Indonesia berencana memotong anggaran pertahanan pada tahun depan
untuk pertama kalinya dalam lima tahun, terakhir. Hal ini meningkatkan
keraguan lebih lanjut tentang kemampuan kekuatan Asia untuk mengubah
militernya.
Meskipun menjadi negara kepulauan terbesar dan negara terpadat
keempat, Indonesia secara signifikan memiliki investasi militer yang
minim, bahkan dibandingkan tetangganya yang lebih kecil di Asia
Tenggara. Bahkan dengan kenaikan tajam dalam beberapa tahun terakhir,
anggaran pertahanan Indonesia dalam persentase PDB adalah yang terendah
di ASEAN dengan angka 0,8 persen pada 2014, jauh di bawah rata-rata
regional sebesar 2,2. persen. Presiden Joko “Jokowi” Widodo mencoba
membuat gebrakan untuk meningkatkan angka 1,5 persen dari PDB, menjadi
dua kali lipat anggaran pada tahun 2016, agar Indonesia bisa
mengembangkan Kekuatan Minimum Essential pada tahun 2024.
Namun pukulan besar bagi ambisi mereka muncul, setalah laporan media
lokal mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia berencana memangkas
alokasi pertahanan tahun depan sebesar 6,3 persen, atau memangkas Rp 7
triliun ($ 490 juta) menjadi tersisa Rp 95,8 triliun.
Hal ini akan membalikkan tren jika melihat selama beberapa tahun
terakhir di mana anggaran meningkat Rp 17 triliun pada 2010, menjadi Rp
102,3 triliun pada 2015. Hal ini juga akan memperlambat laju modernisasi
militer Indonesia yang diperlukan mengingat sistem alutsista yang sudah
tua dan kemampuannya yang terbatas, di tengah aspirasi yang berkembang
ingin menjadikan Indonesia menjadi negara dengan kekuatan berpengaruh.
Panglima TNI yang baru Jenderal Gatot Nurmantyo menunjukkan bahwa
pemotongan anggaran itu karena posisi keuangan yang lemah dari
pemerintah, yang timbul dari ketidakstabilan mata uang global.
“Ketika kita menyusun rancangan APBN 2015, kita mengasumsikan bahwa
satu dolar AS bernilai Rp 12.500. Faktanya sekarang adalah satu dolar
sama dengan Rp 14.000, “kata Gatot kepada wartawan.
Pernyataan itu, jauh dari mengejutkan. Rencana ambisius Presiden
Jokowi untuk melipatgandakan anggaran pertahanan Indonesia sulit untuk
terwujud mengingat kondisi keuangan global yang berdampak pada
Indonesia. Presiden Jokowi telah bersumpah untuk melipatgandakan
anggaran pertahanan pada 2016 jika ekonomi tumbuh sebesar 7 persen.
Tetapi dengan pertumbuhan tergelincir hanya 4,7 persen pada kuartal
kedua – kecepatan yang paling lambat dalam hampir enam tahun – dan
rupiah turun 13 persen tahun ini di tengah pertumbuhan di China, Jepang
dan zona euro yang lamban, tampaknya rencana itu sangat tidak mungkin
terjadi.
Pemotongan anggaran ini, memiliki implikasi yang signifikan karena
akan memerlukan pengurangan di pos pos tertentu, apakah itu peralatan
atau biaya personel. Jenderal Gatot memang sudah mengindikasikan bahwa
ia akan mengurangi pemesanan pengadaan senjata baru dalam menanggapi
pemotongan anggaran yang direncanakan. Namun, ia juga mengisyaratkan
bahwa prioritas akan tetap ditempatkan pada peralatan baru untuk
angkatan laut dan udara, sejalan dengan apa yang disebut poros maritim
global oleh Presiden Jokowi.
Misalnya, ia mengatkaan Angkatan Udara bisa memprioritaskan pembelian
radar dan jet tempur Sukhoi SU-35, sementara Angkatan Laut bisa
membeli pengadaan kapal selam, frigat dan radar.
“Seperti rencana kami untuk mengubah Indonesia menjadi poros maritim,
kita harus memperkuat kehadiran kami di wilayah udara dan laut,”
katanya.
Komentar Jenderal Gatot tampak mendorong bahwa prioritas Presiden
Jokowi akan tetap dijalankan dan program akuisisi besar akan terlindung
meskipun ada pemotongan anggaran. Dan untuk memastikan itu, uang yang
tersedia hanya difokuskan untuk satu hal, yakni modernisasi militer
yang sedang berlangsung di Indonesia.
Tetapi di saat yang sama, muncul persoalan bagaimana caranya membagi
bagikan kue yang sudah menyusut itu, tidak mengaburkan pandangan
Indonesia dalam melihat bahwa kue itu memang telah menyusut, bahkan
terlalu kecil untuk tumbuh lebih cepat dari yang pernah terjadi
sebelumnya.
Prashanth Parameswaran
10 September 2015
TheDiplomat.com