Senin, 30 September 2013

Sejarah Intelijen Indonesia (Edisi 2)


Pada tanggal 17 Oktober 1952 terjadi suatu demonstrasi besar di Jakarta dan lebih dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober 1952[1]. Demonstrasi ini direncanakan Markas Besar Angkatan Darat atas inisiatif Letnan Kolonel Sutoko dan Letnan Kolonel S. Parman. Pelaksanaannya diorganisasi oleh Kolonel dr. Mustopo Kepala Kedokteran Gigi Angkatan Darat dan Perwira Penghubung Presiden, dan Letnan Kolonel Kemal Idris, Komandan Garnisun Jakarta. Seksi Intel Divisi Siliwangi mengerahkan demonstran dari luar Ibukota dengan menggunakan kendaraan truk militer. Pada waktu itu, Pasukan Tank muncul di Lapangan Merdeka, dan beberapa pucuk meriam diarahkan ke Istana Presiden. Permasalahan ini kemudian diupayakan diselesaikan melalui pertemuan Rapat Collegial (Raco) tanggal 25 Februari 1955 yang melahirkan kesepakatan Piagam Keutuhan Angkatan Darat yang ditandatangani oleh 29 perwira senior Angkatan Darat. Setelah terjadi peristiwa 17 Oktober 1952, peran IKP dan BISAP dilakukan oleh SUAD-I.

Tanggal 10 November 1959, Presiden Soekarno membubarkan SUAD-I dan membentuk Badan Pusat Intelijen (BPI), yang langsung bertanggung jawab kepada Soekarno, dan mengangkat Soebandrio[2], Menteri Luar Negeri ketika itu untuk memimpin lembaga baru tersebut. Dibawah kepemimpinan Soebandrio, BPI dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh kaum komunis dan simpatisannya. BPI menyusup ke dalam Departemen Hankam (Pertahanan dan Keamanan), Komando-Komando Militer, dan badan-badan pemerintahan lainnya untuk tugas mengamati lawan-lawan politik Presiden Soekarno.

Langkah yang terbilang sangat berani dilakukan oleh Subandrio dan BPI atas restu Soekarno, untuk membangun kontak yang serius dengan PKI, yang telah menjadi organisasi besar pasca kegagalannya pada Pemberontakan PKI Madiun. Bagaikan simbiosis mutualisme, kerekatan politik keduanya menjadi makin kuat karena Soekarno mencari lawan sepadan untuk menandingi TNI, terutama Angkatan Darat. Maka untuk pertama kali sebuah badan intelijen seperti BPI secara sengaja diarahkan dan digunakan sebagai sebuah instrumen politik dengan tugas khusus untuk mengawasi dan menghabisi lawan-lawan pemerintah seperti yang lazim berlaku di negara yang bercorak otoriter.

Dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Soekarno, dan bangkitnya Rezim Orde Baru pada tahun 1965, BPI dibubarkan. Sebuah badan intelijen baru dibentuk, yaitu Komando Intelijen Nasional (KIN) pada tahun 1966, tetapi belum berusia setahun, KIN dibubarkan dan digantikan oleh BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Yoga Sugama. Presiden Soeharto tidak sepenuhnya percaya dan menyandarkan dirinya pada BAKIN. Beliau membentuk sebuah jaringan Intelijen lain sebagai saingan BAKIN di bawah kendali mayor Jendral Ali Murtopo dengan sandi nama Operasi Khusus (Opsus), di luar sepengetahuan BAKIN maupun staf intelijen Departemen Pertahanan Keamanan maupun Markas Besar ABRI, serta Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang ada pada waktu itu. Dalam melaksanakan tugas intelijennya, Ali Murtopo bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soeharto.

Ali Moertopo merupakan tokoh kepercayaan Presiden Soeharto sejak tahun 1948. Ia adalah tokoh yang dikirimkan oleh Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad, pada tahun 1965, tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno, untuk menemui Des Alwi[3] di Bangkok dalam rangka menjajaki kemungkinan mengakhiri “Konfrontasi” dengan Malaysia. Sejak saat itu Ali Moertopo dengan Opsus-nya ditugasi untuk menangani bidang-bidang khusus politik, diplomasi, dan bisnis, di bawah kendali langsung Presiden Soeharto.

Permainan yang dijalankan Ali Moertopo tidak senantiasa sejalan dengan kepentingan tentara, yang dipresentasikan oleh Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro, yang didukung oleh BAKIN. Persaingan antara Opsus dengan Kopkamtib berakhir dengan show down pada 15 Januari 1978, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Malari[4] (Malapetaka Limabelas Januari) yang berakhir dengan lengsernya kedua tokoh, baik Ali Moertopo maupun Jenderal Soemitro, dari arena politik.

Untuk mensinergikan operasi-operasi intelijen sesudah peristiwa Malari, Presiden Soeharto kemudian menempatkan Jenderal Benny Moerdani sebagai Waka BAKIN, di bawah Jenderal Yoga Sugama. Bahkan Presiden Soeharto memanggil Brigadir Jenderal Benny Moerdani dari posnya di Seoul untuk menggantikan Ali Moertopo. Ia diangkat sebagai asisten intelijen Dephankam/ABRI, dan mengambil alih kepemimpinan CSIS (Center for Strategic and International Studies) dari tangan Ali Moertopo. Pada waktu itu CSIS[5] atau Pusintelstrat (Pusat Intelijen Strategis) yang berada di bawah kendali asisten intelijen Dephankam/ABRI, hanya berfungsi sebagai lembaga pusat kajian dengan tugas pokok terbatas hanya pada merumuskan doktrin dan menyelenggarakan latihan semata.

Jenderal Benny Moerdani[6] tidak puas dengan fungsi kelembagaan CSIS atau Pusintelstrat tersebut dan mereorganisasikan “tenaga pusat” itu menjadi sebuah ‘badan’ -agency-  yakni BAIS (Badan Intelijen Strategis) ABRI dengan tugas-tugas yang sangat luas. Di bawah kepemimpinan Jendral Benny Moerdani BAIS tidak saja merambah sampai kepada perumusan politik luar negeri, tetapi terutama ia berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk memberikannya kewenangan melaksanakan sesuatu “operasi tertutup” melakukan invasi ke Timor Portugis[7] pada tahun 1975. Kegiatan operasi itu sedemikian tertutupnya sampai-sampai Menhankam/Pangab Jenderal Surono tidak mengetahuinya sampai detik-detik terakhir Hari–H serbuan, yang dengan sekaligus menandai berakhirnya peran Opsus yang masih melakukan kegiatan intelijen di Timor Portugis dengan nama sandi Operasi Komodo[8].

Berdalihkan bahwa BAKIN hanyalah sebuah Badan Koordinasi, maka struktur organisasinya “dilangsingkan” dengan menjadikannya sebuah organisasi yang tidak menjadi badan intelijen yang berfungsi melakukan operasional intelijen secara penuh. Tugas pokoknya lebih ditekankan pada koordinasi. Lalu pada era Reformasi, BAKIN berubah nama menjadi Badan Intelijen Negara (BIN) dan lembaga tersebut masih aktif sampai sekarang.

Saat ini, kegiatan-kegiatan lembaga intelijen di negara Indonesia, di tataran strategi, operasional dan taktis dilakukan oleh banyak lembaga yang diberi mandat oleh negara untuk menjalankan fungsi intelijen. Seluruh lembaga yang menjalankan fungsi intelijen harus bergabung dalam suatu mekanisme koordinasi terpadu antar elemen komunitas intelijen nasional. Komunitas intelijen nasional terdiri dari lima tipe organisasi:
  1. Intelijen nasional yang menjalankan fungsi-fungsi intelijen untuk mengantisipasi ancaman keamanan dalam negeri yang hanya terdiri dari satu organisasi yaitu Badan Intelijen Negara (BIN).
  2. Intelijen kriminal dan yustisia yang dilakukan oleh intelijen kepolisian (Badan Intelijen Keamanan Polri), intelijen bea cukai (Direktorat Penindakan Dan Penyidikan), intelijen imigrasi (Direktorat Intelijen Keimigrasian), serta intelijen kejaksaan (Jaksa Agung Muda Intelijen).
  3. Intelijen pertahanan dan luar negeri yang menjalankan fungsi intelijen strategik untuk mengatasi ancaman keamanan yang bersifat eksternal yang hanya terdiri dari satu organisasi yaitu: Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS-TNI) yang berada di bawah Departemen Pertahanan.
  4.  Intelijen-intelijen tempur yang melekat pada satuan-satuan tempur yang diwakili oleh asisten-asisten intel di Mabes TNI dan angkatan;
  5. Lembaga-lembaga pemerintahan yang fungsinya dan atau terkait dengan masalah-masalah keamanan nasional seperti Lembaga Sandi Negara (LSN), Badan SAR Nasional (BARSANAS), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Badan Pusat Statistik (BPS), lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi pengintaian dan pengindraan (Surveillance and reconnaissance), Lembaga Elektronika Nasional (LEN), Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), serta Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN).

(Tulisan ini merupakan sumbangan dari: Andreas Rolando Purba; diambil dari Skripsi dalam menyelesaikan studi akhir di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta; pada tahun 2009. Dengan judul "Mekanisme Kerja Komunitas Intelijen Daerah di Provinsi Kalimantan Barat Berdasar Permendagri No. 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah")


[1] Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa di mana KSAD (dijabat Nasution) dan 7 (tujuh) Pangdam (Panglima Daerah Militer) meminta Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dibubarkan, sebagai sebab utamanya adalah terlalu jauhnya campur tangan kaum politisi terhadap masalah intern Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Bahkan Kemal Idris, salah satu dari tujuh panglima, pernah mengarahkan moncong meriam ke Istana dengan dalih untuk melindungi Presiden Soekarno dari demonstrasi mahasiswa.
[2] Kepiawaian dalam diplomasi Dr Subandrio sudah lama menjadi perhatian para diplomat AS di Jakarta dan mengantisipasi kemungkinan Subandrio menjadi tokoh penting di Kementrian Luar Negeri RI. Lihat Paul F.Gardener, Shared Hopes, Separate Fears (Colorado: Westview Press, 1997), h.155.
[3] Des Alwi Abubakar lahir 17 November 1927 di Desa Nusantara, Naira sebuah pulau kecil dalam kelompok Banda di Kepulauan Maluku. Beliau pernah beberapa kali menjadi Atache Press/Kebudayaan KBRI di luar negeri yaitu KBRI Bern, KBRI Austria dan KBRI Philipina. Bahkan ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia-Malaysia tahun 1965-1975, ia sebagai Dinas Diplomatik terlibat dalam Operasi Khusus Tim Penyelesaian Konfrontasi itu. Jurus-jurus kepiawaian diplomasinya mendekati almarhum mantan PM Tun Abdul Rahman dan almarhum mantan DPM Tun Abdul Razak berhasil meredakan konfrontasi itu.
[4] Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta pada tanggal 14 sampai tanggal 17 Januari 1974. Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap.
[5] Center for Strategic and International Studies, yang biasa disingkat CSIS adalah sebuah tangki pemikir (institut penelitian) kebijakan yang bermarkas di Jakarta. CSIS didirikan pada 1971. Lembaga ini adalah sebuah institusi independen dan bipartisan yang melakukan penelitian kebijakan dan analisa strategis dalam politik, ekonomi, dan keamanan.
[6] Leonardus Benyamin "Benny" Moerdani (lahir 2 Oktober 1932 – wafat 29 Agustus 2004 pada umur 71 tahun) adalah salah satu tokoh militer Indonesia yang terkenal pada masanya. Merupakan perwira TNI yang banyak berkecimpung didunia inteljen, sehingga terkesan misterius apalagi ditunjang dengan pembawaannya yang hemat bicara serta jarang tersenyum, kesan misterius makin kuat. Merupakan satu-satunya perwira penyandang pangkat bintang yang ikut terjun langsung di operasi militer yaitu penangan pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla di Don Muang Bangkok, Thailand. Dalam posisi pemerintahan, selain sebagai Panglima ABRI, beliau juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dan juga Pangkopkamtib.
[7] Timor Portugis adalah bekas nama (1596-1975) Timor Leste ketika masih di bawah pemerintahan Portugis. Pada masa itu, Portugal membagi pulau Timor dengan Hindia-Belanda. Nama Timor Portugis kemudian tidak dipakai lagi sejak 1975, setelah invasi Indonesia tak lama setelah pernyataan kemerdekaan unilateral Timor Timur. Timor Portugis pun menjadi Timor Timur, salah satu provinsi termuda di Indonesia. Secara teknis Timor Portugis baru dinyatakan sebagai sudah tidak menjadi bagian dari NKRI pada 20 Mei 2002, ketika Timor Leste dideklarasikan sebagai negara merdeka dengan nama Republik Demokratik Timor Leste.
[8] Bakin membentuk satuan operasi yang disebut densan nama "Operasi Komodo". Operasi ini dipimpin langsung oleh Kepala BAKIN Yoga Sugama, sedang wakilnya adalah Waka BAKIN Ali Murtopo. Operasi Komodo yang lebih merupakan intelligence field preparation operation, berusaha menjalin kontak dengan beberapa pihak yang ingin berintegrasi dengan Indonesia. Sebagai buah hasil dari Operasi Komodo ini, maka tanggal 7 September 1975 UDT, Kota dan Trabalhista mengirim Petisi berisi 31 pasal pada presiden RI untuk menjelaskan sikap mereka mengenai masa depan Timor  Portugis.

Sejarah Intelijen Indonesia (Edisi 1)



Negara manapun di dunia, tidak peduli sistem pemerintahannya otoriter atau demokrasi liberal, dinas intelijen selalu menjadi kebutuhan pokok atau wajib bagi suatu negara. Yang menjadi perbedaan utama biasanya pemanfaatannya dan juga pengendalian dari lembaga atau badan intelijen itu sendiri. Di Indonesia, sosok dan wibawa intelijen memang pernah sangat disegani khususnya di tahun awal 1967 sampai tahun 1969 yang terkenal waktu itu dengan istilah “Opsus” di bawah Ali Moertopo (alm.)[1], dan penilaian itu sampai sekarang juga masih kental walaupun sebenarnya sudah terjadi banyak perubahan dalam tubuh lembaga intelijen di Indonesia.[2]

Lembaga intelijen yang pertama terbentuk di Indonesia terjadi pada bulan September 1945, dimana berbekal pelatihan dan keterampilan yang didapat Zulkifli Lubis[3] sewaktu di PETA dan Kempetai (Dinas Polisi Rahasia Jepang), maka beliau berinisiatif untuk membentuk Badan Istimewa (BI) dibawah garis komando BKR[4] (Badan Keselamatan Rakyat), dan diresmikan oleh pemerintah pada tanggal 6 Oktober 1945 di Cileungsi, Bogor.

Letnal Kolonel Zoelkifli Loebis merekrut 40 (empat puluh) orang opsir PETA (Pasukan Pembela Tanah Air) mantan lulusan Seinenden Dojo[5] (Pusat Pelatihan Pemuda), yang kemudian pernah diikutkan dalam pelatihan intelijen oleh Zanchi Yugeki-tai  (Satuan Intelijen Bala Tentara Ke-16) sebagai kader intelijen. Latihan para kader intelijen itu hanya berlangsung tidak lebih dari seminggu lamanya, ditekankan terutama pada intelijen lapangan dan teritorial, seperti pengumpulaninformasimiliter, sabotase dan perang urat saraf. Tenaga pelatihnya terdiri dari para perwira dari badan intelijen Jepang Sambobu Tokubetsu-han (Beppan), seperti Letnan Yanagawa, Letnan Tsuchiya, Letnan Yonemura dan seorang muslim Jepang Abdul Hamid Nobuharu Ono, yang dikenal dekat dengan perwira-perwira BKR, Selain Zoelkifli Loebies sendiri yang pernah bertugas sebagai perwira intelijen di Singapura.

Dengan organisasi yang sederhana, dan bekal keterampilan intelijen yang minim, BI harus memposisikan diri sebagai badan intelijen yang menopang keutuhan kedaulatan Republik Indonesia, yang baru merdeka. Keterbatasan ini makin kelihatan ketika cakupan wilayah operasi BI hanya terbatas pada Pulau Jawa saja. Kecenderungan dan melekatnya BI sebagai intelijen tempur makin terlihat ketika banyak dari jaringan intelejen yang dimiliki masih memanfaatkan jaringan tentara yang tersebar di banyak wilayah.

Akibat adanya tumpang-tindih antara BI dengan kepentingan tentara, menyebabkan sangat sulit membedakan mana intelijen nasional, mana intelijen tempur, karena sama-sama berasal dari unsur TKR. Masalah yang kemudian mengekor adalah lemahnya efektifitas kontrol dan kendali BI oleh pemerintah. Menariknya, pemberian otoritas dan semua surat-surat tugas bagi kelancaran tugas-tugas keintelijenan, Presiden Soekarno tidak memiliki kendali atas BI.


Ketika pusat pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta[6], maka pada tanggal 7 Mei 1946 Badan Istimewa diubah namanya menjadi BRANI (Badan Rahasia Nasional Indonesia) yang secara administratif menginduk ke Kementerian Pertahanan dan secara operasional memiliki akses langsung kepada Panglima Besar Jendral Soedirman dan Presiden Soekarno. Pemimpinnya tetap Zoelkifli Loebis. BRANI melanjutkan melakukan pelatihan terhadap beratus pemuda dalam rangka membentuk FPI (Field Preparation Indonesia). Tugas dari FPI adalah sabotase, propaganda dan perang urat saraf, penggalangan perlawanan terhadap Belanda, menyusup ke daerah lawan, hingga penyelundupan senjata.

BRANI dibentuk, dan diharapkan menjadi lembaga intelijen yang membawahi berbagai organisasi intelijen di tingkat satuan militer. Langkah tersebut guna mengantisipasi kemungkinan Aksi Polisionil Belanda yang menguat pasca kekalahan Jepang. Untuk mendukung kepentingan politik, misi BRANI kemudian tidak terbatas pada intelijen militer saja, tetapi diperluas kepada intelijen politik dan strategis.

Ketidaksukaan Kabinet Sjahrir atas dominasi tentara di struktur BRANI, kemudian melahirkan dualisme lembaga intelijen. Amir Sjarifuddin[7], yang menjadi Menteri Pertahanan kemudian mengambil inisiatif membentuk lembaga baru yang murni sipil, guna menandingi keberadaan BRANI. Lembaga intelejen baru tersebut bernama Lembaga Pertahanan B. Menariknya, upaya memposisikan Lembaga Pertahanan B sebagai lembaga intelejen yang terbebas dari dominasi militer, adalah dengan merekrut banyak mantan laskar, serta kalangan sipil yang cakap untuk duduk di dalam lembaga intelijen tersebut. Langkah ini didukung oleh Soekarno, meski keberadaan Lembaga Pertahanan B juga merupakan antitesis dari dominasi militer di BRANI.

Pada masa Amir Sjarifoeddin menjadi perdana menteri dan dengan restu politik dari Soekarno, maka pada bulan April 1947, BRANI dibubarkan dan diganti dengan KP V (Kementrian Pertahanan Bagian V), di bawah Departemen Pertahanan yang menjadi koordinator dari operasi intelijen nasional. Satuan-satuan intelijen yang berada di luar struktur militer, yakni yang berada di bawah kepolisian dan kejaksaan pada masa sebelum perang, dimasukkan kedalam jajaran kementerian pertahanan pada staf yang berbeda. Seksi-A (bekas BRANI) diserahkan di bawah kepemimpinan Kolonel Abdoerahman, orang kepercayaan Amir Sjarifoeddin, sedangkan Zoelkifli Loebis menjadi wakilnya. Amir Sjarifoeddin dan Abdoerahman kemudian hari terlibat dalam Peristiwa Pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948[8].

Satu dari sekian peristiwa politik yang juga menjadi batu sandungan bagi eksistensi KP V sebagai lembaga intelijen adalah dengan adanya konspirasi kalangan militer dan oposisi sipil yang menculik Perdana Menteri Sjahrir, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Proses penculikan tersebut disinyalir melibatkan intelijen KP V Seksi-A, yang mengambil inisiatif dalam kebuntuan politik atas permasalahan kebangsaan ketika itu. Alhasil, keberadaan KP V ketika itu lebih banyak menjadi kepanjangan tangan dari elit politik.

Setelah perang kemerdekaan usai, ketika Pemerintah Republik kembali ke Yogya, KP V dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk Intelijen Kementerian Pertahanan (IKP). Di bawah menteri pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang juga merangkap sebagai kepala IKP. Zoelkifli Loebis membentuk BISAP (Biro Informasi Angkatan Perang), yang bertugas menyiapkan informasi strategis kepada menteri pertahanan dan pimpinan militer. Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dibentuklah Badan Koordinasi Intelijen (BKI), namun langkah tersebut menemui kegagalan. Hal ini disebabkan karena kesulitan dalam melakukan koordinasi dengan lembaga intelijen militer seperti BISAP dan IKP.
 
(Tulisan ini merupakan sumbangan dari: Andreas Rolando Purba; diambil dari Skripsi dalam menyelesaikan studi akhir di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta; pada tahun 2009. Dengan judul "Mekanisme Kerja Komunitas Intelijen Daerah di Provinsi Kalimantan Barat Berdasar Permendagri No. 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah")
Baca sambungan: Edisi 2


[1] Ali Moertopo atau yang bernama lengkap Letnan Jenderal (purn.) Ali Moertopo adalah pemikir, tokoh intelijen, dan politikus yang berperan penting terutama pada masa Orde Baru di Indonesia. Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan Indonesia (1978-1983) serta Deputi Kepala (1969-1974) dan Wakil Kepala (1974-1978) Badan Koordinasi Intelijen Negara. Beliau lahir di Blora, Jawa Tengah, pada tanggal 23 September 1924 dan meninggal dunia pada tanggal 15 Mei 1984.
[2] Riyanto,”Intelijen vs Teroris di Indonesia.” (Jakarta: Penerbit PT Toko Gunung Agung Tbk), hal 11.
[3] Zoelkifli Loebis sebelumnya mendapatkan pendidikan intelijens militer Nakano, Jepang sebagai bagian dari pendidikan PETA yang diikutinya. Lihat Stephen C.Marcado, The Shadow Warriors of Nakano (Washington DC: Brassey’s, Inc.,2002), h.239.
[4] Pada tanggal 22 Agustus 1945 dibentuklah suatu wadah rakyat pejuang dengan sebutan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Lembaga ini bukan merupakan suatu Tentara Kebangsaan melainkan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Pada tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah meresmikan BKR sebagai badan keamanan dari Republik Indonesia dan berganti nama menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
[5] Tepat pada ulang tahun Kaisar Jepang, 29 April 1943, didirikan organisasi pemuda bernama Seinendan yang dipimpin di bawah Gunseikan. Tujuannya melatih dan mendidik pemuda agar mampu menjaga dan mempertahankan tanah air. Persyaratan menjadi Seinendan adalah pemuda yang berusia 14 tahun - 23 tahun. Anggota Seinendan diberikan pelatihan militer baik untuk mempertahankan diri maupun menyerang. Sebagai Pembina bertindak Naimubu Bunkyoku (Departemen Urusan Dalam Negeri bagian Pengajaran, Olahraga dan Seinendan). Pimpinan eksekutif di daerah Syu adalah Syucokan sendiri, sementara daerah yang tingkatnya di bawah Syu, kepala daerahnya menjadi pimpinan langsung Seinendan. Seinendan tidak hanya dibentuk di desa, sekolah tapi juga di pabrik-pabrik atau perumahan. Pada Oktober 1944 dibentuk Josyi Seinendan (Seinendan putri). Untuk mensukseskan Seinendan, Jepang memperluas Seinen Kunresyo (lembaga latihan pemuda) menjadi Cuo Seinen Kunrensyo (Lembaga Pusat Latihan Pemuda).
[6] Pada tanggal 4 Januari 1946, Soekarno dan Hatta dengan menggunakan KLB (Kereta Luar Biasa), pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibukota. Meninggalkan Sjahrir dan kelompok yang pro-negosiasi dengan Belanda di Jakarta.
[7] Amir Sjarifoeddin Harahap yang lahir di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 27 April 1907  adalah seorang tokoh Indonesia, mantan menteri dan perdana menteri pada awal berdirinya negara Indonesia. Amir Sjarifoeddin merupakan salah satu elit politik dari Sayap Kiri, sebuah koalisi organisasi dan partai politik kiri, di antaranya Partai Rakyat Sosialis (Paras), Partai Sosialis Indonesia (Parsi), dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Pada tanggal 19 Desember 1948, di dekat desa Ngalihan, Solo, Jawa Tengah, seorang Letnan Polisi Militer (sebuah satuan khusus dalam TKR) menembak kepala Amir Sjarifuddin dengan pistol karena Amir Sjarifuddin diduga terlibat dalam peristiwa Madiun.
[8] Peristiwa Pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948 atau Peristiwa Madiun (Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin. Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.

Forum Intel. 

Analisa Intelijen Terkait Penembakan Polisi yang Misterius


Belum lagi tuntas pengusutan kasus penembakan-penembakan polisi yang sebelumnya, Selasa malam (10/9/2013) kembali kita dikejutkan dengan dengan peristiwa penembakan seorang anggota polisi, tepat di depan gedung KPK. Berbagai reaksi muncul baik dari masyarakat awam maupun pihak kepilisian dan juga para pengamat politik tanah air. Beredar juga isu yang mengaitkan kasus penembakan ini dengan kelompok jaringan terorisme. Saya sebagai orang awam coba berandai-andai menganalisa dari sudut pandang yang sedikit banyak sulit untuk dipertanggung jawabkan validitasnya, hanya untuk sekedar mengisi waktu sambil ngopi. *senyum
Analisa saya yang pertama dari sudut pandang intelijen, kita coba berfantasi seperti dalam film-film spionase yang penuh dengan trik dan strategi intelijen. Kasus penembakan aparat penegak hukum ini sebenarnya bukan baru terjadi dan beruntun menimpa anggota polisi seperti kasus terakhir ini. Penembakan terhadap aparat beberapa kali terjadi di daerah konflik, seperti Aceh atau Papua. Korbannya sebenarnya sama, aparat penegak hukum. Akan tetapi kalau kita cermati terdapat perbedaan mencolok terlihat dari dua kasus ini. Penembakan di daerah konflik jelas sekali siapa yang bertanggung jawab, dalam arti kata musuh bisa diidentifikasi. Sedangkan kasus penembakan polisi yang terjadi belum lama ini masih gelap siapa musuh yang sebenarnya. Jadi cukup pas kalau kita sebut sebagai Petrus (Penembak Misterius).
Kalau melihat bahwa korban adalah para polisi yang tentunya sudah cukup terlatih, para pelaku tentunya juga “bukan orang biasa”. Analisa secara intelijen ada dua kemungkinan siapa pelaku penembakan ini. Kemungkinan pertama orang “luar biasa” ini berasal dari kelompok  yang cukup terlatih urusan strategi teror, sehingga mungkin sekali merupakan bagian dari kelompok jaringan terorisme. Jika bukti-bukti cukup kuat mengarah ke situ, aparat kepolisian yang tentunya sudah mengantongi daftar jaringan terorisme ini bisa mudah dan segera bertindak cepat untuk meringkusnya.
Kemungkinan kedua jika melihat bahwa pelaku cukup terlatih dan aparat kepolisian belum menemukan titik terang tentang pelaku sampai saat ini, bisa jadi kasus-kasus penembakan ini merupakan bagian dari suatu misi rahasia intelijen. Kalau melihat dari banyak cerita film spionase, kita bisa lihat bahwa antara satu agen rahasia dengan agen rahasia yang lain tidak saling kenal, bahkan bisa jadi tidak kenal dengan siapa “pemberi komando” atas misi yang mereka emban. Dan sangat mungkin ada “special agent” di antara agen-agen rahasia dengan misi yang ada di dalamnya. Jika analisa ini kita kembangkan lebih jauh, tidak menutup kemungkinan “pemberi komando” adalah orang yang memegang peranan cukup tinggi dalam politik dan pemerintahan. Jadi kasus-kasus penembakan yang terjadi merupakan sebuah scenario yang dijalankan untuk memuluskan misi dari sang “pemberi komando” atau bertujuan membuat isu untuk mengaburkan kasus yang terkait dengan sang “pemberi komando” atau bahkan lebih jauh lagi stabilitas negara. Kalau hal ini yang terjadi, sudah bisa dipastikan aparat kepolisian akan sangat sulit untuk bisa membongkarnya. Bisa jadi tahu tapi tidak punya “kuasa” untuk akses lebih jauh, sehingga salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memunculkan “kambing hitam” sebagai finalisasi dari misi setelah misi dari sang “pemberi komando” selesai, mission accomplished. Korban dari aparat kepolisian merupakan collateral damage dari misi rahasia yang sudah di-scenario. Turut berduka dan prihatin terhadap korban dan keluarga yang ditinggalkan.
Analisa kedua dari sudut pandang psikologis. Dibandingkan dengan TNI yang sama-sam terlatih dengan urusan hankam, Polisi mempunyai hubungan psikologis yang lebih dengan masyarakat. Aparat kepolisian dalam tugasnya akan bersentuhan langsung dengan masyarakat, seperti misalnya Polisi lalu lintas. Jadi apa kaitannya dengan kasus penembakan ini?
Citra Polisi bisa kita katakan “paling jelek” di mata masyarakat dengan berbagai pengalaman yang terjadi di lapangan. Oknum Polisi yang dengan terang-terangan bertindak sebagai “preman berseragam” dalam menegakkan disiplin berlalu lintas seringkali kita jumpai. Uang damai atas pelanggaran yang disengaja maupun karena “dijebak” oleh sang oknum Polisi sudah menjadi hal wajar di masyarakat umum. Kasus-kasus ini lah yang membekas secara psikologis di mata masyarakat umum.
Kalau jaman dahulu kita kenal istilah Petrus sebagai tukang jagal misterius terhadap para preman yang meresahkan masyarakat, bisa jadi para pelaku penembakan polisi ini kita merupakan Petrus masa kini. Korban sama-sama merupakan “preman” di mata masyarakat, yang kemudian dijadikan ajang balas dendam dari orang-orang yang pernah “terluka” oleh ulah oknum Polisi. Dan bisa jadi korbannya adalah para Polisi yang tidak bersalah dan hanya terbawa sebagai korban karena citra korps mereka. Sekali lagi turut berduka dan prihatin terhadap korban dan keluarga yang ditinggalkan.
Dengan munculnya “preman berseragam” yang menjadi momok bagi masyarakat, bisa jadi muncul “Robin Hood” sebagai tokoh pembela rakyat yang menggunakan cara-cara sendiri untuk memberikan shock therapy terhadap oknum aparat agar membenahi korps mereka dan benar-benar menjalankan fungsi yang sebenarnya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Mari kita tunggu hasil investigasi dari aparat kepolisian untuk memecahkan kasus ini. Semoga segera menemukan titik terang dan tuntas sampai akarnya. Analisa di atas tidak ada tendensi apa pun, hanya sebuah imajinasi dari seseorang yang sedang mengalami kontroversi hati untuk menggali sebuah konspirasi demi statusisasi kemakmuran agar tidak labil ekonomi. *nyengir

Intelijen Perlu Tingkatkan Kemitraan Dengan Rakyat


Jakarta (28/5/2013)- Peranan intelijen menjadi sangat vital dan integral apabila dikaitkan dengan pertahanan dan keamanan negara. Sebagai insan intelijen yang bertugas untuk menjaga kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menjadi penting dan mendesak untuk manunggal dan meningkatkan kemitraan dengan rakyat. Demikian rangkuman wawancara dengan mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen (BAKIN) periode 1996-1998–yang sekarang berubah nama menjadi Badan Intelijen Negara (BIN)–Letnan Jenderal TNI (Purn) Moetojib di kompleks BIN, Jakarta, Rabu  (8/5/2013).
 
Berikut petikan wawancara dengan Mantan Kepala BAKIN, Moetojib :
 
1. Bagaimana perjalanan karir Anda, sehingga berhasil menduduki jabatan puncak sebagai Kepala BAKIN?
Pada mulanya saya tidak pernah bermimpi ataupun bercita-cita sebagai Kepala BAKIN. Kalau dirunut selama perjalanan karir saya tidak pernah menjabat dalam posisi yang berhubungan dengan intelijen maupun masuk komunitas intelijen. Saya tidak mengetahui secara pasti alasan Presiden Soeharto menunjuk saya menjadi Kepala BAKIN, padahal jabatan saya ketika itu sebagai Gubernur Lemhanas. Menurut Jenderal Edi Sudrajat dan Jenderal faisal Tanjung yang menjadi atasan saya, Presiden Soeharto mengatakan : “Intelijen itu ilmu yang bisa pelajari. Karena itu, sambil bekerja sambil belajar.” Pesan Preiden Soeharto terhadap saya,  “Sampaikan kepada saya apa yang kamu lihat sesungguhnya, jangan sampai terbalik”. Waktu itu saya   menjawab :  “Baik Pak saya akan lakukan itu.Kalau saya melihat kucing, saya bilang kucing, kalau saya melihat macan, saya bilang macan”.
 
2. Apa yang Anda pikirkan ketika pertama kali memimpin BAKIN?
Pada  awal masuk BAKIN, saya berpandangan seyogyanya orang intel harus dapat membuka mata dan kuping selebar-lebarnya, namun mulut tertutup rapat jangan banyak bicara. Dalam pikiran saya, makin banyak orang tidak mengenal intelijen semakin baik, karena intelijen berhadapan dengan sesuatu yang rahasia. Semakin kita tertutup, maka akan semakin selamat. Berbeda dengan jabatan saya sebelumnya, semua orang boleh mengenal karena public figure, seperti Panglima Kodam, Komandan Sesko ABRI, Gubernur Lemhanas. Kesemua jabatan tersebut dikenal publik. Satu prinsip yang saya pegang sampai hari ini, orang boleh mengenal diri saya sebagai Kepala BAKIN, tetapi yang lebih penting orang tidak boleh mengetahui isi dalam kepala saya tentang kegiatan yang saya lakukan.
 
3. Adakah pengalaman yang menarik dan impresif selama Anda menjabat sebagai Kepala BAKIN?
Banyak sekali pengalaman menarik selama saya menjabat sebagai Kepala BAKIN. Namun hal itu tidak dapat dibagikan, mengingat rahasia negara baru boleh disampaikan setelah 30 tahun dengan pertimbangan sudah tidak menimbulkan dampak apa-apa. Salah satu yang menarik, pada saat BAKIN diberi kesempatan sebagai tuan rumah penyelenggara pertemuan komunitas intelijen ASEAN yang dilaksanakan di dua tempat, yaitu Jakarta dan Bali. Salah satu hasil yang dicapai dalam pertemuan tersebut adalah kesepakatan mengenai permasalahan yang merugikan salah satu negara ASEAN, semua negara ASEAN harus membantu agar tidak berdampak terhadap negara lainnya. Hasil kesepakatan tersebut dilaporkan kepada Presiden Soeharto dengan mengajak para peserta negara ASEAN untuk menghadap Presiden.
 
4. Bagaimana Anda melihat bahwa intelijen sebagai bagian dari sistem pertahanan Negara?  
Intelijen sebagai bagian dari sistem pertahanan Negara, karena sistem pertahanan dan keamanan tidak bisa dilakukan tanpa intelijen. Pada dasarnya, dalam kehidupan semua harus mengetahui informasi lebih dahulu, seperti pernyataan Sun Tzu yang mengatakan, kalau kita sudah mengetahui 50% informasi, kemenangan sudah didapat. Berdasarkan pengalaman saya yang banyak di pasukan tempur dan komando teritorial, kedua wilayah tersebut merupakan ruang dan alat juang. Merujuk pada sistem pertahanan kita adalah sistem pertahanan rakyat semesta yang sesuai dengan budaya gotong royong. Penggunaan sistem pertahanan rakyat semesta harus dilakukan secara integral dan total. Sebagai petugas inteljen, harus bisa bergaul, mengayomi dan manunggal dengan rakyat. Inilah kekuatan sishankamrata yang sebenarnya. Aparat intelijen tidak bisa berbuat apa-apa tanpa menggandeng rakyat.  Aparat intelijen dapat menerapkan sistem hankamrata dengan baik dan efektif, bila menjalin kemitraan dengan rakyat. Oleh karena itu, aparat intelijen harus dapat merangkul erat komando teritorial. Komando teritorial terbukti sudah membina rakyat sebagai alat deteksi dini yang efektif.
 
5. Bagaimana Anda melihat permasalahan bangsa saat ini dan solusinya?
Saya melihat krisis demi krisis melanda bangsa ini, kemudian berubah menjadi metamorphosis krisis yang bermacam-macam, mulai dari krisis jati diri dan karakter. Permasalahan bangsa ini bersumber dari manusianya bukan karena kecerdasan dan kesehatan yang kurang, tetapi lebih pada karakter dan jati diri bangsa yang kurang. Solusi terhadap masalah bangsa, perlu dirumuskan 2 (dua) strategi konsep dasar. Pertama, rekonstruksi moral secara total dengan membangun karakter dan jati diri bangsa di berbagai lini, mulai dari lembaga pendidikan sampai pada tataran masyarakat. Kedua, konsolidasi kebangsaan untuk mengembalikan kepada nilai-nilai dasar Pancasila, atau dalam istilah lain membangun neo-nasionalisme dengan formulasi baru. Dalam perang kemerdekaan masa lalu, bambu runcing digunakan untuk melawan tank. Ini adalah merupakan simbol yang menunjukan  kekuatan nasionalisme saat itu. Neo-nasionalisme yang dimaksud adalah nasionalisme yang mengapresiasi kebhinekaan, persatuan dan kesatuan, sebagai anugerah Tuhan. Isinya termasuk mengatasi kemiskinan, kebodohan, dan mengatasi isme-isme lainnya sebagai musuh bersama yang bertentangan dengan Pancasila.
 
6. Bagaimana Anda melihat profesionalisme intelijen saat ini?
Saya menyambut baik dan mengapresiasi peningkatan fungsi intelijen maupun pemahaman mengenai intelijen, dengan didasarkan pada tantangan yang semakin bertambah canggih dan berat. Intelijen harus bisa mengikuti kemajuan tantangan dengan meningkatkan profesionalisme yang harus terus dikaji dan disesuaikan dengan konteks tantangan jaman. Profesionalisme intelijen yang dimaksud yaitu, intelijen yang lebih mengutamakan pendekatan soft power, bukan lagi hard power, termasuk didalamnya ialah bidang intelijen ekonomi, social dan budaya. Intelijen harus mempunyai perangkat itu. Secara lebih teknis lagi, sumber daya manusia (SDM) sangat mutlak untuk ditingkatkan. Hal ini untuk mempermudah dalam mendeteksi adanya tantangan. Tantangan yang terlihat sekarang ini adalah adanya usaha untuk mempengaruhi dan merubah peraturan serta perundang-undangan yang ada, kemudian diikuti dengan serbuan budaya ke negara setempat. Indonesia saat ini berada dalam posisi terdesak. Dalam bidang politik, hukum, ekonomi lebih banyak mengedepankan liberalisme daripada Demokrasi Pancasila.
 
7. Apa harapan Anda terhadap organisasi intelijen?
BIN harus terus menerus menyempurnakan organisasinya, termasuk meningkatkan kualitas anggotanya, yang disesuaikan dengan tantangan jaman. Perubahan persepsi seolah-olah intelijen jaman dulu hanya menghadapi perang hard power, namun sekarang perang yang dihadapi adalah perang dengan soft power. Perang ini meliputi perang di bidang ideologi, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Perang soft power membutuhkan pemikiran canggih dan harus dapat mempersiapkan diri, serta harus memiliki daya tahan. Kembali pada konsep sishamkamrata intelijen harus dapat mengambil hati rakyat. Aparat intelijen harus pandai dalam membuat dan membangun jaringan dan akses dengan rakyat, melalui pemanfaatan komando teritorial yang sudah tergelar. Aparat intelijen perlu terus mengefektifkan sistem hankamrata untuk disinergikan dengan fungsi intelijen.  (*)

BIN. 

Jendela Baru Dunia Intelijen - Perlunya Pendekatan Ilmiah Dalam Memprediksi Ancaman Nasional



Intelijen bukanlah sosok yang menyeramkan dan misterius. Sesuai dengan makna dasarnya (intelligent) adalah, kecerdasan. Jadi, seseorang intelijen seharusnya adalah sosok yang cerdas dalam menjalankan tugasnya. Kecerdasan ini sangat diperlukan karena bidang tugas intelijen akan lebih banyak bertumpu pada analisis beragam informasi untuk memperoleh prediksi yang cepat dan akurat.
Prediksi yang akurat ini selanjutnya akan menjadi input penting pengambilan kebijakan atau pun dukungan kebijakan.
Untuk memperoleh analisis yang akurat maka seorang intelijen pada dasarnya dituntut bekerja sesuai dengan norma-norma ilmiah. Prinsip ini sudah berlaku manakala seorang intelijen mulai melakukan pengumpulan data-data mentah, prosesing data mulai dari pengklasifikasian hingga penyaringan data yang reliable, hingga menciptakan produk intelijen berupa analisis yang komprehensif yang dapat memprediksikan suatu perkembangan secara tepat.
Kalau melihat pola kerja seorang intelijen maka pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mencolok antara pola kerja seorang akademisi atau intelektual dengan pola kerja seorang intelijen. Keduanya harus bekerja mematuhi norma-norma ilmiah dalam melakukan pengumpulan, verifikasi dan analisis data serta dalam membuat suatu prediksi. Bedanya, terletak pada unsur kecepatan. Di samping itu produk akhir akademisi umumnya langsung didiskusikan secara terbuka, sedangkan produk akhir seorang intelijen hanya dikonsumsi oleh kalangan sangat terbatas yaitu pemerintah sebagai single user produk intelijen.
Karena kesamaan-kesamaan inilah maka dunia intelijen dan dunia akademik pada dasarnya saling berhutang. Dunia intelijen sangat banyak berhutang ilmu pada dunia akademik, terutama dalam membangun metode verifikasi data dan analisis data yang akurat yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak hanya itu, temuan-temuan ilmu pengetahuan dalam dunia akademik, harus diakui, selama ini diserap sangat banyak oleh dunia intelijen untuk menunjang ketajaman analisis intelijen. Contoh mudahnya adalah analisis dalam bidang sosial politik. Diskripsi cemerlang yang dihasilkan ilmuwan sosial politik bagaimana pun adalah input yang sangat berharga bagi dunia intelijen dalam melakukan analisis kecenderungan dan prediksi perkembangan. Ahli-ahli psikologi yang sangat piawai dalam mendiskripsikan motif kecenderungan personal, juga memberikan kontribusi yang luar biasa manakala dunia intelijen membutuhkan analisis kecenderungan personal seseorang. Dan kiranya, masih banyak lagi sumbangsih kalangan kampus bagi kemajuan metode kerja intelijen.
Sumbangan besar ilmu pengetahuan itu, selanjutnya dibalas kembali oleh dunia intelijen dengan memberikan kontribusi temuan-temuan dan pendekatannya bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penemuan metode Linier Programming dalam bidang ilmu matematika pada tahun 1940-an, bagaimana pun awalnya justru dalam kerangka kepentingan operasi perang. Pendekatan ini sekarang sudah sangat luas diaplikasikan dalam beragam sektor kehidupan. Thomas Saaty, penemu metode Analytical Hirarchy Process (AHP) dalam ilmu pengambilan keputusan, embrio teorinya justru didapatkan tatkala Saaty bekerja di lingkungan riset intelijen di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Metode temuannya sangat luas di dunia sipil dan sudah diaplikasikan dalam berbagai sektor kehidupan. Contoh lain yang mencolok adalah Internet yang sekarang sudah jamak digunakan oleh banyak kalangan untuk komunikasi. Cikal bakal komunikasi data melalui internet ini, bagaimana pun berhutang ilmu dari kalangan intelijen Amenika Serikat manakala mereka berusaha mengembangkan sistem aliran data yang cepat dan akurat. Metode kerja dunia intelijen kini juga sudah banyak diadopsi oleh ilmu manajemen, yang kemudian dikembangkan secara mandiri menjadi ilmu intelijen bisnis.
Contoh-contoh ini menggambarkan bahwa pekerjaan dunia intelijen pada akhirnya tidak hanya bermanfaat secara langsung bagi user-nya yaitu pemerintah, melainkan telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi dunia ilmu pengetahuan secara umum.
Memperhatikan beberapa evidence tersebut maka pengembangan ilmu pengetahuan, sebagaimana yang hendak dikembangkan oleh Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) di Sentul, pada dasarnya harus disambut dengan gembira. Tidak hanya lembaga ini merupakan satu di antara sedikit lembaga sejenis yang ada di dunia, melainkan demi kepentingan yang jauh lebih besar dan strategis yaitu pertama, pengembangan keilmuan yang nantinya akan memberikan manfaat yang jauh lebih besar, baik bagi dunia intelijen maupun bagi publik secara lebih luas. Dan kedua, pendekatan saintifik yang akan dikembangkan oleh kader-kader baru intelijen akan berguna dalam mengantisipasi ancaman gangguan keamanan masa sekarang dan masa depan yang semakin kompleks dan rumit.
Sebagaimana halnya dunia pendidikan, maka pengembangan sekolah intelijen di Indonesia, pada dasarnya tidak ada ruginya. Pengembangan keilmuan di STIN akan memberikan manfaat yang jauh lebih besar yang mungkin tidak terprediksikan sekarang, khususnya dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan secara umum.
Pada awalnya, kepentingan keilmuan dalam dunia intelijen mungkin bersifat lebih praktis, yaitu dalam kerangka mempertajam analisis dalam produk-produk intelijen. Atas dasar alasan ini maka penggunaan metode ilmiah dalam analisis intelijen mungkin lebib luwes dan tidak terpaku pada bentuk scientific inquiry yang ketat. Namun, semakin produk analisis didalami, tantangannya pasti semakin besar dan membutuhkan eksperimentasi keilmuan yang lebih canggih.
Misalnya untuk melakukan analisisa intelijen di bidang ekonomi. Seorang analisis tentu harus paham ekonometrik, ekonomi makro dan mikro, serta teori-teori ekonomi sejak masa Adam Smith hingga yang kontemporer seperti penggunaan game theory dalam menjelaskan konffik dan kerjasama di bidang ekonomi. Demikian juga dengan analisa intelijen di bidang politik, juga diperlukan dasar pemahaman tentang teori-teori politik dari jaman Aristoles hingga sekarang.
Pendekatan keilmuan dalam dunia intelijen itu, selama ini memang telah berkembang dengan menggabungkan berbagai pendekatan keilmuan, ditambah dengan pemikiran praktis intelijen. Pendekatan ini rupanya bermanfaat dalam memprediksikan berbagai perkembangan atau dalam memecahkan masalah-masalah rumit. Pendekatan itu, kalau dalam dunia akademik, sering disebut pendekatan interdisipliner. Pendekatan interdisipliner sebenarnya sudah sangat lazim dalam analisis intelijen. Meskipun baru belakangan ini dikembangkan secara besar-besaran oleh para akademisi.
Keberanian akademisi untuk melakukan eksperimentasi keilmuan dengan menggunakan data-data intelijen yang bersifat kualitatif, setidaknya telah menghasilkan beberapa temuan cemerlang. Pendekatan AHP (Analytical Hirarchy Process) sebagaimana dikembangkan Thomas Saaty di University of Pittsburgh pada dekade 80-an adalah sedikit contoh bagaimana persoalan kualitatif dapat ditransformasikan dan dipecahkan secara kuantitatif. Dan itu eksperimentasi awalnya adalah pengalaman waktu muda Thomas Saaty ketika mendapat kesempatan bekerja internship dalam dunia intelijen.
Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan yang khas dari dunia intelijen ini semestinya terus menerus didialogkan dengan kalangan kampus. Diakui, eksperimentasi yang dilakukan dunia intelijen masih banyak kelemahannya dari sudut ilmu pengetahuan. Untuk itulah, proses dialog dibutuhkan. Dialog ini sangat dimungkinkan karena kedua entitas pada dasarnya bekerja dengan metodologi ilmiah. Kalangan kampus semestinya tidak perlu segan mengkomunikasikan berbagai temuannya dengan kalangan intelijen. Begitu juga sebaliknya, intelijen tidak perlu malu-malu untuk mendialogkan temuan metasifiknya dengan kalangan kampus. Dengan adanya dialog ini, maka dua hal yang selama ini seakan terpisah jauh, yang terkadang saling curiga padahal saling mencuri ilmu, dapat terus ditemukan titik kesamaan dengan kemajuan bersama.
Kalau konfergensi keilmuan itu terus berlangsung, khususnya di sekolah intelijen (STIN) maka adalah sangat wajar apabila timbul suatu angan-angan bahwa suatu saat nanti akan lahir school of thought of intellijence ala Indonesia yang mampu menghasilkan analisis intelijen yang cepat, tepat dan akurat.
Temuan-temuan ini tentu saja tetap dalam kerangka menghormati perbedaan kepentingan di antara dua dunia sebut. Tidak terbersit maksud untuk menjadikan para akademisi menjadi intel atau sebaliknya, mendidik intelijen menjadi profesor. Yang harus lebih penting adalah bagaimana kedua belah pihak mengambil benefit dari keberadaannya masing-masing secara jujur dan bertanggungjawab. Karena, kedua entitas ini pada dasarnya ibarat dua bunga yang berbeda yang tumbuh berkembang dari tanah yang sama: Indonesia.
Kehadiran STIN pada dasarnya mempunyai alasan praktis dan strategis yang kuat. Secara praktis, kehadiran sekolah ini didorong oleh kebutuhan yang sangat mendesak untuk mencetak tenaga intelijen yang trampil, profesional dan mempunyai komitmen tinggi. Kualifikasi tenaga seperti ini, tentunya tidak mungkin dihasilkan lewat pendidikan intelijen yang singkat. Melainkan harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan yang sistematis, terencana dan terprogram secara baik serta mungkin membutuhkan waktu yang relatif lama. Dan kehadiran STIN dimaksudkan untuk menyiapkan kader-kader baru tenaga intelijen yang terampil profesional dan berkomitmen tersebut.
Kehadiran sekolah ini mungkin agak terlambat kalau dibandingkan dengan obsesi yang sudah sangat lama akan terbentuknya sebuah sekolah intelijen di Indonesia. Dapat dibandingkan dengan instansi pemerintah yang lain yang sudah lama membuka sekolah di bidang profesinya. Padahal, intelijen adalah juga sebuah profesi khusus yang tidak semua orang menekuninya. Kendati agak terlambat. Alhamdulillah obsesi lama itu sekarang sudah mulai terwujud dan kini mulai menelorkan lulusannya.
Ini berarti BIN mulai sekarang akan mendapatkan pasokan tenaga intelijen yang sudah terdidik secara profesional sejak awal. Bekal ini sangat penting karena tantangan tugas yang akan dihadapi sudah sangat kompleks yang tidak mungkin ditangani oleh tenaga intelijen konvensional.
Ancaman stabilitas nasional sekarang tidaklah sederhana. Ancaman itu tidak lagi dalam bentuk tradisional, seperti invasi negara lain. Melainkan lebih banyak diwarnai ancaman nontradisional yang juga dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Pola yang dimainkan sudah merupakan gabungan dari beragam unsur dan tidak mengenal batas geografis.
Sumber ancamannya sudah tidak bisa dibedakan antara dalam dan luar negeri. Bentuk ancamannya sudah menggunakan berbagai macam media, mulai dari yang paling canggih hingga yang paling sederhana. Dampak masalahnya juga sangat kompleks karena menyangkut masalah politik, ekonomi dan sosial keagamaan.
Dengan demikian, potensi ancaman dan gangguan keamanan harus didefinisikan ulang. Ancaman invasi militer dari negara lain, mungkin sudah relatif berkurang. Namun, ancaman dalam bidang ideologi tampaknya masih menjadi agenda besar meskipun era perang dingin sudah berlalu. Terbongkarnya jaringan terorisme telah memperlihatkan bahwa ancaman ideologi itu masih ada hingga sekarang. Mereka dapat bergerak leluasa memanfaatkan kebebasan politik dan informasi, teknologi informasi dan memanfaatkan kondisi sosial ekonomi dan keagamaan masyarakat yang sedang labil.
Kalau ideologi radikal keagamaan saja sudah mampu mcnggegerkan dunia, maka tidak tertutup kemungkinan ideologi-ideologi sekuler, baik kanan maupun kiri, juga akan beroperasi dengan beragam modus operandi untuk meminimalisasikan nilai-nilai Pancasila.
Dalam mengantisipasi potensi ancaman dan gangguan, intelijen juga sudah tidak bisa bekerja dengan paradigma lama main tangkap atau memenjarakan seseorang tanpa proses peradilan alias bekerja dengan ekstra yudisial. Cara seperti ini, sudah sepakat untuk ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum dan HAM.
Pada dasarnya, intelijen harus bekerja dalam koridor hukum dan tidak boleh melampaui kewenanganya sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan.
Sesuai dengan semangat reformasi, maka dalam menjalankan fungsinya, intelijen harus menghargai hak-hak warga negara, kebebasan sipil dan demokratisasi. Penghormatan terhadap prinsip-prinsip ini, tidak boleh menjadi alasan kemandulan inte]ijen. Para aparat intelijen dapat terus mengembangkan kemampuannya dalam mendeteksi segala macam ancaman dengan tetap menghormati hak-hak warga negara, kebebasan sipil dan demokratisasi.
Itu semua bisa dilakukan apabila intelijen bekerja dengan paradigma baru, mengedepankan pendekatan ilmiah, profesional dan dapat dipertanggungjawabkan. Sangat diharapkan, para lulusan STIN sebagai kader-kader muda intelijen Indonesia dapat bekerja dengan ritme tersebut.

Awas, Kapal Perang AS Berlabuh di Bali!

Amerika Serikat (AS) tampaknya masih memberikan “perhatian khusus” kepada Indonesia, salah satunya tertuju pada bidang militer. Bentuk perhatian itu di antaranya diperlihatkan dengan kedatangan kapal perang AS ke Indonesia pagi ini.
USS Benfold sebuah kapal perang milik Angkatan Laut AS berlabuh di Pelabuhan Benoa, Bali, Kamis (12/07/2012). Kapal perang ini, datang langsung dari San Diego AS untuk melakukan kunjungan ke kawasan Asia Tenggara dan singgah selama 4 hari di Bali.
Kapal dengan panjang 54 meter dan berbobot sekitar 8.900 ton ini dilengkapi persenjataan rudal anti pesawat, rudal anti kapal selam, dan rudal anti kapal perang. Kapal ini akan menunjukkan kecanggihannya pada latihan perang bersama dengan pasukan TNI-AL.
Uniknya, menurut Kapten Kapal Adrian Jansen, kapal USS Benfold di Indonesia hanya singgah di Bali saja. Di sela-sela latihan perang, awak kapal yang berjumlah 280 orang itu akan mengunjungi sejumlah kawasan wisata di Bali dan beberapa di antaranya akan menemui beberapa pejabat setempat.
Dalam latihan perang ini, TNI-AL akan melibatkan KRI Hasan Basri dan KRI Uling. Latihan perang bersama tersebut akan diisi dengan beberapa materi, di antaranya manuver taktis, sistem komunikasi serta prosedur penyelamatan lainnya.
Tapi yang kini jadi pertanyaan, apakah kapal perang AS ini semata-mata hanya melakukan kunjungan resmi dan melakukan latihan perang belaka? Dengan peralatan canggih yang dibawanya, bisa saja kapal perang itu melakukan missi lainnya.
Intelijen.

KEDATANGAN TIM ADVANCE DAN ALKOMSUS RUSIA


Pesawat Ilyushin 96 dengan membawa 58 orang tiba di Bandara Ngurah Rai, baru-baru ini dalam rangka persiapan dukungan Delegasi dari Rusia pada APEC 2013. Lanud Ngurah Rai yang merupakan penanggungjawab di Bandara dalam hal ini memberikan dukungan operasi penerbangan, loading unloading, serta pengamanan selama pesawat dan tim advance berada di Bandara Ngurah Rai. Disamping membawa tim advance bersmaan dengan itu Ilyushin 96 juga membawa alkomsus sebanyak 2.5 ton.
Sesaat setelah Pesawat tersebut mendarat, Staf intelejen Lanud Ngurah Rai bersama dengan instansi terkait seperti Imigrasi, PT. AP I dll melaksanakan pengecekan kelengkapan dokumen sebagai prosedur yang harus dilakukan kepada pesawat pesawat asing un schedule yang mendarat. Setelah pengecekan kelengkapan berkas Tim advance Rusia melaksanakan unloading barang barang yang dibawa dari Rusia.
Intensitas penerbangan yang berasal dari peserta APEC SUMMIT 2013 yang dimulai akhir bulan September ini semakin meningkat dimulai dengan kedatangan dukungan alkomsus, tim advance dari masing – masing peserta sampai pada H -1 pelaksanaan APEC 2013 berikut dengan kedatangan para Delegasi dan Kepala Negara peserta.
Setelah loading dan unloading selesai dilaksanakan Pesawat Ilyushin 96 bertolak kembali ke Negara asalnya Rusia. Sehari sebelum kedatangan Ilyushin 96 Lanud Ngurah Rai juga menerima kedatangan tim advance yang membawa alkomsus dari Cina.

TNI AU