Rabu, 10 Juni 2015

Truvelo .50: Long Range Sniper Rifle Intai Amfibi Marinir TNI AL

201003231915261
Selain Denel NTW-20, ada satu lagi senapan anti material asal Afrika Selatan yang digunakan oleh TNI, yakni Truvelo yang digunakan satuan elit Intai Amfibi (Taifib) Korps Marinir TNI AL. Senapan heavy barrel besutan Truvelo Armory ini datang dengan tawaran beragam varian, selain yang kondang kaliber .50 BMG (12,7 x 99 mm NATO), Truvelo juga menawarkan kaliber lain yang lebih sangar, yakni 14,5 x 144 mm, 20 x 82 mm, dan 20 x 110 mm. Semakin besar kaliber yang diusung, daya hancur dan jangkauan tembaknya dipastikan kian menggetarkan.
Nah, yang digunakan Marinir TNI AL adalah Truvelo 12,7 x 99 mm yang memang dipersiapkan untuk misi counter measure sniper, alias melibas keberadaan dan eksistensi sniper lawan. Atau dalam tugas-tugas infanteri pantai khas Marinir, senapan anti material yang punya jarak tembak efektif hingga 1.800 meter ini mampu melubangi lambung kapal musuh.
530467d509a19_338_Lapua_2e729ae418c8451c6891db30d26dmaxresdefault
Truvelo mengusung sistem operasi bolt action dengan pasokan magasin berisi lima peluru. Untuk peluru yang dapat dimuntahkan tersedia pilihan FMJ (full metal jacket), ball, AP (armor piercing), tracer, dan API (armor piercing incendiary). Pada Truvelo, receiver dicetak utuh dari bagian depan sampai ke popor belakang, termasuk dengan rear grip/monopod yang dibangun menyatu ke receiver sehingga tidak bisa disetel. Untungnya, masih ada bantalan popor dan pipi yang masih bisa diatur ketinggiannya melalui kenop putar yang ada di sisi kanan receiver.
Sistem bolt action Truvelo sepertinya menganut model Mauser bolt dengan dua lug di depan dan satu lug di belakang. Bolt juga dirancang dengan flute spiral untuk mengurangi beban dan panas. Seperti halnya Hecate II yang dipakai Den Bravo Paskhas TNI AU, Truvelo juga dilengkapi muzzle brake standar untuk meredam efek tembakan hingga 50 persen.
Keunikan Truvelo yakni popor dapat dilipat.
Keunikan Truvelo yakni popor dapat dilipat.
Prajurit Taifib Marinir TNI AL berparede dengan membawa Truvelo dan SMG K-7 Daewoo.
Prajurit Taifib Marinir TNI AL berparede dengan membawa Truvelo dan SMG Daewoo K-7.
Marinir065998614_20131024115439
Sebagai senapan anti material yang digunakan pasukan dengan kualifikasi amfibi, wajar bila Truvelo harus tahan dalam kondisi ekstrim, contohnya pihak pabrikan melansir informasi bahwa Truvelo sanggup beroperasi pada suhu -40 hingga 70 derajat Celcius. Soal bobot, seperti halnya senapan anti material lainnya, Truvelo juga terbilang spektakuler, yakni punya berat antara 13 sampai 16 kg, tergantunbg pada panjang laras. Dengan bobotnya yang aduhai, maka idealnya gelar senjata ini lebih tepat untuk menghajar sasaran yang sudah pasti.
Panjang laras Truvelo dapat disesuaikan, mulai dari 686 mm dan 1.000 mm. Yang membedakan Truvelo dengan senapan anti material lain, terletak pada popor yang bisa dilipat. Lalu bagaimana dengan akurasi bidikan? Truvelo rupanya ada kemiripan dengan Zastava M-93 Black Arrow yang dipakai Kopassus TNI AD, yaitu punya akurasi 1 MoA pada jarak tembak 500 meter, tentu saja ini bergantung pada jenis amunisi yang digunakan. MoA (minute of angle) adalah satuan ukuran yang digunakan sniper untuk mengukur akurasi. MOA mengukur akurasi tembakan dengan menjadikan jarak sebagai pertimbangan. (Gilang Perdana)

Spesikasi
– Negara asal: Afrika Selatan
– Kaliber: 12,7 x 99 mm
– Amunisi: FMJ, Ball, AP, Tracer, API
– Panjang: 1.405 mm (popor dilipat)/ 1.720 mm (tergantung pada ukuran laras)
– Panjang laras: 686 mm/ 1.000 mm
– Berat kosong: 13 kg/ 16 kg (tergantung penggunaan laras)
– Jarak tembak efektif: 1.800 meter
– Magasin: 5 peluru

Hecate II: Senapan Runduk Heavy Barrel Andalan Den Bravo Paskhas TNI AU

tumblr_m68t23ppVW1r9khx4o1_
Setiap pasukan khusus TNI punya penekanan misi dan keahlian tertentu yang disesuaikan dari asal matranya. Meski ada spesialisasi dalam penanganan aspek tempur, namun semua unit elit TNI sangat memperhatikan keunggulan penembak jitu (sniper). Dan, sesuai tuntutan perkembangan, termasuk pada penguasaan jenis senapan runduk berkaliber besar, atau yang populer disebut senapan anti material. Seperti halnya Kopassus TNI AD, Taifib Korps Marinir, dan Kopaska TNI AL, Detasemen (Den) Bravo 90 Paskhas TNI AU juga punya senapan heavy barrel andalan.
Sebagai pasukan khusus TNI yang berusia paling muda (dibentuk pada Februari 1990), Den Bravo punya keahlian untuk mengatasi aksi teror aspek udara, termasuk juga penanganan pembajakan udara, perang kota, pertempiuran jarak dekat, sniper, lempar pisau, dan lain-lain. Nah, terkait tugas tempur perang kota dan sniper, Den Bravo mengandalkan Hecate II untuk melumpuhkan sniper lawan (counter sniper) yang kerap mengganjal jalannya pergerakan pasukan.
th_592778308_P1000550_122_9PGM_Hecate
hecate_ii

PGM_Hecate
Hecate lahir dari keluarga senapan runduk Ultima Ratio yang sudah kondang di tataran benua Eropa. Senjata ini dirancang Gilles Payen dan di produksi oleh PGM Precision, Perancis. Material Hecate dibuat dari high grade alumunium dengan metode machining sangat presisi. Cukup langka untuk senapan sniper kelas berat pada jamannya. Seperti senapan runduk kelas berat lainnya, Hecate beroperasi dengan sistem bolt action, dengan bolt dilengkapi tiga lug pada bagian depan, sama halnya dengan Zastava M-93 Black Arrow yang digunakan Kopassus TNI AD.
Fitur unggulan Hecate lainnya adalah monopod di bagian popor untuk meningkatkan kestabilan. Selain itu, fitur keamanan yang terpenting pada Hecate adalah dengan adanya tingkat tekanan (overpressure vents) yang bekerja membuang tekanan gas bila terjadi keadaan darurat dengan peluru pecah dan meledak di dalam kamar peluru.
Muzzle brake Hecate II terbilang cukup besar untuk menehan efek tembakan.
Muzzle brake Hecate II terbilang cukup besar untuk menehan efek tembakan.
hecate-2hecate-2-(1)f8e349de23f8edfb05e03ac163e
Sistem peredaman tolak balik dipercayakan pada muzzle brake satu tingkat dengan bentuk lubang bulat, yang sekilas menyerupai muzzle brake milik tank M48A3 AS. Pasalnya muzzle brake dilengkapi dual lubang besar pada sisi-sinya sebagai penyalur efek ledakan energi. Energi ledakan terbuang ke sisi kanan dan kiri. Meskipun berdaya tembak besar, operator tak akan terpengaruh oleh getaran.
Bukti keandalan Hecate terbukti ketika senapan ini dipilih menjadi satu dari dua finalis lomba pemilihan senapan jarak jauh dalam kompetisi Long Range Large Caliber yang diselenggarakan AD Inggris. Di tangan Perancis, Hecate menjadi senapan runduk kelas berat yang paling banyak menjalani tour of duty di seluruh dunia. Mulai dari Horn of Africa, Perang Teluk 1991, Rwanda 2003 dalam Operation Licorne, dan Afghanistan.

Spesifikasi PGM Hecate II
– Negara asal: Perancis
– Tahun pembuatan: 1993
– Kaliber: .50MG (12,7 x 99 mm NATO)
– Sistem operasi: bolt action
– Panjang total: 1.380 mm
– Panjang laras: 700 mm
– Bobot kosong: 13,8 kg
– Kecepatan proyektil: 830 meter per detik
– Jarak tembak efektif: 1.500 – 1.800 meter
– Jarak tembak maksimum: 2.000 meter
– Kapasitas magasin: 7 peluru

Zastava M-93 Black Arrow: Senapan Anti Material Kopassus dengan Stabilitas Tinggi

IMAG1450
Pasukan khusus seperti Kopassus (Komando Pasukan Khusus) TNI AD pasti punya cara-cara khusus untuk menggasak sasaran berupa rantis, ranpur ringan dan personel lawan yang berlindung dibalik dinding. Tanpa harus membopong rudal/roket anti tank atau bazooka, dengan kemampuan senyap yang terlatih, beberapa unit elit di TNI dapat memanfaatkan keunggulan dari senapan anti material.
Untuk misi senyap khas sniper, dengan target daya hancur sasaran tinggi, sejak lama TNI sudah mengadopsi beberapa senapan anti material. Sebut saja ada Denel NTW-20/Truvelo yang dipakai Taifib (Intai Amfibi) Korps Marinir dan Kopaska TNI AL, lalu ada Hecate II yang digunakan DenBravo 90 Paskhas TNI AU. Malah belakangan, PT Pindad ikut merilis SPR (Senapan Penembak Runduk)-2, yang mengusung kaliber 12,7 x 99 mm NATO.
IMAG1451800px-Sniper_Zastava_M93
black-arrow1
Nah, ada satu lagi yang terlewat kami kupas, yakni M-93 Black Arrow. Senapan anti material ini beberapa waktu lalu ditampilkan ke publik oleh Kopassus pada ajang Pameran Alutsista TNI AD di Lapangan Monas, Jakarta. Dari sosok namanya, si ‘panah hitam’ ini memang terdengar sangar. Dirunut dari penamaannya, M-93 Black Arrow atau dalam bahasa Yugoslavia M-93 Crna Strela adalah salah satu dari sedikit rancangan senapan runduk kelas berat (senapan anti material) yang berasal dari negara-negara eks Balkan. Dibuat pada tahun 19080-an oleh pabrikan senjata Zastava Arms dari Yugoslavia. Black Arrow ditawarkan dalam dua varian, yaitu .50MG (kaliber 12,7 x 99 mm NATO) untuk kepentingan ekspor, dan varian 12,7 x 108 mm Rusia untuk pasar negara-negara eks Pakta Warsawa yang masih setia menggunakan amunisi rilisan Rusia.
Dapat dipasang pula pada monopod.
Dapat dipasang pula pada monopod.
Packing box Black Arrow.
Packing box Black Arrow.
Seperti halnya senapan penembak jitu lainnya, pola operasi senjata ini mengusung bolt action, alias tembak satu-satu. Sekedar informasi, bolt action adalah (sistem operasi) kokang senjata api yang mana bagian bolt dioperasikan secara manual dengan cara menggesernya ke belakang (menggunakan tuas kecil/handle) agar bagian belakang (breech) laras terbuka, casing peluru kosong yang sudah dipakai terlempar keluar dan peluru baru masuk kedalam breech kemudian bolt ditutup kembali (digeser ke depan secara manual).
mitchellsales07mitchellsales05
Black Arrow dirancang menganut model Mauser, dengan tiga lug pada bolt, dua di depan, dan satu di belakang. Penggunaan tiga lug memampukan penggunaan peluru bertekanan sangat tinggi, sehingga Black Arrow aman bila terpaksa menggunakan amunisi ‘jelek’ milik senapan mesin berat non matche grade untuk waktu lama.
Fitur unggulan lainnya, Black Arrow punya popor yang bisa disetel panjangnya serta pistol grip yang ergonomis. Sayangnya, teleskop standar pabrikan berkekuatan 8 x 32 tidak dapat disetel pembesarannya, sehingga kurang memadai untuk aplikasi di lapangan. Akan tetapi, Black Arrow terkenal dengan keseimbangannya yang sangat baik. Black Arrow dapat diposisikan berdiri sama tinggi antara ujung laras dan popor hanya dengan menggunakan kaki-kakinya.
Dan yang tak kalah menarik, Black Arrow menjadi dasar bagi PT Pindad dalam menciptakan senapan anti material, yakni SPR-2 kaliber 12,7 mm. Bahkan, hebatnya SPR-2 disebut-sebut mampu mengungguli kinerja Black Arrow. Menurut penuturan staf Pindad, SPR-2 dalam uji coba dapat mencapai performa yang memuaskan, diantaranya mampu menembus lapisan baja 10 mm dari jarak tembak 2 Km. Kabarnya, saat uji coba pesaingnya seperti Truvelo dan Black Arrow gagal menembus baja 10 mm dari jarak tembak yang sama. (Sam)

Spesifikasi Zastava M-93 Black Arrow
– Negara asal: Serbia, Yugoslavia
– Tahun pembuatan: 1980-an
– Kaliber: .50MG (12,7 x 99 mm NATO) atau 12,7 x 108 mm Rusia
– Sistem operasi: bolt action
– Panjang total: 1.510 mm/1.670 mm
– Panjang laras: 840 mm/1.000 mm
– Bobot kosong: 14,5 kg/16 kg
– Kecepatan proyektil: hingga 1000 meter per detik
– Jarak tembak efektif: 1.650 – 1.850 meter
– Kapasitas magasin: 5 peluru
– Akurasi: 1 MOA (minute of angle)

Sabtu, 06 Juni 2015

Marinir Thailand sambut baik rencana latihan bersama

Marinir Thailand sambut baik rencana latihan bersama
Defile Pasukan Marinir Sejumlah prajurit Korps Marinir TNI AL melakukan parade dalam upacara peringatan HUT Ke-69 Korps Marinir di lapangan tembak Bhumi Marinir Karangpilang, Surabaya, Jatim, Senin (17/11). HUT Korps Marinir yang dipusatkan di Surabaya tersebut bertemakan "Bersama Rakyat Membangun Negeri" menampilkan seluruh alutsista yang dimiliki Korps Marinir, dengan inspektur upacara KSAL Laksamana TNI Marsetio. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat) ()
 
Delegasi dari "Royal Thai Marines Corps" (Korps Marinir Thailand) menyambut baik rencana latihan bersama dengan Korps Marinir TNI AL.

Dinas Penerangan Korps Marinir dalam keterangan resmi yang diterima Antara di Surabaya, Sabtu, melaporkan delegasi Korps Marinir TNI AL yang tergabung dalam Latihan Sea Garuda 18AB-15 langsung melaksanakan rapat tentang rencana latihan bersama.

Dalam rapat bersama di Ruang Rapat RTMC Division Base Sattahip, Thailand (5/6) itu, delegasi Korps Marinir TNI AL yang dipimpin Letkol Mar Raja Erjan Girsang mengawali dengan pemutaran video profil RTMC dan latihan bersama RTMC dengan beberapa Negara.

Selain itu, delegasi Korps Marinir TNI AL yang berjumlah lima orang tersebut juga mendapatkan penjelasan dari Deputy Comanding General Of Marine Division RTMC Capt Chawalil Charlil tentang organisasi dan sejarah berdirinya RTMC.

Setelah penjelasan dari Deputy Comanding General Of Marine Division RTMC itu usai, acara dilanjutkan dengan pemutaran video profil Korps Marinir TNI AL yang dirangkai dengan penjelasan tentang organisasi Korps Marinir oleh Ketua Delegasi Letkol Mar Raja Erjan Girsang.

Perwakilan dari RTMC yang terdiri dari perwira Staff Operasi dan perwira tiap-tiap satuan tempur RTMC yang hadir pada kegiatan tersebut menaruh respek setelah melihat video profil serta penjelasan tentang organisasi dan persenjataan Korps Marinir TNI AL.

Bahkan, mereka juga mengaku sudah banyak mendengar keberhasilan Marinir Indonesia dalam berbagai even penugasan, baik di level nasional maupun internasional.

Pada kesempatan lain, RTMC Division Commander Rear Admiral Kar-Harn Ped-me-Sit dengan senang hati menerima kunjungan delegasi Marinir Indonesia dan menyambut baik rencana latihan yang digagas oleh Marinir Indonesia itu.

Selanjutnya, pertemuan tersebut membahas rencana latihan yang akan dilaksanakan pada latihan Sea Garuda berikutnya yang kemungkinan akan dilaksanakan di Indonesia.

Dalam perencanaan latihan tersebut membahas beberapa bentuk latihan meliputi latihan Operasi Amfibi terbatas gabungan, dan CPX (Comand Post exercise) tentang operasi Amphibi setingkat Batalyon.

Selain itu, FTX (Field Training Exercise) yang meliputi Pendaratan Amfibi Terbatas, Militery Operation on Urban Terrain, Counter Insurgency, Beach Survey, Fire Support, Snipper, Jungle Survival, Humanitarian Assistance dan Medical Assistance.

Dalam beberapa hari dilaksanakan juga Way Ahead conference yang bertujuan untuk lebih mengembangkan kerja sama di masa yang akan datang.

Way Ahead Conference itu meliputi Expert exchange, Officer visit dan Officer Student Exchange.

Kedua pihak berharap latihan bersama tersebut dapat mempererat kerja sama militer, khususnya Korps Marinir kedua negara dalam rangka mewujudkan stabilitas dan keamanan kawasan/regional. 
 

Ada Aktivitas Ilegal, Lima Pesawat Tempur Skyhawk Meluncur

Lima pesawat tempur Skyhawk 100 dan 200 milik Skuadron Udara 12 Lanud Rusmin Nuryadin Pekanbaru, secara mendadak melakukan operasi Alur Laut dan Kepulauan Indonesia (ALKI) di kawasan Sumatera Selatan dan Bangka Belitung.
Operasi ini menyusul adanya laporan aktivitas ilegal di kawasan tersebut. Operasi tersebut dilakukan selama enam hari ke depan. Sebelumnnya lima pesawat tempur ini baru saja melakukan latihan tempur di kawasan Puding Kepulauan Bangka Belitung.
Dua dari lima pesawat itu meluncur dari Pangkalan TNI AU Palembang, dengan dibekali persenjataan lengkap termasuk bom dan roket.
Operasi itu dilakukan setelah mendapat perintah dari Koopsau I, selaku koordinator operasi tersebut.  Operasi itu didukung satu helikopter Colibri dan Pangkalan TNI AU Palembang dijadikan home base karena operasi dilakukan di sekitar wilayah Sumatera bagian Selatan. Komandan Skuadron Udara 12, Letkol Penerbang Jajang Setiawan mengatakan operasi tersebut tidak hanya dilakukan pada siang hari namun juga dilakukan pada malam hari. Operasi sepanjang hari itu untuk memantau seluruh aktivitas yang ada di ALKI 1. Jika ada aktivitas ilegal yang mencurigakan, kata Jajang, skuadronnya segera menginformasikan hal tersebut pada pihak-pihak terkait untuk ditindak lanjuti.Menurut Komandan Lanud Palembang, Letkol Penerbang, RY Fahlefi,  informasi aktifitas ilegal tersebut datang dari berbagai sumber dan TNI AU berkewajiban untuk menindak lanjuti informasi tersebut dalam sebuah operasi untuk menjaga wilayah Indonesia.Sebelumnnya pesawat tersebut menjalani latihan tempur latihan tempur bertajuk Jalak Sakti, dan lima pesawat Skyhawk yang sama juga melakukan aktifitas take off dan landing dari Pangkalan TNI AU Palembang dalam latihan tempur tersebut.

Vivanews. 

Kesaksian Tjakrabirawa Tabir G30S/PKI (Historia)

 
g-30spki
Benedict Anderson menemukan indikasi bahwa eksekutor lapangan Tjakrabirawa yang menculik para jenderal adalah “komunitas Madura”, yang di antaranya sudah dikenal oleh Ali Moertopo, intelijen Soeharto sejak 1950-an.
Lelaki tua itu duduk bersandar di atas sebuah dipan besi. Dengan susah payah ia menyuapkan nasi dan lauk itu ke mulutnya. Beberapa butir nasi jatuh di atas seprai. Sudah enam bulan ini Boengkoes, nama lelaki 82 tahun itu, terbaring lemah di tempat tidur. Stroke melumpuhkannya. Mantan bintara Tjakrabirawa itu, seperti dilihat Tempo di rumah anaknya di Besuki, Situbondo, Jawa Timur, kini menghabiskan sisa hidupnya di atas dipan besi. Boengkoes adalah salah seorang pelaku dalam tragedi 30 September 1965. Pria berdarah Madura, yang saat itu berpangkat sersan mayor, ini bertugas menjemput Mayor Jenderal M.T. Harjono, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Dalam sebuah wawancara dengan Tempo setelah bebas dari LP Cipinang pada 1999, Boengkoes menceritakan tugasnya itu dengan terperinci. Pada 30 September 1965 sekitar pukul 15.00. “Dalam briefing itu dikatakan ada sekelompok jenderal yang akan ‘mengkup’ Bung Karno, yang disebut Dewan Jenderal. Wah, ini gawat, menurut saya.
Sersan Mayor Purn. Boengkoes di kamarnya
Mantan Tjakrabirawa Sersan Mayor Boengkoes bercerita mengenai kronologi aksi mereka dalam peristiwa G30S. Ia dan kawan-kawannya merasa ditipu dan dimanfaatkan.
Ia menyangka perintah itu baru akan dilaksanakan setelah 5 Oktober 1965. Namun, pada pukul 08.00, dipimpin oleh Dul Arief, pasukannya kembali ke Halim. Sekitar pukul 03.00 keesokan harinya, kata Boengkoes, komandan komandan pasukan berkumpul lagi. “Lalu, pasukan Tjakra dibagi tujuh oleh Dul Arief dan dikasih tahu sasarannya. Saya kebagian (Mayor) Jenderal M.T. Harjono,” ujar Boengkoes. Boengkoes kemudian berhasil menembak M.T. Harjono. “Setelah sampai sana (Lubang Buaya), mayatnya saya serahkan ke Pak Dul Arief.” Seluruh pengakuan Boengkoes ini menarik minat Ben Anderson, Indonesianis dari Universitas Cornell. Ben pada 2002 sampai datang lagi ke Indonesia menemui Boengkoes di Besuki. Pertemuannya itu menghasilkan paper setebal 61 halaman, The World of Sergeant-Mayor Bungkus, yang dimuat di Jurnal Indonesia Nomor 78, Oktober 2004.
Paper ini, menurut Ben, melengkapi Cornell Paper yang terkenal itu. Pada 1966—setahun setelah peristiwa berdarah—bersama Ruth McVey dan Fred Bunnel, Ben menulis Cornell Paper. Pada saat itu Ben mengira bahwa inti serdadu yang bergerak di lapangan adalah orang-orang Jawa. Anggapan ini berubah setelah Ben bertemu dengan Boengkoes. Ia melihat fakta menarik bahwa hampir semua serdadu yang ditugasi menculik berdarah Madura. Pimpinan lapangannya juga berdarah Madura.
Pimpinan lapangan penculikan, seperti dikatakan Boengkoes di atas, adalah Dul Arief. Dul Arief adalah serdadu berdarah Madura. Nah, menurut Ben, Dul Arief adalah orang yang sangat dekat dengan Ali Moertopo, intelijen Soeharto. Dul dikenal Ali sejak Benteng Raiders memerangi Darul Islam di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada 1950-an.
Perihal apakah benar Dul Arief dekat dengan Ali Moertopo, Tempo mencoba mengecek kepada Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo, yang oleh Untung diikutkan dalam Dewan Revolusi. Heru sendiri berdarah Madura. Dan ternyata jawabannya mengagetkan: “Dul Arief itu anak angkat Ali Moertopo,” kata Heru kepada Erwin Dariyanto, dari Tempo.
Dalam paper Ben, anggota Tjakra lain yang berdarah Madura adalah Djahurup. Ini pun informasi menarik. Sebab, Djahurup, oleh Letnan Kolonel CPM (Purnawirawan) Suhardi diceritakan (baca: Perwira Kesayangan Soeharto), adalah orang yang ingin menerobos Istana pada 29 September, tapi kemudian dihadangnya.
Ben menemukan fakta bahwa ternyata Boengkoes telah mengenal akrab Dul Arief sejak 1947. Saat itu mereka bergabung dalam Batalion Andjing Laut di Bondowoso. Boengkoes mengawali karier semasa revolusi di Batalion Semut Merah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1945 di Situbondo.
Setelah Semut Merah dihancurkan Belanda pada Juli 1947, ia bergabung dengan Batalion Andjing Laut di Bondowoso dengan pangkat prajurit satu. Sebagian besar personel Andjing Laut adalah orang-orang setempat keturunan Madura.
Selama clash kedua dengan Belanda, Boengkoes bertempur di sejumlah daerah, seperti di Kediri, Madiun, dan Yogyakarta. Ia juga pernah bertugas di Seram. Pada 1953, pasukan Andjing Laut ditarik dari Seram. Seluruh personel Andjing Laut tak kembali ke Brawijaya, melainkan bergabung dengan Divisi Diponegoro di Salatiga, Jawa Tengah.
Di Divisi Diponegoro, nomor batalion berubah dari 701 menjadi 448. Namun, nama Andjing Laut tetap mereka pertahankan. Kemudian Andjing Laut menjadi bagian dari Brigade Infanteri. Hampir seluruh personelnya berdarah Madura. “Dul Arief, Djahurup, dan Boengkoes berada dalam satu batalion 448 Kodam Diponegoro,” kata Heru Atmodjo. Dan yang mengejutkan lagi: “Komandannya waktu itu Kolonel Latief,” kata Heru.
Itu artinya, dapat kita simpulkan bahwa Kolonel Latief pun sudah mengenal para eksekutor Tjakrabirawa sejak dulu. Setelah menyelesaikan Sekolah Kader Infanteri, Boengkoes dipindah ke Cadangan Umum di Salatiga. Cadangan Umum adalah gabungan pasukan Garuda I dan II yang baru pulang bertugas di Kongo. Ada dua unit pasukan Cadangan Umum di Semarang, yakni baret hijau di Srondol dan baret merah di Mudjen. Dan informasi yang mengagetkan lagi: komandan baret hijau di Srondol saat itu, menurut Boengkoes, adalah Untung!
Ketika bertugas di Cadangan Umum inilah Boengkoes direkrut masuk Banteng Raiders I di Magelang. Tak lama kemudian ia direkrut pasukan Tjakrabirawa. Meski sudah bersama dengan Untung sejak di Banteng Raiders, Boengkoes mengaku kepada Ben Anderson baru bertemu dengan Untung ketika sudah di Jakarta. “Saya belum kenal dia waktu di Srondol,” tuturnya.
Boengkoes tidak menghadapi kesulitan saat masuk Tjakrabirawa. Padahal Boengkoes menderita wasir dan disentri. “Penyakit itu saya sudah katakan. Tapi besoknya, saya diberi tahu bahwa saya sehat. Jadi saya senang.” Boengkoes tak sendirian. Ada seratusan personel Banteng Raiders yang juga lolos seleksi. “Dari Jawa Tengah, jumlah kami yang lolos seleksi cukup untuk membentuk satu kompi,” ujar Boengkoes. Tugas mereka menggantikan Polisi Militer berjaga di Istana Presiden.
Kepada Ben, Boengkoes menyebut Dul Arief sebagai kawan sehidup-semati. Keduanya kerap berbincang dalam bahasa Madura. Bongkoes bercerita, suatu waktu dia dan Dul Arief pergi jalan-jalan ke Pasar Senen, Jakarta. Di sebuah pertigaan, ada warung cendol. Di papan namanya tertulis “Dawet Pasuruan”. Ada dua gadis berparas manis yang membantu pedagang cendol itu.
“Kami duduk ngobrol dan ngrasani gadis itu dengan bahasa Madura. Tapi kok mereka kemudian tersenyum senyum. Saya mulai curiga,” ujar Boengkoes. Ternyata kemudian, pemilik warung tersebut mengaku berasal dari Pasuruan, Jawa Timur.
Dan kedua gadis tersebut mengerti bahasa Madura. “Wah, mati aku,” ujar Boengkoes. Yang aneh, menurut Ben Anderson, setelah tragedi September itu Dul Arief, si anak angkat Ali Moertopo, dan Djahurup seolah hilang tak berbekas. Menurut Heru, beberapa hari setelah G-30-S dinyatakan gagal, 60 anggota Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa berusaha lari dari Jakarta menuju Jawa Tengah. Di Cirebon, pasukan CPM menghadang mereka. Kepada Tempo, Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, menceritakan ke-60 orang tersebut mampir di sebuah asrama TNI di Cirebon karena tidak membawa bekal makanan. Salah satu prajurit di asrama tersebut berinisiatif melapor kepadanya. “Saya perintahkan mereka untuk ditahan dulu. Pasukan dari Jakarta yang akan menjemput,” kata Maulwi.
Tapi kemudian Dul Arief dan Djahurup hilang, lenyap. Hanya Kopral Hardiono, bawahan Dul Arief, yang kemudian disidang di Mahkamah Militer Luar Biasa pada 1966 dan dituduh bertanggung jawab atas penculikan para jenderal tersebut.
“Dul Arief dan Djahurup tidak bisa dihadirkan dalam persidangan (Mahmilub),” kata Heru. Apakah keduanya “diamankan” Ali Moertopo? Entahlah.
“Gelap. Saya coba cari stop kontak, saya raba-raba dinding. Tiba-tiba ada bayangan putih lari. Anak buah saya berteriak, ‘Pak, ada bayangan putih.’ Saya mengangkat senjata dan dor….”
Penembak itu adalah Boengkoes, mantan bintara Tjakrabirawa. Pangkat terakhirnya sebelum mendekam selama 33 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, adalah sersan mayor. Menurut Hernawati, anak kedua Boengkoes, sudah enam bulan ini ayahnya tergolek lemah karena stroke. Ia susah berbicara. Tangan dan kedua kakinya setengah lumpuh. Ia kini terbaring di rumah anak keempatnya, Juwatinah, yang berdempetan dengan rumah Hernawati di Jalan PG Demaas, Dusun Kalak, Desa Demaas, Kecamatan Besuki, Situbondo, Jawa Timur.
Hernawati tak mengizinkan Tempo menemui ayahnya. Ia hanya mengizinkan Slamet Wagiyanto, 30 tahun, anak keduanya, untuk memotret sang kakek. “Percuma, Bapak tidak bisa bicara dan ingat apa pun,” ujar Hernawati. Boengkoes tinggal di Situbondo setelah mendapatkan grasi dari Presiden B.J. Habibie pada 25 Maret 1999. Di kota inilah istri dan anak-anaknya tinggal setelah Boengkoes masuk bui. Sebelumnya, keluarga Boengkoes tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Ia menikah dengan Jumaiyah (kini 70 tahun) dan dianugerahi enam anak.
Hernawati berkisah, sebelum menderita stroke, ayahnya lebih banyak menghabiskan waktunya di pekarangan belakang rumah. Di atas lahan berukuran 10 x 15 meter itu, Boengkoes merawat 10 ayam kampung dan suka menanam pisang. “Ayamnya sekarang tinggal tiga ekor karena nggak ada yang ngerawat lagi,” kata Hernawati.
Hobi lain lelaki kelahiran Desa Buduan, Besuki, itu adalah menyanyikan lagu keroncong. Lagu favoritnya: Sepasang Mata Bola dan Bengawan Solo. Menurut Hernawati, hanya itulah kegiatan Boengkoes setelah bebas dari bui. Ia tak aktif di kegiatan kampung. Boengkoes juga tak pernah bertemu dengan temantemannya sesama mantan tahanan politik.
Kepada anak-anaknya pun ia tak pernah bercerita tentang pengalamannya di dalam penjara atau saat berdinas di Tjakrabirawa. Hernawati mengatakan ayahnya tak mau menambah beban keluarganya. Dulu, setiap tahun beban itu terasa makin berat ketika televisi memutar film Pengkhianatan G-30-S/PKI. Saat film itu diputar, keluarganya tak pernah berani keluar dari rumah. Hampir seisi kampung tahu Boengkoes terlibat dalam pembunuhan para jenderal.
Letkol Untung bin Samsuri ketika tertangkap dalam pelariannya. Kepada kawan-kawannya di sel tahanan seperti yang diceritakan kepada Ben Anderson, Letkol Untung yakin lolos dari eksekusi karena kedekatannya dengan Mayjen Soeharto. Namun ia tetap saja dieksekusi mati
Namun, sepahit apa pun pengalaman masa lalu ayahnya, Hernawati tetap yakin ayahnya tak bersalah. “Ayah cuma bawahan yang menjalankan perintah atasan,” tuturnya. Boengkoes pada 1999, selepas keluar dari penjara, dalam sebuah kesempatan wawancara, mengatakan hal yang sama, “Nggak ada, tentara kok merasa bersalah, mana ada….”
Boengkoes kini terkena stroke. Entah apakah ia masih ingat detik-detik ketika masuk mendobrak rumah M.T. Harjono. Thompsonnya melepaskan tembakan pada bayangan putih itu. Dan, saat lampu dinyalakan, tubuh M.T. Harjono tak berdaya. Peluru menembus tubuhnya dari punggung sampai perut.

Penculikan Mayjen M.T. Haryono
Jenderal Korban G30S-PKI 1965
Jenderal Korban G30S-PKI 1965

Di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, Untung menghadirkan saksi Perwira Rudhito Kusnadi Herukusumo, yang mendengar rekaman rahasia rapat Dewan Jenderal.
Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri layaknya seorang pelaku kriminal. Turun dari panser, lelaki cepak bertubuh tegap itu tampak menggigil ketakutan. Kepalanya menunduk, takut menatap ratusan orang yang tak henti menghujatnya. Bekas Komandan Batalion I Tjakrabirawa itu juga gamang ketika akan menembus barikade massa Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, yang menyemut di pelataran parkir gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Kala itu, Rabu, 23 Februari 1966, pukul 9 pagi. Di lantai dua gedung di Jalan Taman Suropati Nomor 2 itu, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mengadili Untung, 40 tahun, bekas Ketua Dewan Revolusi Indonesia, dengan tuduhan makar.
Saat akan memasuki gedung itulah Untung terus mendapat hujatan dan cemoohan massa. Letnan I Dra Sri Hartani, yang saat itu menjadi protokoler atau semacam pembawa acara sidang, ingat intimidasi massa tersebut membuat nyali Untung ciut. “Untung terlihat takut dan tidak terlihat seperti ABRI. Padahal kalau ABRI tidak begitu,” kata Sri, kini 69 tahun, kepada Tempo di rumahnya di Jakarta Pusat pada pertengahan September lalu.
Sri menyatakan Untung menjadi orang kedua setelah Njono, tokoh Partai Komunis Indonesia, yang diperiksa dan diadili di Mahmilub 2 Jakarta. Di depan Mahmilub, Untung sangat yakin bahwa Dewan Jenderal itu ada. Menurut Untung, ia mendengar adanya Dewan Jenderal dari Rudhito Kusnadi Herukusumo, seorang perwira menengah Staf Umum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat-6. Untung mengatakan, kepada dirinya, Rudhito mengaku mendengar rekaman tape hasil rapat Dewan Jenderal pada 21 September 1965 di gedung Akademi Hukum Militer (AHM), Jalan Dr Abdurrachman Saleh I, Jakarta.
Rekaman itu berisi pembicaraan tentang kudeta dan susunan kabinet setelah kudeta. Itu sebabnya, Untung ngotot menghadirkan Rudhito sebagai saksi dalam persidangan. Rudhito kemudian dihadirkan di Mahmilub 2. Dalam kesaksiannya, seperti dapat kita baca dalam buku proses mahmilub Untung (1966), Rudhito memang mengaku pernah melihat tape rekaman tersebut dan sudah melaporkannya kepada Presiden Soekarno.
Rudhito menjelaskan, dirinya menerima tape rekaman yang dia dengar dan catatan tentang isinya pada 26 September 1965 di ruangan depan gedung Front Nasional. Dia menerima bukti itu dari empat orang, yakni Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution, keduanya dari Nahdlatul Ulama, plus Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang dari IP-KI.
Menurut Rudhito, keempat orang itu mengajaknya membantu melaksanakan rencana-rencana Dewan Jenderal. Mereka mengajak karena kapasitasnya selaku Ketua Umum Ormas Central Comando Pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rencana Dewan Jenderal itu adalah mengudeta Soekarno seperti cara-cara di luar negeri. Misalnya Soekarno akan disingkirkan seperti matinya Presiden Republik Korea Selatan Sihgman Ree.
Selanjutnya, tutur Rudhito, jika belum berhasil, akan dibuat seperti hilangnya Presiden Bhao dari Vietnam Selatan. “Kalau masih tidak bisa juga, Soekarno akan ‘di-Ben Bella-kan’,” pria berusia 40 tahun ini menjelaskan isi rekaman di depan Mahkamah. “Di-Ben Bella-kan” maksudnya adalah dikudeta dengan cara seperti Jenderal Boumedienne terhadap Presiden Aljazair bernama Ahmad Ben Bella.
Lebih jauh rekaman tersebut, menurut Rudhito, juga berisi pembicaraan mengenai siapa nanti yang duduk dalam kabinet apabila kudeta sukses dijalankan. Ada nama Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai calon perdana menteri, Letnan Jenderal Ahmad Yani sebagai wakil perdana menteri I merangkap menteri pertahanan dan keamanan, Letnan Jenderal Ruslan Abdul Gani sebagai wakil perdana menteri II merangkap menteri penerangan, dan Mayor Jenderal S. Parman sebagai menteri jaksa agung serta masih ada beberapa nama lagi.
“Dalam rekaman, saya ingat almarhum Jenderal S. Parman yang membacakan susunan kabinet itu,” ujar Rudhito. Bukti dokumen-dokumen Dewan Jenderal, menurut Rudhito, sebagian besar ada pada Brigadir Jenderal Supardjo. Dokumen itu juga sudah sampai di tangan Presiden Soekarno, Komando Operasi Tertinggi Retuling Aparatur Revolusi dan Departemen Kejaksaan Agung.
Nah, dari dokumen yang dipegang Supardjo itu sebenarnya terendus ada uang cek penerimaan dari luar negeri untuk anggota Dewan Jenderal yang aktif. “Kalau tidak salah hal itu telah dipidatokan Presiden Soekarno bahwa uang Rp 150 juta itu merupakan suatu fondsen atau dana pensiun bagi masing-masing anggota Dewan Jenderal yang aktif,” tutur Rudhito.
Hanya, Rudhito—mengaku di Mahmilub— tak menyimpan tape rekaman itu. Dan hal itu dinilai oleh Mahkamah sebagai unus testis nullus testis, yang berarti keterangan saksi sama sekali tak diperkuat alat-alat bukti lainnya, sehingga tak mempunyai kekuatan bukti sama sekali. Selain itu, apa yang dikemukakan Rudhito, menurut Mahkamah, sama sekali tak benar. Rapat Dewan Jenderal yang diadakan di gedung AHM pada 21 September 1965 nyatanya cuma suatu commander’s call Komando Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat—berdasarkan surat bukti hasil rapat tersebut yang didapat Mahkamah.
Mahkamah berpendapat, Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta ternyata baru merupakan info yang bersumber dari Sjam Kamaruzzaman dan Pono—utusan Ketua CC PKI D.N. Aidit—yang tak terbukti kebenarannya. Berdasarkan itu, Mahkamah memvonis Untung bersalah karena melakukan kejahatan makar, pemberontakan bersenjata, samen-spanning atau konspirasi jahat, dan dengan sengaja menggerakkan orang lain melakukan pembunuhan yang direncanakan.
Ahad, 6 Maret 1966, Mahkamah memutuskan menghukum Untung dengan hukuman mati. Saat itu yang bertindak sebagai hakim ketua adalah Letnan Kolonel Soedjono Wirjohatmojo, SH, dengan oditur Letnan Kolonel Iskandar, SH, dan panitera Kapten Hamsil Rusli. Dan tak lama berselang Untung dikabarkan meregang nyawa di depan regu tembak.
“Cornell Paper”, yang disusun Ben Anderson dan Ruth McVey setelah meletus Gerakan 30 September, mengesankan bahwa gerakan itu merupakan peristiwa internal Angkatan Darat dan terutama menyangkut Komando Daerah Militer Diponegoro. Tentu saja pandangan tersebut merupakan versi awal yang belum lengkap walau tetap menarik untuk diulas dan diteliti lebih lanjut.
Setelah tiga dekade di penjara, Soebandrio, Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen, mengelaborasi versi di atas. Walaupun sama-sama berasal dari Diponegoro, terdapat trio untuk dikorbankan (Soeharto, Untung, Latief) dan ada trio untuk dilanjutkan (Soeharto, Yoga Soegama, dan Ali Moertopo). Dari dua trio itu terlihat bahwa baik pelaku gerakan maupun pihak yang menumpasnya berasal dari komando daerah militer yang sama, yakni Kodam Diponegoro. Itu pula yang menjelaskan bahwa gerakan tersebut tampil hanya di Jakarta dan di wilayah Kodam Diponegoro (Semarang dan Yogyakarta) dan dapat dipadamkan dalam hitungan hari. Alasan itulah yang digunakan kenapa Soeharto tidak masuk daftar orang yang diculik: ia dianggap “kawan”, minimal “bukan musuh”. Soeharto dan Latief sama-sama ikut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, yang kemudian dijadikan hari sangat bersejarah oleh pemerintah Orde Baru.
Pada malam 30 September 1965, Latief menemui Soeharto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Bahkan beberapa hari sebelumnya, Latief bersama istrinya sempat berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim. Walau tidak sedekat dengan Latief, Soeharto berhubungan baik dengan Untung. Kabarnya, sewaktu Untung menikah di Kebumen, Soeharto menghadirinya. Di jalur yang lain, hubungan Yoga Soegama dan Ali Moertopo terbina ketika mereka melakukan serangkaian manuver untuk mendukung Soeharto menjadi Komandan Teritorium IV, yang kemudian menjadi Kodam Diponegoro.
Ketika pasukan Tjakrabirawa dibentuk pada 6 Juni 1962, terdapat satu batalion Angkatan Darat. Sejak Mei 1965, batalion ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, yang karena keberaniannya dalam operasi Tritura mendapatkan Bintang Sakti. Ada informasi yang perlu diteliti lagi bahwa Kapten Rochadilah yang “mengajak” Untung bergabung ke pasukan pengamanan presiden.
Rochadi adalah anggota Tjakrabirawa yang ikut dalam salah satu rombongan delegasi Indonesia ke Beijing pada 25 September 1965 dan sejak itu terhalang pulang. Terakhir ia memperoleh suaka di Swedia dan berganti nama menjadi Rafiuddin Umar (meninggal pada 2005). Di kalangan eksil 65 di Swedia, ia agak tertutup. Kapten Rochadi berasal dari batalion yang pernah dipimpin Letnan Kolonel Untung di Kodam Diponegoro.
Ben Anderson memulai analisisnya dengan mengutarakan karakter “Jawa” dari Divisi Diponegoro yang Panglima Kodamnya sejak awal sampai 1965 berasal dari “Yogya-Banyumas-Kedu”. Sulit dibayangkan seorang Batak atau Minahasa menjadi Panglima Kodam Diponegoro, seperti yang terjadi pada Kodam Siliwangi. Kodam Diponegoro berada pada wilayah yang sangat padat penduduk, pangan tidak seimbang, serta berpaham komunisme dan sentimen anti-aristokrat cukup kuat. Ketidakpuasan muncul di kalangan perwira Diponegoro, seperti Kolonel Suherman, Kolonel Marjono, dan Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto (dan di Jakarta terdapat Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung) terhadap para perwira tinggi yang dinilai hidup mewah di tengah kemiskinan rakyat, termasuk tentara.
Stroke ringan yang dialami Presiden Soekarno (4 Agustus 1965), beredarnya dokumen Gilchrist dan isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta (5 Oktober 1965) menambah panas suasana politik. Sebagai komandan batalion militer dalam pasukan yang tugasnya mengamankan presiden, Untung “terpanggil” untuk menyelamatkan presiden dari ancaman para jenderal tersebut dengan “mendului” mereka melalui Gerakan 30 September.
Walaupun namanya tertulis sebagai komandan gerakan tersebut, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa Untung bukanlah pemimpin utama aksi ini, karena berbagai hal ditentukan oleh Sjam Kamaruzzaman dari Biro Chusus PKI. Ketika banyak persiapan (tank, senjata, logistik, dan personel) masih kacau, Untung tidak mengambil keputusan menunda aksi ini.
Mereka lebih mendengar Sjam, yang berujar, “Kalau mau revolusi ketika masih muda, jangan tunggu sampai tua, “dan “Ketika awal revolusi banyak yang takut, tetapi ketika revolusi berhasil semua ikut.” Gerakan 30 September yang dilakukan secara ceroboh itu rontok dalam hitungan hari. Dokumen Supardjo—dianggap cukup sahih—memperlihatkan bahwa kelemahan utama Gerakan 30 September adalah tidak adanya satu komando. Terdapat dua kelompok pimpinan, yakni kalangan militer (Untung, Latief, dan Sudjono) dan pihak Biro Chusus PKI (Sjam, Pono, dan Bono).
Sjam memegang peran sentral karena ia berada dalam posisi penghubung di antara kedua pihak ini. Namun, ketika upaya ini tidak mendapat dukungan dari Presiden Soekarno, bahkan diminta agar dihentikan, kebingungan terjadi. Kedua kelompok itu terpecah. Kalangan militer ingin mematuhi, sedangkan Biro Chusus melanjutkan.
Ini dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dan kedua serta ketiga terdapat selang waktu sampai lima jam. Sesuatu yang dalam upaya kudeta merupakan kesalahan besar. Pada pagi hari, mereka mengumumkan bahwa presiden dalam keadaan selamat. Sedangkan pengumuman berikutnya pada siang hari sudah berubah drastis (pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet). Jadi, dalam tempo lima jam, operasi “penyelamatan Presiden Soekarno” berubah 180 derajat menjadi “percobaan makar melalui radio”.
Uraian di atas sekali lagi memperlihatkan bahwa Untung bukanlah komandan Gerakan 30 September yang sesungguhnya. Ia bisa diatur oleh Sjam Kamaruzzaman. Untung dieksekusi pada 1969. Sebelumnya, di penjara Cimahi, ia menuturkan kepada Heru Atmodjo (Letnan Kolonel Udara Heru Atmodjo pada 1965 menjabat Asisten Direktur Intelijen AURI) bahwa ia tidak percaya akan ditembak mati karena hubungan baiknya dengan Jenderal Soeharto. Namun, Untung memang tidak beruntung.
Resimen Khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia No. 211/PLT/1962 tanggal 5 Juni 1962. Tjakrabirawa dibentuk sebagai suatu resimen khusus di bawah Presiden yang diberi tanggung jawab penuh untuk menjaga keselamatan pribadi Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia beserta keluarganya. Resimen ini terdiri atas Detasemen Kawal Pribadi, Batalion Kawal Pribadi, dan Batalion Kawal Kehormatan.
Pembentukan Tjakrabirawa merupakan tanggapan strategis atas upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, yang terjadi pada 14 Mei 1962 saat Presiden bersembahyang Idul Adha di Masjid Baitturahman di kompleks Istana Merdeka, Jakarta.
Sebagai suatu resimen khusus, Tjakrabirawa dipersiapkan sebagai suatu kesatuan militer yang memiliki kualifikasi setingkat kesatuan komando. Dalam suatu wawancara dengan Benedict Anderson dan Arief Djati (Indonesia No. 78, Oktober 2004), mantan komandan peleton Tjakrabirawa, Sersan Mayor Boengkoes, menceritakan sulitnya rangkaian tes yang harus dijalani oleh seorang prajurit ABRI untuk dapat bergabung di Tjakrabirawa.
Tidak seperti pembentukan kesatuan-kesatuan baru lainnya yang sekadar mengandalkan penggabungan dari beberapa peleton dan kompi untuk membentuk satu batalion, resimen khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan kumpulan individu yang berhasil lulus dari rangkaian tes seleksi. Keketatan tes seleksi Tjakrabirawa tampak dari data bahwa hanya 3-4 prajurit dari satu kompi suatu batalion yang berkualifikasi raider atau paratrooper atau airborne yang mendapat panggilan untuk mengikuti tes seleksi.
Letnan Kolonel Untung, yang berperan sebagai pimpinan militer Gerakan 30 September, misalnya, dari 1954 sampai 1965 bertugas di Batalion 454 Banteng Raiders yang memiliki kualifikasi paratroop-airborne. Pada 1961, Untung memimpin salah satu kompi relawan dalam Operasi Naga yang mengawali tahap infiltrasi penyerbuan Irian Barat di bawah pimpinan Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal Soeharto.
Atas keberaniannya dalam Operasi Naga, Untung, bersama L.B. Moerdani sebagai pimpinan kompi relawan lainnya, mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Pada Februari 1965, Letkol Untung, yang saat itu menjabat Komandan Batalion 454 Banteng Raiders, dipromosikan menjadi Komandan Batalion I Tjakrabirawa.
Kualifikasi khusus yang dimiliki Tjakrabirawa tidak langsung menjadikan Tjakrabirawa suatu kesatuan militer yang mampu melakukan kudeta pada 1 Oktober 1965. Kompi Tjakrabirawa di bawah pimpinan Letnan Satu Dul Arief dipilih menjadi penjuru Pasukan Pasopati untuk melaksanakan operasi penculikan para jenderal karena kesatuan ini berada langsung di bawah Presiden (bukan di bawah Markas Besar AD) sehingga saat melaksanakan operasi tidak akan menimbulkan kecurigaan dari para jenderal TNI-AD.
Keterlibatan Tjakrabirawa lebih ditentukan oleh sosok Letkol Untung, yang memiliki rekam jejak militer yang memungkinkannya membangun jejaring militer dengan kesatuan-kesatuan AD lainnya yang bergabung dalam Gerakan 30 September, yaitu Batalion 454, Batalion 530, dan Brigade I. Beberapa peleton dari ketiga kesatuan ini memperkuat Pasukan Pasopati. Batalion 454 dan 530 juga digelar untuk melakukan pengamanan Istana dan kantor RRI.
Jejaring Letkol Untung dengan Batalion 454 telah dibangun sejak 1954. Saat Gerakan 30 September digelar, Batalion 454 dipimpin oleh Mayor Kuntjoro Judowidjojo, yang menjadi wakil komandan batalion saat Letkol Untung menjabat Komandan Batalion 454. Kedekatan Letkol Untung dengan Komandan Brigade I Kodam Djaya Kolonel A. Latief, yang juga berperan dalam Gerakan 30 September, diawali di Batalion 454. Sebelum dipindahkan ke Jakarta pada 1963, Brigade I merupakan bagian dari Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) yang bermarkas di Ungaran, dekat dengan markas Batalion 454.
Jika jejaring Letkol Untung yang dijadikan rujukan untuk mengurai keterlibatan kesatuan-kesatuan AD dalam Gerakan 30 September, pusat jejaring Gerakan ini bisa dilacak dari Batalion 454 Banteng Raiders. Secara taktis militer, bisa dikatakan bahwa titik awal dan titik akhir Gerakan 30 September adalah Batalion 454.
Karier militer cemerlang Letkol Untung yang membawanya ke jabatan Komandan Batalion I Tjakrabirawa berawal dari Batalion 454. Komandan Kompi Tjakrabirawa yang juga Komandan Pasukan Pasopati, Letnan Satu Dul Arif, juga pernah bertugas di Banteng Raiders langsung di bawah pimpinan Mayor Ali Moertopo.
Penugasan ini terjadi pada akhir 1952, saat Banteng Raiders digelar melawan Batalion 426 yang memberontak dan bergabung dalam gerakan Darul Islam di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat. Kesatuan Banteng Raiders sendiri dibentuk oleh Kolonel Ahmad Yani pada Juni 1952. Sebagai komandan brigade di wilayah Jawa Tengah bagian barat, Kolonel Ahmad Yani memiliki ide membentuk kesatuan khusus yang dapat diandalkan untuk melawan pemberontakan Darul Islam.
Kesatuan Banteng Raiders bentukan Ahmad Yani ini akhirnya menjadi Batalion 454. Pada 1961, Batalion 454 (dan Batalion 530) dijadikan bagian dari Tjaduad yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto. Tjaduad yang dibentuk oleh KSAD Jenderal A.H. Nasution ini ditingkatkan menjadi Kostrad pada Februari 1963.
Sebagai pimpinan Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto mengundang Batalion 454 (dan Batalion 530) untuk berpartisipasi dalam perayaan 5 Oktober 1965. Sebagai Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto mengambil alih kepemimpinan operasional AD dan memimpin operasi penumpasan Gerakan 30 September. Dalam operasi penumpasan ini, Panglima Kostrad memerintahkan pasukan baret merah RPKAD menghentikan petualangan militer pasukan baret hijau Batalion 454.
Sejarah akhirnya mencatat bahwa penumpasan Gerakan 30 September berakhir dengan gelar operasi khusus yang dipimpin oleh Letkol Ali Moertopo yang juga alumnus Banteng Raiders. Operasi khusus ini menjadi awal kelahiran Kopkamtib yang turut memperkuat rezim politik-militer Orde Baru.
Tempointeraktif.com

Satuan Komando Operasi Khusus Gabungan TNI

 
Dok : Latihan Satgultor TNI Prajurit Satuan Penanggulangan Teror (Satgultor) TNI dari (kiri-kanan) Sat-81 Gultor Kopassus TNI AD, Detasemen Jala Mangkara TNI AL dan Satuan Bravo '90 Paskhas TNI AU pada foto tahun 2014. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Dok : Latihan Satgultor TNI Prajurit Satuan Penanggulangan Teror (Satgultor) TNI dari (kiri-kanan) Sat-81 Gultor Kopassus TNI AD, Detasemen Jala Mangkara TNI AL dan Satuan Bravo ’90 Paskhas TNI AU pada foto tahun 2014. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

TNI akan mengerahkan Satuan Komando Pasukan Khusus Gabungan yang merupakan pasukan elite dari tiga matra, darat, laut, dan udara dalam Latihan Penanggulangan Teroris yang dilaksanakan di kawasan Lapangan Banteng Jakarta Pusat pada 9 Juni 2015.
“Sebelum diresmikan, Satuan Komando Operasi Khusus Gabungan TNI akan diuji coba dalam latihan penanggulangan teroris,” kata Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko usai Persiapan TGF Gultor, di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis.
Dalam latihan itu, kata Panglima TNI, Satuan Komando Operasi Khusus Gabungan TNI, yang terdiri atas Kopassus, Denjaka, dan Denbravo akan diskenariokan membebaskan sandera di sebuah gedung yang sedang dikuasai oleh teroris.
“Setelah latihan, mereka (pasukan) akan dievaluasi. Kesiapsiagaannya akan ditingkatkan lagi,” tutur Panglima TNI.
Moeldoko menyebutkan, pihaknya sengaja melaksanakan latihan penanggulangan teroris yang disesuaikan dengan kondisi, tempat, dan waktu riil yang ada saat ini.
“Kita ingin melihat dengan kondisi yang sangat sibuk, hambatannya seperti apa. Ini pasti akan ganggu kepentingan publik, tapi saya mohon agar publik juga memahami karena suatu saat bila terjadi sesuatu kita bisa paham untuk mengatasi persoalan itu,” katanya.
Menurut Moeldoko, operasi khusus gabungan ini bisa digerakkan secepat mungkin jika ada ancaman baik dari luar maupun dalam negeri, di samping untuk mengatasi situasi tanggap darurat.
Dia melanjutkan, komando operasi khusus gabungan ini akan disiagakan atau menjadi satuan yang siaga setiap saat atau standby force di Sentul, Bogor.
“Panglima tinggal menggunakan demi kepentingan negara,” tegasnya.
Jumlah personel maksimum pasukan ini adalah 95 orang karena pasukan khusus tidak perlu memiliki banyak personel dan cukup dengan kemampuan yang mumpuni. Semua akan dikerahkan dalam latihan nanti.
Setelah latihan usai, Satuan Komando Operasi Khusus Gabungan TNI ini akan diresmikan di kawasan Monas, Jakarta, oleh Panglima TNI.
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat juga menghimpun satuan-satuan elite pasukan khususnya dalam Komando Operasi Khusus (USSOCOM) yang terdiri pasukan-pasukan khusus Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Korps Marinir.
Di antara misi komando khusus AS ini adalah kontraterorisme, pengintaian khusus, perang psikologis, sampai operasi antinarkotika.
Komando Operasi Khusus AS ini bermarkas di Pangkalan Angkatan Udara MacDill, Tampa, Florida.

ANTARA