim pemeriksa menanyakan kebijakan Pranoto saat menumpas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Saat itu Pranoto diduga merekrut unsur-unsur dari Pemuda Rakyat untuk memerangi PRRI. Pemuda Rakyat adalah organisasi underbouw PKI.

Pranoto membenarkan peristiwa itu. Namun dia membantah hanya merekrut Pemuda Rakyat. Ada juga dari Pemuda Marhaen, dan unsur-unsur anti-PRRI lain.

"Kebijakan dalam operasi teritorial ini telah berjalan semenjak almarhum Jenderal Ahmad Yani waktu itu masih berpangkat kolonel, menjabat Panglima Operasi 17 Agustus yang pertama. Saya sebagai pengganti beliau melanjutkan kebijakan beliau, lagipula hal itu sudah diketahui oleh Kasad Jenderal AH Nasution sendiri," kata Pranoto.

Pranoto membantah tudingan kedua dimana dia dituduh merekrut anggota pemuda rakyat untuk masuk TNI. Menurut Pranoto saat di Sumatera Barat dia hanya bertugas memimpin operasi tempur. Dia tak punya kewenangan untuk merekrut prajurit.

Frigate Indonesia di Laut Karimunjawa

 Sejumlah kapal Republik Indonesia (KRI) kelas Van Speijk dan Multi Role Light Fregate (MRLF) melakukan manuvera taktis di perairan Karimunjawa, Jawa Tengah, Minggu (28/9). Latihan tersebut bagian dari penyambutan KRI John Lie (JOL)-358 dan KRI Usman Harun (USH)-359 buatan BAE System Maritime Naval Ship Inggris yang selanjutnya akan bergabung dengan KRI Bung Tomo (TOM)-357 di jajaran Satuan Kapal Eskorta (Satkor) Komando Armada RI wilayah Timur (Koarmatim) TNI AL. [Antara/M Risyal Hidayat] -
KRI Van Speijk class menyambut KRI John Lie (JOL)-358 dan KRI Usman Harun (USH)-359 di perairan Karimunjawa, Jawa Tengah, Minggu (28/9). [Antara/M Risyal Hidayat] -
Kapal Republik Indonesia (KRI) kelas Multi Role Light Fregate (MRLF) KRI Usman Harun (USH)-359 melintas diperairan Karimunjawa, Jawa Tengah, Minggu (28/9). [Antara/M Risyal Hidayat] -
Kapal Republik Indonesia (KRI) kelas Multi Role Light Fregate (MRLF) KRI Usman Harun (USH)-359 melintas diperairan Karimunjawa, Jawa Tengah, Minggu (28/9). [Antara/M Risyal Hidayat] -
Sejumlah kapal Republik Indonesia (KRI) kelas Van Speijk dan Multi Role Light Fregate (MRLF) melakukan manuvera taktis di perairan Karimunjawa, Jawa Tengah, Minggu (28/9). [Antara/Suryanto] -
Sejumlah kapal Republik Indonesia (KRI) kelas Van Speijk dan Multi Role Light Fregate (MRLF) melakukan manuvera taktis di perairan Karimunjawa, Jawa Tengah, Minggu (28/9). [Antara/Suryanto] -
KRI John Lie (JOL-358) dan KRI Usman Harun (USH-359) yang baru tiba melaksanakan latihan formasi di Perairan Karimunjawa, Jateng, Minggu (28/9). [Antara/Joko Sulistyo] -
KRI John Lie (JOL-358) dan KRI Usman Harun (USH-359) yang baru tiba melaksanakan latihan formasi di Perairan Karimunjawa, Jateng, Minggu (28/9). [Antara/Joko Sulistyo] -
 Kapal Republik Indonesia (KRI) kelas Multi Role Light Fregate (MRLF) KRI Usman Harun (USH)-359 melintas diperairan Karimunjawa, Jawa Tengah, Minggu (28/9). [Antara/M Risyal Hidayat] -

Kapal Republik Indonesia (KRI) kelas Multi Role Light Fregate (MRLF) KRI Usman Harun (USH)-359 melintas diperairan Karimunjawa, Jawa Tengah, Minggu (28/9). [Antara/M Risyal Hidayat] -
Sejumlah kapal perang frigate Van Speijk class dan Multi Role Light Frigate (MRLF) melakukan manuver taktis di perairan Karimunjawa, Jawa Tengah, Minggu (28/9). Latihan ini bagian dari penyambutan KRI John Lie (JOL)-358 dan KRI Usman Harun (USH)-359 buatan BAE System Maritime Naval Ship Inggris yang selanjutnya akan bergabung dengan KRI Bung Tomo (TOM)-357 di jajaran Satuan Kapal Eskorta (Satkor) Komando Armada RI wilayah Timur (Koarmatim) TNI AL. (Suara.com/ Antara/M Risyal Hidayat).
 

Pranoto Reksosamodra, nasib tragis jenderal pilihan Soekarno


Pranoto Reksosamodra, nasib tragis jenderal pilihan Soekarno


jenderal pranoto reksosamodra. ©dok keluarga/buku jenderal pranoto reksosamodra

1 Oktober 1965, seluruh Jakarta dilanda kebingungan. Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani dan sejumlah jenderal diculik dari rumah mereka.

Di saat genting itu, Presiden Soekarno menunjuk Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra sebagai pelaksana harian Angkatan Darat, pengganti sementara jenderal Yani.

Soekarno menolak usulan tiga jenderal lain. Mayjen Soeharto dianggap keras kepala. Mayjen Moersjid suka berkelahi dan main gebuk. Sementara Mayjen Basuki Rachmat tidak begitu sehat.


Pranoto yang saat itu menjabat Asisten III Men/Pangad bidang personalia dianggap bisa diterima kalangan yang bertikai. Dia jenderal tanpa ambisi dan tak memiliki lawan. Pranoto juga mantan Panglima Divisi Diponegoro Jawa Tengah yang diharapkan dapat mengendalikan anggota divisi yang terlibat G30S.

Soekarno memerintahkan Pranoto menghadap ke Halim hari itu untuk menemui dirinya. Namun Pranoto tak datang. Dia mematuhi perintah Soeharto yang melarangnya pergi ke Halim.

Saat itu para perwira Angkatan Darat tanpa sepengetahuan Soekarno telah menunjuk Soeharto sebagai pengganti sementara Men/Pangad. Pranoto yang saat itu berada di Mabesad pun menyatakan dukungannya pada Soeharto. Dia merasa Soeharto lebih layak memimpin. Dia manut dilarang Soeharto ke Halim.

"Seandainya saat itu Pranoto bersedia datang ke Halim Perdanakusuma tanggal 1 Oktober 1965, mungkin Soeharto akan dipangkas wewenangnya dan kehilangan kesempatan untuk berkuasa. Tetapi faktanya, sejarah tidak mementingkan kata 'seandainya'," tulis sejarawan Asvi Warman Adam dalam pengantar Buku Catatan Jenderal Pranoto dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya yang diterbitkan Kompas tahun 2014. 
Kenapa Soekarno menunjuk Pranoto? Mungkin karena keduanya cukup dekat. Setelah perang kemerdekaan, Soekarno pernah meminta Pranoto menjadi ajudan presiden. Saat itu Pranoto menolak dengan halus permintaan Soekarno. Alasannya dia ingin berkarir sebagai komandan lapangan lebih dulu.

Secara khusus Soekarno pernah menuliskan memo khusus untuk Pranoto tahun 1961. "Kolonel Pranoto, kerjalah baik-baik untuk negara. Bapak percaya penuh kepadamu."

Soekarno pun pernah mengagumi bagaimana Pranoto menjunjung tinggi falsafah Jawa. Dalam sebuah kesempatan, Soekarno memuji kemampuan Pranoto mendalang.

Sementara Soekarno dan Soeharto tak terlalu cocok. Soekarno menjuluki Soeharto opsir koppig atau perwira keras kepala karena pernah menolak perintahnya.  

1 Oktober 1965, sejarah dua manusia sudah diputuskan. Posisi Soeharto makin kuat memimpin Angkatan Darat sementara Pranoto tersingkirkan.

"Pak Pran itu jenderal santun. Dia tidak mau ribut-ribut karena itu dia mematuhi perintah Soeharto dan mendukungnya," kata Imelda Bachtiar, penyunting buku tersebut.

Tanggal 14 Oktober 1965, Soeharto diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Pranoto kehilangan jabatannya dan menjadi perwira tinggi non job.
Tanggal 16 Februari 1966, Soeharto memberikan perintah penangkapan untuk Pranoto. Soeharto menuding Pranoto terlibat G30S. Bahkan Pranoto masuk salah satu gembong gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pranoto mencoba menyanggah tudingan yang dialamatkan padanya. Namun percuma, tak ada keadilan atau pengadilan bagi tahanan politik yang sudah dicap PKI.

15 Tahun Pranoto ditahan tanpa diadili. Hak-haknya sebagai perwira tinggi dicabut sejak di tahanan. Tahun 1975, Pranoto tak lagi menerima sepeser pun dari pemerintah.  

Tanggal 16 Februari 1981, Pranoto dibebaskan dari tahanan. Dia berjalan kaki ke rumah anak-anaknya di Kramatjati, Jakarta Timur.

Jenderal pilihan Soekarno ini meninggal 9 Juni 1992. Cap tahanan politik belum lepas bahkan saat kematiannya. Nasib Pranoto sama buruknya dengan Soekarno yang meninggal dengan status tahanan rumah. 


Kisah Jenderal Pranoto, ditahan Soeharto 15 tahun tanpa diadili


 Dua pasukan tentara itu saling menodongkan senjata di muka sebuah rumah di Jl Taman Kimia nomor 3 Jakarta Pusat. Peleton Corps Polisi Militer (CPM) di sisi luar dan regu pengawal di dalam halaman rumah. Keduanya sudah dalam posisi siap tembak.

Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra keluar dari rumah. Dia melerai dua pasukan yang nyaris saling tembak di muka rumahnya.

Pranoto meminta komandan regu pengawalnya mundur. "Jangan ada sebutir peluru pun meletus!" teriaknya.

Pranoto lalu memanggil komandan peleton polisi militer. Dia marah. Merasa tersinggung dijemput seperti penjahat seperti itu. Pranoto tahu mereka diperintahkan Menteri/Panglima Angkatan Darat Mayjen Soeharto untuk menangkapnya setelah geger 30 September 1965.

"Aku bukan babi hutan atau harimau liar yang masuk kota. Bubarkan peletonmu itu dan aku akan berangkat tepat di tempat mana dan di saat kapan sesuai surat perintah Men/Pangad ini, dengan tanpa kalian kawal, barang seorang pun," tegas Pranoto.

Komandan polisi militer menurut. Dia dan pasukannya meninggalkan rumah Pranoto dengan bus militer.

16 Februari 1966, itulah episode awal penahanan Jenderal Pranoto. Perwira tinggi asal Bagelen, Purworejo ini kemudian menepati janjinya untuk datang sendiri ke tahanan polisi militer di komplek CPM Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Pranoto mengingat di tahanan itu ada seorang perwira tinggi Angkatan Udara Sri Mulyono Herlambang. Ada juga Bung Tomo, tokoh 10 November 1945.
Dalam interograsi awal oleh CPM, Pranoto tak terbukti terlibat G30S. Dia kemudian dipulangkan tanggal 7 Maret 1966 dan statusnya diubah menjadi tahanan rumah.

Dua tahun Pranoto menjadi tahanan rumah, dia merasa masalah ini sudah beres. Tiba-tiba 4 Maret 1969 Pranoto kembali ditahan di Inrehab Nirbaya. Pemeriksaan yang dilakukan hanya sebatas tanya jawab soal peristiwa G30S. Tak sekalipun dia dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP), apalagi dibawa ke pengadilan.  

 Tahun 1970 hingga 1975, Pranoto masih menerima gaji skorsing. Nilainya tak lebih dari Rp 7.500. Setelah tahun 1975, tak ada lagi uang seperser pun untuk jenderal bintang dua ini.

Pranoto menolak dituding terlibat G30S. Dia membeberkan bukti-bukti kepada tim pemeriksa pusat tak terlibat gerakan penculikan para jenderal tersebut. Dia berharap bisa menjelaskan secara utuh dan dibawa ke pengadilan untuk menepis tudingan tersebut.

Tapi Pranoto tak pernah diberi kesempatan membela diri. Dia menjalani penahanan di Inrehab Nirbaya dan Rumah Tahanan Militer Boedi Utomo. Pranoto baru bebas tahun 1981, tepat setelah 15 tahun ditahan tanpa proses pengadilan. Pranoto merintis karir dari PETA, kemudian komandan Batalyon TNI, komandan resimen, hingga akhirnya menjabat asisten personalia Menteri Panglima Angkatan Darat. Dia tak pernah absen dalam perang mempertahankan kemerdekaan dan menumpas berbagai pemberontakan.
Saat Ahmad Yani diculik gerombolan Untung, Pranotolah yang ditunjuk Soekarno untuk menjadi pelaksana harian Angkatan Darat. Bukan Soeharto.

Kisah Pranoto menjadi menarik karena Soeharto rupanya menyimpan dendam pada mantan koleganya ini. Pranoto pernah membantu Tim AD membongkar kasus korupsi saat Soeharto menjadi panglima di Jawa Tengah.

Pranoto tak pernah dibawa ke persidangan. Dia mencatat seluruh pengalamannya selama ditahan dalam buku harian. Setelah puluhan tahun disimpan rapat keluarga, kini catatan itu disunting Imelda Bachtiar dan diterbitkan Kompas tahun 2014 dengan judul Catatan Jenderal Pranoto dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya.
Sebelumnya sebenarnya catatan Pranoto sudah diterbitkan secara terbatas tahun 2002.

"Saat pertama kali membacanya, tulisan Pak Pran jauh dari kesan amarah atau dendam. Catatan pribadinya banyak menggunakan falsafah Jawa. Banyak sisi hidup Pak Pran yang menarik," kata Imelda Bachtiar saat berbincang dengan merdeka.com pekan lalu.
Kisah Pranoto ini melengkapi teka-teki potongan misteri G30S yang tak pernah terungkap sempurna.

"Tulisanku ini bukanlah bermaksud menggugat suatu balas budi dari pihak yang berwenang atas sumbangsihku dalam pengabdian pada nusa dan bangsaku. Namun, kesemuanya ini merupakan goresan tuntutan bela diri. Aku menuntut rasa keadilan atas asas-asas Pancasila sebagai falsafah kehidupan bangsa dan negara kita, Indonesia tercinta ini."

Pranoto mungkin bukan putih tanpa cela. Tapi dia juga tak sehitam apa yang dituduhkan Soeharto.

Sejarawan Asvi Warman Adam menilai Pranoto terlempar dari puncak karirnya sebagai jenderal bintang dua dan kemudian menjadi pesakitan politik yang tidak jelas kesalahannya.

"Nama baik Pranoto perlu dipulihkan," tulis Asvi. 

Soeharto dendam Pranoto bongkar kasus korupsinya di Jawa Tengah


 Pranoto Reksosamodra sejatinya teman karib Soeharto. Saat Jepang membuka pendidikan Pembela Tanah Air (PETA), kedua pemuda tersebut terpanggil untuk mendaftar.

Pranoto dan Soeharto sama-sama lulus dengan hasil memuaskan sebagai kompandan peleton. Sebentar bertugas, keduanya dipanggil mengikuti pendidikan lanjutan sebagai komandan kompi di Bogor.

Karir Pranoto dan Soeharto juga maju beriringan. Tahun 1948, Letkol Pranoto diangkat menjadi Komandan Brigade IX/Divisi III/Diponegoro di Muntilan, sementara Letkol Soeharto menjadi Komandan Brigade X di Yogyakarta.

Saat Soeharto sebagai komandan serangan Umum 1 Maret, Pranoto dan pasukannya kebagian tugas menyerang Yogyakarta dari Utara lewat Kali Code.

Kolonel Pranoto juga yang menggantikan Kolonel Soeharto menjadi Panglima Tentara & Teritorium IV/Diponegoro. Pada saat itu Panglima menjabat penguasa perang daerah (Paperda).

Di sinilah hubungan kedua perwira Angkatan Darat ini memburuk. Penyebabnya saat tim pemberantasan korupsi Angkatan Darat turun ke daerah-daerah menyelidiki dugaan korupsi para panglima. Tim ini diketuai oleh Brigjen Soengkono.
Kolonel Pranoto menuliskan peristiwa ini dalam catatan pribadinya. Buku catatan ini kemudian disunting Imelda Bachtiar dan diterbitkan Kompas tahun 2014 dengan judul Catatan Jenderal Pranoto dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya.

Pranoto mengaku memberikan fasilitas dan keleluasaan untuk tim audit tersebut selama bergerak di wilayah militernya.
Tim ini menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan Kolonel Soeharto saat menjabat Panglima di Jawa Tengah. Antara lain barter liar, monopoli cengkeh dari asosiasi gabungan pabrik rokok kretek Jawa Tengah. Ada juga penjualan besi tua yang disponsori sejumlah pengusaha Tionghoa seperti Lim Sioe Liong.

Brigjen Soengkono melaporkan hal ini pada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Nasution yang. Soeharto sempat malu dan berniat mengundurkan diri karena kasus ini. Namun Nasution menolaknya.

Nasution pula yang kemudian menyelesaikan kasus ini. Soeharto akan diberi sanksi administrasi sedangkan Pranoto diperintahkan menertibkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Jawa Tengah.

Masalah rupanya belum selesai. Soeharto sudah menaruh dendam pada Pranoto. Dia termakan kasak kusuk yang menyebut Pranotolah yang meminta tim Angkatan Darat menyelidiki masalah ini.
Wakil Kasad Letjen Gatot Soebroto memanggil kedua anak buahnya ini. Dia meminta keduanya berbaikan. Namun Soeharto sempat menolak.

"Bagaimanapun aku merasa dipermalukan dan dicoreng-moreng oleh sebab perbuatannya," kata Soeharto.
Pranoto membela diri. "Demi Allah, laporan-laporan itu bukanlah aku yang melakukan dan aku pun tak perlu menuduh dari mana ataupun dari siapa laporan itu dibuat. Hal itu tidak benar dan kalau perlu kolonel dapat menuntutnya."

Letjen Gatot Subroto menyela perdebatan itu dengan gayanya yang kebapakan. Dia meminta Pranoto dan Soeharto berdamai.

"Kalian seperti anak kecil. Di hadapanku jangan pada bertengkar. Sudah bubar. Ayo pada salaman," kata Gatot.

"Kami terpaksa bersalaman. Betapapun di hati masing-masing terasa hambar," kenang Pranoto melukiskan peristiwa tahun 1960 itu.

Persahabatan dua perwira TNI ini pun berakhir. 
Kelak setelah G30S meletus, Mayor Jenderal Soeharto menahan Mayjen Pranoto dengan tuduhan terlibat aksi militer G30S yang didalangi PKI. Tanpa pengadilan, Pranoto menjalani penahanan selama 15 tahun.

Sejumlah pihak menyangka dendam Soeharto yang melatarbelakangi penangkapan tersebut. Namun rupanya Pranoto tak mau berburuk sangka.

"Dari catatan Pak Pran, beliau juga tidak tahu apakah karena masalah itu atau yang lain. Karena itu Pak Pran selalu berharap ada pengadilan sehingga bisa menjawab semua tuduhan. Tapi pengadilan tersebut tak pernah ada," kata Imelda Bachtiar saat berbincang dengan merdeka.com.  
Sejarawan Asvi Warman Adam menilai cara-cara Soeharto menggandeng konglomerat dan mendirikan aneka yayasan terus dipertahankan saat dia menjadi presiden RI. Sama dengan di Jawa Tengah dulu, yayasan yang didirikan Soeharto selalu diklaim untuk mensejahterakan anggota TNI atau masyarakat. Namun tentunya Soeharto dan koleganya pun dapat keuntungan.

"Menarik apa yang disampaikan dalam biografi Liem Sioe Liong. Apa yang dia peroleh dari monopoli. Di sisi lain jika Soeharto butuh, dia tinggal minta dana ke Liem. Ini mutualisme," kata Asvi.