Sebagai bagian dari elemen bangsa, mahasiswa harus berperan aktif memperkokoh
persatuan dan kesatuan di kalangan masyarakat, papar Pangdam IV/Diponegoro
Mayjen TNI Bayu Purwiyono dalam amanatnya yang disampaikan Danrem
071/Wijayakusuma Kolonel Inf Edison, S.E., M.M., pada Pelatihan Bela Negara
bagi Mahasiswa PTN/PTS se-Jateng dan DIY, yang berlangsung di Mako Yonif 407/Pkl
Slawi Tegal, Selasa (21/10).
Lebih
lanjut Pangdam IV/Diponegoro menyampaikan, bahwa dengan menyadari posisinya
yang strategis, keberadaan mahasiswa menjadi sangat penting untuk diberikan
tambahan bekal pengetahuan diluar disiplin ilmu akademisnya. Berupa pemahaman
mendalam mengenai pentingnya wawasan kebangsaan seperti Wawasan Nusantara,
Ketahanan Nasional dan Kesadaran Bela Negara.
"Mahasiswa
perlu memahami konsepsi Wawasan Nusantara dan sistem Pertahanan Negara secara
utuh dan benar agar tumbuh menjadi pribadi yang cinta dan bangga terhadap tanah
air sendiri", terang Pangdam IV/Diponegoro.
"Pemahaman
konsepsi pertahanan negara dalam implementasinya bukan hanya dimiliki TNI
tetapi juga harus dimiliki segenap komponen bangsa dan seluruh rakyat Indonesia
termasuk mahasiswa", lanjutnya.
Pembukaan
Pelatihan Bela Negara bagi para mahasiswa dibuka oleh Danrem 071/Wijayakusuma
Kolonel Inf Edison, S.E., M.M. memawikili Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Bayu
Purwiyono. Pelatihan Bela Negara Kodam IV/Diponegoro diikuti 2.000 Mahasiswa
PTN/PTS se Jawa Tengah dan DIY, dan dilakukan secara serentak selama tiga hari
di seluruh wilayah Kodam IV/Diponegoro, bertempat di seluruh Satpur dan
Satbanpur jajaran Kodam IV/Diponegoro.
Materi
yang disampaikan antara lain Materi Pengetahuan yakni Proxy War, Materi Kampus, Pengetahuan TNI AD dan Binter, Bela
Negara dan Wasbang serta Kepemimpinan. Materi Keterampilan yakni PBB, Menembak,
Out Bound, Alarm Stelling, Caraka
Malam, Jalan Peta, Karya Bakti, Renungan Malam dan Pendadakan.
"Pelatihan
bela negara yang dilaksanakan di Satpur dan Satbanpur dimaksudkan untuk
memberikan gambaran nyata kepada para mahasiswa tentang bagaimana kehidupan
prajurit di satuan-satuan yang sesungguhnya", jelas Pangdam IV/Diponegoro.
Bangun
komitmen yang kuat untuk merealisasikan tugas mulia ini secara proporsional
dalam membentuk pribadi yang militan, tangguh dan kerelaan berkorban demi
bangsa dan negara. Manfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya dalam upaya
menumbuhkan semangat bela negara di kalangan peserta tanpa menimbulkan kesan
indoktrinasi berlebihan, lanjut Pangdam IV/Diponegoro mengakhiri sambutannya.
|
Selasa, 21 Oktober 2014
Danrem 071/Wijayakusuma Buka Pelatihan Bela Negara Bagi Mahasiswa
LABINSEN LAKSANAKAN UJI LITBANG PENEMBAKAN RUDAL AL-1M DI PUSLATPUR KARANG TEKOK SITUBONDO
Bertempat di Puslatpur Marinir Karang
Tekok Situbondo, tanggal 15-17 Oktober 2014, Laboratorium Induk Senjata
(Labinsen) mengadakan uji penembakan Rudal AL-1M (Strella) dalam rangka
uji litbang Modifikasi Rudal AL-1M. Uji litbang ini merupakan realisasi
dari program kerja Labinsen tahun 2014 yang merupakan karya nyata dari
Tim Litbang dari Labinsen. Sedangkan tujuannya untuk mengetahui sampai
sejauh mana sistem penembakan lama dengan hasil modifikasi yang telah
dihasilkan.
Modifikasi yang dilakukan oleh Labinsen
meliputi Inovasi pembuatan mounting yang tadinya harus ditembakan dengan
cara dipanggul oleh penembak (man pad), sekarang dimodifikasi
menggunakan mounting dengan 2 (dua) launcher. Mounting ini dapat bekerja
sesuai dengan baringan dan elevasi yang diinginkan oleh penembak.
Sedangkan cara penembakannya dilakukan dengan System Penembakan Remote
Firing.
Pada Rudal itu sendiri telah
dimodifikasi dengan menambahkan Proximity Fuse sehingga pada jarak
tertentu, Rudal dapat meledak sendiri tanpa harus mengenai sasaran.
Kelebihan system ini adalah untuk penghancuran sasaran udara yang sangat
sulit apabila harus tepat mengenai sasaran (impact).
Setelah melalui uji laboratorium yang
cukup panjang, akhirnya uji penembakan bisa dilaksanakan dengan baik dan
lancar sesuai dengan yang diharapkan dalam pengujian. Penembakan
dilakukan terhadap beberapa rudal AL1-M yg belum di modifikasi dan yang
sudah dimodifikasi, kemudian dilakukan analisa terhadap hasil
penembakan.
Uji litbang tersebut dipimpin langsung
oleh Kalabinsen Kolonel Laut (E) Endarto Pantja I., S.T., M.T., turut
hadir Kepala Arsenal Kolonel Laut (E) Kawahab, S.T. dan Komandan
Puslatpur Letkol Marinir Hadi Santoso. (www.tnial.mil.id)
Minggu, 19 Oktober 2014
TNI AU Siagakan Pesawat Tempur F-5 Jaga Langit Jakarta
pesawat tempur F-5E
TNI
AU menugaskan flight pesawat tempur sergap F-5E Tiger II dari Skadron
Udara 14 Lanud Iswahjudi di Lanud Halim Perdana Kusuma untuk
melaksanakan operasi menjaga keamanan udara Ibu Kota Jakarta sejak,
Sabtu (18/10/2014)
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara
Marsekal Pertama TNI Hadi Tjahjanto mengatakan, selain melaksanakan
operasi Pertahanan Udara kegiatan ini juga dalam rangka pengamanan acara
pelantikan Presiden RI terpilih Joko Widodo pada hari Senin, 20 Oktober
201 .
“Momentum penting demi kesinambungan
pemerintahan Republik Indonesia,” kata Hadi dalam keterangan pers yang
diterima, Minggu (19/10/2014).
TNI Angkatan Udara tidak boleh lengah
dalam mengawasi dan menjaga keamanan dirgantara serta kedaulatan wilayah
udara nasional RI dalam situasi dan kondisi apapun, apalagi dalam acara
penting lima tahunan seperti pelantikan Presiden RI yang keamanannya
harus dijaga.
“Sebab ini bukti pada dunia bahwa Negara
Republik Indonesia hingga periode pemilihan Presiden yang ketujuh
memang negara demokrasi sejati,” lanjutnya.
Flight tempur “Si Macan” tersebut akan
dikendalikan oleh Pusat Operasi Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional
I di Halim dimana dalam operasi pengamanan Ibu Kota akan melaksanakan
patroli udara secara teratur dan siap melaksanakan penyergapan udara
bila dibutuhkan sesuai perkembangan situasi keamanan.
Selain menggelar pesawat tempur F-5E
dalam pengamanan Ibu Kota, TNI Angkatan Udara juga menyiapkan berbagai
skadron udara dari jenis tempur, transport dan helikopter serta Pasukan Khas.
Kondisi ini dilakukan untuk mengamankan
seluruh wilayah Indonesia dengan tujuan mengantisipasi segala
kemungkinan demi memberikan rasa aman bagi rakyat serta mendukung upaya
menjaga keberlangsungan sistem demokrasi negara kita yang tercinta. (www.tribunnews.com)
Code Name: Tim Osman, Wow! Osama bin Laden Adalah Agen CIA!
Code Name : Tim Osman
Wow, Osama bin Laden Adalah Agen CIA!
Mantan Presiden Kuba Fidel Castro
mengeluarkan pernyataan yang kontroversial. Castro mengatakan pemimpin
Al Qaeda Osama Bin Laden adalah agen badan intelijen Amerika Serikat
(CIA).
Menurut Castro, Bush membutuhkan Bin
Laden untuk menakut-nakuti dunia. Castro mengaku mengetahui hal ini
setelah membaca dokumen yang diposting di ‘Wikileaks’.
Dia juga menuduh Bin Laden bekerja untuk gedung putih.
“Bush selalu didukung oleh Bin Laden, dia adalah bawahan Bush,” kata Fidel Castro.
Menurut Castro, setiap saat Bush ingin
menebar rasa takut dan membuat pidato soal itu, Bin Laden akan muncul
dan mengancam orang dengan sebuah cerita tentang apa yang dia lakukan.
Keterangan gambar bawah: Surat rahasia
atau dokumen Osama Bin Laden Agen CIA (kiri) dan surat rahasia atau
dokumen bahwa Tim Osman adalah Osama bin Laden (kanan)
Castro membuat pernyataan ini setelah
bertemu dengan Daniel Estulin, penulis tiga buku tentang rahasia
Bilderberg Club, sebuah klub rahasia yang memanipulasi sistim ekonomi
dan sistem politik sejagad.
Salah satu anggota klub ini bekas Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat, Henry Kissinger, pejabat eropa terkemukan
dan para eksekutif bisnis.
Henry Alfred Kissinger (lahir Heinz
Alfred Kissinger di Fürth, Bavaria, Jerman, 27 Mei 1923; umur 90 tahun)
adalah mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan pemenang Nobel
Perdamaian.
Setelah naiknya Nazi ke puncak kekuasaan
dan menjalankan kebijakan anti-Semitisme, ia beserta keluarganya lari ke
Amerika Serikat pada 1938.
Henry Kissinger belajar ilmu politik dan
pada 1954 mendapat gelar doktor dari Harvard University dan pada 1962
guru besar tata negara.
Dari 1969 ia adalah Penasihat Keamanan
Nasional USA. Menerima Penghargaan Perdamaian Nobel pada 1973 bersama
dengan Le Duc Tho, seorang pejuang, jenderal, diplomat, dan politikus
Vietnam, namun Le Duc Tho menolak.
Dari Agustus 1973 sampai 1977 ia adalah MenLu AS di bawah presiden Richard Nixon dan diteruskan pada masa Gerald Ford.
Disarankan juga kepada anda untuk mencari
di google, search dengan “operation false flag”, kemudian cari tahu
juga mengenai “tim osman”.
Tim Osman adalah kode nama salah satu
agen CIA yang telah bekerja setia pada CIA selama bertahun – tahun.
Tidak lain itu adalah Osama bin Laden, yaitu orang yang mengaku dan
dianggap bertanggung jawab atas peristiwa 9/11.
Semuanya itu tercatat dengan jelas di dalam dokumen CIA, yang menyatakan tentang kedatangan Osman = Usama/Osama Bin Ladin (OBL).
Kata pepatah buah tidak akan jauh dari
pohonnya, coba kita cari di google anak osama bin laden, anda akan
menemukan nama anak osama adalah omar, trus anda akan mendapatkan
foto-fotonya seperti ini (jejakbrowsing@wordpress / berbagai sumber / whatreallyhappened)
Yonif 413/Bremoro Jadi Batalyon Mekanis
Sebanyak 13 Tank Marder buatan Jerman
mulai memperkuat Kompi A Batalyon Infanteri (Yonif) 413/Bremoro, yang
resmi menjadi Batalyon Mekanis (17/10/2014). Ke-13 Tank tersebut tiba di
Markas Komando Yonif 413 Mekanis/Bremoro, Kostrad di Jalan
Solo-Tawangmangu, Desa Palur, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo.
Tank-tank seberat 33 ton itu diangkut dengan trailer khusus. Pertama, tank yang baru datang dari Surabaya, tiba pukul 09.30 WIB.
Puluhan personel TNI pun ikut mengamankan penurunan Tank Marder yang
masuk ke Markas Kompi A. Tak ayal kedatangan tank-tank marder itu
menjadi tontonan ratusan warga.
“Penasaran dengan tank. Saya nunggu sejak jam 08.00 WIB,” ujar salah seorang warga bernama Sutarto (50 th).
Komandan Brigif 6/2 Kostrad, Kolonel Inf Agung Pambudi melalui Kepala
Staf Brigif 6/2 Kostrad, Letkol Inf Aminton mengungkapkan bahwa, 13
tank tersebut baru saja digunakan untuk acara puncak peringatan HUT TNI
ke-69 di Surabaya, Jawa Timur.
Ke-13 tank itu direncanakan akan digunakan untuk prajurit Yonif
Mekanis 413/Bremoro. “Sesuai arahan Mabes TNI, dijadikan Batalyon
Mekanis. Semua sudah dipersiapkan, mulai dari sumber daya manusia (SDM)
dan perlengkapan,” kata Aminton.
Dia menjelaskan, kedatangan 13 tank dikawal oleh dua mekanik ahli
dari Jerman. Tank tersebut dalam kondisi prima, sehingga dalam waktu
dekat sudah bisa dioperasikan. Dengan belasan tank itu, akan menambah
alusista.
“Menambah kekuatan keamanan di Soloraya. Ada rencana untuk dikenalkan
kepada warga Soloraya. Kami masih konsolidasikan soal itu. Yang penting
tank yang ditunggu beberapa bulan ini, akhirnya tiba,” jelasnya.
Brigif 6/2 Kostrad membawahi tiga batalyon. Yakni 411 di Salatiga, 412 di Purworejo dan 413 di Palur, Sukoharjo.
Khusus untuk 413, memang diproyeksikan menjadi batalyon khusus
mekanis. Disamping kemampuan Raider, juga kemampuan dalam Tank Marders. (sindonews.com).
Sabtu, 18 Oktober 2014
Operasi Woyla 1981: Pembebasan Sandera Pembajakan Pesawat Garuda di Thailand
Operasi Woyla 1981: Pembebasan Korban Pembajakan Pesawat Garuda di Thailand
Peristiwa pembajakan pesawat Garuda
DC-9 Woyla ini terjadi selama empat hari dan menjadi peristiwa terorisme
bermotif “jihad” pertama yang menimpa Indonesia dan semoga hanya
menjadi satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.
Peristiwa Woyla adalah sebuah
peristiwa dalam penerbangan maskapai Garuda Indonesia bernama “Woyla”
dengan nomer penerbangan 206, berkode ekor PK-GNJ, rute jurusan Jakarta –
Medan, namun harus transit dahulu dipelabuhan udara sipil Talangbetutu,
Palembang dan berencana akan ke Bandara Polonia Medan, tapi kemudian
pesawat itu mengalami insiden pembajakan saat lepas landas dari
Palembang.
Peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu,
tanggal 28 Maret 1981 oleh lima orang teroris yang dipimpin Imran bin
Muhammad Zein, dan mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok Islam
ekstremis “Komando Jihad” adalah kelompok
ekstrimis Islam Indonesia yang ada dari tahun 1968 sampai dibubarkan
melalui aksi pembersihan oleh anggota intelijen pada pertengahan tahun
1980-an.
Penerbangan dengan pesawat DC-9 Woyla
berangkat dari Jakarta pada pukul 08.00 pagi, transit di Palembang, dan
akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55.
Dalam penerbangan, pesawat tersebut tiba-tiba dibajak oleh lima orang teroris Komando Jihad yang menyamar sebagai penumpang, lalu pembajak menyuruh pilot untuk terbang ke Penang Malaysia.
Setelah mendarat sementara untuk mengisi
bahan bakar di Bandara Penang, Malaysia, akhirnya pesawat tersebut
terbang dan mengalami drama puncaknya di Bandara Don Mueang di Bangkok,
Muangthai tanggal 31 Maret 1981.
Imran bin Muhammad Zein, pemimpin ‘sel’ kelompok Komando Jihad yang melakukan peristiwa teror ini menuntut agar para rekannya yang ditahan pasca Peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat, supaya dibebaskan.
Dalam Peristiwa Cicendo, 14 anggota
Komando Jihad membunuh empat anggota polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret
1981 dini hari. Usai peristiwa itu, sejumlah anggota Komando Jihad
ditahan dan terancam hukuman mati.
Peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla
ini menjadi peristiwa terorisme bermotif “jihad” pertama yang menimpa
Indonesia dan satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.
Kronologi Peristiwa
Sabtu pagi 28 Maret 1981,
pesawat Garuda Indonesia GA 206 tujuan Medan tinggal landas dari
Bandara Talangbetutu, Palembang. Pembajakan bermula saat pesawat yang
dikemudikan Kapten Herman Rante mendarat sejak penerbangannya dari
Jakarta, lalu transit di Palembang.
Pesawat di piloti oleh Kapten Pilot
Herman Rante dan co-pilot Hedhy Djuantoro, dan tiga pramugari, Retna
Wiyanna Barnas, Dewi Yanti dan Lydia.
Pesawat di piloti oleh Kapten Pilot
Herman Rante dan co-pilot Hedhy Djuantoro, dan tiga pramugari, Retna
Wiyanna Barnas, Dewi Yanti dan Lydia.
Awalnya, penumpang pesawat berisi 33
penumpang dari Jakarta dan 15 penumpang tambahan dari Palembang saat
transit, jadi total 48 orang didalamnya ditambah 5 krew pesawat tersebut
(2 krew kokpit dan 3 crew kabin).
Baru saja setelah Kapten Pilot Herman Rante yang menerbangkan DC-9 Woyla lepas landas dari Pelud Sipil Talang Betutu, Palembang seusai transit untuk menuju Bandara Polonia, Medan.
Tiba-tiba dua penumpang bangkit dari
tempat duduk mereka, satu menuju ke kokpit dan menodongkan senjata.
Sedangkan satunya lagi berdiri di gang antara tempat-duduk pesawat.
Dari dalam kokpit, tiba-tiba co-pilot
Hedhy Juwantoro mendengar suara ribut di arah belakang. Baru saja akan
berpaling, seorang menyerbu ke dalam kokpit sambil berteriak, “Jangan
bergerak, pesawat kami bajak…”
Sabtu pagi 28 Maret 1981, pukul 10.10, pesawat
tersebut dikuasai oleh lima pembajak, semuanya bersenjata api. Pembajak
meminta pesawat terbang ke Kolombo, Sri Lanka. Permintaan tersebut
tidak mungkin dipenuhi, sebab bahan bakar terbatas. Pembajak lantas
mengatakan:
“Pokoknya terbang sejauh-jauhnya dari Indonesia” teriak Mahrizal, seorang pembajak.
Kemudian pesawat dialihkan ke Penang, Malaysia, untuk pengisian bahan bakar. Lalu, DC-9 Woyla meninggalkan Malaysia setelah mengisi bahan bakar, menuju ke Bandara Don Mueang, Thailand.
Ketika masih di bandara Penang Malaysia untuk mengisi bahan bakar, seorang penumpang wanita lanjut usia bernama Hulda Panjaitan.
Nenek yang berumur 76 tahun itu diperbolehkan turun oleh para teroris karena ia tak henti-hentinya menangis di dalam pesawat.
Kemudian pesawat itu terbang lagi ke
Thailand atas paksaan teroris dan adanya penerimaaan pemerintah Thailand
untuk mengizinkan pesawat tersebut mendarat di wilayahnya.
Para teroris kemudian membacakan tuntutan mereka, yaitu:
1. Anggota Komando Jihad di Indonesia yang berjumlah 80 orang sebagai tahanan politik segera dibebaskan.
2. Meminta uang sejumlah US$ 1,5 juta.
3. Orang Israel dikeluarkan dari Indonesia.
3. Adam Malik dicopot sebagai Wakil Presiden.
Mereka juga meminta pesawat itu untuk pembebasan tahanan dan untuk terbang ke tujuan yang dirahasiakan.
Mereka mengancam telah memasang bom di pesawat Woyla dan tidak segan untuk meledakkan diri bersama pesawat tersebut.
Operasi Pembebasan
Operasi pembebasan pesawat DC-9 dikenal dengan sebutan Operasi Woyla yang dimulai sehari setelah tersiarnya kabar pembajakan tersebut.
Berita pertama pembajakan tersebar pukul
10.18, saat Captain Pilot A. Sapari dengan pesawat Fokker-28 Garuda
Indonesia nomer penerbangan 145, jurusan Pekanbaru – Jakarta, yang baru
tinggal landas dari Bandara Simpang Tiga, Pekan Baru mendengar panggilan
radio dari GA 206 yang berbunyi:
“..being hijacked, being hijacked”.
Berita tersebut langsung diteruskan ke
Jakarta, berita yang mengejutkan petugas keamanan karena pada saat
bersamaan juga diadakan latihan gabungan yang melibatkan semua unsur
pasukan tempur di Timor-Timur hingga Halmahera.
Berita tersebut juga diterima oleh Wakil Panglima ABRI pada kala itu, yaitu Laksamana Sudomo yang masih berada di Jakarta.
Kelompok khusus militer Indonesia yang baru dibentuk saat itu adalah Kopassandha (Komando Pasukan Sandi Yudha – nama satuan Kopassus saat itu), meminjam sebuah pesawat DC-9 untuk mempelajari situasi.
Sudomo langsung meneruskan berita
tersebut kepada Kepala Pusat Intelijen Strategis Benny Moerdani yang
langsung menghubungi Asrama Kopasandha (Sekarang Kopassus) yang diterima
oleh Asisten Operasi Kopasandha LetKol. Sintong Panjaitan.
Benny memberitahu tentang dibajaknya
pesawat Garuda, berapa jumlah pembajak, apa motivasinya, kemana tujuan
dan apa tuntutannya masih belum diketahui.
“..yang pasti, saya langsung
diperintahkan menyiapkan pasukan”, kenang Sintong, yang pada saat itu
kakinya masih dibalut gips sehingga ia tidak bisa berangkat untuk
latihan gabungan.
Dari Thailand dikabarkan pula bahwa pesawat mendarat di bandara Don Muang, Thailand.
Latihan dan Persiapan Pasukan Anti Teror
Sabtu malam 28 Maret 1981, pukul 19.25,
di Jakarta, Kepala Bakin (sekarang BIN) Jenderal Yoga Sugomo berangkat
ke Bangkok. Menurut berita yang dia peroleh, para pembajak lima lelaki
berbicara bahasa Indonesia. bersenjatakan pistol, granat dan kemungkinan
dinamit.
Para pembajak menuntut Indonesia membebaskan tahanan Peristiwa Cicendo,
komplotan Warman serta Komando Jihad. Para tahanan diminta diterbangkan
disuatu tempat diluar Indonesia dan meminta uang sebesar 1.5 juta
dollar AS. Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, mereka mengancam akan
meledakkan Woyla beserta penumpangnya.
Sabtu malam 28 Maret 1981, pukul sepuluh lebih,
Kol Teddy Rusdi, Benny Moerdani dan Sudomo diterima Presiden Suharto di
Cendana. Hasil akhir pembicaraan menyimpulkan bahwa opsi militer akan
dilakukan untuk membebaskan pesawat tersebut. Pada saat terjadinya
peristiwa ini, pasukan komando Indonesia belum memiliki pengalaman dalam
menangani peristiwa terorisme pembajakan pesawat.
Minggu 29 Maret 1981, pukul 21.00,
sejumlah 35 anggota Kopassandha meninggalkan Indonesia dalam sebuah
DC-10, mengenakan pakaian sipil. Pemimpin CIA di Thailand menawarkan
pinjaman jaket anti peluru, namun ditolak karena pasukan Kopassandha
Indonesia telah membawa perlengkapan mereka sendiri dari Jakarta.
Minggu pagi telepon di meja Benny
berdering. Dubes Amerika Serikat Edward Masters mengkhawatirkan akan
keselamatan warganya yang berada di GA 206, apabila opsi militer
dilakukan.
“I am sorry sir, but
this is entirely an Indonesian problem. It is an Indonesian aircraft”
jawab Benny. Ditegaskan Indonesia berhak mengambil segala langkah dalam
meringkus pembajak dan tidak perlu izin dari negara lain. We don’t
guarantee anything..”
Minggu 29 Maret 1981, pukul 21.00 lebih, setelah mendapat clearance
dari pemerintah Thailand. bahwa pasukan anti teror boleh mendarat,
Indonesia diizinkan mengirim pesawat terbang untuk menjemput sandera.
Benny memutuskan menggunakan Garuda DC-10 Sumatera, pesawat ini lebih
cepat dan lebih lama terbang dari DC 9.
“..karena antisipasi
pesawat yang dibajak kemungkinan akan dipakai terbang sampai ke Libya”
kenang Subagyo HS yang saat itu berpangkat Mayor di Grup IV Kopasandha.
Latihan 2 hari di hanggar Garuda dengan
pesawat DC 9, telah memantapkan tekad pasukan khusus anti teror untuk
secepatnya meringkus pembajak. Sudah dua tahun pasukan khusus anti teror
terbentuk, mereka terus berlatih tapi belum pernah punya kesempatan
muncul.
Baru kali ini, mereka akan melakukan
operasi dan yang lebih membanggakan, bertempur diwilayah negara asing.
Pasukan belum berangkat menunggu perintah Benny, penanggung jawab
operasi.
Begitu Benny datang bukan perintah
berangkat yang didengar, tetapi “Bagaimana latihan kalian?”. “Siap pak”
jawab Sintong mantap. Dalam kesempatan itu, Benny juga membagikan kotak
amunisi.
Sintong lansung ingat sewaktu Operasi Dwikora. Perlengkapan baru sering malah bisa menyulitkan. Sering terjadi peluru tidak meledak, akibat belum dibiasakan penggunaannya.
Trauma tersebut masih membekas, karena
itu dia merasa yakin, sebuah peralatan yang belum pernah dicoba serta
dibiasakan penggunaannya, bisa membahayakan. Dengan mengumpulkan segala
keberanian, Sintong kemudian berkata,
“Jangan Pak, jangan bagikan peluru tersebut. Kami belum terbiasa.”
“Lho, ini peluru bagus, yang terbaru. Gunakan saja..” Tegas Benny.
“..Kami harus mencobanya dulu.” jawab Sintong menolak.
Terlihat nada kesal dalam jawaban Benny, “..ya sudah, cobalah”
Pasukan segera mencari tempat untuk uji
coba. peluru dibagikan dan ditembakkan. Yang terdengar justru bunyi,
“Pakh, pakh,pakh..pakh”. Ternyata tidak satupun peluru meletus.
Benny terkejut menyaksikan kejadian itu.
Meski bukan kesalahannya, tetapi perasaannya lebih galau, melebihi
semuanya. Dalam hati, Sintong bergumam, “Untung belum berangkat..”
Benny langsung menyuruh anak buahnya ke
Tebet untuk mengambil amunisi baru. Pasukan khusus anti teror memang
sengaja dibekali dengan jenis peluru yang mematikan tapi tidak akan
menembus dinding pesawat. Sehingga, kalau berlangsung pertempuran dalam
kabin, dinding pesawat tidak bakal rusak.
Mengingat sifatnya, jenis peluru
termaksud hanya bisa tahan enam bulan sudah harus diganti baru. Masalah
tersebut agaknya terlalaikan petugas perlengkapan. Sesudah kiriman
peluru pengganti tiba dan diujicoba, Benny memberi isyarat untuk
berangkat. Sintong melirik jamnya, penerbangan mereka sudah tertunda
lebih dari satu jam.
Pasukan Anti Teror Tiba di Bangkok, Thailand
Senin 30 Maret 1981, dini hari, pukul 00.30,
pesawat DC-10 tiba di Don Muang dengan berkamuflase menjadi pesawat
Garuda yang baru terbang dari Eropa. Pesawat diparkir dilokasi yang agak
jauh dari Woyla.
Kendaraan pasukan angkatan udara Thailand
tiba, dan seorang perwira penghubung membawa Benny menemui Menlu
Thailand Siddi Savitsila. Perundingan yang deadlock menyebabkan clearance
untuk menyerbu pesawat tidak bisa diberikan, maka menlu Thailand
mempertemukan Benny dengan PM Thailand Prem Tinsulanonda esok paginya.
Senin 30 Maret 1981, pagi, pukul 06.00, Benny
bersama Yoga Sugomo, Dubes Indonesia untuk Thailand Habib dan Dirjen
Perhubungan Udara Sugiri bertemu PM Thailand dikediaman resminya.
Dalam pertemuan tersebut, pada awalnya
pemerintah Thailand tidak bersedia memberi izin operasi militer,
sementara pemerintah Indonesia tetap meminta izin Thailand, untuk
menyelesaikan sendiri pembajakan tersebut.
Akhir perundingan, PM Prem menyatakan akan memberi keputusan pada pukul 11 hari itu juga.
“Saya selalu menganggap nasi goreng Bangkok terenak di dunia”, ujar Benny.
Maka Benny ditemani Kolonel Rosadi, atase
pertahanan makan pagi, sementara lainnya pulang ke hotel. Ditempat itu
Benny bertemu dengan Chief Station CIA untuk Thailand.
Dalam pembicaraan yang berkembang, Benny kemudian meminjam flak jacket, (jaket/rompi antipeluru) karena lupa membawa dari Jakarta. Tapi ternyata didalam pesawat DC-10 sudah tersedia, maka flak jacket
itu tidak jadi dipakai. Meski nantinya memunculkan wacana, seolah-olah
AS memberi bantuan peralatan tempur kepada pasukan Indonesia.
Selepas tengah hari clearance
untuk menyerbu sudah diberikan oleh PM Prem, Benny menetapkan, serbuan
akan dilakukan sebelum fajar. Tak lupa pula dia meminta petugas Garuda
di Don Muang menyiapkan 17 peti mati.
Sementara itu suasana tegang semakin ganas dengan menetapkan deadline atas tuntutan mereka, Yoga dengan sabar melayani segala macam tuntutan tersebut sambil mengulur waktu.
Ketegangan yang sama juga terasa di kabin
DC-10, menunggu adalah pekerjaan yang paling menjengkelkan. Tanpa ada
pemecahan maka anak buahnya akan tegang tanpa guna, maka Sintong
memerintahkan anak buahnya untuk tidur.
“Hampir semuanya langsung tertidur, merasa lepas dari beban. Mereka saling mendengkur, adu keras..”
Senin 30 Maret 1981, malam hari,
pasukan anti teror satu demi satu turun dari pesawat DC-10. Sekali lagi
mereka melakukan latihan ulangan menggunakan DC-9 Digul. Pada
kesempatan tersebut, Sintong mengajak pilot Garuda untuk ikut menonton.
Sebelum Sintong turun dari pesawat,
Sintong sudah memutuskan untuk membuang tongkat penyangga kakinya. “..
masa, perwira komando, memimpin operasi dengan tongkat.”
Latihan ulangan berlangsung dengan baik,
semua anggota tahu apa yang harus dilakukan, Sintong memperkirakan dalam
lima menit pasukannya sudah dapat menguasai pesawat.
Begitu latihan selesai, seorang pilot Garuda mendekati Sintong, “Pak.. maaf Pak”. ” Ya ada apa?” tanya Sintong ingin tahu.
”Tadi waktu bapak latihan, memang
semuanya bisa demikian, kalau pintu samping dibuka dari luar, dengan
mudah anak buah bapak bisa menyerbu masuk. Tetapi kalau pintu darurat
yang dibuka, yang langsung keluar karet peluncur untuk pendaratan
darurat..”
“Yailah..” teriak Sintong. “Terimakasih,
.. terimakasih” Bisa dia bayangkan, tanpa ada pemberitahuan tersebut,
dalam penyerbuan masuk ke kabin, anak buahnya pasti berhamburan
terlempar ke bawah dari pintu darurat, dihantam tangga peluncur emergency.
Sekali lagi latihan diulang. Faktor
munculnya tangga penyelamat dari pintu darurat, diperhitungkan. Dengan
masukan tambahan tersebut, Sintong justru menemukan langkah penangkal.
Begitu pintu darurat dibuka dari luar, seorang anggota wajib menahan
munculnya tangga pendaratan darurat. Pada saat bersamaan, anggota lain
sudah harus menyerbu masuk kabin.
Benny memutuskan serangan dilakukan pada
pukul 03.00. Jarum jam menunjukkan pukul 02.00, pasukan sudah siap
dengan perlengkapan tempur, pakaian loreng dan baret merah. Briefing terakhir sudah selesai. “Tunggu apa lagi? Saya segera perintahkan, berangkat…” kenang Sintong.
Sementara di dalam pesawat yang dibajak,
para teroris sudah mulai lelah. Menurut para penumpang yang akhirnya
menjadi saksi-mata, para pembajak mulai menceritakan keluh-kesah mereka,
tentang anaknya, istrinya atau keluarganya.
Hal ini membuat para pembajak mulai lengah. Pada saat itu seorang penumpang warga negara Inggris bernama Robert Wainwright, berusia 27 tahun, memanfaatkan situasi itu.
Ia berhasil melarikan diri dengan cara membuka pintu darurat, loncat keluar dari pesawat, dan berhasil selamat.
Enam jam kemudian, seorang warga negara
Amerika bernama Schneider, berusaha melarikan diri, namun tertembak dan
tersungkur di aspal disaksikan istrinya, Carol Schneider.
Setelah peristiwa itu, para pembajak
marah besar. Mereka pengumpulkan semua penumpang dibagian depan pesawat
dan tidak ada yang boleh berbicara.
Penyerbuan ke Pesawat Woyla
Selasa 31 Maret 1981, dini hari, pukul 02.30, prajurit bersenjata mendekati pesawat secara diam-diam. Mereka merencanakan agar Tim Merah dan Tim Biru memanjat ke sayap pesawat dan menunggu di pintu samping. Semua jendela pesawat telah ditutup. Tim Hijau akan masuk lewat pintu belakang. Semua tim akan masuk ketika kode diberikan.
Mereka dijemput mobil. Untuk menjaga
kerahasiaan, seluruh pasukan diminta berbaring dilantai kendaraan. “Saya
duduk di atas anak-anak, injek-injekan” kata Benny. Sintong sangat
terkejut, ketika pasukan sudah meninggalkan mobil dan berjalan menuju
Woyla, tiba-tiba saja Benny menyusup masuk ke dalam barisan. Ini diluar
skenario.
Tubuh Benny terlihat jelas, ditengah
deretan pasukan berseragam. Dia memakai jaket hitam, tangan kanannya
memegang sepucuk pistol mitraliur. Perwira tinggi tersebut nampak
menonjol karena satu-satunya yang tidak berseragam dan tidak juga
memakai baret merah.
Sambil berbisik, Sintong memerintahkan
anak buahnya yang jalan paling dekat. “So, Roso, keluarkan dia. Jangan
biarkan Pak Benny ikut..”. “Pak, saya nggak berani”, jawab Letnan
Suroso, juga dengan berbisik.
Sementara itu dalam pikiran Benny, “Tempat terbaik bagi saya, harus bersama mereka..”
Tentu saja dia mengabaikan kenyataan, bahwa dirinya seorang jenderal dengan tiga bintang.
Benny juga bukan komandan lapangan, yang
memang harus selalu ikut menanggung resiko menghadang maut digaris
depan. Dia juga tidak mempedulikan, kemungkinan peluru nyasar, justru
akan bisa menyeret akibat fatal.
Tetapi Benny tetap dalam doktrin
pribadinya. Seorang pemimpin harus bersama anak buah. Sesuatu yang
memang sudah dia buktikan selama terjun dalam berbagai palagan.
“Saya beranggapan, nilai politik
psikologinya besar sekali. kalau pun saya ikut mati tertembak, tetap
bisa membuktikan, pemerintah Indonesia tidak pernah menyerah dalam
menghadapi tuntutan pembajak.”
Selasa 31 Maret 1981, dini hari, pukul 02.43,
Tim Thailand ikut bergerak ke landasan, menunggu di landasan agar tidak
ada teroris yang lolos. Kode untuk masuk diberikan, ketiga tim masuk,
dengan Tim Hijau terlebih dahulu, mereka berpapasan dengan seorang teroris yang berjaga di pintu belakang.
Selasa 31 Maret 1981, dini hari, tepat pukul 02.45,
serbuan dimulai. Menurut kesaksian penumpang, dalam kegelapan malam,
semua pintu kabin pesawat segera terdengar didobrak dari luar. Sekejap
kemudian bunyi tembakan riuh membangunkan seluruh isi pesawat.
Dalam skenario awal, pasukan anti teror
akan mendobrak pintu depan kiri. Disusul pendobrakan bersama, pintu
darurat dan belakang. Setelah tahap ini selesai, seluruh pasukan
serentak menyerbu ke kabin. Skenario tersebut tidak sepenuhnya
terlaksana berurutan.
Pembantu Letnan Achmad Kirang dari arah
pintu belakang sudah terlanjur masuk sebelum pintu depan didobrak.
Pembajak yang berjaga di bagian belakang sempat terjaga dan langsung
menembak. Akibatnya, Kirang tidak sempat menunduk ketika sebuah peluru
menembus tubuhnya. Tepat kena perut, bagian yang tidak tertutup flak jacket.
Teroris tersebut menembak dan mengenai Achmad Kirang, salah seorang anggota Tim Hijau di bagian bawah perut yang tidak terlindungi. Teroris tersebut kemudian ditembak dan tewas di tempat.
Tim Biru dan Tim Merah
masuk, menembak dua teroris lain, sementara penumpang menunduk. Para
penumpang kemudian disuruh keluar. Seorang teroris dengan granat tangan
tiba-tiba keluar dan mencoba melemparkannya tetapi gagal meledak. Lalu
anggota tim menembak dan melukainya sebelum dia sempat keluar.
Teroris terakhir dinetralisir di luar
pesawat. Imran bin Muhammad Zein selamat dalam peristiwa baku tembak
tersebut dan ditangkap oleh Satuan Para Komando Kopassandha.
Dalam pertempuran singkat di dalam
pesawat tidak semua pembajak langsung tertembak mati. Sementara itu
Achmad Kirang dan Captain Herman Rante justru luka parah kena peluru.
Tim medis kemudian datang untuk menyelamatkan pilot pesawat DC-9 Woyla, Kapten Herman Rante, yang ditembak salah satu teroris dalam serangan tersebut.
Hendrik Seisen, seorang penumpang berkewarganegaraan Belanda melukiskan:
“I woke up when I heard
a lot of noise and what certainly looked like shooting. It seemed like
in the time of two seconds the whole plane filled up with commandos..”
Seisen menambahkan:
“When the shooting started we ducked below the seats. I didn’t want to look. I was terrified”
Drama pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla tersebut berlangsung empat hari di Bandara Don Mueang Bangkok dan berakhir pada tanggal 31 Maret setelah serbuan kilat Grup-1 Para-Komando yang dipimpin Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan.
Dengan cepat semua sandera dibebaskan. Pesawat Woyla sepenuhnya sudah dikuasai Kopasandha.
Mimpi buruk yang dialami semua awak
pesawat dan penumpang sejak Sabtu pagi, berakhir Selasa dini hari.
Begitu Woyla sudah berhasil dikuasai, Benny menyambar mic kokpit.
“This is two zero six, could I speak to Yoga please?”
“Yes, Yoga here”
“Pak Yoga, Benny ini..” teriak Benny.
“Diancuk. Neng endi kowe..?” tanya Yoga sambil mengumpat.
“Dalam pesawat Pak”
“Jangan main-main kamu..”
“Saya memang dipesawat. Sudah selesai semua, beres..”
Kecuali anggota pasukan yang dia pimpin,
Benny memang tidak menceritakan rincian rencana penyerangan pembajak
yang dia rancang. Juga tidak kepada Yoga.
Kala itu, tiga pembajak tewas seketika
ditangan pasukan penyerbu. Dua pembajak lain menderita luka parah.
Tetapi yang paling melegakan seluruh penumpang tidak ada satu pun
mengalami cedera berarti.
Sementara Achmad Kirang meninggal tanggal
1 April dalam perawatan di RS Bhumibhol, Bangkok, begitu pula Captain
Herman Rante, meninggal di Bangkok, enam hari setelah operasi
penyergapan berlangsung.
Pilot pesawat Garuda, Kapten Herman Rante
dan Achmad Kirang, salah satu anggota satuan Para-Komando Kopassandha,
meninggal dalam baku tembak yang berlangsung selama operasi kilat
pembebasan pesawat tersebut.
Kedua korban peristiwa terorisme ini kemudian dimakamkan di TMP Kalibata.
Operasi kontra terorisme ini dilakukan oleh Grup-1 Para-Komando dibawah pimpinan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan.
Hasil dari baktinya, ia beserta timnya
dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat, kecuali
Achmad Kirang yang gugur di dalam operasi tersebut, dinaikkan
pangkatnya dua tingkat secara anumerta.
Pasca Pembajakan
Selasa 31 Maret 1981, setelah subuh, pukul 05.00,
pesawat DC-10 Sumatera meninggalkan Don Muang, membawa pulang pasukan
khusus anti teror. Dua pembajak yang luka parah tidak sempat
diselamatkan nyawanya oleh tim kesehatan Kopasandha. Sehingga kelima
mayat pembajak, Machrizal, Zulfikar, Wendy M Zein, Abu Sofyan dan
Imronsayah, langsung diterbangkan ke Jakarta pagi itu pula.
Dari udara, pemandangan kota Jakarta
siang itu terasa elok. Sejak pagi masyarakat sudah dibangunkan dengan
berita radio sekitar keberhasilan pasukan khusus anti teror menyergap
pembajak Woyla.
Semua bangga, drama mencekam selama tiga
hari akibat pembajakan telah berakhir, Pemerintah Indonesia terbukti
tidak mau menyerah kepada pembajak. Kabar tersebut menjadikan warga
Jakarta berbondong – bondong ke Bandara Halim Perdanakusuma.
Selasa 31 Maret 1981, pagi hari, pukul 08.00,
lebih beberapa menit, roda-roda pesawat DC-10 Sumatera menyentuh
landasan Halim Perdanakusuma. Benny dengan wajah serius tanpa senyum,
menyelinap keluar dari pintu di ekor pesawat, tanpa memperhatikan
sambutan ratusan penjemput.
Baju safari warna gelap yang dia pakai,
sangat kontras dengan seragam loreng berbaret merah pasukan khusus
antiteror yang keluar dari pintu depan.
Pagi harinya, koran The Asian Wall Street Journal menulis:
“It isn’t that
Indonesians don’t deserve the same credit and honor that Israel and the
West German commandos earned for similiar gallantry at Entebbe and
Mogadishu. it is a pity because there is abroader point to be made”.
Tajuk rencana koran The Asian Wall Street Journal
tersebut segera menambahkan, negara-negara dunia ketiga selalu dianggap
tidak pernah memiliki disiplin dan tidak bisa bekerja dengan efisien.
Demikian juga umumnya komentar terhadap penampilan tentara Indonesia.
“well it took a high order of soldiering to rescue a plane load of hostages without taking one innocent life”.
Lebih lanjut koran tersebut menunjukkan,
“From hijack to the
last gun shot, the entire operation lasted about 60 hours. It required a
high degree of organisation and planning. It also required courage,
efficiency and discipline”.
Seorang anggota pasukan anti teror, TJP Purba ketika diwawancara koran The Bangkok Post mengatakan,
“Our principle is simple, silent, decisive and aggressive”
Imran bin Muhammad Zein selaku otak
peristiwa pembajakan pesawat DC-9 ini kemudian dijatuhi hukuman mati
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 1981.
Imran merupakan salah seorang yang
terlibat dalam Peristiwa Cicendo bersama Maman Kusmayadi, Salman Hafidz,
serta 11 orang lainnya.
Begitu pula dengan Maman dan Salman, yang bernasib sama dengan Imran, dan dieksekusi hukuman mati.
Sebagai tambahan informasi, pasukan
Kopasandha yang melakukan penyerbuan pesawat Woyla menjadi embrio
terbentuknya unit anti-teror di Kopassus saat ini, yaitu SAT-81 Gultor.
(sumber: wikipedia/kutipan tentang
pembajakan pesawat Woyla, satu-satunya pembajakan pesawat yang terjadi
di Indonesia, yang dikutip dari buku biografi Benny Moerdani/berbagai
sumber)
Ketika Suharto Dipecat Secara Tidak Hormat Oleh Jenderal Nasution
Pada artikel kali ini, kami akan mencoba
menguak sedikit dari banyaknya tandatanya-tandatanya besar yang masih
tersimpan di saku tiap rakyat Indonesia yang tercinta ini dan belum
terjawab, bahkan tak akan pernah terjawab.
Hal itu dilakukan karena pada masa rezim New Order
atau Orde Baru itu, banyak sekali sejarah-sejarah yang tak boleh
dipublikasikan, ditulis ulang, dibengkokkan, lalu di propagandakan
melalui media-media zombie yang pada masa lalu, bagai ‘media
peliharaan’.
Suharto, presiden diktator era ‘Orde Baru’ (New Order) yang berkuasa selama 32 tahun, yang selalu menang dalam pemilu sebanyak 6 kali berturut-turut alias hat trick
dua kali oleh pemilihan presiden secara tak langsung (dipilih oleh
DPR/MPR), lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921.
Ia lahir dari keluarga petani yang menganut Kejawen.
Keyakinan keluarganya ini kelak terus dipeliharanya hingga hari tua.
Karir Suharto diawali sebagai karyawan di sebuah bank pedesaan, walau
tidak lama.
Dia sempat juga menjadi buruh dan kemudian menempuh karir militer pertama kali sebagai prajurit KNIL yang berada di bawah kesatuan tentara penjajah Belanda. KNIL adalah singkatan dari bahasa Belanda; het Koninklijke Nederlands(ch)- Indische Leger, atau secara harafiah: Tentara Kerajaan Hindia Belanda.
Saat Jepang masuk di tahun 1942, Suharto bergabung dengan PETA, yaitu singakatan dari tentara sukarela Pembela Tanah Air (kyōdo bōei giyūgun?) adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia dalam masa pendudukan Jepang.
Ketika Soekarno memproklamirkan kemerdekaan, Soeharto bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat atau biasa disingkat dengan TKR, adalah sebuah nama angkatan perang pertama yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
TKR dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945
berdasarkan maklumat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia. TKR dibentuk dari hasil peningkatan fungsi Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang sudah ada sebelumnya dan tentara intinya diambil dari bekas PETA.
Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949
Salah satu ‘prestasi’ kemiliteran Suharto
yang sering digembar-gemborkannya semasa dia berkuasa adalah Serangan
Umum 1 Maret 1949 atas kota Yogyakarta.
Bahkan ‘prestasi’ ini sengaja difilmkan dengan judul ‘Janur Kuning’ pada tahun 1979, yang memperlihatkan jika serangan umum itu diprakarsai dan dipimpin langsung oleh Letkol Suharto.
Padahal, sesungguhnya serangan umum itu diprakarsai oleh Sultan Hamengkubuwono IX.
Sultan Hamengkubuwono IX lah yang memimpin serangan umum melawan Belanda, bukan Soeharto.
Hamengkubuwono IX adalah seorang
nasionalis yang memiliki perhatian terhadap nasib rakyatnya, karena itu
ia tidak mau untuk di jajah. Kedepannya, Sultan Hamengkubuwono IX
menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia.
Nasution Pecat Suharto Secara Tak Hormat Dari Pangdam Diponegoro
Pada 1959, Suharto yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Diponegoro dipecat oleh Jenderal Abdul Haris Nasution
dengan tidak hormat, karena Suharto telah menggunakan institusi
militernya untuk mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa
Tengah.
Suharto kala itu juga ketahuan ikut
kegiatan ilegal berupa penyelundupan gula dan kapuk bersama Bob Hasan
dan Liem Sioe Liong. Untuk memperlancar penyelundupan ini, didirikan
perusahaan perkapalan yang dikendalikan Bob Hasan.
Konon, dalam menjalankan bisnis haramnya ini, Bob menggunakan kapal-kapal ‘Indonesian Overseas’
milik C.M. Chow. Mungkin, sejarah nyata pemecatan dengan tidak hormat
inilah yang bisa jadi mirip “kutukan” jika suatu saat dinastinya masuk
kembali ke dalam kemiliteran, akan dipecat dengan tidak hormat pula.
Suharto, Berkomplot Dengan Agen Ganda Jepang – Cina
Siapa C.M. Chow ini? Dia adalah ‘agen ganda’ atau double agent.
Pada tahun 1950 dia menjadi agen rahasia militer Jepang yang bertugas
di Shanghai, Cina. Tapi dia pun kepanjangan tangan Mao Tse Tung atau
dikenal pula sebagai Mao Zedong, adalah seorang tokoh filsuf dan pendiri
negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Mao Tse Tung atau Mao Zedong, adalah
salah satu tokoh terpenting dalam sejarah modern Tiongkok. Kala itu C.M.
Chow merupakan kepanjangan tangan Mao dalam merekrut Cina perantauan
dari orang Jepang, ke dalam jaringan komunis Asia.
Pada 1943, Chow ditugasi Jepang ke
Jakarta. Ketika Jepang hengkang dari Indonesia, Chow tetap di Jakarta
dan membuka usaha perkapalan pertama di negeri ini.
Chow bukan saja membina warga negara Cina di Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun juga di Sumatera dan Sulawesi.
Salah satu binaannya adalah ayah Eddy Tansil dan Hendra Rahardja yang bermarga Tan. Tan merupakan ‘sleeping agent’ Mao di Indonesia Timur.
Kemudian pada pertengahan 1980-an, Hendra Rahardja dan Liem Sioe Liong mendirikan sejumlah pabrik di Fujian, Cina. (dari: Siapa Sebenarnya Suharto; Eros Djarot; 2006).
Jenderal A.H. Nasution yang akrab disapa
“Pak Nas”, pada kala itu sangat marah sehingga ingin memecat Suharto
dari Angkatan Darat dan menyeretnya ke Mahkamah Militer, namun atas
desakan Gatot Subroto, Suharto dibebaskan dan akhirnya dikirim ke SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat).
Ahmad Yani Juga Marah Kepada Suharto
Selain Nasution, Yani juga marah atas
ulah Suharto dan di kemudian hari mencoret nama Suharto dari daftar
peserta pelatihan di SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat), yang mana hal ini membuat Suharto dendam sekali terhadap Yani. Terlebih Amad Yani adalah anak kesayangan Bung Karno.
Kemudian, Kolonel Pranoto Rekso Samoedro diangkat sebagai Pangdam Diponegoro menggantikan Suharto.
Pranoto, sang perwira ‘santri’, menarik
kembali semua fasilitas milik Kodam Diponegoro yang dipinjamkan Suharto
kepada para pengusaha Cina untuk kepentingan pribadinya.
Suharto sangat sakit hati dan dendam terhadap Pranoto, juga terhadap Nasution dan Yani.
Lalu di sekolah SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat), Suharto dicalonkan untuk menjadi Ketua Senat.
Namun D.I. Panjaitan menolak keras dengan
menyatakan dirinya tidak percaya dengan Suharto yang dinilainya tidak
bisa dipercaya karena mempunyai banyak catatan kotor dalam karir
militernya, antara lain penyelundupan bersama para pengusaha Cina dengan
dalih untuk membangun kesatuannya, namun yang terjadi adalah untuk
memperkaya dirinya.
Suharto Marah Dan Dendam Kepada Para Jenderal
Atas kejadian itu maka Harto, panggilan
Suharto, yang berarti Harta, sangat marah. Bertambah lagi dendam
Suharto, selain kepada Nasution, Yani, Pranoto, dan kini kepada D.I.
Panjaitan. Aneh tapi nyata, dalam peristiwa 1 Oktober 1965, musuh-musuh
Suharto terutama Nasution, Yani, dan Panjaitan, menjadi target
pembunuhan, sedangkan Suharto sendiri yang merupakan orang kedua di
Angkatan Darat ini, tidak masuk dalam daftar kematian.
Setelah Ahmad Yani terbunuh pada
peristiwa 30 September 1965, Bung Karno mengangkat Pranoto Rekso Samudro
sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), namun Pranoto dijegal oleh
Suharto sehingga Suharto-lah yang justru mengambil-alih kepemimpinan
Angkatan Darat, dan untuk menghindari pertumpahan darah oleh kemungkinan
perang saudara, maka Soekarno melantik Suharto sebagai Panglima
Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965.
Perang saudara yang diyakini akan terjadi
itu, karena Siliwangi di Jawa Barat (Ibrahim Adjie) dan KKO (kini
Marinir) di Jawa Timur, telah bersumpah untuk selalu berada di belakang
Soekarno. Dan, jika Soekarno memerintahkan untuk ‘menyapu’ kekuatan
Suharto di Jakarta, maka mereka menyatakan siap juga untuk berperang.
Itulah yang akhirnya dihindari oleh
Soekarno, agar Angkatan Darat tidak pecah dan justru dapat membuat
Indonesia yang baru merdeka ini, dapat kembali pecah oleh kekuasaan dan
harta yang hanya dapat dinikmati di dunia yang sementara ini.
Kronologi Soeharto dendam Pranoto bongkar kasus korupsinya di Jawa Tengah
Pranoto Reksosamodra
sejatinya teman karib Soeharto. Saat Jepang membuka pendidikan Pembela
Tanah Air (PETA), kedua pemuda tersebut terpanggil untuk mendaftar.
Pranoto dan Soeharto sama-sama lulus dengan hasil memuaskan sebagai
kompandan peleton.
Sebentar bertugas, keduanya dipanggil
mengikuti pendidikan lanjutan sebagai komandan kompi di Bogor. Karir
Pranoto dan Soeharto juga maju beriringan. Tahun 1948, Letkol Pranoto
diangkat menjadi Komandan Brigade IX/Divisi III/Diponegoro di Muntilan,
sementara Letkol Soeharto menjadi Komandan Brigade X di Yogyakarta.
Saat Soeharto sebagai komandan serangan
Umum 1 Maret, Pranoto dan pasukannya kebagian tugas menyerang Yogyakarta
dari Utara lewat Kali Code. Kolonel Pranoto juga yang menggantikan
Kolonel Soeharto menjadi Panglima Tentara & Teritorium
IV/Diponegoro. Pada saat itu Panglima menjabat penguasa perang daerah
(Paperda).
Di sinilah hubungan kedua perwira
Angkatan Darat ini memburuk. Penyebabnya saat tim pemberantasan korupsi
Angkatan Darat turun ke daerah-daerah menyelidiki dugaan korupsi para
panglima. Tim ini diketuai oleh Brigjen Soengkono.
Kolonel
Pranoto menuliskan peristiwa ini dalam catatan pribadinya. Buku catatan
ini kemudian disunting Imelda Bachtiar dan diterbitkan Kompas tahun
2014 dengan judul Catatan Jenderal Pranoto dari RTM Boedi Oetomo sampai
Nirbaya. Pranoto mengaku memberikan fasilitas dan keleluasaan untuk tim
audit tersebut selama bergerak di wilayah militernya.
Tim ini menemukan sejumlah pelanggaran
yang dilakukan Kolonel Soeharto saat menjabat Panglima di Jawa Tengah.
Antara lain barter liar, monopoli cengkeh dari asosiasi gabungan pabrik
rokok kretek Jawa Tengah. Ada juga penjualan besi tua yang disponsori
sejumlah pengusaha Tionghoa seperti Lim Sioe Liong.
Brigjen Soengkono melaporkan hal ini pada
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Nasution yang. Soeharto sempat malu
dan berniat mengundurkan diri karena kasus ini. Namun Nasution
menolaknya. Nasution pula yang kemudian menyelesaikan kasus ini.
Soeharto akan diberi sanksi administrasi sedangkan Pranoto diperintahkan
menertibkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Jawa Tengah.
Masalah rupanya belum selesai. Soeharto
sudah menaruh dendam pada Pranoto. Dia termakan kasak kusuk yang
menyebut Pranotolah yang meminta tim Angkatan Darat menyelidiki masalah
ini. Wakil Kasad Letjen Gatot Soebroto memanggil kedua anak buahnya ini.
Dia meminta keduanya berbaikan. Namun Soeharto sempat menolak.
“Bagaimanapun aku merasa dipermalukan dan
dicoreng-moreng oleh sebab perbuatannya,” kata Soeharto. Pranoto
membela diri. “Demi Allah, laporan-laporan itu bukanlah aku yang
melakukan dan aku pun tak perlu menuduh dari mana ataupun dari siapa
laporan itu dibuat. Hal itu tidak benar dan kalau perlu kolonel dapat
menuntutnya.”
Letjen Gatot Subroto menyela perdebatan itu dengan gayanya yang kebapakan. Dia meminta Pranoto dan Soeharto berdamai.
“Kalian seperti anak kecil. Di hadapanku jangan pada bertengkar. Sudah bubar. Ayo pada salaman,” kata Gatot.
“Kami terpaksa bersalaman. Betapapun di hati masing-masing terasa hambar,” kenang Pranoto melukiskan peristiwa tahun 1960 itu.
Persahabatan dua perwira TNI ini pun berakhir
Kelak setelah G30S meletus, Mayor
Jenderal Soeharto menahan Mayjen Pranoto dengan tuduhan terlibat aksi
militer G30S yang didalangi PKI. Tanpa pengadilan, Pranoto menjalani
penahanan selama 15 tahun.
Sejumlah pihak menyangka dendam Soeharto
yang melatarbelakangi penangkapan tersebut. Namun rupanya Pranoto tak
mau berburuk sangka.
“Dari catatan Pak Pran, beliau juga tidak
tahu apakah karena masalah itu atau yang lain. Karena itu Pak Pran
selalu berharap ada pengadilan sehingga bisa menjawab semua tuduhan.
Tapi pengadilan tersebut tak pernah ada,” kata Imelda Bachtiar saat
berbincang dengan merdeka.com.
Sejarawan Asvi Warman Adam menilai
cara-cara Soeharto menggandeng konglomerat dan mendirikan aneka yayasan
terus dipertahankan saat dia menjadi presiden RI. Sama dengan di Jawa
Tengah dulu, yayasan yang didirikan Soeharto selalu diklaim untuk
mensejahterakan anggota TNI atau masyarakat. Namun tentunya Soeharto dan
koleganya pun dapat keuntungan.
“Menarik apa yang disampaikan dalam
biografi Liem Sioe Liong. Apa yang dia peroleh dari monopoli. Di sisi
lain jika Soeharto butuh, dia tinggal minta dana ke Liem. Ini
mutualisme,” kata Asvi.
Lamanya Masa Orde BAru Membuat Rakyat Indonesia Dicuci Otak Dan Tak Mengenal Sejarah Asli Bangsanya
Ironisnya, banyak manusia Indonesia
selalu lupa akan sejarah asli bangsanya. Tapi lebih ironisnya lagi,
banyak ‘anak-anak singkong’ yang buta sejarah pada masa kini, terhasut
oleh dongeng pencuci otak era rezim New (World) Order itu.
Semua itu terjadi karena mungkin mereka
tak mengalaminya, namun justru percaya hanya mendengar dari “katanya dan
ceritanya”. Seharusnya pemuda masa kini membaca buku yang berasal dari
pemuda dimasa lalu agar menjadi pemuda yang paham sejarah, bukan hanya
mendengar dari media masa kini, yang akhirnya hanya paham apa itu selfie
atau jago BBM yang tak penting.
Selalu ada saksi dalam setiap sejarah.
Sejarah adalah pembelajaran, dan Soekarno telah selalu mengingatkan
kepada segenap rakyatnya, termasuk Soeharto, secara berkali-kali, “Jas merah, jangan selalu melupakan sejarah” tegas Soekarno. Namun, apa yang justru dilakukan oleh Soeharto?
Kabinet terakhir yang ia buat sebelum
lengser telah memasukkan anaknya, Tutut sebagai menteri sosial dan Bob
Hasan saudara angkatnya sang kartel kayu, pembabat hutan dan illegal logging, justru menjadi menteri kehutanan, yang di era reformasi ia sempat merasakan bui.
Rakyat mulai tak suka dengan cara
kapitalis dan imperialisme yang diterapkan Soeharto, itu semua adalah
sistim dajjal penindas rakyat ditiap negara. Rakyat yang sudah susah,
semakin susah, semakin miskin, terbelenggu, apalagi tak ada kebebasan
sama sakali. Mereka buta politik, buta informasi di Era Orde Baru itu.
Namun ratusan juta manusia itu tak
berani, takut, tak berkutik dan tak bisa apa-apa. Maka, mahasiswa pun
yang akhirnya bergerak dan menghasilkan gerakan perubahan, Reformasi,
dengan rakyat se-Indonesia yang selalu siap dibelakang mereka. Mahasiswa
dari Sabang hingga Merauke pun berdatangan ke Jakarta melalui
perwakilan-perwakilannya untuk menduduki gedung MPR/DPR di Jakarta.
Memang terbukti, mahasiswa kala itu tak
butuh uang atau materi, mereka hanya butuh moral kebangsaan dan dukungan
dari segenap rakyat. Tak butuh suatu kepentingan apapun kecuali
Perubahan untuk bangsa ini, tak ada nama dan tokoh dikala itu.
Amien Rais yang dinobatkan menjadi
reformis saja tiada mahasiswa yang tahu dikala itu, namun tak peduli,
yang penting ada perubahan kedepan untuk rakyat kedepannya, padahal
politikus yang ikut berorasi tak ia saja, banyak yang jauh lebih murni,
bukan sekedar carmuk alias cari muka.
Seluruh masyarakat Jakarta hingga luar
Jakarta, mereka berbondong-bondong mengumpulkan makanan dan minuman ke
dalam Gedung MPR/DPR hanya untuk mahasiswa yang membela hak rakyat.
Terlihat dari anak kecil hingga tua renta membawa pisang dari
kampungnya, walaupun satu tandan tapi berat, rela jalan membongkok ke
gedung di Senayan itu.
Terasa bersatunya bangsa ini saat itu.
Tak ada lagi perbedaan diantara mereka, isyu perbedaan suku, agama, ras
dan antar golongan, dikubur dalam-dalam. Begitu bersatunya Indonesia,
saat Reformasi 98.
Tapi akhirnya, mereka disusupi oleh
‘pasukan iblis’ dengan mengadu domba diantara mereka, antara sesama anak
bangsanya sendiri. Isyu yang kental, adalah isyu pemecah belah antara
pribumi dan Cina, atau antar Islam dan Kristen, maka terjadilah
Kerusuhan 98.
Hal ini sudah tercium, adalah pola atau
modus yang biasa diterapkan oleh kaum satanic illuminatis dunia, bahkan
hingga saat ini. Nyaris semua kekacauan, kerusuhan dan peperangan di
dunia, dipicu dari ‘sel-sel’ alias kaki-tangan atau budak yang sengaja
dibuat untuk memperlancar tujuan dari sistim mereka.
Walau begitu, semua sudah terlambat.
Selama 32 tahun, atau lebih dari 3 dekade, cara cuci-otak sistim dajjal
ini berhasil. Artinya walaupun suatu saat Soeharto dengan New Ordenya
lengser, namun cara dan pola pikir manusia Indonesia akan terpatri terus
dan terus dan terus, hingga beberapa generasi mendatang.
Tak diajarkan untuk patuh pada aturan dan
undang-undang kecuali untuk kepentingan kelompoknya, miskinnya
kedisiplinan dan tanggungjawab, tak adanya inisiatif dan kesadaran pada
rakyatnya yang bermental rendah akan melahirkan generasi dengan mental
tambah parah, begitulah seterusnya, membuat Indonesia harus diganti
masyarakatnya bukan presidennya.
Pada era Orde Baru itu, rakyat Indonesia
justru diajarkan oleh maraknya korupsi, gilanya kolusi, sintingnya
nepotisme untuk kelompok dan kerabatnya.
Semua anggota dewan hanya manggut-manggut
kepada presiden, apapun keputusannya mereka kompak dengan
menyetujuinya. “Apakah setuju?” ucap ketua MPR, Sontak semuanya yang
sudah tertidur dibangku masing-masing pasti teriak “Tetuju..!” tanpa ada
interupsi satupun. Maka kocek mereka pun langsung menebal tanpa ada
basa-basi, dan terbukti hingga kini pola sinting sistim dajjal itu masih
terbentuk dan dipertahankan oleh kaum penganut satan ini.
Hal itu bisa terjadi karena efek dari brainwashed dengan memutar balikkan sejarah dan menganggap Soeharto adalah bagai super hero.
Mirip Korea Utara, dimana hingga kini
rakyatnya merasa ‘nyaman’ saja dengan hidupnya yang sederhana, tanpa
ponsel, tanpa internet, miskin pun tak terasa, tak tahu dunia luar, ada
apa diluar sana?
Tiada yang tahu kecuali segelintir rakyat
yang telah memakai tv satelit ber-parabola. Persis pola politik dan
kediktatoran pada masa Orde Baru.
Jadi jangan beranggapan bahwa New Order
telah musnah dari bumi Indonseia dan dari masyarakat Indonesia, namun
ia ibarat “api dalam sekam” yang suatu saat akan membara, bangkit dan
berkuasa kambali. Akankah sistim ini kembali lagi? Kita lihat saja,
berapa persen yang sudah kena cuci-otak, berapa persen yang telah pintar
membaca geo-politik dunia, termasuk geo-politik Indonesia.
Soeharto, the smiling General
sang ahli strategi dan ahli pemutar-balikkan sejarah, ini adalah fakta
dan kenyataan. Maka telanlah walau itu pahit. Soeharto, jenderal yang
‘mbalelo’ pada atasan, jenderal tatanan dunia baru satu komando, kaki
tangan ‘the New World Order’ , yang pernah menerapkan sistim dajjal besutan illuminati di Bumi Pertiwi, selama 32 tahun lamanya.
(judul asli: Siapa Sebenarnya Suharto, sumber: eramuslim.com, dari buku: Siapa Sebenarnya Suharto; Eros Djarot; 2006/ merdeka.com/ olah artikel: ICC).
Langganan:
Postingan (Atom)