EMB-314 (fighter turboprop) – tidak dibutuhkan TNI
Leopard 2 (MBT) – kesalahan pengorganisasian
Changbogo Type 209/1400 (kapal selam) – tidak dibutuhkan TNI, spesifikasi rendah
TRS Master T (radar strategis) – tidak dibutuhkan TNI, spesifikasi rendah
Exocet (rudal anti kapal) – tidak dibutuhkan TNI
Kesalahan Akuisisi Alutsista: KF-X, Elang Salah Asuhan
Pilihan Indonesia bergabung dengan pembangunan KF-X adalah pilihan yang salah dan diambil tanpa pertimbangan matang.
Proyek KF-X KF-X adalah proyek Korea Selatan membuat
fighter baru pengganti F-4, F-5, dan F-16. KF-X yang diharapkan
beroperasi tahun 2021 ini direncanakan memiliki keunggulan:
Spesifikasi lebih baik daripada F-16
Jet twin engine dengan thrust vectoring (arah jet bisa diatur sehingga gerak pesawat lebih lincah)
Semi-stealth, dengan rudal di dalam body pesawat
Jika terwujud, maka KF-X akan diberi nama F-33, yaitu pesawat dengan
kemampuan diatas F-16, tetapi masih dibawah F-35. Mengikuti penamaan AS
sebagai sumber teknologi utama Korea Selatan. Korea Selatan merencanakan
biaya pengembangan adalah USD 5 miliar, dengan 40% ditanggung oleh 2
negara lain. Disini rencananya Indonesia dan Turki ikut serta,
masing-masing menanggung 20%, yaitu USD 1,8 miliar. Rencananya,
Indonesia akan mendapat imbalan berupa 50 pesawat KF-X, yang rencananya
cukup canggih:
Disain KF-X sendiri masih di pertandingkan antara Boeing, Lockhead Martin, dan Eurofighter.
Mesin jet: EJ200 dari Eurojet atau F414 dari General Electric
Radar AESA (Active Electronically Scanned Array).
Targeting system, infrared search and track sensor.
Formula material serap radar.
Conformal weapons bay: rudal disimpan di dalam tubuh pesawat.
Teknologi ini sudah dimiliki Korea Selatan dengan keterlibatan merakit
komponen F-15 Silent Eagle.
Persenjataan pun rencananya akan di buat sendiri:
Rudal udara ke udara jarak pendek akan dikembangkan dari LIG Nex1 Shin-Gung, rudal SAM panggul
Rudal udara ke udara jarak menengah
Rudal udara ke permukaan
Rudal kendali presisi
Rudal kendali GPS (KGGB) 226kg, dikembangkan dari Boeing JDAM
Berita 1: Indonesia Korsel Kembangkan Jet KF-X Berita 2: KSAU Harap Program IKFX Lancar Bagaimana
cara Korea Selatan membangun fighter begitu canggih ? Begini. Korea
Selatan sudah lama mendapat kontrak ikut membangun F-16, sehingga
teknologinya sudah dikuasai. Bahkan Korea Selatan sudah membangun jet
tempur latih, yang antara lain dibeli Indonesia. DAPA (Defense
Acquisition Program Administration) Korea mengadakan tender pembelian 60
fighter baru. Menggantikan skuadron F-4 Phantom lama. Beda dengan di
Indonesia, dimana pembelian mendadak terjadi, dan biasanya dengan alasan
hibah, atau perintah bapak, atau big-sale dari negara penjual, di
Korea, DAPA menyusun 4 kriteria utama, dan 150 kriteria pendukung.
Nama proyeknya F-X III. Yang memenuhi adalah F-15 Silent Eagle dari
Boeing, F-35 Lightning2 dari Lockheed Martin, dan Eurofighter Typhoon.
Nah, disini dipercaya Korea Selatan akan menuntut agar si pemenang
memberikan transfer teknologi stealth-nya untuk fighter KF-X. Tentu
masih banyak faktor lain yang perlu ditangani oleh Korea Selatan,
seperti izin dari US dan Eropa untuk ekspor teknologi sensitif, dan
bagaimana mengembangkan sendiri teknologi yang tidak bisa diperoleh.
Keraguan juga muncul mengenai berbagai teknologi canggih yang dijanjikan
ikut serta. Radar AESA, misalnya, dikembangkan AS selama 10 tahun
dengan biaya miliaran USD. Belum lagi sistem targeting, pengunci,
penjejak infra merah, materi anti radar, sistem navigasi, dan lain
sebagainya. Apalagi DAPA menjanjikan adanya riset persenjataan baru.
Semua akan diwujudkan dalam waktu 7 tahun.
Apakah rencana itu realistis ?
Keraguan Turki Keterlibatan
Turki dalam konsorsium KF-X masih menjadi tanda tanya besar. Turki
menuntut kemitraan setara dengan Korea Selatan, yaitu 40% – 40% (dengan
Indonesia 20%). Namun sejauh ini Korea Selatan menolak. Korea Selatan
ingin tetap menjadi pemegang saham mayoritas, yaitu 60%. Turki bisa saja
membatalkan keterlibatan lalu membangun fighter dengan Swedia (tepatnya
dengan Saab, produsen JAS 39 Gripen), atau bersama Brazil yang juga
bernafsu membangun fighter sendiri, atau bergabung dengan konsorsium
Eurofighter Typhoon (Italia, Jerman, Inggris, dan Spanyol), yang
fighter-nya sudah jelas sekaliber F-35.
Industri Turki cukup maju karena banyak terlibat dalam pembuatan
komponen vital F-16, termasuk mesin jet-nya. Beda dengan di Indonesia,
dimana pejabat bisa langsung menentukan pilihan secara “ghoib”, di
Turki, 40 staf AU diperintahkan mempelajari pilihan tersebut, dengan
kesimpulan yang baru akan diambil tahun 2013. Turki masih memiliki
pilihan meningkatkan order F-35, dari rencana semula 100 pesawat, dan
menunda rencana membangun fighter sendiri. Pabrik mesin jet F-35 pun
rencananya dibangun di Turki.
F-35 yang risetnya molor, dan harga naik, jauh lebih tinggi daripada yang direncanakan pada awal riset Perbedaan Fokus Pengembangan Korea
Selatan memiliki fokus pengembangan fighter yang jauh berbeda
dibandingkan Indonesia. Perbedaan ini mengakibatkan fighter yang
dihasilkan sangat kurang bermanfaat bagi Indonesia. Dalam kondisi dimana
KF-X direncanakan menjadi tulang punggung pertahanan udara Indonesia
(fighter terbanyak dengan jumlah 50 pesawat) maka yang terjadi adalah
musibah. Dari sisi geografis, Korea Selatan berbentuk satu daratan yang
efisien dijaga oleh fighter kecil dengan radius tempur 750km (asumsi
peningkatan 50% dari radius tempur F-16). Pada geografis Korea Selatan,
fighter tidak perlu membawa terlalu banyak senjata karena bisa kembali
ke pangkalannya untuk dipersenjatai kembali.
Basic Stealth Korea Selatan berada dalam status
perang dengan Korea Utara sejak genjatan senjata tahun 1953. Postur
fighter yang ideal bagi Korea Selatan adalah yang memiliki kemampuan
ofensif tinggi, karena itu kemampuan stealth sangat penting bagi Korea
Selatan. Korea Utara sendiri tidak memiliki kemampuan tangkal stealth
yang memadai karena keterbatasan dana dan teknologi, sehingga fighter
stealth akan menjadi keunggulan besar bagi Korea Selatan. Berbeda dengan
Indonesia yang pada dasarnya negara damai, tanpa permusuhan militer.
Postur TNI AU adalah postur defensif, untuk mengawal 17.000 kepulauan
nusantara dengan alur laut Indonesia dan 200 mil ZEE. Kemampuan yang
dibutuhkan oleh fighter kita adalah kemampuan terbang jauh, mengudara
dalam waktu lama, dan kemampuan membawa banyak senjata sehingga dengan
sedikit lanud militer, fighter bisa beroperasi di wilayah yang luas.
Lagi pula “stealth” dalam konteks KF-X sama sekali tidak bermakna bagi
Indonesia, bukan hanya karena postur TNI bersifat defensif.
Stealth adalah kemampaun fighter untuk tidak/sulit terlihat di radar
yang ada hari ini. Dengan trend stealth, pada 2020, semua radar moderen
sudah memiliki kemampuan anti stealth yang dapat melihat dan menembak
pesawat tersebut. Lalu apa gunanya membayar lebih untuk kemampuan
stealth yang tidak berguna ? Jawabnya, bagi Korea Selatan tetap berguna,
karena radar Korea Utara hari ini sama dengan radar tahun 1953, dan
dipastikan tahun 2020 juga masih sama. KF-X akan mampu dengan mudah
menyerbu Korea Utara tanpa terdeteksi radar. Berbeda dengan Indonesia,
yang dikelilingi radar moderen Australia di Selatan, lalu AEW Singapura,
Malaysia, dan Thailand di Utara, AWACS armada Pasifik berkeliaran di
alur laut, armada RRC mengancam di Laut Cina Selatan, semua memiliki
kemampuan anti-stealth.
Untuk ke Timor Leste atau ke Papua Nugini tidak ada gunanya mengirim
fighter, harga rudal-nya lebih mahal daripada sasaran yang akan
ditembak. Buat Indonesia mubazir melakukan riset fighter stealth, lebih
mubazir lagi membeli 50 fighter dengan kemampuan stealth-basic. Yang
dibutuhkan justru riset radar anti fighter stealth sekelas F-35 yang
akan menjadi fighter utama Australia dan Singapura dalam waktu dekat.
Ancaman Embargo Status
Korea Selatan sebagai sekutu dekat AS memungkinkan negara tersebut
mengandalkan teknologi persenjataan AS dan NATO. Berbeda dengan
Indonesia dimana embargo sudah berulang kali mematikan kemampuan tempur
alutsista.
Hingga hari ini TNI tidak memiliki kemampuan tempur moderen.
Independensi alutsista, setidaknya pemeliharaan dan persenjataan
(peluru, rudal, update software, dsb) harus menjadi pertimbangan penting
dalam setiap akuisisi alutsista. Disain KF-X yang tidak sesuai dengan
kepentingan Indonesia dapat mengakibatkan 50 KF-X Indonesia tidak dapat
beroperasi seperti F-16 dulu. Korea Selatan sudah merencanakan pengadaan
F-35 sebagai fighter superioritas udara utama. Dengan demikian posisi
KF-X dalam AU Korea Selatan adalah sebagai secondary fighter. Berbeda
dengan Indonesia, dimana 50 KF-X hanya ditemani Su-27/30, maka KF-X
menjadi fighter utama dalam arsenal TNI AU.
Perbedaan ini akan menyebabkan disain KF-X tidak sesuai untuk
Indonesia. Korea Selatan dapat bergantung pada rudal standar US seperti
AMRAAM, HARM, Harpoon, dsb. Sementara Indonesia harus mencari kemampuan
mandiri. Sekalipun proyek KF-X diumumkan akan membangun persenjataan
sendiri, namun mengingat sempitnya masa pengembangan (7 tahun), dan
kecilnya biaya, mengakibatkan pengembangan senjata sangat mungkin tidak
dapat terwujud. Dalam kasus embargo, Korea Selatan-pun tidak akan bisa
mengirimkan alutsista ber-teknologi AS karena terikat dengan perjanjian.
Jadi pengembangan bersama Korea Selatan tidak berbeda dengan
pengembangan dengan AS. Kalau keterlibatan dalam proyek KF-X
dilanjutkan, sangat disarankan agar Indonesia menjadi sekutu AS, bersama
dengan Korea Selatan. Dengan demikian kita bebas dari ancaman embargo.
Resiko besar, hasil tidak memadai Masa pengembangan
yang hanya 7 tahun dinilai tidak realistis oleh berbagai pihak. Demikian
pula dengan rencana anggaran USD 5 miliar dinilai tidak masuk akal.
Setidaknya dibutuhkan dana USD 15 miliar untuk mencapai produksi pada
2020. Dengan kondisi tersebut, dapat diramalkan produksi akan mundur 10 –
20 tahun, dan biaya akan membengkan 2 – 3x lipat. Belum lagi adanya
resiko kegagalan proyek. Mundurnya proyek 10 – 20 tahun ataupun
pembatalan tidak akan berdampak pada AU Korea Selatan yang akan memiliki
F-35.
Tapi untuk Indonesia, dirgantara kita tidak terjaga karena anggaran
50 fighter terkunci pada riset KF-X. Dan kalau anggaran-nya membengkak,
bisa-bisa Indonesia cuma kebagian 10 fighter karena tidak mampu menambah
modal. Ingat F-35 yang realisasinya mundur bertahun-tahun, dan biaya
per pesawat meningkat drastis ? Itu AS (Lockheed Martin) yang
berpengalaman membuat pesawat tempur canggih. Keterlibatan Indonesia
dalam proyek KF-X adalah perjudian sembrono, yang tidak mengutamakan
kepastian atas kepentingan pertahanan nasional. Korea Selatan adalah
negara maju yang berkembang dengan sangat cepat. Indonesia butuh
kerjasama militer dan ekonomi dengan Korea Selatan. Hanya saja bukan
kerjasama pengembangan fighter. Kita butuh elang yang berbeda. Korea
Selatan butuh Silent Eagle, Indonesia butuh Garuda, elang besar.
Ringkasnya (tambahan executive summary buat yang males baca semua)KF-X adalah fighter superioritas udara kecil sesuai untuk Korea
Selatan, kebutuhan Indonesia adalah fighter superioritas udara besar.
Apapun hasilnya sudah pasti tidak sesuai dengan kebutuhan. Pembelian
fighter superioritas udara kecil mengakibatkan Indonesia terjebak pada
AU dengan 2 platform primary fighter yang diluar kesanggupan ekonomi
kita.
Fokus pengembangan Korea Selatan berbeda dibanding kebutuhan Indonesia.
Saham 20% tidak memberikan alih teknologi kepada Indonesia, hanya
membeli pesawat. Indonesia bukan partner setara. Ini sebabnya Turki
mundur dan mempelajari ulang.
KF-X memiliki 4 kemungkinan hasil:
Jika selesai tepat waktu 7 tahun sesuai anggaran USD 50 mio, berarti
hanya rakitan dari teknologi AS. Tidak ada real research yang hasilnya
bisa diperoleh Indonesia. Semua teknologi AS subject to peraturan
re-export, sehingga alih teknologi harus seizin AS. Artinya kalaupun ada
teknologi yang diberikan tidak ada kaitannya dengan KF-X, melainkan
semata kebaikan AS. Sewaktu-waktu Indonesia di embargo AS, Korea Selatan
tidak akan bisa mengirimkan material.
Jika riset dilakukan serius untuk berbagai teknologi, penyelesaian
akan molor, dan anggaran membengkak. Karena tidak mampu menambah modal
untuk kepemilikan saham 20%, terpaksa pesawat KF-X yang diterima hanya
sedikit.
Jika gagal, misalnya AS menolak memberikan izin ekspor teknologi sensitif karena khawatir, uang hilang dalam jumlah besar.
Hasilnya jet tempur abal-abal, tanpa teknologi yang dijanjikan.
Sedangkan pada saat ini ada beberapa alternatif platform fighter
besar, generasi baru, sudah jelas hasilnya, yang bisa di
alih-teknologi-kan, dan bisa dimodifikasi dan dikembangkan sendiri
(riset) sesuai kebutuhan Indonesia. Jadi pilihan KF-X adalah pilihan
yang salah.
Lebih Baik Cerai daripada Aborsi Melihat
perbedaan-perbedaan fokus pengembangan diatas, kalaupun kemudian ke-50
KF-X tersebut datang, dapat dipastikan bukan fighter yang dibutuhkan
oleh Indonesia. Dan kembali, pertahanan dirgantara tidak terjaga secara
optimal.
KF-X yang datang menjadi F-33 Elang Salah Asuhan, dikembangkan bukan
untuk kondisi Nusantara. Dengan kemampuan komitmen dana USD 1,8 miliar,
ada banyak cara lain mengembangkan kemandirian alutsista tempur udara
Indonesia. Banyak cara yang lebih kreatif, jitu, memberi kepastian,
efisien, dan efektif. KF-X adalah cara yang salah. Mumpung belum jauh
melangkah, baru USD 18 juta yang keluar, sebaiknya Indonesia segera
keluar dari konsorsium KF-X. Lebih baik cerai daripada aborsi.
Kesalahan Akuisisi Alutsista: EMB-314, Elang Jadul Impor
Pengadaan fighter turboprop EMB-314 Super Tucano dari Brazil
adalah kesalahan yang disebabkan oleh terlambatnya penyesuaian doktrin
TNI AU dengan perkembangan teknologi. Seharusnya diprioritaskan
minimalisasi jenis armada dengan prioritas produksi dalam negeri, karena
teknologi fighter turboprop sangat mudah dikuasai.Pesawat Tempur Ringan Turboprop (ultra light fighter) Squadron
Udara 21 berbasis di Malang adalah squadron legendaris dengan pesawat
fighter twin-turboprop OV-10 Bronco, yang tergolong pesawat tempur
ringan baling-baling alias light turboprop fighter. Digolongkan fighter
ringan karena kecepatannya lebih rendah, dan membawa senjata lebih
sedikit dibandingkan dengan mainstream fighter jet standar.
Disebut turboprop atau ditambah kata ultra untuk membedakan dengan
fighter ringan bermesin jet, seperti Hawk, TA-50, Su-55, dsb. Juga
membedakan dengan mesin baling-baling kuno yang berbasis piston. Umumnya
yang disebut fighter ringan adalah jet tempur dengan kecepatan
transonic (Mach 0,8 – 1,2). Sedangkan fighter ultra ringan berpenggerak
turboprop sehingga kecepatannya lebih rendah lagi, dibawah Mach 0,8.
Fighter ringan (termasuk yang ultra ringan) memiliki berbagai fungsi:
Light armed reconnaissance aircraft (pesawat pemantau ringan
bersenjata), yang fungsinya memantau posisi pasukan musuh, dan berfungsi
sebagai forward air control (FAC).
Dropping para: menerjunkan sejumlah kecil pasukan linud atau komando dengan parasut.
Close air support: mendukung infantri dengan tembakan udara jarak dekat.
Bantuan tembakan, setara dengan dukungan tembakan artileri, dengan cannon, roket, rudal, atau bom.
COIN (Counter Insurgency), alias memerangi rakyat sendiri.
Armored hunter, berburu kendaraan lapis baja seperti tank, APC, dsb.
Heli hunter, berburu helikopter, terutama menghadapi heli serbu.
Indonesia memiliki 2 fighter ringan dan 6 fighter latih ringan:
OV-10F Bronco
Hawk 209
Pesawat latih ringan biasanya juga dapat dipersenjatai, sehingga
dapat dikategorikan sebagai fighter ringan. Jika keadaan mendesak,
pesawat latih militer dapat dilibatkan melakukan operasi dukungan
tembakan. Dalam kategori ini Indonesia memiliki:
KT-1B Wongbi, pesawat latih buatan Korea Selatan
T-34 Mentor
FFA AS-202 Bravo
Aermacchi SF-260, hibah dari Singapura
G-120 Grob, pesawat latih buatan AS
Hawk 53 dan Hawk 109, pesawat latih ringan paripurna (bermesin jet)
Legenda Squadron 21Squadron Udara OV-10F Bronco
terlibat banyak operasi tempur. Sejak kehadirannya, OV-10F ikut serta
dalam hampir setiap perang di dalam negeri. Mulai dari Operasi Seroja,
Operasi Tumpas, Operasi Halilintar, Operasi Guruh dan Petir, Operasi
Kikis Kilat, Operasi Tuntas, Operasi Halau, Operasi Rencong Terbang,
Operasi Oscar. Awalnya sebagai Squadron Udara 3, kemudian menjadi
Squadron Udara 1, dan akhirnya diganti menjadi Squadron Udara 21. 5
Oktober 1976 OV-10F Bronco melakukan demo udara dalam rangka hari jadi
ABRI di Parkir Timur Senayan. Konon kabarnya segera setelah acara,
pesawat berangkat ke Bacau untuk mendukung operasi militer Seroja,
menyelamatkan rakyat Timor-Timur dari kekejaman komunis Fretilin. Di
tengah embargo dan krisis ekonomi, TNI AU berupaya keras mempertahankan
keberlangsungan operasional OV-10F. Adapun nasib OV-10F Bronco TNI:
3 rusak akibat terpaksa mendarat darurat.
2 jatuh di Medan dan Probolinggo.
2 jatuh di Timor Timur, menewaskan ke-4 penerbangnya.
3 masuk museum (Dirgantara Mandala, Yogyakarta) menjadi monumen (di Jombang dan Banjarnegara).
5 terakhir beroperasi di Lanud Abdul Rahman Saleh, Malang. Uniknya, pesawat OV-10F Bronco yang selamat semua bernomor ganjil.
Bahkan setelah F-16 hadir, OV-10F Bronco tetap menjadi andalan.
Mengapa? Pertama, harga persenjataan F-16 mahal. F-16 mengandalkan rudal
state-of-art, atau peluncur roket, yang relatif jauh lebih mahal
dibandingkan 4x 12,7mm Browning Heavy Machine Gun-nya Bronco. F-16
sendiri memang memiliki HMG, dan dapat dipasangi peluru ekstra. Tetapi
karena kecepatannya, HMG F-16 jaman dulu sulit digunakan untuk menembak
sasaran di darat. F-16 sendiri awalnya hanya di disain untuk pertempuran
udara ke udara.
Karena itu HMG tersebut lebih di disain untuk close combat dog-fight,
atau untuk ground strike sambil melewati dengan kecepatan tinggi. Belum
ada targeting pod, FLIR, dsb yang memudahkan pilot mengidentifikasi
target darat. Sedangkan operasi tempur di Indonesia kebanyakan
berhadapan dengan infantri / insurgency. Pada masa itu, konsep heli
serbu (attack helicopter) moderen masih baru berkembang, dan belum
dimiliki oleh TNI AD. Apa daya, setelah pada 21 Juni 2005 sebuah OV-10
jatuh, menewaskan 2 perwira penerbang kita, bulan Juli 2005 seluruh
operasi OV-10F dihentikan, menandai dibekukannya Squadron Udara 21.
Dengan tidak mengurangi penghargaan pada Skuadron AU lain, dapat
dikatakan bahwa Skuadron OV-10F Bronco adalah the most battle prooven
air squadron di Indonesia, juga the most battle scarred squadron. Dan
tentunya, sebagai Skuadron AU yang paling berjasa besar pada infantri
TNI AD. Mungkin tidak ada skuadron udara lain yang berpengalaman tempur,
mengalami resiko tinggi, dan menyabung nyawa demi NKRI seperti Skuadron
Udara 21, Malang. Tabik, to the real Indonesian heroes of 21st Air
Squadron, 2nd Tactical Wing, Eastern Air Command. Setelah 7 tahun tidak
aktif, dapat dibayangkan rasa kebanggan pada anggota Squadron 21 yang
baru, menantikan kedatangan 16 unit EMB-314 Super Tucano, yang menjadi
nyawa baru bagi Squadron 21. Kebanggan pula bagi bangsa Indonesia atas
aktifnya kembali Squadron 21 untuk menjaga keamanan NKRI. Menurut
berita, 4 pesawat EMB-314 insyaallah akan hadir tanggal 28 Agustus 2012.
Ada juga berita yang menyebutkan bahwa EMB-314 sudah hadir dan sudah
demo menembakkan rudal Maverick.
EMB-314 Super Tucano EMB-314 Super Tucano adalah
fighter dengan satu mesin turboprop (baling-baling tunggal). Secara
penampilan sangat mirip dengan fighter jadul seperti P-51 Mustang, atau
bahkan Mitsubishi Zero. Jauh dari kesan futuristik seperti pendahulunya
OV-10F Bronco yang ber-baling-baling ganda dan ber-sayap ajaib. Berbeda
dengan penampilannya, performa EMB-314 sangatlah luar biasa. Dapat
dikatakan bahwa EMB-314 adalah fighter turboprop state-of-art,
menggunakan teknologi terkini dalam semua aspek. EMB-314 memiliki 2
senjata mesin internal dalam sayapnya 12,7mm FN Herstal M3P dan dapat
membawa rudal canggih pada 5 hardpoint di sayap dan dibawah pesawat
seberat 1,5 ton. Dapat bertempur malam hari, memiliki sistem pertahanan
anti rudal (countermeasures), fitur auto pilot, sistem navigasi terkini,
dan berbagai fitur pesawat tempur moderen.
Pada dasarnya EMB-314 Super Tucano adalah state-of-art single engine
turboprop light fighter. Namun apakah Indonesia perlu state-of-art
single engine turboprop light fighter ? Prioritas pengadaan TNI harus
menuju pada kemandirian. Dalam hal ini TNI AU perlu berperan memperkecil
jenis pesawat tempur yang dimiliki guna meningkatkan optimalisasi
pemeliharaan. Kepemilikan multi pesawat, masing-masing dalam jumlah
kecil, menunjukkan tidak adanya garisan doktrin TNI AU yang mempertegas
pentingnya pembatasan jenis pesawat tempur. Dari beberapa akuisisi
pesawat TNI AU terlihat bahwa ada pola “mencari pengganti pesawat lama”.
TNI AU sibuk mencari pengganti OV-10F, lalu mencari pengganti T-34
Mentor, kemudian KT-1B, Hawk, dst, dsb. Tidak ada evaluasi komprehensif
atas kepemilikan aset tempur udara, dan bagaimana seharusnya postur TNI
AU terkait dengan perkembangan teknologi pesawat tempur.
Ke-jadul-an Konsep Ultra Light Fighter Dengan
kemajuan teknologi pesawat tempur, praktis kebutuhan ultra light fighter
menjadi minim. Seluruh fungsi ultra light fighter dapat ditangani lebih
baik oleh:
Fighterjet (baik ringan, kecil maupun besar)
Attack Helicopter
Pesawat Gunship (ground-attack aircraft)
Tidak ada lagi urgensinya menugaskan para pilot untuk menyabung nyawa
dengan pesawat baling-baling ultra light fighter, yang sehebat apapun,
tetap memiliki resiko jauh lebih tinggi untuk tertembak jatuh. Pada masa
lalu, resiko itu harus diambil. Belum ada pengenalan target jarak jauh
berbasis video yang memungkinkan pilot pesawat melihat target-nya dari
jarak beberapa kilo. Kalaupun ada, resolusi-nya masih sangat buruk dan
di disain untuk mengenali kendaraan lapis baja. Dibutuhkan ultra light
fighter yang bergerak cukup lambat agar meminimalisasi kesalahan
tembakan. Karena biasanya infantri TNI dan infantri lawan bisa berada
pada jarak yang cukup dekat, sehingga besar resiko friendly fire atau
collateral damage. Di tahun 2012 ini, cukup banyak teknologi yang
memudahkan pilot pesawat fighter mengenali target infantri dengan baik
untuk memberikan dukungan tembakan secara aman, dalam kecepatan tinggi
sekalipun.
Teknologi berbasis infra merah dapat digunakan untuk penembakan di
malam hari atau di cuaca buruk sekalipun. Bukan hanya roket dan rudal,
bahkan cannon dan senjata mesin pun sudah dapat ditembakkan dengan
presisi yang baik. Fungsi dukungan tembakan udara dekat yang intensif,
jauh lebih sesuai dilakukan oleh heli serbu, yang bisa menembak tanpa
harus bergerak. Hebatnya, teknologi heli serbu sudah dikuasai oleh PT
Dirgantara Indonesia. Untuk dukungan tembakan udara menengah yang
intensif, paling sesuai adalah pesawat gunship alias ground attack
aircraft.
Pesawat gunship itu dari pesawat angkut militer, yang dipasangi
berbagai senjata serang permukaan untuk dukungan tembakan pada pasukan
darat. Baik roket, rudal, meriam, mortir, senjata mesin, bahkan anti
material rifle (sniper rifle kaliber besar armored piercing), bisa
dipasang pada platform gunship. Penembakan dilakukan oleh komputer
penembak sehingga akurasi tinggi sekalipun pesawat berada pada jarak
beberapa kilometer dan bergerak ratusan kilometer per jam. Nah, platform
gunship ultra ringan bisa dibangun pada N-219 yang harganya hanya USD
8jt. Untuk gunship standar bisa dibangun pada N-295, seharga sekitar USD
40jt. Hebatnya, platform gunship (pada N-219 atau N-295) bisa dibangun
oleh PT Dirgantara Indonesai bekerjasama dengan PT Pindad tanpa perlu
kerjasama luar negeri. Lalu mengapa kita tidak membangun armada udara
TNI dengan produk dalam negeri ? Walahualam…
Ini bukan guyonan. Bisa dicoba berikan SMK uang USD 15juta (seharga 1
unit EMB-314), dijamin pasti jadi. Nah, kalau SMK saja pasti bisa
membuat, apalagi dosen ITB, dijamin jauh lebih canggih. Lalu PT
Dirgantara Indonesia ? Kalau sampai PT DI tidak bisa membuat
state-of-the-art turboprop fighter aircraft dengan USD 15juta, pecat
saja Direkturnya, ganti saya, dijamin bisa produksi dengan biaya 1/2-nya
(USD 7,5juta), sudah termasuk setoran 30% ke departemen dan banggar
(soal setoran guyon loh Pak Samad… tilpon saya jangan disadap…). Lalu
kenapa teknologi abal-abal yang mudah dibangun sendiri musti dibeli
ribuan kilometer dari Brazil ? Mungkin hanya banggar yang tahu….
Doktrin TNI Sebenarnya pada Doktrin TNI 2010,
ekadarmadekapaksa… atau apalah namanya (dalam bahasa India kuno
kegemaran TNI, seperti bahasa Latin di militer AS. Saya lupa nama
persisnya). Sudah tertulis secara jelas:
Bab 5, Strategi Militer 30. Pembinaan Kemampuan Bagian e: 3)
Kemampuan Penguasaan Teknologi dan Industri Militer. Kemampuan
penguasaan teknologi dan industri militer disiapkan untuk membangun
wawasan kemandirian, sehingga TNI tidak tergantung kepada negara
tertentu dan dapat memenuhi kebutuhan Alutsista maupun perlengkapan
militer lainnya secara mandiri.4) Kemampuan Penelitian dan Pengembangan.
Kemampuan penelitian dan pengembangan disiapkan untuk peningkatan dan
pengembangan perangkat keras serta perangkat lunak dalam rangka
mengikuti perkembangan teknologi dan penataan sistem yang dinamis. Jadi untuk doktri tertulis sebenarnya tidak ada masalah.
Fokus utama penguasaan teknologi dan industri militer sudah menjadi
kewajiban utama. Mungkin ada kurang koordinasi antara Dephan, TNI,
banggar DPR, dan industri pertahanan nasional, sehingga banyak pengadaan
yang seharusnya dapat menjadi sumber kemandirian alutsista TNI menjadi
sekedar impor barang. Atau mungkin juga ada “kurang koordinasi”. Tetapi
bisa jadi hanya sekedar “”
kurang koordinasi“”
Permasalahan 24 F-16 USANG Andalan TNI AU 2015
Sejumlah prajurit TNI AU mengevakuasi badan pesawat tempur F16 yang
terbakar di ujung landasan pacu Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma,
Jakarta Timur, Kamis (16/4). Pesawat tempur F16 dengan nomor register TS
1643 yang dipiloti oleh Letkol Pnb Firman Dwi Cahyo tersebut gagal
tinggal landas (takeoff) dan terbakar sekitar pukul 08.15 WIB. ANTARA
FOTO/Widodo S. Jusuf
F-16C USANG (US Air National Guard)
Beli atau Hibah ?
Niat Indonesia semula adalah membeli 6 unit F-16 blok 52 baru,
pesawat F-16 kedua tercanggih, yang sama seperti milik Singapura. Entah
karena kasihan dengan Indonesia yang hanya beli sedikit, atau karena
tidak mau Indonesia memiliki fighter secanggih Singapura sekutunya, maka
AS membuat penawaran balik:
Indonesia diberikan GRATIS, 24 F-16 blok 25 bekas pakai Pengawal Nasional Udara (PNU) AS alias US Air National Guard (
USANG).
Kemudian Indonesia HANYA PERLU membayar biaya upgrade pesawat tersebut
menjadi F-16 blok 32+ dengan kelengkapan “mendekati” blok 52 (yang
moderen punya RSAF Singapura itu).
Anggarannya termasuk spareparts, senjata, pelatihan, dsb sebesar USD
750 juta. Harga yang sama dengan membentuk 1 skadron heavy fighter yang
sangat dibutuhkan untuk memberi kesempatan TNI AD dan AL berperang
(bukan gerilya).
Apa yang dibeli ?
Mari kita lihat apa yang kita peroleh:
http://www.f-16.net/f-16_users_article6.html24 F-16C/D block 25 (di produksi tahun 1984 – 1986)
28 F100-PW-200 or F100-PW-220E
Turbin pesawat diganti diganti baru, dengan mesin jet buatan Pratt
Whitney. Ini hal yang bagus, karena berarti mesin baru, dengan umur
panjang (disain 30 tahun).
LAU-129A/A Launchers
Untuk meluncurkan rudal udara ke udara, termasuk AIM-120 AMRAAM, dan
Sidewinder generasi terbaru AIM-9X. Melalui peluncur ini, sasaran dapat
di programkan ke rudal.
ALR-69 Radar Warning Receivers
ALQ-213 Electronic Warfare Management Systems
ALE-47 Countermeasures Dispenser Systems
Standar untuk pertahanan pesawat. Tentunya F-16 blok 52+ Singapura menggunakan yang lebih canggih: SPS-3000.
Cartridge Actuated Devices/Propellant Actuated Devices (CAD/PAD)
ARC-164/186 Radios
Expanded Enhanced Fire Control (EEFC) or Commercial Fire Control or Modular Mission Computers
Ini sama dengan tidak menjelaskan komputer apa yang akan dipasang,
karena menyebut semua jenis komputer F-16. Dengan demikian kemungkinan
besar komputer F-16 kita jauh dibawah F-16 blok 52.
Situational Awareness Data Link, Enhance Position Location Reporting Systems (EPLRS), LN-260 (SPS version, non-PPS)
Lebih tepat menentukan posisi berdasarkan inersia (INS) atau GPS.
AN/AAQ-33 SNIPER or AN/AAQ-28 LITENING Targeting Systems
Lebih mudah dan cepat mengenali target, mengendalikan peluru kendali
presisi tinggi, dan memantau target darat, beroperasi siang maupun
malam, di segala cuaca (FLIR & CCD).
Indonesia requested the regeneration be sole sourced to the 309th
Maintenance Wing, Hill Air Force Base, in Ogden, Utah, and Pratt
Whitney, in East Hartford, Connecticut for the engine overhaul.
Ogden Air Logistics Center (OO-ALC) adalah gudang F-16, sekaligus pusat pemeliharaan.
Pada daftar diatas tidak ada info upgrade radar, berarti radar tetap
memakai radar blok 25: AN/APG-68 antara (V)1 sampai (V)3. Disini mulai
muncul masalah: Radar F-16 blok 52 Singapur AN/APG-68 (V)9, 30 – 50%
lebih jauh jangkauannya. Demikian pula MLU F-16 Thailan, yang akan
menjadi F-16AM dan F16BM. Dengan komputer yang lebih cepat dan canggih.
Artinya F-16 Singapura dan Thailand (negara Tier 4 MDCI) akan bisa lebih
dulu mengunci dan menembak AURI F-16.
Program Upgrade Sejenis
Ada 3 program upgrade pesawat F-16 yang dinilai penulis mirip:
MLU (seperti upgrade yang dilakukan RTAF untuk F-16 blok 15 OCU-nya)
SCU (System Capabilities Upgrade)
CUPID (Combat Upgrade Plan Integration Details)
Program Upgrade MLU jauh lebih komprehensif, dan lebih mahal.
Nampaknya konfigurasi yang disebutkan diatas jauh dari MLU. Sebagai
contoh, MLU pasti menggunakan sistem komputer modular terintegrasi:
Modular Mission Computer, dengan EUPDG, HSD, dan tampilan HUD lebar
berwarna. Dengan disebutnya pilihan EEFCC atau CFCC, berarti tidak
dilakukan Program Upgrade MLU.
Program SCU terlalu sederhana, hanya menambah beberapa sistem tempur.
Jadi kemungkinan yang paling mirip adalah Program Upgrade CUPID, yang
dilakukan untuk pesawat F-16 USANG blok 25-32, untuk mendekati blok 52.
Bisa jadi disinilah muncul istilah F-16 “disamakan blok 52”, yang
menyesatkan.
Per 2015, sekitar 40 F-16 Thailad sudah menyelesaikan program MLU
(saat ini sekitar 18 unit), yang artinya lebih canggih dan lebih banyak
dibandingkan 24 F-16 Indonesia. Apalagi Singapura dengan F-16 blok 52+
nya sudah pasti lebih canggih, lebih muda, dan lebih banyak jumlahnya.
Ketiadaan Persenjataan
Belum lagi, semua pembelian senjata pamungkas AS, seperti
AIM-120, selalu harus melalui kongres, sehingga kita pasti tahu kalau
TNI membeli AMRAAM. Sampai sekarang belum ada permintaan tersebut, dan
izin penjualan AMRAAM ke TNI belum keluar dari kongres AS. Sesuai
doktrin AS, diyakini bahwa rudal yang dijual ke Indonesia PASTI
merupakan rudal yang lebih rendah teknologinya dibanding milik sekutu
AS: Singapura, Australia, dan Thailand. Artinya, kalau
tetangga memiliki Sidewinder AIM-9X yang tercanggih, maka Indonesia
maksimal memperoleh AIM-9S. Karena tetangga sudah memiliki IRIS-T,
ASRAAM dan Phyton-4, ada kemungkinan Indonesia boleh membawa pulang
AIM-9X yang lebih lemah. Kalau AMRAAM tetangga masih AIM-120-C7, mungkin
Indonesia diizinkan memiliki AIM-120-B. Sering pada prakteknya
senjata-nya (seperti AMRAAM) baru boleh dibawa ke Indonesia jika ada
ancaman, dan AS tidak meng-embargo Indonesia.
Jadi terlepas dari upgrade-nya F-16 USANG itu akan tetap usang di Indonesia.
Masalah Struktur
Yang juga menjadi pertanyaan besar adalah, apakah F-16 USANG tersebut memperoleh upgrade struktur ?
F-16 adalah salah satu pesawat canggih yang justru membuat pilot
mudah melakukan kesalahan. Beberapa bentuk kesalahan mengakibatkan umur
pesawat berkurang. F-16 direncanakan untuk beroperasi selama 30 tahun,
untuk 8000 jam terbang, dengan rata-rata 250 jam terbang per tahun.
Keretakan sangat kecil pada pesawat dapat menimbulkan bencana jika
dilakukan manuver dengan tekanan grafitasi tinggi. Manuver seperti ini
harus dilakukan oleh F-16 untuk menghindari rudal, atau untuk mencegah
di kunci oleh lawan, atau untuk berusaha mengunci lawan. Dan tentunya
para pilot harus berlatih menggunakan F-16 untuk melakukan manuver
tersebut agar bisa menang saat terjadi pertempuran.
Pada kenyataannya banyak F-16 menunjukkan permasalahan struktur mulai
3500 jam terbang. Untuk itu AS melakukan Program Upgrade Struktur guna
menjamin agar F-16 dapat beroperasi sesuai rencana, yaitu 8000 jam.
Program ini antara lain Falcon Star, yang dimulai tahun 2004 hingga
2014, memperbaiki lebih dari 2000 F-16, termasuk 1200 F-16 USANG dan
USAF.
Apakah 24 F-16 Indonesia sudah lulus Program-program ini ? Hanya Obama yang tahu.
Masa Pakai Pesawat
Masalah lain, F-16 blok 25 USANG di produksi antara 1984 – 1986. Jika
kita ambil asumsi F-16 untuk Indonesia di produksi 1985, maka F-16
berusia 27 tahun, kurang 3 tahun sebelum wafat. Dengan rata-rata
operasional pesawat USANG 250 jam per tahun, maka diperkirakan pesawat
telah beroperasi selama 6750 jam. Sisa masa operasional 1250 jam lagi,
alias setara dengan 5 tahun, berarti tahun 2017 pesawat sudah harus di
parkir, atau sesuai kebiasaan TNI AU, para pilot, putra terbaik bangsa,
dipaksa menyabung nyawa dengan pesawat yang tidak layak pakai.
AS memiliki program untuk meningkatkan masa pakai F-16. Tidak ada
pada daftar beli diatas indikasi bahwa F-16 USANG tersebut akan di
ikutsertakan pada program perpanjangan usia. Walaupun hal itu mungkin
saja dilakukan, mengingat Ogden adalah pusat pelaksanaan program
sejenis: SLIP dan SLEP, yang konon kabarnya bisa membuat F-16 awet muda,
dan tetap greng.
Namun apakah layak mempertaruhkan nyawa pilot penerbang kita ? Dan pertaruhan itu untuk apa ? Toh udara Nusantara tidak terjaga.
Kesimpulan
Pantaskah Indonesia membayar USD 750 juta untuk odong-odong itu ? Monggo, disimpulkan sendiri.
Pantaskah putra terbaik bangsa menyabung nyawa menunggangi elang yang
pasti kalah tempur melawan arsenal asing yang mungkin menyerang ke
Nusantara.
Dengan hanya 2 Su-27 dan 3 Su-30 yang dapat diandalkan, kurang dari 1
skadron. Ke-8 F-5 dan skadron Hawk 209 sudah terlalu tua dan tak
ter-upgrade. 10 F-16 mengalami penuaan dini akibat embargo.
Maka pada tahun 2015, andalan TNI AU adalah ke-24 F-16 USANG
refurbished tersebut (dan 16 EMB-314 baling-baling bambu Doraemon).
Update 2014:A. Perbandingan Spesifikasi
B. Perbandingan Senjata
C. Perbandingan Masa Pakai
Mantan KSAL Minta Pembelian Kapal Selam Rusia Dikaji Ulang