Dalam konsep peperangan modern, Battlefield Management System (BMS) kini jadi suatu kebutuhan, terlebih bila yang dihadapi operasi tempur berskala besar. Menyambung tulisan di Indomiliter.com sebelumnya, “Cegah Friendly Fire, Kavaleri TNI AD Adopsi Battlefield Management System Produksi Dalam Negeri,” maka yang tak bisa dilupakan dari hadirnya BMS adalah jaringan komunikasi wireless dengan tolok ukur dalam standar militer pada ketersediaan jaringan komunikasi yang aman dan mandiri.
Terkait jaringan aman dan mandiri, memang jadi elemen penting dari BMS sebagai solusi. Menyorot kata mandiri, bisa diartikan sistem komunikasi yang terpisah dari jaringan publik, sehingga meminimalkan interferensi. Sementara kata aman, mengedepankan kehadiran hardware, software, dan enkripsi dengan protokol khusus. Inilah solusi yang ditawarkan PT Hariff Daya Tunggal Engineering (DTE), perusahaan swasta nasional yang ber-homebase di Bandung, Jawa Barat, dalam konstruksi BMS yang ditawarkan ke pihak TNI AD.
Andalkan Broadband Wireless Access (BWA)
BMS lewat unit terminal berbasis tablet Android menawarkan beberapa keunggulan, mulai dari monitoring keberadaan konvoi tempur via digital map, informasi sisa amunisi ranpur, sisa bahan bakar, dan temperatur suhu serta kelembaban. Kesemua parameter tadi dapat di share secara realtime dalam komunikasi berbasis data, baik antar unit dalam pertempuran (antar tank/infanteri), antar unit tempur dan posko, dan komunikasi ke level atas di Puskodal (Pusat Komando dan Pengendalian).
Bagaimana BMS bisa melakukan semua itu? Resepnya tak lain adalah penggunaan akses broadband. Dan yang diusung PT Hariff DTE yakni platform Broadband Wireless Access berbasis WiMax (Worldwide Interoperability for Microwave Access). Gaung WiMax sendiri sempat populer di sekitaran tahun 2006, namun belakangan layu sebelum berkembang tergeser adopsi 4G LTE (Long Term Evolution). Padahal WiMax yang kini jaringannya melayani segmen korporat di Tanah Air, punya keunggulan komparatif dibanding 4G LTE.
Battlefield Management System adalah bagian dari sistem JAM (Jaringan Aman dan Mandiri) rancangan PT Hariff DTE.
Unit ranpur komando dipasangi repeater WiMax dalam gelar operasi tempur berbasis BMS.
Dalam gelar formasi tempur kompi kavaleri, ada satu panser atau tank komando yang diberi peran sebagai pengusung repeater WiMax. Sehingga panser/tank komando ini dapat menjadi hub yang memonitor pergerakan unit tempur yang ada di medan perang, baik itu keterlibatan elemen kavaleri, artileri, dukungan udara dan infanteri yang juga dibekali BMS. Dari panser/tank komando tersebut, komunikasi berupa data diteruskan ke tingkat posko, dan level Puskodal yang lokasinya bisa saja berada di area yang jauh dari hiruk pikuk peperangan, seperti misalnya di Ibukota.
Guna mewujudkan desain diatas, keberadaan data link system dan backbone komunikasi juga telah dipikirkan. Bila jalur BMS dengan WiMax bisa dilakukan secara mandiri, maka saat koneksi ke Puskodal jalur yang digunakan sampai saat ini belum bisa mandiri, mengingat pemerintah belum menyediakan satelit khusus militer, begitu pun jaringan fiber optics masih bercampur dengan kegunaan komersial. “Mungkin saja data yang dikirim via satelit dapat diambil oleh pihak lawan, tapi yang kami kedepankan disini adalah data itu tidak dapat dibaca oleh mereka, karena kami mengembangkan enkripsi dengan algoritma khusus,” ujar Dadang Yuhana, direktur teknik PT Hariff DTE kepada Indomiliter saat menjelaskan seputar sistem JAM (Jaringan Aman dan Mandiri).
M1A1 Abrams yang rontok akibat friendly fire saat Perang Teluk I tahun 1991.
Jalur komando dan pengendalian BMS militer AS.
Bagaimana dengan performa WiMax untuk misi tempur? Mengingat medan operasi di Indonesia yang beda dengan di Timur Tengah, maka yang cocok digunakan adalah model near Line of Sight. Semisal menghadapi kontur medan berbukit, WiMax di 2 Mhz masih dapat mendukung komunikasi data dan voice secara optimal.
Hebatnya, BMS karya Anak Bangsa hasil kerjasama dengan litbang Dithubad (Direktorat Perhubungan Angkatan Darat) dirancang untuk beroperasi secara interoperability dengan alat komunikasi lain yang telah digunakan TNI, baik di frekuensi HF, VHF, dan UHF. Ketika komunikasi suara menjadi sangat intensif pada situasi pertempuran, maka alat komunikasi yang ada akan tetap menjadi voice high priority, sementara solusi BMS yang mengedepankan basis data akan tetap berjalan mulus berkat teknologi Hot Redudancy Data Communication System (HRDCS).
Sekilas WiMax
Teknologi Worldwide Interoperability for Microwave Access (WiMAX) merupakan pengembangan dari teknologi WiFI yang sudah biasa kita gunakan sehari-hari, salah satunya sebagai wireless pada komputer atau laptop. Secara umum dikenal dua jenis WiMAX, yaitu WiMAX untuk jaringan tetap atau disebut Fixed WiMAX dan WiMAX untuk jaringan bergerak atau sering disebut Mobile WiMAX.
Fixed WiMAX mampu mendukung kecepatan transfer data sampai 75 Mbps dengan jangkauan sampai 50 km. Sedangkan Mobile WiMAX mampu mencapai kecepatan transfer data hingga 15 Mbps dengan jangkauan 20-50 km. Dengan kemampuan tersebut, WiMAX disebut sebagai jaringan generasi keempat (4G), meskipun sebetulnya kemampuan ini belum memenuhi standar 4G yang ditetapkan IMT-Advanced. Teknologi WiMAX lebih tepat disebut sebagai jaringan 3.9G.
Lantas mengapa WiMax tidak populer di Indonesia? Paling tidak ada tiga alasan penting seperti berikut. Pertama, kebijakan lisensi Fixed WiMAX. Pada awalnya lisensi yang ditender pemerintah adalah Fixed WiMAX. Padahal pada saat yang sama standar Mobile WiMAX telah diterbitkan dan siap komersial. Para pemegang lisensi tampak ragu-ragu menggelar Fixed WiMAX, khawatir layanannya tidak mampu bersaing dengan Mobile WiMAX yang tentu lebih digemari pasar. Meskipun pada akhirnya sikap pemerintah melunak, dengan mengijinkan pemegang lisensi menggelar Mobile WiMAX, namun respon tersebut dianggap terlambat.
Kedua, kebijakan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Pemerintah mensyaratkan TKDN minimal 30 persen untuk perangkat dan 40 persen untuk base station. Maksud kebijakan tersebut sangat baik, yaitu membangkitkan industri lokal dan transfer teknologi. Sehingga munculah produsen perangkat lokal, diantaranya adalah PT Hariff DTE. Namun konsekuensinya, harga perangkat menjadi relatif lebih mahal karena skala ekonominya yang masih terbatas. (Haryo Adjie)