Tiga Pesawat F-16 C/D TNI AU asal Hibah AS (foto: indomiliter.com)
Mungkin masih banyak yang bertanya-tanya
mengapa pemerintah AS berbaik hati mau memberikan (hibah) 24 buah
pesawat tempur canggih F-16 C/D Block-25 kepada Indonesia untuk
memperkuat armada tempur TNI AU. Ada pendapat yang meremehkkan bahwa
F-16 itu adalah pesawat bekas pakai US Coast Guard yang di
modifikasi. Tetapi sedikit sekali yang mengetahui bagaimana pemerintah
Indonesia khususnya Kementerian Pertahanan berhasil melakukan lobi untuk
mendapatkan 24 pesawat tempur canggih dengan kondisi yang murah dan
menguntungkan.
Pemerintah Indonesia telah memilih untuk
meningkatkan kemampuan pertahanan udara melalui upgrade dan regenerasi
dari program EDA (Excess Defence Article) yang berada dibawah Departemen Pertahanan AS (Department of Defense). Yang bertanggung jawab dan mengatur program EDA adalah The Defense Security Cooperation Agency
(DSCA). Pesawat-pesawat F-16 yang dihibahkan kepada pemerintah RI
adalah alutsista yang tidak lagi dipakai oleh US Coast Guard dan
dinyatakan kelebihan dari Angkatan Bersenjata Amerika.
US Coast Guard memiliki misi penegakan
hukum maritim (dengan yurisdiksi di perairan domestik dan
internasional) dan juga mempunyai misi sebagai badan pengawas federal.
Badan ini beroperasi di bawah US Department of Homeland Security
selama masa damai, dan dapat dialihkan penugasannya dibawah Departemen
Angkatan Laut oleh Presiden AS setiap saat, atau oleh Kongres AS dalam
masa perang.
Menurut ketentuannya, kelebihan
alutsista ini dapat dikurangi atau ditawarkan dengan tanpa biaya kepada
pihak penerima (negara) asing yang berhak dengan dasar “as is, where is”
untuk mendukung tujuan-tujuan keamanan nasional dan kebijakan luar
negeri. Menurut UU Bantuan Luar Negeri AS, dinyatakan bahwa transfer EDA
tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi teknologi nasional AS serta
basis industrinya, disamping tidak akan mengurangi peluang industri
AS untuk menjual peralatan baru kepada pihak yang diusulkan menerima
program EDA.
Pada saat proses awal dalam program EDA,
pemerintah Indonesia telah memilih untuk meningkatkan kemampuan
pertahanan udaranya melalui upgrade dan regenerasi dari kelebihan
pesawat AB Amerika Serikat, yaitu pesawat tempur F-16 Block 25.
Pemerintah AS pada bulan Agustus 2011 menyetujui memberikan pesawat
dalam proses hibah. Saat persetujuan itu, Indonesia sudah memiliki 10
pesawat tempur F-16 A / B Block 15. Akuisisi dan regenerasi hibah 24
buah F-16 C / D melalui proses EDA memungkinkan pemerintah Indonesia
untuk secara signifikan meningkatkan kapasitas pertahanan udara tanpa
mengorbankan anggaran pertahanan dan prioritas nasional lainnya.
Pada awalnya Indonesia meminta secara
total 30 pesawat F-16, dengan dengan perincian 24 F-16 Block 25 untuk
regenerasi, empat F-16 Block 25 dan dua F-16 Block 15 untuk digunakan
sebagai suku cadang. Termasuk juga dalam rangkaian hibah adalah 28 buah
engine Pratt dan Whitney. Indonesia telah mengalokasikan dana untuk
regenerasi 24 pesawat F-16 dan perbaikan dari 28 engine.
Setelah penandatanganan proses hibah
pada bulan Januari 2012, pemerintah Indonesia membayar sekitar US$ 670
juta, untuk proses administrasi penghapusan 24 pesawat tempur F-16 dari
tempat penyimpanan, biaya perbaikan, upgrade dan refurbish
(regeneration) keseluruhan pesawat. The Ogden Air Logistics Complex,
atau ALC, akan merombak sayap, landing gear, dan komponen lain pada
setiap pesawat disebut Falcon Star atau Falcon Structural Augmentation Roadmap .
Program ini terkait dengan penguatan struktur pesawat sehingga masa
usia pakai pesawat bisa digunakan secara maksimal hingga mencapai 10.800
EFH.
Dilakukan Avionic Upgrade, yang
mencakup penggantian semua sistem avionik F-16 Block 25 menjadi setara
Block 52. Penggantian yang paling menonjol dan mampu meningkatkan
kemampuan dalam hal air superiority secara signifikan adalah
digunakannya Radar APG-68 yang memiliki cakupan hingga 184 nm (296 km)
dan software persenjataan yang mampu menembakkan rudal AMRAAM (Advanced
Medium Range Air To Air Missile). Hal lain yang cukup penting adalah
penggunaan Modular Mission Computer (MMC) sebagai sistem komputer yang
mampu mengintegrasikan semua jenis senjata mutakhir pada F-16.
Selain itu, sesuai perjanjian, minimal
tiga puluh penerbang tempur TNI AU akan mengikuti latihan terbang di
Amerika Serikat, disamping para instruktur pilot mobile dari Amerika
Serikat akan melatih penerbang dan mekanik dari TNI AU.
Menurut siaran pers dari Gedung Putih
pada November 2011, kesepakatan itu merupakan transfer atau hibah
terbesar dari kelebihan alutsista pertahanan AS dalam sejarah kerjasama
bilateral antara AS-Indonesia, dan akan memungkinkan pemerintah
Indonesia untuk secara signifikan meningkatkan kapasitas pertahanan
udara tanpa mengorbankan anggaran pertahanan serta prioritas nasional
lainnya.
Sebagai realisasi proses hibah, pada
tanggal Jumat (25/7/2014) pada pukul 11.25 WIB, tiga pesawat bagian
hibah dari 24 pesawat F-16 C/D 52ID dari pemerintah AS telah tiba di fighter home base,
Lanud Iswahyudi Madiun. Ketiga pesawat diterbangkan dari Anderson
AFB (Air Force Base) Guam ke IWY dalam waktu 5 jam 16 menit dengan
melaksanakan empat kali air refueling oleh pesawat Tanker
KC-10 yang berasal dari pangkalan AU Amerika, Yokota AFB Jepang. Flight
F-16 (Viper Flight) ini terbang pada ketinggian 26.000 kaki dan terus
di kawal pesawat tanker hingga memasuki wilayah udara Indonesia. Setelah
diterimanya tiga unit pertama, F-16C/D berikutnya akan diterbangkan ke
Indonesia secara bertahap hingga selesai pada akhir 2015.
Sesuai rencana maka mulai awal bulan
Agustus 2014 enam orang instruktur penerbang F-16 A/B-15OCU TNI AU
(versi lama yang sudah dimiliki TNI AU) akan mulai melanjutkan latihan
terbang konversi “differential flying training” F-16 C/D-52ID
di Skadron Udara 3 Lanud Iswahyudi Madiun dibawah supervisi tiga
instruktur penerbang dari US Air Force Mobile Training Team. Apabila ke
24 pesawat tempur F-16 hibah tersebut sudah lengkap, Ke-24 F-16 C/D
52ID TNI Angkatan Udara ini selanjutnya akan menjadi kekuatan satu
skadron 16 di Lanud Rusmin Nuryadin Pekanbaru (16 pesawat) dan sisanya
melengkapi F-16 yang sudah ada di Skadron Udara 3 Lanud Iswahjudi
Madiun.
Dengan demikian maka wilayah perbatasan
Barat akan terdapat penggelaran F-16 serta Hawk 100/200, wilayah Tengah
dipertahankan oleh gabungan F-16, F-5E serta wilayah Timur oleh pesawat
pempur Sukhoi 27/30. Dari beberapa latihan gelar kekuatan, maka
kombinasi pertahanan udara akan cepat terisi dengan penggeseran skadron
tempur seperti yang selama ini dilakukan. Beberapa pangkalan udara TNI
telah mampu menerima kedatangan pesawat tempur.
Dengan kondisi riil dan penuh kepastian
maka pada tahun 2015, TNI AU akan sudah memiliki beberapa skadron tempur
unggulan lengkap dengan persenjataannya yang canggih. Seluruh wilayah
akan dapat dipertahankan dengan dukungan coverage radar Kohanudnas.
Disamping kekuatan yang sudah ada,
berita baik lainnya bagi TNI AU dan Kohanudnas adalah dilanjutkannya
proyek kerjasama pembuatan pesawat tempur KFX/IFX. TNI AU akan
memiliki pesawat tempur yang setidaknya cukup untuk persediaan 20 tahun
ke depan. Itu berarti TNI AU telah memiliki cukup Sukhoi untuk saat ini
dan Indonesia juga menanamkan investasi dalam program KFX/IFX bersama
Korea Selatan, yang nantinya akan menghasilkan jet fighter yang
ditujukan untuk menggantikan pesawat seperti F-5 dan F-16.
Indonesia akan membeli jet tempur
fighter KFX/IFX sebanyak 3 skadron, masing-masing 16 pesawat. Itu akan
memenuhi program jangka panjang, demikian ditegaskan oleh Sekjen
Kemenhan saat itu (Marsdya Eris Heryanto). Program KFX/IFX dihentikan
sementara oleh pemimpin baru Korea Park Geun-Hye pada akhir 2012 setelah
meninjau kondisi finasial di negaranya. Proyek prestisius ini digarap
sejak awal 2011, tak lama setelah Presiden Lee Myung-bak dan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengukuhkan kerjasama bilateral di bidang
pertahanan di Jakarta. Dari Fase Technology Development yang telah dituntaskan, tim ilmuwan telah menyelesaikan sejumlah desain yang kemudian mengerucut menjadi dua.
Kedua desain itu adalah model jet tempur
siluman peraih keunggulan udara bermesin ganda dengan horizontal-tails
di belakang, dan satunya lagi dengan canards di depan. Konfirmasi
tentang kelanjutan program pembuatan front-liner jet fighter
Korea-Indonesia diterima Kementerian Pertahanan RI pada 3 Januari 2014.
Pemberitahuan ini selanjutnya diumumkan Menteri Pertahanan Purnomo
Yusgiantoro kepada wartawan, Rabu, 8 Januari 2014, di sela-sela Rapim
Kemenhan di Jakarta. Penjelasan disampaikan terkait paparan rencana
pengadaan alut sista dalam Renstra II, 2015-2019.
Pemerintah Indonesia berharap proyek
pembuatan jet tempur generasi 4,5 itu bisa terlaksana karena bakal jadi
rujukan program alih teknologi untuk melepas ketergantungan dari negara
lain. Program ini ditargetkan menelurkan jet tempur dengan performa yang
sepadan atau lebih unggul dari jet tempur lawan yang di antaranya
adalah Sukhoi Su-35, ini adalah keinginan dari Pemerintah Korea Selatan
yang mengukurnya dari alutsista Korea Utara.
Apabila proyek KFX/IFX tetap berjalan
dengan normal sesuai rencana, maka pada tahun 2020 Indonesia akan
mempunyai kekuatan udara yang sangat kuat, dimana paling tidak tujuh
skadron udaranya akan diisi oleh jenis pesawat tempur canggih, dengan
tulang punggung F-16, Sukhoi 27/30 dan Boramae (KFX/IFX). Dengan
demikian maka daya kepruk TNI AU akan meningkat paling tidak tiga kali
lipat.
Pada saat itu maka Indonesia akan
menjadi negara penyeimbang dalam hal kekuatan udara apabila kawasan di
Laut China Selatan bergolak. Paling tidak pesawat-pesawat tempur TNI AU
bisa unjuk gigi dalam mempertahankan kedaulatan negara di udara. Dalam
hal ini jelas Amerika sudah berhitung tentang kemungkinan memanasnya
wilayah Laut China Selatan di masa mendatang, dan negara-negara di
kawasan Asia Tenggara memang harus siap dalam menghadapi setiap
kemungkinan terburuk. Oleh karena itu maka program EDA kepada Indonesia
disetujui.
Apakah China akan melakukan ekspansinya
dalam penguasaan kawasan? Kita semua tidak ada yang tahu, yang terlihat
kini, China mulai mencari wilayah yang memiliki potensi sumber energi
dan wilayah itu ada di kawasan kepulauan Spratley dan Paracel. Beberapa
langkah militer telah dilakukan oleh China, termasuk penetapan ADIZ dan
pengerahan kekuatan serta kapal induknya. Bahkan, bukan tidak mungkin
kawasan Natuna juga akan menjadi incaran selanjutnya. Oleh karena itu,
memang pemerintah Indonesia harus menyadari bahwa kita membutuhkan
peralatan tempur yang mampu mempertahankan wilayah tanah air.
Bila kita tidak berfikir secara
geopolitik dan geostrategi serta dengan dasar intelijen strategis, maka
suatu saat kita akan terkejut, menghadapi betapa dalam sebuah persaingan
hidup di dunia ini, intervensi akan dilakukan oleh siapapun yang merasa
dirinya kuat. Mungkin begitu.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, pengamat intelijen www.ramalanintelijen.net