Jumat, 27 November 2015

Rencana Strategis TNI AU 2015-2019

  T-50 Golden Eagle
T-50 Golden Eagle

Jakarta – Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI Agus Supriatna, memaparkan Rencana Strategis TNI AU 2015-2019, yang berasal dari kajian internal TNI AU dan disetujui Markas Besar TNI dan Kementerian Pertahanan.

Ada beberapa hal yang menjadi fokus utama Rencana Strategis TNI AU 2015-2019 itu, sebagaimana yang dinyatakan KASAU di Ruang Tunggu VIP Base Ops Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis, 26/11/2015.

1. Pengganti F-5E/F Tiger II di Skadron Udara TNI AU 14, yang diproyeksikan pada dua kandidat utama, yaitu Sukhoi Su-35 Super Flanker buatan Rusia, dan F-16 Viper buatan Lockheed Martin, Amerika Serikat. Yang pertama bermesin dua, dan yang kedua bermesin tunggal. Akan dibeli unit baru yang baru dari pabriknya, dan dalam keadaan lengkap persenjataan dan sistem avionik.

Walau tender terbuka tidak pernah dilakukan, namun pabrikan yang turut memaparkan kebolehan dan keunggulan produknya adalah Saab Swedia (JAS39 Gripen), Dassault Rafale (Prancis), Eurofighter Typhoon (konsorsium : Spanyol, Inggris, Jerman, dan Italia).

2. Pemutakhiran armada pesawat angkut berat sekelas C-130 Hercules. Sejauh ini ada dua skadron udara TNI AU yang mengoperasikan pesawat militer di kelas ini, yaitu Skadron Udara 31 (Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta), dan Skadron Udara 32 (Pangkalan Udara Utama TNI AU Abdurrahman Saleh, Malang, Jawa Timur).

C-130 Hercules serie dipilih karena tipe ini terbukti andal dan populasinya masih sangat banyak di dunia. Adapun Embraer dari Brazil sempat mencoba peruntungan, sebagaimana A400M dari Airbus Industry.

3. Pemutakhiran pesawat latih jet T-50i dari Korea Aerospace Industry, Korea Selatan. TNI AU sudah punya 16 unit T-50i Golden Eagle, sehingga sebagai skadron udaranya, kekuatannya terbilang lengkap, yang dimasukkan ke dalam Skadron Udara 15 TNI AU, di Pangkalan Udara Utama TNI AU Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur.


Marsekal Supriatna menjelaskan, yang dilakukan nanti adalah melengkapi T-50i Golden Eagle dengan radar dan sistem persenjataannya. Selama ini belum ada radar dan persenjataan T-50i Golden Eagle yang datang pada 2013 dan belum bisa dikategorikan sebagai pesawat tempur taktis.

Pengadaan T-50i Golden Eagle yang bentuknya nyaris persis dengan F-16 Fighting Falcon untuk memenuhi skala waktu yang dituntut dalam kontrak pembelian, yaitu tiba perdana pada 2013 dan unit terakhir 2014.

4. Penambahan pesawat latih dasar Grob G-120TP dari Jerman, yang dimasukkan di Skadron Udara 202, yang adalah skadron udara pendidikan calon perwira penerbang berpangkalan di Pangkalan Udara Utama Adi Sucipto, Yogyakarta. Grob G-120TP pengganti AS-202 Bravo, yang telah berkiprah sejak dasawarsa ’70-an.

5. Penambahan KT-1B Wong Bee, buatan Korea Aerospace Industry, Korea Selatan. Pesawat terbang mesin turbo piston berbaling-baling ini bergabung ke dalam Skadron Udara 201, yang juga skadron pendidikan calon perwira penerbang di Yogyakarta.

Pesawat terbang ini juga dijadikan the goodwill ambassador of Indonesian Air Force, ke dalam Tim Aerobatic Jupiter.

6. Pembelian 9 unit Helikopter angkut berat dan helikopter kepresidenan/VIP, yang berbasis Agusta Westland AW-101 Merlin. Diproyeksikan enam unit AW-101 dibeli baru untuk skadron udara angkut berat dan tiga untuk Skadron Udara 45 VIP.

Semua tender pengadaan pesawat militer tidak diungkapkan kepada publik.

Antara

Singapura Klarifikasi Ucapan Luhut soal FIR

  F-16 TNI AU
F-16 TNI AU

Jakarta – Kementerian Luar Negeri Singapura menyatakan pemerintah mereka belum menyepakati pengambilalihan kendali ruang udara atau Flight Information Region (FIR) di Kepulauan Riau oleh Indonesia.

“Deputi Perdana Menteri Singapura Teo Chee Hean tidak setuju dengan hal itu. Pembicaraan soal FIR mengemuka pada acara makan malam yang digelar Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Indonesia, Luhut Pandjaitan, 23 November 2015. Teo belum, dan tidak dapat menyetujui, isu sebesar itu dibicarakan dalam diskusi informal singkat selama makan malam,” demikian rilis resmi Kementerian Luar Negeri Singapura, Kamis (26/11).

Pemerintah Singapura berpendapat kontrol ruang udara bukan isu kedaulatan, melainkan soal operasionalisasi lalu lintas udara yang efektif dengan prioritas pada keselamatan penerbangan.

Deputi Perdana Menteri Singapura Teo menekankan FIR adalah masalah teknis oeprasional yang kompleks di bawah lingkup Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), dan karenanya melibatkan banyak negara dan maskapai penerbangan yang melintasi ruang udara dalam kendali FIR tersebut.

Sikap Singapura itu ditegaskan Deputi Perdana Menteri Teo dalam pertemuan dengan sejumlah pejabat Indonesia pada kunjungannya ke Jakarta, 23-25 November. Di antara menteri Indonesia yang ditemui Teo ketika itu adalah Menkopolhukam Luhut dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.


Saat itu pula, ujar Kemlu Singapura, para pejabat Indonesia sepakat dengan pemerintah Singapura bahwa pengelolaan ruang udara bukan masalah kedaulatan, melainkan persoalan teknis operasional.

“Mereka (pejabat Indonesia) juga setuju bahwa perhatian utama harus ditujukan pada keselamatan, efisiensi, dan kelancaran operasi lalu lintas udara,” kata Kementerian Luar Negeri Singapura.

Singapura menyatakan ada banyak contoh di mana ruang udara suatu negara dikelola otoritas negara lain. Indonesia misalnya, kata Singapura, juga mengelola zona udara milik negara lain yang berbatasan dengan RI.

Beberapa waktu lalu, Menko Polhukam Luhut Panjaitan menyatakan Singapura tak keberatan dengan niat Indonesia mengelola ruang udaranya sendiri. Saat ini Indonesia tengah menyiapkan sumber daya manusia dan infrastruktur untuk mengelola FIR di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura.

Rencana Indonesia mengambil alih kendali ruang udara Kepulauan Riau dari Singapura mencuat awal bulan September ketika Jokowi memerintahkan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memodernisasi peralatan dan meningkatkan kemampuan personelnya agar dapat mengelola FIR secara mandiri.

CNN Indonesia

Singapura : FIR Natuna Bukan Masalah Kedaulatan

  pespur singapura

Jakarta, CNN Indonesia – Kementerian Luar Negeri Singapura menyatakan pemerintah mereka belum menyepakati soal pengambilalihan kendali ruang udara atau flight information region (FIR) di Kepulauan Riau oleh Indonesia.

“Deputi Perdana Menteri Singapura Teo Chee Hean tidak setuju dengan hal itu. Pembicaraan soal FIR mengemuka pada acara makan malam yang digelar Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan RI Luhut Pandjaitan pada 23 November 2015. Teo belum, dan tidak dapat menyetujui, isu sebesar itu dibicarakan dalam diskusi informal singkat selama makan malam,” demikian rilis resmi Kementerian Luar Negeri Singapura, Kamis (26/11).

Pemerintah Singapura berpendapat kontrol ruang udara bukan isu kedaulatan, melainkan soal operasionalisasi lalu lintas udara yang efektif dengan prioritas pada keselamatan penerbangan.

Deputi Perdana Menteri Singapura Teo menekankan FIR adalah masalah teknis operasional yang kompleks di bawah lingkup Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), dan karenanya melibatkan banyak negara dan maskapai penerbangan yang melintasi ruang udara dalam kendali FIR tersebut.

Sikap Singapura itu telah ditegaskan Deputi Perdana Menteri Teo dalam pertemuan dengan sejumlah pejabat Indonesia pada kunjungannya ke Jakarta, 23-25 November. Di antara menteri RI yang ditemui Teo ketika itu ialah Menkopolhukam Luhut dan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.


Saat itu pula, ujar Kemlu Singapura, para pejabat Indonesia sepakat dengan pemerintah Singapura bahwa pengelolaan ruang udara bukan masalah kedaulatan, melainkan persoalan teknis operasional.

“Mereka (pejabat Indonesia) juga setuju bahwa perhatian utama harus ditujukan pada keselamatan, efisiensi, dan kelancaran operasi lalu lintas udara,” kata Kemlu Singapura.

Singapura menyatakan ada banyak contoh di mana ruang udara suatu negara dikelola oleh otoritas negara lain. Indonesia misalnya, kata Singapura, juga mengelola zona udara milik negara lain yang berbatasan dengan RI.

Beberapa waktu lalu, Menko Luhut menyatakan Singapura tak keberatan dengan niat Indonesia mengelola ruang udaranya sendiri. Saat ini Indonesia tengah menyiapkan sumber daya manusia dan infrastruktur untuk mengelola FIR di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura.

Rencana Indonesia mengambil alih kendali ruang udara Kepulauan Riau dari Singapura mencuat awal September ketika Jokowi memerintahkan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memodernisasi peralatan dan meningkatkan kemampuan personelnya agar dapat mengelola FIR secara mandiri.

CNN

Menteri Pertahanan Sudah Tandatangani Pembelian Su-35

untitled-1
Su-35 memiliki kemampuan dan kecanggihan diatas Su-30

KASAU Marsekal Agus Supriatna menyatakan pemerintah telah sepakat memilih Sukhoi Su-35 buatan Rusia sebagai pesawat tempur pengganti F-5 Tiger yang telah uzur.

“Saya baca dokumen yang dikirim Kementerian Pertahanan ke Bappenas. Yang sudah ditandatangani Menhan adalah Sukhoi Su-35,” kata Agus di Jakarta.

Mencari pengganti 16 pesawat F-5 Tiger yang dioperasikan Skuadron Udara 14 Pangkalan Udara Iswahjudi, Magetan, Jawa Timur, memang menjadi salah satu target utama TNI AU saat ini.

Agus mengatakan, sebelum Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu meneken kesepakatan pengadaan Sukhoi Su-35, TNI AU telah mengirimkan sepsifikasi teknologi pesawat yang mereka nilai pantas menggantikan F-5 Tiger.

TNI AU menyodorkan dua pesawat tempur sebagai pilihan: F-16 Viper, Lockheed Martin Amerika Serikat, dan Sukhoi Su-35 buatan Sukhoi Rusia.

“Sebagai pengguna, TNI AU hanya mengirimkan tech spec pesawat yang kami inginkan untuk memenuhi tugas kami,” ujar Marsekal Agus.


F-16 Viper dan Sukhoi Su-35 disodorkan TNI AU untuk dipilih karena mereka tak ingin mengubah sistem pemeliharaan secara ekstrem. “Kalau Sukhoi Su-35 kan sama dengan Sukhoi Su-30 yang sudah kami operasikan saat ini,” kata Agus.

Dari dua pilihan tersebut, TNI AU akhirnya memilih Su-35 yang dikenal dengan sebutan jet tempur siluman karena kecanggihan teknologinya yang tepat berada di bawah pesawat siluman generasi kelima.

Su-35 dapat menghilang dari radar, dilengkapi peralatan jamming untuk menurunkan kemampuan radar musuh, dan memiliki kecepatan supersonik sekitar 1,5 mach atau dua kali kecepatan suara.

Meski demikian, Agus memperkirakan instansinya tak dapat membeli Su-35 sebanyak 16 unit seperti jumlah F-5 Tiger sebelumnya, karena menyesuaikan dengan anggaran yang disediakan pemerintah untuk TNI AU.

“Dengan menghitung anggaran yang ada, mungkin beli 12 pesawat Su-35 saja. Tapi saya minta isinya sudah lengkap,” kata Agus.

Saat ini TNI AU mendapat alokasi anggaran US$3,1 miliar atau sekitar Rp41 triliun untuk modernisasi alat utama sistem senjatanya. Anggaran itu akan digunakan selama periode 2015-2019.

CNN Indonesia

Minggu, 22 November 2015

Turntable Landing Ship Tank: Meja Putar Ranpur Berkapasitas Puluhan Ton

kapal-pengangkut-tank-tni

Dari segi daya guna, LST (Landing Ship Tank) bisa disejajarkan pentingnya dengan pesawat angkut berat C-130 Hercules TNI AU. Mengemban fungsi utama sebagai penghantar tank amfibi dari tengah lautan, kapal perang dengan kualifikasi LST jelas punya karakteristik, selain adanya tank deck dan pintu rampa, LST juga dicirikan dengan adanya fasilitas meja putar (turntable).

Uji turntable dengan tank PT-76 di KRI Teluk Bintuni 520.
Uji turntable dengan tank PT-76 di KRI Teluk Bintuni 520.

Turntable yang dimaksud tentu bukan alat pemutar piringan hitam, turntable di kapal LST adalah meja/plat yang digunakan untuk memutar arah kendaraan lapis baja di dalam tank deck. Seperti diketahui, umumnya LST dirancang dengan satu pintu ramp (ramp door) pada bagian haluan, dimana ramp door digunakan untuk masuk dan keluar kendaraan ke dalam tank deck.

Turntable di LPD KRI Teluk Makassar 590.
Turntable di LPD KRI Teluk Makassar 590.

Nah, karena hanya ada satu ramp door, maka kendaraan yang masuk ke dalam LST perlu memutar arah di dalam tank deck, tujuannya agar didapat posisi yang ideal untuk proses debarkasi basah, yakni proses pendaratan ranpur amfibi dari tengah laut. Debarkasi basah sendiri menjadi menu wajib dalam tiap latihan pendaratan amfibi berskala besar. Salah satu debarkasi basah yang paling monumental yakni saat operasi pendaratan amfibi Marinir TNI AL di lepas pantai kota Dili, Timor Timur saat mengawali operasi Seroja tahun 1975.

Pansam BTR-50 melaksanakan embarkasi ke tank deck LST.
Pansam BTR-50 melaksanakan embarkasi ke tank deck LST.

Armada tank PT-76 setelah melaksanakan debarkasi basah dari LST.
Armada tank PT-76 setelah melaksanakan debarkasi basah dari LST.

Prinsip turntable di LST serupa dengan turbtable untuk kereta api.
Prinsip turntable di LST serupa dengan turbtable untuk kereta api.

Prinsip turntable di LST sejatinya sama dengan pemutar arah lokomotif atau gerbong kereta api. Karena fungsinya cukup menting untuk memudahkan manuver kendaraan di ruang deck yang relatif terbatas, turntable kini juga digunakan pada LPD (Landing Platform Dock). Spesifikasi seperti dimensi dan bobot (payload) turntable tentu berlainan di setiap LST, pastinya disesuaikan dengan karakteristik dan jenis ranpur yang dibawanya. Untuk LST TNI AL yang kerap membawa ranpur tank PT-76 dan pansam BTR-50, diperkirakan bobot putarnya mencapai 20 ton.

_MG_8703-turntable

KRI Teluk Bintuni 520.
KRI Teluk Bintuni 520.

Beda lagi dengan KRI Teluk Bintuni 520, sebagai LST terbesar yang dimiliki TNI AL, kapal perang produksi dalam negeri ini justru punya turntable dengan kapasitas hingga 90 ton. Besarnya kapasitas turntable di KRI Teluk Bintuni 520 lantaran kapal ini digadang untuk membawa MBT (Main Battle Tank) Leopard 2A4 TNI AD yang bobot per tank mencapai 60-tonan. Dan hebatnya, turntable yang terpasang di KRI Teluk Bintuni 520 adalah buatan BUMN PT Pindad. (Haryo Adjie)
 
 

Tahun 2016, TNI AU Punya Pangkalan Udara ‘Pearl Harbor’

 

Pangkalan TNI AU Ranai, Natuna
Pangkalan TNI AU Ranai, Natuna

Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Agus Supriatna mengatakan pangkalan udara TNI AU Natuna dirancang untuk menjadi pangkalan militer terpadu.

“Kami memang bercita-cita membangun Pangkalan Udara TNI AU Natuna menjadi pangkalan militer terpadu, menjadi Pearl Harbor-nya Indonesia,” kata Agus di Karanganyar, Jawa Tengah, Jumat, 20 November 2015.

Menurut Agus, Pearl Harbor merupakan pangkalan militer Amerika Serikat terbesar di Kepulauan Hawaii. Sedangkan, Pangkalan Udara TNI AU Natuna kini tipenya masih C dan akan ditingkatkan menjadi tipe B, yang dikomandani seorang kolonel.


Untuk saat ini, kata Agus, Kementerian Pertahanan menurunkan lebih dari Rp 200 miliar sebagai dana penguatan Pangkalan Udara TNI AU Natuna dan diharapkan sudah selesai pada 2016.

Pangkalan Udara TNI AU Natuna diperkuat karena perairan di sana jalur pelayaran strategis dan juga untuk memantau keamanan di perbatasan Indonesia dengan negara-negara lain. “Jika ada negara lain yang saling mengklaim, tapi Indonesia berdiri di wilayah itu sebagai pihak ketiga, akan ikut menjaga keamanan,” katanya.

Pearl Harbour di Pulau Oahu, Kepulauan Hawaii, Amerika Serikat, berada sangat jauh dari tanah induk Amerika Serikat. Pulau Natuna juga berada di tepi Laut Cina Selatan, yang dalam beberapa tahun terakhir makin menghangat sejalan klaim sepihak Cina atas hampir seluruh perairan itu.
Jadilah Pulau Natuna dan Kepulauan Natuna menjadi pagar penting bangsa ini menghadapi berbagai dampak dinamika di Laut Cina Selatan
 

Pertahanan Militer di Pulau Morotai Ditingkatkan

  Pesawat Sukhoi TNI AU terbang rendah melintasi dermaga kota Daruba, Pulau Morotai, Kamis (12/11/15) (Antara)
Pesawat Sukhoi TNI AU terbang rendah melintasi dermaga kota Daruba, Pulau Morotai, Kamis (12/11/15) (Antara)

Pulau Morotai atau Moroda’i dalam dialek bahasa setempat, sangat strategis dari sisi pertahanan dan militer. Bahkan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Sekutu di Pasifik, menjadikan Pulau Morotai sebagai pijakan penting dalam Perang Pasifik menghadapi Jepang.

Untuk itulah maka status Pulau Morotai dari sisi pertahanan dan militer Indonesia akan ditingkatkan. Wacana ini telah lama sebetulnya digaungkan.

Cuma di Pulau Morotai saja –sebagai misal– terdapat Pangkalan TNI AU Morotai dengan tujuh landas pacu paralel yang sebetulnya masih bisa dipakai.

Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, menyatakan hal itu. Akan ditingkatkan, baik pangkalan TNI AU-nya ataupun pangkalan TNI AL-nya.

Dengan memakai infrastruktur fisik sama juga, Bandar Udara TNI AU Leo Wattimena juga dioperasikan otoritas penerbangan sipil.


Di Pulau Morotai juga kini tengah digelar latihan gabungan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat TNI.

Latihan PPRC di Morotai
Latihan PPRC di Morotai

Pulau Morotai merupakan salah satu pulau terbesar di Maluku Utara. Di pulau yang secara administratif kabupaten pecahan dari Kabupaten Halmahera Utara tersebut banyak terdapat tempat-tempat bersejarah peninggalan Perang Dunia (PD) II.

Pulau Morotai menjadi lapangan terbang bagi Jepang selama PD II. Pulau ini kemudian diambil alih Amerika Serikat (AS) pada September 1944 dan digunakan landasan serangan pasukan Sekutu ke Filipina dan Borneo timur pada Mei dan Juni tahun pada awal 1945.

Latihan Penerjunan PPRC di Morotai
Latihan Penerjunan PPRC di Morotai

Pulau Morotai merupakan basis serangan ke Jawa pada Oktober 1945 yang ditunda setelah menyerahan Jepang pada bulan Agustus.

“Menurut penduduk setempat, Morotai berasal dari kata Morotia yang artinya tempat tinggal orang-orang moro. Orang moro adalah manusia misterius atau orang hilang (moksa) yang sulit dilihat dengan mata biasa, namun memiliki kebudayaan sebagai kelompok manusia biasa,” demikian dilansir situs web resmi Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai.

Merahputih.com